Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 199223 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rizka Hanifah
"Infeksi parasit usus sering terdapat pada anak usia sekolah terutama di lokasi padat populasi dengan sanitasi kurang baik. Penelitian ini dilakukan di Pesantren X, Jakarta Timur dengan tujuan mengetahui prevalensi infeksi parasit usus dan hubungannya dengan karakteristik santri. Penelitian cross sectional ini dilakukan pada semua santri (n=162). Data diambil pada tanggal 20-21 Januari 2011, diolah dengan SPSS 17.0 serta dianalisis dengan uji chi square dan uji fisher exact test.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 24% (39 responden) terinfeksi parasit usus, yakni A.lumbricoides (2,7%), T.trichiura (2,7%), B.hominis (75,6%), G.lamblia (10,8%), E.coli (2,7%), dan H.nana (2,7%). Responden paling banyak berusia 11-15 tahun (74 orang atau 45,7%), perempuan (92 orang atau 56,8%), tingkat pendidikan tsanawiyah (74 orang atau 45,7%), memiliki informasi mengenai parasit usus (149 orang atau 92%) dan informasi berasal lebih dari tiga sumber (74,4%).
Pada uji chi square tidak terdapat perbedaan bermakna antara prevalensi infeksi parasit usus dengan usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan jumlah sumber informasi. Pada uji fisher?s exact tidak didapatkan hubungan antara prevalensi parasit usus dengan kepemilikan informasi. Kesimpulannya, prevalensi infeksi parasit usus tidak berhubungan dengan karakteristik santri dalam aspek usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, kepemilikan informasi, dan jumlah sumber informasi.

Intestinal parasitic infections often occur among school children especially who live in densely populated locations with poor sanitation. Intestinal parasitic infections may have a bad side effect on children's growth. This research was done in Pesantren X, East Jakarta to determine the prevalence of intestinal parasitic infection and it?s association with the characteristic of santri. This cross sectional research used all students (santri) as respondent (n=162). Data acquisition took at 20-21 of January 2011. The data processed by SPSS 17.0 and its analyzed by chi Square test and fisher exact test.
The result showed 39 respondents (24%) have been infected by intestinal parasites namely, A.lumbricoides (2,7%), T.trichiura (2,7%), B.hominis (75,6%), G.lamblia (10,8%), E.coli (2,7%), and H.nana (2,7%). Most respondents are 11-15 years old (74 persons or 45,7%), girls (92 persons or 56,8%). The level of education mostly from tsanawiyah (74 persons or 45,7%), already had knowledge about intestinal parasitic infection, (149 persons or 92%) and the information was gotten from more than three different sources (74,4%).
Based on chi square test, there was no statically significant difference between prevalence of intestinal parasitic infection and age, sex, level of education, and quantity of knowledge source. Based on fisher?s exact test, there was no statically significant difference between the level of intestinal parasitic infection and the knowledge. In conclusion, there was no association between prevalence of intestinal parasitic infection and age, sex, level of education, knowledge, and quantity of the knowledge source.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Yessica Lisyana
"Inflamatory Bowel Disease adalah penyakit peradangan kolon yang menyebabkan jaringan parut yang ditangani dengan pembedahan. Jika terjadi berulang dapat menyebabkan fibrosis. Pentoksifillin merupakan obat yang memiliki efek anti fibrosis digunakan sebagai obat. Pektin merupakan polimer alam bersifat biodegradabel yang berpotensi sebagai sediaan lepas terkendali. Tujuan dari penelitian ini adalah membuat dan mengkarakterisasi bead kalsium pektinat pentoksifillin dengan metode gelasi ion dengan variasi konsentrasi larutan sambung silang kalsium klorida 2,5% (formula 1), 5% (formula 2), dan 10% (formula 3). Karakterisasi bead yang dihasilkan berbentuk tidak terlalu sferis untuk formula 1 dan 2, namun sferis untuk formula 3, dan berwarna coklat keputihan dengan ukuran rata-rata 710 ? 1180 μm untuk formula 1 dan 2, sedangkan untuk formula 3 berukuran rata-rata > 1180 μm. Kandungan pentoksifilin dalam bead dari ketiga formula berturut-turut yaitu 27,87%, 22,28%, dan 14,05%. Efisiensi penjerapan dari ketiga formula berturut-turut yaitu 69,68%, 66,83%, dan 56,18%. Pada uji pelepasan obat dalam medium asam klorida 0,1N pH 1,2, dapar fosfat pH 6, dan dapar fosfat pH 7,4 tidak berbeda. Obat dapat terlepas hampir seluruhnya pada menit ke 15. Karena pelepasannya yang tinggi di medium asam klorida 0,1N pH 1,2 selama 2 jam yaitu ± 90% kemudian bead disalut HPMCP sehingga pelepasannya di medium asam klorida 0,1N pH 1,2 berkurang dengan jumlah yang terlepas 38-60%.

