Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 175031 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nani Lukmana
"ABSTRAK
Tujuan
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui peran tomografi komputer (CT Scan) tulang temporal dalam mengevaluasi adanya kolesteatoma dan erosi tulang pada kasus-kasus OMSK tipe bahaya serta mendapatkan informasi-informasi yang bermanfaat sehubungan dengan tindakan operasi yang akan dilakukan.
Metode
Penelitian cross-sectional dengan data prospektif ini menganalisis temuan pemeriksaan tomografi komputerpreoperatif pada 21 pasien OMSK tipe bahaya yang telah didiagnosis secara klinis dan kemudian dinilai kesesuaiannya dengan temuan intraoperatifnya . Data diambil dari Mei 2012 sampai Agustus 2012. Menggunakan tomografi komputer resolusi tinggi (HRCT), tanpa kontras dan potongan yang digunakan aksial dan koronal. Rekonstruksi dilakukan pada irisan 0,6 mm dan 1 mm. Penilaian preoperatif dan intraoperatif meliputi adanya temuan kolesteatoma, erosi pada skutum, osikel, tegmen timpani, kanalis fasialis (pars timpani dan pars mastoid), dinding posterior kavum timpani serta sinus sigmoid. Uji statistik untuk mengetahui kesesuaian antara temuan preoperatif dan temuan intraoperatif menggunakan uji McNemar dan perhitungan nilai Kappa.
Hasil dan diskusi
Kolesteatoma merupakan kelainan yang paling banyak terdeteksi baik dengan irisan 0,6 mm maupun 1 mm, masing-masing didapatkan pada 19 dari 22 sampel telinga dan 18 dari 22 sampel. Urutan kelainan berikutnya yang ditemukan adalah erosi skutum, osikel, dinding posterior kavum timpani, kanalis fasialis, tegmen timpani dan sinus sigmoid. Uji kesesuaian seluruh pemeriksaan preoperatif memakai tomografi komputer dengan irisan 0,6 mm maupun 1 mm dengan temuan intraoperatif memiliki nilai Mc Nemar > 0,05 dan nilai kappa > 0,4. Menandakan adanya kesesuaian yang signifikan antara temuan preoperatif dan intraoperatif.
Kesimpulan
Terdapat kesesuaian antara temuan erosi tulang dan kolesteatom pada tomografi komputer preoperatif dengan temuan operasi otitis media supuratif kronik tipe bahaya. Tingkat kesesuaian antara temuan pemeriksaan preoperatif baik dengan irisan 0,6 mm atau 1 mm dan temuan intraoperatif dinilai tergolong dalam kategori yang cukup baik dan signifikan.

ABSTRACT
Objectives
To determine the role of temporal bone CT scan in evaluation cholesteatom and bone erosions in malignant CSOM patients and getting the important informations associated to surgery planning.
Methods
It?s a cross-sectional study, data taken prospectively, analyzed preoperative CT scan findings in 21 patients with malignant CSOM diagnosed clinically and planned for surgery. Data was taken from Mei 2012 until Agust 2012. Using High Resolution Computed Tomography (HRCT) without contrast with axial and coronal planes. Reconstructed by 0,6 mm and 1 mm slices. Preoperatif CT scan and intraoperative appraisal consist of cholesteatom, scutum erosions, ossicles, tegmen tympani, facialis canal (tympani and mastoid segment), posterior wall of tympanic cavity and sigmoid sinus findings. Statistical test for determining the suitability between preoperative and intraoperative findings calculated with McNemar and Kappa test.
Results and Discussion
Cholesteatom is the most finding either with 0,6 mm or 1 mm slices, consecutive 19 0f 22 and 18 0f 22. The next sequence pathologic findings are scutum erosion, ossicles, posterior wall of tympanic cavity, fascial canal, tegmen tympani and sigmoid sinus. All suitability test preoperative and intraoperative findings had McNemar value test > 0.05 with the Kappa value test > 0.4. This results indicate the preoperative and intraoperative findings are suitable and significant.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T31953
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Nani Lukmana
"ABSTRAK
Tujuan
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui peran tomografi komputer (CT Scan) tulang temporal
dalam mengevaluasi adanya kolesteatoma dan erosi tulang pada kasus-kasus OMSK tipe bahaya serta
mendapatkan informasi-informasi yang bermanfaat sehubungan dengan tindakan operasi yang akan
dilakukan.