Inflammatory Bowel Disease causes rasp network. It?s handle by dissection that if occur repeatedly can lead a fibrosis. Pentoxifyllin is a drug that has anti-fibrotic effect which is used as a drug. Pectin is biodegradable natural polymer which have potention as controlled release drug. The aim of this research is preparation and charactherization calcium pectinate pentoxifylline beads which is prepared by ionic gelation method with variation in calcium chloride concentration 2,5% (formula 1), 5% (formula 2), and 10% (formula 3). Characterization of beads which is produced are not too spheris for the first and second formula, but spheris for the third formula, and it?s brown whitish colour. The average size of beads are 710-1180 Fm for the first and second formula. While the third formula are about >1180 Fm. Content of pentoksifilin in beads for all formula are 27,87 % for the first formula, 22,28 % for the second formula and 14,05% for the third formula. Encapsulation efficiency of all formula are 69,68%, 66,83% and 56,18% respectively. Drug release test in medium of hydrochloric acid 0,1N pH 1,2, phosphate buffer pH 6 and phosphate buffer pH 7,4 are not differences. The drug can be released almost in fifteenth minutes. Because it?s release is higher in medium of hydrochloride acid 0,1N pH 1,2 for 2 hours which is about ± 90%, then beads are coated by HPMCP in order that it?s release in medium of hydrochloride acid 0,1N pH 1,2 can holding a number of released is 38-60%.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2012
S42522
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Nasution, Yesy Marianna, author
"Latar Belakang: Aktivasi mediator inflamasi diketahui menyebabkan kelahiran preterm. Sitokin dan penanda inflamasi yang terbentuk berhubungan dengan imun tubuh. Vitamin D diketahui berperan pada modulasi respon sistem imunitas tubuh. Penelitian ini ingin mengetahui hubungan antara kadar vitamin D serum ibu dan tali pusat, dengan IL-6 tali pusat dan C Reactive Protein (CRP) darah bayi prematur.
Metode: Penelitian ini merupakan studi analitik dengan desain potong lintang pada subjek ibu hamil 28-34 minggu yang mengalami kelahiran prematur didahului KPD dan bayi yang dilahirkannya, di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional dr. Cipto Mangunkusumo dan Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan, Jakarta pada bulan Januari 2017 sampai Agustus 2018. Subjek diambil secara consecutive sampling. Variabel data adalah kadar serum vitamin D ibu dan tali pusat, kadar serum IL-6 tali pusat dan kadar CRP darah bayi. Dilakukan kategorisasi dikotomi dan polikotomi (tiga) kadar vitamin D dan dicari hubungannya dengan kadar IL-6 tali pusat dan CRP darah bayi, menggunakan uji Mann-Whitney dan Kruskal Wallis.