Metode
Penelitian cross-sectional dengan data prospektif ini menganalisis temuan pemeriksaan tomografi
komputerpreoperatif pada 21 pasien OMSK tipe bahaya yang telah didiagnosis secara klinis dan
kemudian dinilai kesesuaiannya dengan temuan intraoperatifnya . Data diambil dari Mei 2012 sampai
Agustus 2012. Menggunakan tomografi komputer resolusi tinggi (HRCT), tanpa kontras dan potongan
yang digunakan aksial dan koronal. Rekonstruksi dilakukan pada irisan 0,6 mm dan 1 mm. Penilaian
preoperatif dan intraoperatif meliputi adanya temuan kolesteatoma, erosi pada skutum, osikel, tegmen
timpani, kanalis fasialis (pars timpani dan pars mastoid), dinding posterior kavum timpani serta sinus
sigmoid. Uji statistik untuk mengetahui kesesuaian antara temuan preoperatif dan temuan intraoperatif
menggunakan uji McNemar dan perhitungan nilai Kappa.
Hasil dan diskusi
Kolesteatoma merupakan kelainan yang paling banyak terdeteksi baik dengan irisan 0,6 mm maupun 1
mm, masing-masing didapatkan pada 19 dari 22 sampel telinga dan 18 dari 22 sampel. Urutan
kelainan berikutnya yang ditemukan adalah erosi skutum, osikel, dinding posterior kavum timpani,
kanalis fasialis, tegmen timpani dan sinus sigmoid. Uji kesesuaian seluruh pemeriksaan preoperatif
memakai tomografi komputer dengan irisan 0,6 mm maupun 1 mm dengan temuan intraoperatif
memiliki nilai Mc Nemar > 0,05 dan nilai kappa > 0,4. Menandakan adanya kesesuaian yang
signifikan antara temuan preoperatif dan intraoperatif.
Kesimpulan
Terdapat kesesuaian antara temuan erosi tulang dan kolesteatom pada tomografi komputer preoperatif
dengan temuan operasi otitis media supuratif kronik tipe bahaya. Tingkat kesesuaian antara temuan
pemeriksaan preoperatif baik dengan irisan 0,6 mm atau 1 mm dan temuan intraoperatif dinilai
tergolong dalam kategori yang cukup baik dan signifikan.

ABSTRACT
Objectives
To determine the role of temporal bone CT scan in evaluation cholesteatom and bone
erosions in malignant CSOM patients and getting the important informations associated
to surgery planning.
Methods
It’s a cross-sectional study, data taken prospectively, analyzed preoperative CT scan
findings in 21 patients with malignant CSOM diagnosed clinically and planned for
surgery. Data was taken from Mei 2012 until Agust 2012. Using High Resolution
Computed Tomography (HRCT) without contrast with axial and coronal planes.
Reconstructed by 0,6 mm and 1 mm slices. Preoperatif CT scan and intraoperative
appraisal consist of cholesteatom, scutum erosions, ossicles, tegmen tympani, facialis
canal (tympani and mastoid segment), posterior wall of tympanic cavity and sigmoid
sinus findings. Statistical test for determining the suitability between preoperative and
intraoperative findings calculated with McNemar and Kappa test.
Results and Discussion
Cholesteatom is the most finding either with 0,6 mm or 1 mm slices, consecutive 19 0f 22
and 18 0f 22. The next sequence pathologic findings are scutum erosion, ossicles,
posterior wall of tympanic cavity, fascial canal, tegmen tympani and sigmoid sinus. All
suitability test preoperative and intraoperative findings had McNemar value test > 0.05
with the Kappa value test > 0.4. This results indicate the preoperative and intraoperative
findings are suitable and significant.