Hasil: Sebanyak 70 subjek telah memenuhi kriteria penelitian. Pada kategori dikotomi vitamin D ibu, kadar IL-6 tali pusat dan CRP bayi dari kelompok kadar vitamin D kurang, sedikit lebih tinggi (3,89 pg/ml dan 0,45 mg/dl) dibandingkan kelompok kadar vitamin D normal (3,29 pg/ml dan 0,30 mg/dl), tetapi perbedaan tersebut tidak bermakna (IL-6 p=0,771 dan CRP p = 0,665). Pada kategori polikotomi vitamin D ibu, kadar IL-6 tali pusat dan CRP bayi dari kelompok ibu vitamin D defisiensi, lebih tinggi (20,31 pg/ml dan 0,50 mg/dl) dibandingkan kelompok ibu vitamin D insufisiensi (3,34 pg/mL dan 0,45 mg/dl) dan kelompok ibu vitamin D normal (3,29 pg/mL dan 0,30 mg/dl), tetapi perbedaan tersebut tidak bermakna (IL-6 p=0,665 dan CRP p = 0,899). Pada kategori dikotomi maupun polikotomi vitamin D tali pusat, didapatkan perbedaan tidak bermakna yang terbalik dari kadar IL-6 tali pusat dan CRP bayi.
Simpulan: Tidak didapatkan hubungan antara kadar serum vitamin D ibu dan tali pusat dengan kadar serum IL-6 tali pusat dan CRP darah bayi prematur.

Background: Activation of inflammatory mediators is known to cause preterm birth. Cytokines and inflammatory markers formed are associated with the body's immune system. Vitamin D is known to play a role in modulating the body's immune system response. This study aimed to find out the relationship between the levels of serum of maternal and umbilical cord vitamin D, with umbilical cord IL-6 and C Reactive Protein (CRP) in premature infants.
Method: This research was an analytic study with a cross-sectional design on the subject of 28-34 weeks pregnant women who experience preterm birth preceded by premature rupture of membranes and their babies, at dr. Cipto Mangunkusumo and Persahabatan General Hospital, Jakarta, from January 2017 to August 2018. Data variables were the levels of serum of maternal and umbilical cord vitamin D, umbilical cord IL-6 and CRP in premature infants. Vitamin D levels were divided into dichotomy and polycotomy categories, and found out their relationship to the levels of IL-6 and CRP using the Mann Whitney and Kruskal Wallis tests.
Result: A total of 70 subjects met the research criteria. In the maternal vitamin D dichotomy category, the umbilical cord IL-6 and infants CRP levels from the group with low level were less slightly higher (3.89 pg/ml and 0.45 mg/dl) compared to the group with normal level (3.29 pg/ml and 0.30 mg/dl), but the difference was not significant (IL-6 p = 0.771 and CRP p = 0.665). In the maternal vitamin D polycotomy category, umbilical cord IL-6 and infants CRP levels from the deficiency group were higher (20.31 pg/ml and 0.50 mg/dl) compared to the insufficiency group (3.34 pg/mL and 0.45 mg/dl) and the normal group (3.29 pg/mL and 0.30 mg/dl), but the difference was not significant (IL-6 p = 0.665 and CRP p = 0.899). In both dichotomy and polycotomy categories of umbilical cord vitamin D, we found a non-significant difference inversely related to umbilical cord IL-6 and infants CRP levels.
Conclusion: There was no correlation between between the levels of serum of maternal and umbilical cord vitamin D, with umbilical cord IL-6 and C Reactive Protein (CRP) in premature infants."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Oryza Gryagus Prabu
"Latar Belakang. Vitamin D merupakan salah satu komponen regulator yang berperan dalam respons imun humoral maupun adaptif yang memiliki peranan patogenesis dalam berbagai kondisi autoimun termasuk IBD. Defisiensi vitamin D diketahui dapat mempengaruhi derajat aktivitas pada pasien dengan IBD. Beberapa studi menunjukkan terdapat peran vitamin D dalam meningkatkan angka remisi pada pasien dengan IBD. Namun studi lain menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan terhadap aktivitas klinis IBD dengan defisiensi vitamin D. Belum ada studi di Indonesia yang menilai hubungan kadar vitamin D dengan aktivitas klinis pada IBD.
Tujuan. Mengetahui prevalensi defisiensi vitamin D pada pasien dengan IBD dan menilai perbedaan rerata kadar 25-OH D pada subjek dengan IBD aktif dengan remisi.
Metode. Penelitian ini merupakan studi dengan desain potong lintang yang dilakukan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Pasien dengan IBD yang datang ke Poliklinik Gastroenterologi dan dilakukan pemeriksaan kadar 25-OH-D. Subjek dengan kolitis ulseratif dinilai aktivitas klinisnya dengan menggunakan instrumen Simple Clinical Colitis Activity Index (SCCAI) dimana nilai <2 dikategorikan sebagai remisi, sedangkan subjek dengan penyakit Crohn dinilai aktivitas klinisnya dengan menggunakan instrumen Crohn’s Disease Activity Index (CDAI) dengan nilai <150 dikategorikan sebagai remisi. Dilakukan analisis perbedaan rerata kadar 25-OH-D antara subjek remisi dibandingkan aktif baik pada subjek dengan kolitis ulseratif dan penyakit Crohn.
Hasil. Sebanyak 76 subjek memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, 48 subjek termasuk ke dalam kolitis ulseratif dan 28 lainnya penyakit Crohn. Sebanyak 65,3% subjek perempuan dengan rerata usia subjek adalah 46,39 (SB 16,25). Prevalensi defisiensi vitamin D pada pasien IBD adalah sebesar 46,1% dengan 32,1% pada penyakit Crohn dan 54,2% pada kolitis ulseratif. Tidak didapatkan adanya perbedaan median yang signifikan antara subjek dengan penyakit Crohn pada remisi (20,7 (12,25 – 32,55) ng/ml) dan aktif (15,7 (12,03 – 28,6) ng/ml) (p = 0,832), maupun subjek dengan kolitis ulseratif pada remisi (26,05 (19,33 – 30,73) ng/ml) dan aktif (25,05 (14,43 – 33,37) ng/ml) (p = 0,301).
Kesimpulan. Prevalensi defisiensi vitamin D pada IBD adalah sebesar 46,1%. Tidak terdapat adanya perbedaan yang signifikan terhadap kadar 25-OH-D pada pasien dengan IBD yang aktif dibandingkan dengan remisi.

Background. Vitamin D is one of the regulatory components that play a role in humoral and adaptive immune responses that have a pathogenesis role in various autoimmune conditions including IBD. Vitamin D deficiency is known to affect activity levels in patients with IBD. Several studies have shown that there is a role for vitamin D in increasing remission rates in patients with IBD. However, other studies have shown that there is no significant relationship between clinical activity of IBD and vitamin D deficiency. There are no studies in Indonesia that have assessed the relationship between vitamin D levels and clinical activity in IBD.
Aim. To determine the prevalence of vitamin D deficiency in patients with IBD and to assess the difference in mean 25-OH D levels in subjects with clinically active and remission.
Method. This is a cross-sectional study conducted at Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta, Indonesia. Patients with IBD who came to the Gastroenterology Polyclinic and have their 25-OH-D levels checked. Subjects with ulcerative colitis were assessed for clinical activity using the Simple Clinical Colitis Activity Index (SCCAI) instrument where a value <2 was categorized as remission, while subjects with Crohn's disease were assessed for clinical activity using the Crohn's Disease Activity Index (CDAI) instrument with a value <150 categorized as remission. An analysis of the difference in mean 25-OH-D levels between remission versus active subjects was performed both in subjects with ulcerative colitis and Crohn's disease.
Results. A total of 76 subjects met the inclusion and exclusion criteria, 48 subjects had ulcerative colitis and 28 had Crohn's disease. A total of 65,3% of female subjects with the mean age of the subject was 46,39 (SB 16,25). The prevalence of vitamin D deficiency in IBD patients was 46,1% with 32,1% in Crohn's disease and 54,2% in ulcerative colitis. There was no significant median difference between subjects with Crohn's disease in remission (20,7 (12,25 – 32,55) ng/ml) and active (15,7 (12,03 – 28,6) ng/ml) (p = 0,832), as well as subjects with ulcerative colitis in remission (26,05 (19,33 – 30,73) ng/ml) and active (25,05 (14,43 – 33,37) ng/ml) (p = 0,301).