Conclusions
There is a significant suitability between preoperative CT scan and intraoperative
findings in malignant CSOM patients. The suitability level of preoperative CT scan using
0.6 mm or 1 mm slices classified in that category quite good and significantly."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmanofa Yunizaf
"Otitis media supuratif kronik (OMSK) merupakan salah satu gangguan telinga yang sering menimpa anak dan dapat menyebabkan gangguan pendengaran dan penurunan kualitas hidup, serta banyak komplikasi. Kondisi yang terkait dengan OMSK di antaranya alergi, hipertrofi adenoid, dan refluks laringofaring (RLF). Refluks laringofaring pada anak belum banyak dipelajari di Indonesia, dan diagnosis RLF berdasarkan Instrumen Tanda dan Gejala Refluks belum banyak dipelajari. Kejadian RLF juga dikaitkan dengan gangguan saraf autonom, akibat gangguan nervus vagus yang dapat menyebabkan refluksat lambung naik ke nasofaring dan mencapai muara tuba.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan RLF dengan OMSK tipe aman aktif yang dibahas desain 1 penelitian, yaitu studi kasus kontrol yang menganalisis alergi, hipertrofi adenoid, dan RLF sebagai faktor risiko OMSK tipe aman aktif. Desain kedua penelitian adalah studi kasus kontrol untuk mengetahui hubungan gangguan saraf autonom dengan kejadian RLF. Desain ketiga penelitian merupakan kohort retrospektif untuk mengetahui hubungan RLF dengan gangguan fungsi tuba. Penelitian dilaksanakan Mei 2023–Juni 2024, menyertakan 39 subjek OMSK tipe aman aktif dan 39 subjek kontrol dari pasien Poliklinik THT-KL RSCM, dan direkrut secara consecutive sampling. Subjek juga akan diperiksa kondisi RLF dan gangguan saraf autonom.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak dengan RLF terbukti berisiko 5,59x lebih tinggi untuk terkena OMSK tipe aman aktif (OR: 5,59; 95%CI: 1,247–25,049; p = 0,025). Alergi (OR: 1,433; 95%CI: 0,343–5,981; p = 0,622) dan hipertrofi adenoid (OR: 1,178; 95%CI: 0,584–2,378; p = 0,646) tidak terbukti bermakna secara statistik sebagai faktor risiko OMSK tipe aman aktif. Gangguan saraf autonom juga belum terbukti secara statistik sebagai faktor risiko RLF (OR: 1,086; 95%CI: 0,444– 2,650; p = 0,856). Refluks laringofaring juga tidak terbukti menjadi faktor risiko gangguan fungsi tuba (RR: 1,558; 95%CI: 0,594–4,087; p = 0,367). Dapat disimpulkan bahwa RLF merupakan faktor risiko utama OMSK tipe aman aktif pada anak. Pepsin dan derajat keasaman dari refluksat RLF pada telinga tengah dapat berperan dalam kerusakan telinga tengah.

Chronic suppurative otitis media (CSOM) is a prevalent ear disorder in children that can lead to hearing impairment, a decline in quality of life, and various complications. Conditions associated with CSOM include allergy, adenoid hypertrophy, and laryngopharyngeal reflux (LPR). The incidence of LPR in children has not been extensively studied in Indonesia, and diagnosis of LPR based on Reflux Symptom and Sign Instrument is yet to be studied. LPR has also been linked to autonomic nervous system dysfunction, as disturbances in the vagus nerve can result in the reflux of gastric contents into the nasopharynx and the opening of the Eustachian tube.
This study aims to investigate the relationship between LPR and active benign type CSOM with the first design being a case-control study that analyzes allergy, adenoid hypertrophy, and LPR as risk factors for active benign type CSOM. The second design, also a case-control study, is to determine the association between autonomic nervous system dysfunction and the occurrence of LPR. The third study design employs a retrospective cohort study to assess the relationship between LPR and Eustachian tube function disorders. The research is conducted from May 2023 to June 2024, including 39 subjects with active benign type CSOM and 39 control subjects from the ENT-HN Polyclinic of RSCM, recruited through consecutive sampling. Subjects will also be evaluated for the presence of LPR and autonomic nervous system dysfunction.
The results indicated that children with LPR were at a 5.59-fold increased risk of developing active safe type CSOM (OR: 5.59; 95% CI: 1.247–25.049; p = 0.025). Allergy (OR: 1.433; 95% CI: 0.343–5.981; p = 0.622) and adenoid hypertrophy (OR: 1.178; 95% CI: 0.584–2.378; p = 0.646) were not found to be statistically significant risk factors for active safe type CSOM. Additionally, autonomic nervous system dysfunction did not show statistical significance as a risk factor for LPR (OR: 1.086; 95% CI: 0.444–2.650; p = 0.856). LPR also did not appear to be a risk factor for Eustachian tube dysfunction (RR: 1.558; 95% CI: 0.594–4.087; p = 0.367). It can be concluded that LPR is a primary risk factor for active safe type CSOM in children. The presence of pepsin and the acidity level of the LPR refluxate in the middle ear may contribute to middle ear damage.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ratna Dwi Restuti
"Menurut Survei Depkes tahun 1993-1996 prevalens OMSK di Indonesia sebesar 3,1%. Di RS. Dr. Cipto Mangunkusumo dilaporkan 64 kasus OMSK dengan kolesteatoma pertahun pada periode 1998-2002. Angka kejadian kolesteatoma residu dan rekuren pascaoperasi masih cukup tinggi. Peran respons inflamasi pada pertumbuhan kolesteatoma telah dibuktikan, antara Iain interleukin-1α (IL-Iα) dan tumor necrosis factor-α (TNF-α). Efek hambatan kortikosteroid terhadap kolesteatoma pada hewan coba tetah diteliti. Mekanisme molekular hambatan pertumbuhan kolesteatoma mungkin terjadi melalui kematian sel (apoptosis) yang terlihat sebagai penurunan proliferasi sel, produksi IL-1α, dan TNF-α. Penelitian ini ingin mengetahui efek kerja kortikosteroid, dalam hal ini deksametason terhadap pertumbuhan kolesteatoma, serta pengaruhnya terhadap produksi IL-1α dan TNF-α oleh sel keratinosit kolesteatoma.
Penelitian dilakukan secara in vitro pada biakan keratinosit jaringan kolesteatoma, yang diperoleh dari pasien OMSK dengan kolesteatoma. Proliferasi sel dihitung dengan cara biakan sel keratinosit yang terdiri atas kontrol dan kelompok perlakuan. Pada biakan 24 jam, kelompok pertakuan diberikan deksametason dengan berbagai dosis, yaitu dosis 1 μg/mL, 10 μg/mL, 40 μg/mL, 80 μg,/mL, dan 100 μg/mL. Pemanenan sel diiakukan 24 jam kemudian dan dihitung jumlah sel, tingkat reduksi sel, serta vialibitas kelompok kontrol dan kelompok perlakuan. Untuk pengukuran kadar IL-lα dan TNF-α bahan yang diperiksa adalah supernatan biakan sel keratinosit kolesteatoma 48 dan 60 jam setelah perlakuan. Pengukuran kadar IL-1α dan TNF-α dilakukan secara ELISA, dengan menggunakan kit dari R & D Systems dengan nomor katalog DLA 50 untuk IL-1α dan HSTAOOC untuk TNF-α.
Pada penelitian ini selelah 48 jam biakan dan setelah 24 jam ditambahkan deksametason, tampak bahwa rerata jumlah sel pada kelompok perlakuan menurun dibandingkan dengan kelompok kontrol Dosis 1 μg /mL tidak berbeda bermakna dengan kelompok kontrol, tetapi mulai dosis 10 μg/mL hingga dosis 100 μg/mL perbedaan tersebut bemakna. Pemberian dosis tertinggi, yaitu 100 μg/mL menyebabkan kelompok dosis tersebut berbeda bermakna dengan semua kelompok Iainnya. Pada penelilian ini pemberian deksametason dengan berbagai dosis menyebabkan peningkatan rerata kadar IL-1α yang sangat kecil, yaitu antara 0,04-0,37 pg/mL, secara statistik peningkatan tersebut tidak bermakna. Rerata kadar TNF-α kelompok kontrol dibandingkan dengan kelompok perlakuan pada biakan 48 jam tidak berbeda berrnakna, sedangkan pada biakan 60 jam berbeda bermakna antara kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan. Kemaknaan tersebut terjadi pada dosis 100 μg/mL.