Conclusion. Prevalence of vitamin D deficiency in IBD is 46,1%. There was no significant difference in 25-OH-D levels in patients with active IBD compared with remission.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nessa
"ABSTRAK
Inflammatory bowel disease IBD merupakan kondisi yang menggambarkan peradangan saluran cerna kronik. Peradangan kronis yang terjadi di kolon dapat berkembang menjadi kanker kolon. Lunasin telah diketahui dapat menekan reaksi inflamasi yang diinduksi lipopolisakarida secara in vitro. Peran lunasin sebagai antiinflamasi secara in vivo masih belum banyak diketahui. Pada penelitian ini dianalisis efek lunasin kedelai dalam menghambat inflamasi dengan melihat ekspresi COX-2, iNOS, dan ?-katenin. Mencit sebanyak 30 ekor dibagi dalam 6 kelompok. Kelompok normal adalah mencit yang tidak diinduksi DSS. Kelompok lain diinduksi dengan DSS 2 melalui air minum selama 9 hari. Hari berikutnya mencit kelompok kontrol negatif tidak menerima perlakuan sedangkan kelompok yang menerima perlakuan diberikan lunasin dosis 20mg/kgBB, dosis 40mg/kgBB dan lunasin komersil serta kontrol positif diberikan aspirin. Perlakuan dilakukan selama 5 minggu. Pemeriksaan histopatologi kolon yang mengalami inflamasi dan skor hasil pewarnaan imunohistokimia protein COX-2, iNOs dan ?-katenin dianalisis menggunakan uji statistik. Lunasin dosis 20mg/kgBB dan dosis 40mg/kgBB mampu menurunkan inflamasi secara signifikan p

ABSTRACT
Inflammatory bowel disease IBD is a condition describing chronic gastrointestinal inflammation. Chronic inflammation that occurs in the colon can develop into colon cancer. Lunasin has been known to resist inflammatory reactions induced by lipopolysaccharide in vitro. The role of lunasin as antiinflammatory in in vivo is not widely known. In this study we analyzed the effect of lunasin from soybean to decrease the risk of inflammation by analyzing the expression of COX 2, iNOS, and catenin. 30 mice are divided into 6 groups. Normal group was not induced by DSS. The other groups were induced by 2 DSS through drinking water for 9 days. After 9 days, negative control group did not receive any treatment, beside the other groups received treatment given lunasin dose 20mg kgBB and 40mg kgBB, commercial lunasin and positive control given aspirin. Treatment was performed for 5 weeks. Inflammatory colon histopathologic examination and immunohistochemical score of COX 2, iNOs and catenin proteins were analyzed using statistical tests. Lunasin dose 20mg kgBW and 40mg kgBB were able to significantly reduce inflammation p"
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dekta Filantropi Esa
"Latar Belakang. Penyakit radang usus atau Inflammatory Bowel Disease (IBD) memiliki gejala gangguan saluran pencernaan yang tidak dapat diprediksi, tidak menyenangkan, dan kerap kali menimbulkan rasa malu bagi penderitanya. Berbagai ketidaknyamanan tersebut dapat mempengaruhi penurunan kualitas hidup pasien IBD hingga meningkatkan morbiditas dan mortalitas di masa depan. Perlu instrumen yang sahih dan andal untuk menilai kualitas hidup pasien dengan IBD.
Tujuan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keandalan dan kesahihan Inflammatory Bowel Disease Questionnaires-9 (IBDQ-9) versi bahasa Indonesia untuk menilai kualitas hidup pasien dengan IBD.
Metode. Instrumen asli IBDQ-9 diterjemahkan ke bahasa Indonesia dan diterjemahkan kembali ke bahasa Inggris lalu dikonfirmasi kepada pemilik instrumen. Kemudian dilakukan uji kesahihan isi dengan Content Validity Index (CVI). Studi potong lintang dengan populasi terjangkau pasien dewasa IBD di Poliklinik Gastroenterologi, Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo Jakarta pada bulan November 2022 yang berusia 18-59 tahun, telah mengalami IBD minimal 2 minggu dan bersedia untuk menandatangani
informed consent sebagai responden penelitian. Perbandingan skor total IBDQ-9 dengan SF-36 versi Indonesia dinilai dengan uji korelasi Spearman lalu uji keandalan dengan menentukan alfa Cronbach dan Intraclass Correlation Coefficient (ICC).
Hasil. Sebanyak 124 pasien IBD dianalisis dengan uji Spearman menunjukkan korelasi yang tinggi dan signifikan antara IBDQ-9 dengan SF-36 (r=0,769 dan p<0,001). IBDQ-9 versi bahasa Indonesia memiliki nilai alfa Cronbach versi bahasa Indonesia sebesar 0,883 dan nilai ICC yang baik juga sebesar 0,883 (IK95% 0,849-0,912).
Kesimpulan. Instrumen IBDQ-9 versi Bahasa Indonesia sahih dan andal untuk menilai kualitas hidup pasien dengan IBD di Indonesia.

Latar Belakang. Penyakit radang usus atau Inflammatory Bowel Disease (IBD) memiliki gejala gangguan saluran pencernaan yang tidak dapat diprediksi, tidak menyenangkan, dan kerap kali menimbulkan rasa malu bagi penderitanya. Berbagai ketidaknyamanan tersebut dapat mempengaruhi penurunan kualitas hidup pasien IBD hingga meningkatkan morbiditas dan mortalitas di masa depan. Perlu instrumen yang sahih dan andal untuk menilai kualitas hidup pasien dengan IBD.
Tujuan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keandalan dan kesahihan Inflammatory Bowel Disease Questionnaires-9 (IBDQ-9) versi bahasa Indonesia untuk menilai kualitas hidup pasien dengan IBD.
Metode. Instrumen asli IBDQ-9 diterjemahkan ke bahasa Indonesia dan diterjemahkan kembali ke bahasa Inggris lalu dikonfirmasi kepada pemilik instrumen. Kemudian dilakukan uji kesahihan isi dengan Content Validity Index (CVI). Studi potong lintang dengan populasi terjangkau pasien dewasa IBD di Poliklinik Gastroenterologi, Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo Jakarta pada bulan November 2022 yang berusia 18-59 tahun, telah mengalami IBD minimal 2 minggu dan bersedia untuk menandatangani
informed consent sebagai responden penelitian. Perbandingan skor total IBDQ-9 dengan SF-36 versi Indonesia dinilai dengan uji korelasi Spearman lalu uji keandalan dengan menentukan alfa Cronbach dan Intraclass Correlation Coefficient (ICC).
Hasil. Sebanyak 124 pasien IBD dianalisis dengan uji Spearman menunjukkan korelasi yang tinggi dan signifikan antara IBDQ-9 dengan SF-36 (r=0,769 dan p<0,001). IBDQ-9 versi bahasa Indonesia memiliki nilai alfa Cronbach versi bahasa Indonesia sebesar 0,883 dan nilai ICC yang baik juga sebesar 0,883 (IK95% 0,849-0,912).
Kesimpulan. Instrumen IBDQ-9 versi Bahasa Indonesia sahih dan andal untuk menilai kualitas hidup pasien dengan IBD di Indonesia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Lydia Kencana
"Inflammatory bowel disease (IBD) merupakan penyakit kronik dan relapsing yang mempengaruhi kualitas hidup pasien. Hingga saat ini penegakkan diagnosis IBD masih menjadi persoalan. Calprotectin merupakan biomarker yang dapat dideteksi di jaringan (intramukosal) dan dinilai memiliki potensi dalam membantu penegakkan diagnosis IBD. Penelitian ini bertujuan untuk menilai ekspresi calprotectin intramukosal pada IBD, kolitis non-IBD dan kontrol. Penelitian bersifat retrospektif analitik. Pengambilan sampel dilakukan secara konsekutif pada sediaan biopsi kolorektal yang didiagnosis IBD, kolitis non-IBD, serta sediaan reseksi dengan bagian kolon tanpa kelainan patologik bermakna dari arsip Departemen Patologi Anatomik FKUI/RSCM tahun 2017-2020. Dilakukan pulasan imunohistokimia untuk menilai ekspresi calprotectin (rerata jumlah sel/LPB) pada tiap kelompok. Dari 45 sampel IBD dan 45 sampel non-IBD, sebagian besar menunjukkan peradangan aktif, derajat keaktifan ringan. Ekspresi calprotectin intramukosal pada kelompok IBD dan non-IBD lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol (p<0,001). Kasus dengan peradangan aktif memiliki ekspresi calprotectin yang lebih tinggi dibandingkan pada peradangan inaktif (p<0,001). Peningkatan ekspresi calprotectin memiliki hubungan bermakna dengan adanya peradangan namun belum dapat direkomendasikan untuk menjadi dasar penentuan etiologi IBD dan non-IBD.