Sebagai kesimpulan dapat dituliskan bahwa deksametason dapat menghambat proleferasi sel pada biakan keratinosit kolesteatoma dengan dosis minimal 10 μg/mL. Penambahan dosis deksametason hingga dosis 100 μg/mL akan meningkatan efek hambatan. Deksametason tidak terbukti menurunkan kadar lL-1α. Kadar TNF-α menurun setelah ditambahkan deksametason, yang terjadi pada biakan 60 jam dengan dosis 100 μg/mL (p=0,036).

According to the Survey by the Department of Health, Republic of Indonesia, in 1993-1996, the prevalence of chronic suppurative otitis media in indonesia was 3.1%. ln Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta, there are 64 cases of chronic suppurative otitis media (CSOM) with cholesteatoma per year during 1998-2002. Post-operative residual and recurrence rate of cholesteatoma is high. It has been proven that inflammatory response, such as interleukin-1α (lL-lα) and tumor necrosis factor-α (TNF-α), play a role in the development of cholesteatoma. The inhibition effect of corticosteroid on cholesteatoma in animal model has been shown. Molecular mechanism of cholesteatoma growth inhibition is probably through apoptosis which may lead to decrease in cell proliferation as well as lL-α and TNF-α production. This study was conducted to find out corticosteroid (dexamethasone) effect on cholesteatoma growth, and its effect on IL-1α and TNF-α production by cholesteatoma keratinocyte cells.
The study was conducted in vitro on cholesteatoma keratinocyte culture obtained from patients suffering from CSDM with cholesteatoma. Cell proliferation was measured by counting keratinocyte culture cells in both control and dexamethasone experimental groups. Dexamethasone was given to the 24-hour culture tissue in several doses: 1 μg/mL, 10 μg/mL, 40 μg/mL, 80 μg/mL, 100 μg/mL. Cell harvesting was carried out in the next 24 hours. Cells were counted and cell reduction level and viability were analyzed in both control and experimental groups. The level of IL-1α and TNF-α in the supematant of the 48 and 60 hours cholesteatoma keratinocyte culture cells, were measured by ELISA methods, using R&D System kit catalog DLA 50 for lL-α and HSTAOOC for TNF-α.
This study found that the mean cell count in the experimental group was less than that of the control group after 48-hour culture and 24-hour dexamethasone treated. There was no significant difference in the cell count between the group of 1 μg/mL dexamethasone and the control group, but starting from 10 μg/mL to 100 μg/mL, significant difference was shown. In addition, the highest doses of dexamethasone 100 μg/mL gave significant difference of cell count compared to the other close groups. Several doses of dexamethasone given in this study caused minimal or non significant increase of IL-1α level, 0.04-0.37 pg/mL. There was no significant difference of the mean level of TNF-α between the control and the study groups in the 48 hours culture. However, there is significant difference in the 60 hours culture between these two groups at the dose of 100 μg/mL dexamethasone.
The conclusions of this study are that dexamethasone will inhibit cell proliferation in keratinocyte cholesteatoma culture with minimal inhibitory dose of 10 μg/mL. Increase of the dexamethasone dose to 100 μg/mL will increase this inhibitory effect. It was not proven that dexamethasone can decrease IL-1α production. Dexamethasone 100 μg/mL can decrease TNF-α production in the 60 hours culture."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
D615
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Latar belakang: Kolesteatoma adalah lesi keratin non-neoplastik yang berhubungan dengan proliferasi sel epitel dengan karakteristik morfologi yang menyimpang. Otitis Media Supuratif Kronis (OMSK) yang disertai dengan adanya kolesteatoma dapat mengganggu keseimbangan antara pembentukan tulang dengan resorpsi tulang. Kolesteatoma dapat menghasilkan sitokin-sitokin seperti interleukin-6 (IL-6) yang berperan dalam proses destruksi tulang pendengaran. Tujuan: Mengetahui distribusi derajat kerusakan tulang pendengaran pada pasien OMSK dengan kolesteatoma, rerata kadar IL-6 pada kolesteatoma, dan adanya hubungan antara kadar IL-6 pada kolesteatoma dengan derajat kerusakan tulang pendengaran pada pasien OMSK dengan kolesteatoma. Metode: Penelitian ini melibatkan 6 pasien dengan OMSK dengan kolesteatoma yang dilakukan operasi mastoidektomi. Satu pasien menderita OMSK dengan kolesteatoma bilateral dan dilakukan operasi mastoidektomi pada kedua telinganya. Derajat kerusakan tulang pendengaran dinilai dengan menggunakan kriteria Saleh dan
Mills, sedangkan kadar IL-6 pada kolesteatoma diukur dengan menggunakan instrumen ELISA. Hasil:
Derajat kerusakan tulang pendengaran tertinggi yang ditemukan adalah derajat 3 (28,57%), sedangkan derajat kerusakan tulang pendengaran yang terbanyak adalah derajat 2 (42,86%). Kadar IL-6 pada kolesteatoma yang tertinggi adalah 2290 pg/mL, sedangkan rerata kadar IL-6 pada kolesteatoma adalah 1778,57±392,616 pg/mL. Kesimpulan: Kadar IL-6 pada kolesteatoma tidak berhubungan dengan derajat kerusakan tulang pendengaran pada pasien OMSK dengan kolesteatoma (p=0,885)."
ORLI 44:2 (2014)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Yusra
"Dalam rangka penjualan rumah susun atas satuan-satuan rumah susunnya, dewasa ini banyak dilakukan dengan cara membuat perjanjian pengikatan jual bell satuan rumah susun. Hal ini dilakukan karena Undang-Undang Nomor I6 Tahun 1985 tentang Rumah Susun (Undang Undang Rumah Susun) menetapkan persyaratan bagi rumah susun sebelum dapat diperjualbelikan. Pada prakteknya, dengan alasan ekonomis penjualan unit-unit satuan rumah susun sudah dilakukan, walaupun belum memenuhi persyaratan sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Rumah Susun, yaitu dengan cara membuat perjanjian pengikatan jual beli.
Perjanjian pengikatan jual beli satuan rumah susun ini pada umumnya sudah dibuat dalam bentuk standar (Kontrak Standar) yang sudah ditentukan oleh pihak pengembang selaku penjual. Konsumenlpembeii tinggal menyetujui atau tidak, tanpa bisa menegosiasikan isi perjanjian sesuai kehendak para pihak. Apabila setuju, "take it", tetapi kalau tidak setuju "just leave it".
Kontrak standar yang dibuat secara sepihak oleh pengembang yang mempunyai kedudukan lebih dominan tersebut seringkali memuat klausula-klausula yang sudah baku yang isinya lebih mengakomodir kepentingan pelaku usaha (dalam hal ini pengembang/penjual), tetapi mengeliminir kepentingan pihak konsumen/pembeli, sehingga pihak konsumen dirugikan.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Undang-Undang Perlindungan Konsumen), pada dasarnya sudah mengatur mengenai ketentuan klausula baku (dalam Pasal 18). Namun dalam pelaksanaannya, klausula-klausula baku yang dimuat dalam perjanjian pengikatan jual beli, khususnya pengikatan jual bell satuan rumah susun masih melanggar ketentuan baku sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T21406
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yustie Amelia
"Latar belakang dan tujuan: Endometriosis susukan dalam (ESD) posterior yang ekstensif memerlukan tatalaksana pembedahan radikal dan lintas disiplin. Modalitas diagnostik standar seperti USG dan laparaskopi lemah dalam menilai ekstensi ESD posterior di lokasi yang sulit terjangkau. MRI berpotensi menjadi modalitas diagnostik pilihan karena bersifat multiplanar dan baik dalam diferensiasi jaringan lunak. Penelitian ini bertujuan mengetahui kesesuaian MRI pelvis dengan temuan operasi dan histopatologi pada diagnosis dan pemetaan pre operatif kasus ESD posterior.