Inflammatory bowel disease is a chronic relapsing disease affecting patients’ quality of life. To date, IBD diagnosis remains a challenge. Calprotectin is a biomarker that can be detected in tissue (intramucosal) and is considered as a potential marker of IBD. This study aims to determine intramucosal calprotectin expression in IBD, non-IBD colitis and control. Analytic retrospective study including consecutively sampled colorectal biopsy specimens diagnosed as IBD, non-IBD colitis and resection specimens with normal colon mucosa recorded in archives of Anatomical Pathology Department, FKUI/RSCM in 2017-2020. Calprotectin expression (cell/HPF) was detected by immunostaining and evaluated for every group. Most of the samples from IBD and non-IBD group (45 samples each) showed mild active inflammation, with higher mucosal calprotectin expression than that of control group (p<0.001). Subjects with active inflammation showed higher calprotectin expression compared to those with inactive inflammation (p<0.001). The increase of calprotectin expression showed significant association with the presence of inflammation, with higher expression found in active inflammatory conditions. However, the use of calprotectin to determine inflammatory etiology (IBD vs non-IBD) has yet to be recommended."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Elco Nora
"Secara global dikatakan bahwa insidens Inflammatory bowel disease (IBD) adalah 10 kasus per 100.000 penduduk. Fokus utama rencana Terapeutik IBD adalah upaya penghambatan kaskade proses inflamasi. Temu mangga (Curcuma mangga val) diketahui memiliki efek anti inflamasi. Dalam penelitian ini ingin diketahui efektivitas ekstrak Temu mangga (Curcuma mangga Val) dalam menurunkan kadar TNF-α dari serum mencit dan perbaikan gambaran histopatologi kolon model mencit Inflammatory bowel disease (IBD). Pengukuran TNF-α dengan metode Elisa dan gambaran histopatologi kolon dengan pewarnaan HE. Pada penelitian ini mencit diinduksi menggunakan DSS 2% yang dicampurkan dengan air minum dan diinduksi selama 9 hari dilanjutkan dengan pemberian ekstrak etanol Temu mangga selama 14 hari. Pada penelitian ini ada 6 kelompok hewan perlakuan yaitu K0 (baseline), DS,  PD, MD4, MD8, MD16. Perhitungan statistik menggunakan uji parametrik ANOVA untuk penurunan TNF-α, dan jumlah sel goblet. Skoring perubahan jaringan kolon (metode cooper). Hasil perhitungan menunjukkan penurunan kadar TNF-αterutama pada kelompok  MD16. Dimana penurunan TNF-α pada MD16 berbeda bermakna (p<0,05) dengan DS. Skor perubahan  jaringan kolon (metode cooper) MD16 memperlihatkan hasil berbeda bermakna (p<0,05) dengan DS. Efek Perlakuan dengan dosis Temu mangga 16 mg/20 gram mencit memberikan hasil yang lebih baik pada regenerasi sel dibanding dosis 8 mg/20 gram mencit dan 4 mg/20 gram mencit. Hal ini ditunjukkan dari gambaran Histopatologi kolon yang ditandai peningkatan jumlah sel goblet dan penurunan jumlah lokasi radang .