Metode: Sebanyak 37 pasien yang menjalani operasi dengan indikasi ESD posterior dan pemeriksaan MRI pelvis di pusat rujukan endometriosis (2015-2018) dipelajari secara retrospektif. Gambar MRI dianalisis oleh dokter spesialis radiologi divisi ginekologi secara independen kemudian dibandingkan dengan laporan operasi dan analisis sediaan histopatologi oleh dokter spesialis patologi anatomi. Analisis statistik dilakukan menggunakan uji McNemar dan koefisien Cohen's Kappa. Hasil: Kesesuaian MRI pelvis dengan temuan operasi dan histopatologi untuk diagnosis ESD posterior secara keseluruhan memiliki nilai konkordan (McNemar p) 78%(0,288). Kesesuaian pemetaan berdasar lokasi memiliki nilai konkordan (McNemar p) dan koefisien Kappa di fornix posterior 83,8%(0,219) dan 0,32; rektovagina 89,2%(0,125) dan 0,3; retrocervix 67,6%(0,00) dan 0,23; ligamentum sakrouterina kanan 56,8%(0,210) dan 0,08; ligamentum sakrouterina kiri 62,2%(0,791) dan 0,04; rektosigmoid 89,2%(0,625) dan 0,75. Kesesuaian penilaian ada tidaknya ekstensi ESD posterior ke rektosigmoid, infiltrasi lapisan muskularis dan submukosa usus masing-masing memiliki nilai konkordan (McNemar p) dan koefisien Kappa (p) 100%(1,000) dan 1(0,000); 89,2% (0,617) dan 0,78(0,001); 1,1%(1,000) dan 0,35(0,146).
Simpulan: Terdapat kesesuaian yang baik antara MRI pelvis dengan temuan operasi dan histopatologi untuk diagnosis ESD posterior, sedangkan untuk pemetaan preoperatif terdapat kesesuaian yang bervariasi dengan tingkat kesesuaian terbaik untuk pemetaan lokasi di rektosigmoid dan penilaian infiltrasi lapisan muskularis usus serta kesesuaian terendah untuk pemetaan lokasi di ligamentum sakrouterina dan retrocervix.

Background and purpose: Extensive posterior deep infiltrating endometriosis (DIE) requires radical and interdisciplinary surgery. Standard diagnostic modalities such as ultrasound and laparoscopy are weak in assesing posterior DIE extensions to inaccessible areas. MRI has the potential value to be modality of choice because it's multiplanar ability and excellent in soft tissue differentiation. This study aims to assess the concordance of the diagnosis and preoperative mapping of posterior DIE compared to intraoperative and histopathological findings.
Methods: Thirty-seven patients who underwent surgery and pelvic MRI examinations for posterior DIE at the endometriosis referral center (2015-2018) were studied retrospectively. MRI images were analyzed by a gynecology radiologists independently then compared to the surgical report and histopathological analysis. Statistical analysis was performed using the McNemar test and the Cohen's Kappa coefficient.
Results: Concordance (McNemar p) of posterior ESD diagnosis 78% (0,2888). Concordance (McNemar p) and Kappa coefficient of preoperative mapping for location in posterior fornix 83.8%(0.219) and 0.32; rectovaginal 89.2%(0.125) and 0.3; retrocervix 67,6%(0,000) and 0,23; right uterosacral ligament 56.8%(0.210) and 0.08; left uterosacral ligament 62.2%(0.791) and 0.04; rectosigmoid 89.2%( 0.625) and 0.75. Concordance values (McNemar p) and Kappa coefficients (p) for assesment of posterior DIE extension to rectosigmoid were 100% (1,000) and 1 (0,000); infiltration of the muscular layer were 89.2% (0,617) and 0.78 (0,001); infiltration of the (sub)mucosal layer were 81.1% (1,000) and 0.35 (0,146).
Conclusion: There is good concordance between pelvic MRI with intraoperative and histopathologic finding for the diagnosis of posterior ESD but various level of concordance in preoperative mapping of posterior ESD with the best concordance in preoperative mapping of rectosigmoid location and muscularis layer infiltration, the weakest concordance in preoperative mapping for uterosacral ligament and retrocervix location."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ratri Dianti
"Tujuan penelitian. Mengevaluasi gambaran morfologi otak serta menilai korelasi antara kelainan anatomi temuan tomografi komputer otak dan kelainan elektroensefalografi pada penderita epilepsi parsial dewasa.
Bahan dan cara Populasi target adalah penderita epilepsi parsial dengan usia onset 17 tahun keatas yang berobat di bagian Neurologi FKUI-RSUPNCM selama tahun 1996 1999. Jumlah percontoh yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi sebanyak 24 penderita. Telah dilakukan pembacaan hasil tomografi komputer otak oleh 2 dokter ahli radiologi diagnostik dan pembacaan elektroensefalo-grafi oleh 1 dokter ahli neurologi. Penilai tidak saling mengkomunikasikan hasil pemeriksaannya.
Metodologi. Untuk menguji hipotesa korelasi kelainan temuan tomografi komputer otak dengan kelainan fokal elektroensefalografi dipakai analisa dengan uji statistik Chi-Square, Cohen Kappa maupun Rank Spearman.
Hasil. Tomografi Komputer mampu mendeteksi perubahan morfologi otak paling sedikit 25% pada penderita epilepsi parsial dewasa. Yang dapat dianggap penyebab epilepsi parsial pada penelitian ini adalah infark di frontal kanan, kista araknoid temporal kiri dan infark di frontotemporal kanan Secara kwantitatif tidak terdapat korelasi kelainan anatomi TK otak dengan kelainan fokal EEG pada penderita epilelsi parsial dengan serangan awal usia dewasa."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999
T57293
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shofiah Sari
"Tuba Eustachius berfungsi mengatur dan memodulasi status pneumatik dari telinga tengah dan mastoid untuk menjaga lingkungan yang sesuai untuk transmisi suara optimal oleh membran timpani dan rantai tulang pendengaran. Fungsi TE merupakan faktor penting dalam patogenensis otitis media dan pembersihan ruang telinga tengah serta penting dalam keberhasilan operasi telinga tengah. Otitis media supuratif kronik OMSK adalah inflamasi kronik telinga tengah dan kavum mastoid dengan gambaran klinis adanya keluar cairan telinga berulang atau otorea melalui perforasi membran timpani yang berlangsung lebih dari 3 bulan. Penelitian ini ingin mengetahui sebaran dan kesesuaian hasil pemeriksaan fungsi ventilasi TE menggunakan sonotubometri dan audiometri impedans dengan automatic Toynbee pada subjek OMSK tipe aman. Penelitian ini adalah penelitian deskriptif potong lintang pada 51 subyek yang diambil secara consecutive sampling. Hasil penelitian ini didapatkan proporsi hasil pemeriksaan ventilasi TE dengan sonotubometri normal sebanyak 35,5 dan audiometri impedans dengan automatic Toynbee normal sebesar 5,9 . Uji kesesuaian dengan Kappa antara kedua alat didapatkan kesesuaian yang lemah namun secara statistik bermakna. Perhitungan kesesuaian dengan proporsi confounding didapatkan hasil yang sesuai antara kedua alat sebesar 70,6 .

Eustachian Tube ET function is to regulate and modulate pneumatic status of middle ear and mastoid cavity for maintenance of appropiate environment for optimal noise transmision by the tympanic membrane and ossicular chain. ET function is the important factor in otitis media pathogenesis and clereance of middle ear cavity also for middle ear surgery prognosis. Chronic suppurative otitis media CSOM is chronic inflamation of middle ear and mastoid cavity with reccurent ear discharge or otorrhoea through tympanic membrane perforation which occurs more than 3 months.This study is intended to investigate the proportion and association of examination on ET ventilation function with sonotubometry and impedance audiometry using automatic Toynbee on CSOM benign type subject. This study is a cross sectional descriptive research in 51 subjecst which were taken by consecutive sampling. The results is that the normal proportion of ET ventilation function with sonotubometry is 35,5 and with impedance audiometri using automatic Toynbee is 5,9 . The correlation test with Kappa from the two devices is weak but is statistically significant. Another correlation test with confounding proportion indicates that the two devices match at 70,6 ."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T55688
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Noviati Sri Racha
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2000
T58806
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>