Globally it is said that the incidence of Inflammatory bowel disease. (IBD) is 10 cases per 100,000 population. The main focus of the plan is an attempt IBD Therapeutic inhibition of the inflammatory cascade process. Temu mangga ( Curcuma mangga val) is known to have anti-inflammatory effects. In this study we want to know effectiveness Temu mangga extract (Curcuma mangga Val) in lowering levels of serum TNF-α mice and improvement of colonic histopathology picture mice model of Inflammatory bowel disease (IBD). Measurement of TNF-α with Elisa method and description of colonic histopathology with HE staining. In this study, mice were induced using DSS 2% that is mixed with water and induced for 9 days followed by ethanol extract of Temu mangga appointment for 14 days. In this study, there are six groups of animals ie K0 treatment (baseline), DS, PD, MD4, MD8, MD16. Statistical calculations using ANOVA parametric test for the decline in TNF-α, and the number of goblet cells. Scoring changes in colonic tissue (method cooper). The calculations show decreased levels of TNF-α, especially in group MD16. Where the reduction in TNF-α in MD16 significantly different (p<0,05) with DS. Score changes in colonic tissue (method cooper) MD16 showed significantly different results (p<0,05) with DS. The treatment effects at a dose of 16 mg Temu mangga/20 gram mice provide better results in the regeneration of the cells compared to the dose of 8 mg/20 gram mice and 4 mg/20 gram mice. It is shown on the picture Histopathology of colonic marked increase in the number of goblet cells and decrease the number of locations inflammation."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2017
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizky Dini Fitriyasa
"Latar Belakang: Penyakit radang usus merupakan penyakit yang memerlukan pengobatan yang terus menerus, sementara pengobatan yang saat ini diterapkan memiliki berbagai efek samping yang cukup berat jika dikonsumsi dalam jangka panjang. Tanaman tabat barito (Ficus deltoidea) adalah tanaman herbal tradisional Kalimantan yang memiliki kandungan fitokimia seperti flavonoid yang berpotensi untuk menjadi agen antiinflamasi dan menangani penyakit radang usus.
Tujuan: Membuktikan bahwa ekstrak daun tabat barito memiliki efek antiinflamasi terhadap usus halus mencit yang diinduksi inflamasi oleh dextran sodium sulfate (DSS).
Metode: Penelitian ini menggunakan metode penelitian eksperimental dengan DSS untuk menginduksi kolitis pada mencit. Mencit kemudian diberi ekstrak daun tabat barito dengan dosis 25 mg dan 50 mg per mencit untuk dibandingkan dengan mencit yang diberi aspirin. Mencit diamati gambaran histopatologi usus halusnya (pewarnaan hematoxylin-eosin) untuk mengetahui variabel inflamasi usus meliputi infiltrasi sel inflamatorik, angiogenesis, dan hilangnya sel goblet. Gambaran histopatologi diamati pada 5 lapang pandang tiap preparat dengan perbesaran 400x.
Hasil: Uji statistik menyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan signifikan dari ekstrak daun tabat barito terhadap infiltrasi sel radang (p=0,681), angiogenesis (p=0,073), dan jumlah sel goblet (p=0,121) pada usus halus mencit yang DSS.
Kesimpulan: Ekstrak daun tabat barito 25 mg dan 50 mg per mencit tidak memiliki efek anti inflamasi pada usus halus yang diinduksi oleh DSS pada usus halus mencit
Background: Inflammatory bowel disease is a disease that requires continuous treatment, while the current treatment has various side effects which are quite severe if consumed in the long term. Tabat barito (Ficus deltoidea) is a traditional Kalimantan herbal plant that has phytochemical contents such as flavonoid that has antiinflammatory properties to treat inflammatory bowel disease.
Objective: To prove that Ficus deltoidea leaf extract has an anti-inflammatory effect on the small intestine of mice induced by dextran sodium sulfate (DSS).
Methods: This study used an experimental research method with DSS to induce colitis in mice. Mice were then given Ficus deltoidea leaf extract with a concentration of 25 mg and 50 mg for each mice to compare with mice given aspirin. Histopathological features of the small intestine are observed (hematoxylin-eosin staining) to determine intestinal inflammatory variables including infiltration of inflammatory cells, angiogenesis, and loss of goblet cells. Histopathological features were observed in 5 visual fields for each preparation with 400x.
Results: Statistical tests revealed that there was no significant effect of tabat barito leaf extract on inflammatory cell infiltration (p = 0,681), angiogenesis (p = 0.067), and the number of goblet cells (p = 0.121) in the small intestine of mice induced by dextran sodium sulfate .
Conclusion: Tabat barito leaf extract 25 mg and 50 mg has no significant antiinflammation effect on the small intestine of mice induced by DSS.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>