Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 182523 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Kristiyabudi Purwo Hananto
"Manusia bekerja karena mereka memerlukan aktivitas yang berguna untuk memenuhi segala kebutuhannya, tidak hanya untuk kebutuhan fisik dan materiil melainkan juga mempunyai fungsi psikologis. Namun tidak selamanya manusia dapat bekerja, walaupun ia ingin selalu aktif dan produktif. Batas dimana seseorang tidak diharapkan untuk bekerja atau tidak bekerja lagi disebut pensiun.
Individu yang mulai memasuki masa pensiun pada umumnya memiliki karakteristik khas karena mereka harus memerankan jobless role, sementara selama bertahun-tahun mereka bekerja dan menemukan makna hidupnya melalui kerja. Hal umum yang biasanya terjadi pada mereka setelah berhenti bekerja adalah perasaan-perasaan tidak berdaya, merasa tidak dibutuhkan lagi oleh orang lain. Sehingga logis jika dikatakan bahwa pensiun merupakan salah satu peristiwa besar dalam hidup seseorang (major life event) yang menimbulkan stres. Hal ini didukung pula oleh Lazarus dan Cohen (1977), Lazarus dan Folkman (1984) dalam Feldmen (1989) yang mengatakan bahwa adanya perubahan dalam kehidupan merupakan salah satu stressor pada diri seseorang. Dalam menghadapi transisi hidup yang penuh ketegangan-ketegangan emosional, individu akan termotivasi untuk meredusirnya; dan hal inilah yang disebut perilaku coping.
Menurut Folkman dan Lazarus (1980, dalam Carver et.al, 1989) terdapat dua jenis umum perilaku coping: yang pertama problem-focused coping, dan yang kedua adalah emotion-focused coping. Nalaupun pada hampir semua stressor kedua jenis coping ini selalu ditampilkan, jenis perilaku coping yang pertama akan lebih digunakan, jika seseorang merasa bahwa sesuatu yang konstruktif dapat dilakukan untuk mengatasi masalah / situasi yang menimbulkan stres; sementara emotion-focused akan dipakai jika situasi yang menimbulkan stres yang mau tidak mau harus diterima karena tidak dapat dirubah (unchangeable).
Individu dengan tipe-A mempunyai karakteristik yang khas. Mereka adalah individu-individu yang memiliki keterlibatan tinggi pada pekerjaan, kompetitif, berorientasi pada pencapaian suatu hasil (achievement-oriented) serta selalu dalam kondisi terburu-buru / sangat mementingkan waktu (time-urgency), akan mengalami kesulitan dalam menghadapi kondisi waktu senggang seperti itu. Mereka menempatkan kerja sebagai sesuatu yang sentral dalam hidupnya. Karena itu, maka masa pensiun mungkin akan dipandang sebagai peristiwa yang mengancam diri mereka karena dengan berhenti bekerja berarti kehilangan aktivitas penting yang sulit untuk digantikan dengan kegiatan lainnya.
Tuntutan untuk segera menyesuaikan diri terhadap lingkungan serta peran barunya tersebut akan timbul agar tercapai rasa puas dan akhirnya integritas pada individu. Diener (dalam Floyd, 1992) mengatakan bahwa hal yang utama bagi pencapaian kesejahteraan diri seseorang adalah penilaian dirinya terhadap kualitas dan kepuasan hidupnya, yang merupakan perbandingan antara kondisi hidup secara kongkrit dengan suatu standar yang telah dibuat.
Bagi semua individu, tidak terkecuali individu tipe-A, masa pensiun merupakan peristiwa yang tidak mungkin dihindarkan karena suatu saat mereka pasti akan tiba pada tahap akhir siklus kerjanya. Karena merupakan peristiwa utama dalam hidup (major life event), mereka mau tidak mau harus melakukan seeuatu untuk menghadapinya. Sejauh ini perilaku coping mereka terhadap situasi yang menekan (dalam bekerja) adalah dengan bekerja cepat, kompetisi dan menampilkan tingkah laku agresif atau bermusuhan. Dengan memasuki masa pensiun berarti mereka tidak lagi memiliki banyak kesempatan untuk menampilkan pola perilaku yang sudah terinternalisasi tersebut, walaupun berada dalam situasi yang menekan lainnya (dalam hal ini pensiun) karena situasi tersebut tidak sama dengan situasi ketika mereka bekerja.
Dari sebuah penelitian longitudinal ditemukan bahwa satu tahun setelah pensiun, mereka menampilkan TABP (Type A Behavior Paterrn) yang lebih rendah dibanding menjelang pensiun (Howard et.al, 1986, dalam Sarafino, 1994). Bagaimanapun juga mengingat karakteristik individu dengan tipe kepribadian-A, maka mereka akan cenderung menggunakan perilaku coping yang problem-focused seperti coping aktif dan langsung menghadapi stressor serta mengabaikan perasaan-perasaan negatif yang menyertai masalah atau situasi yang menganggu (Hattews et.al, 1976, dalam Carver et.al, 1989).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa para responden yang memiliki perbedaan tipe kepribadian, menampilkan juga adanya perbedaan dalam pemilihan perilaku coping-nya. Responden yang memiliki tipe kepribadian-A (TABP), cenderung lebih menampilkan problem-focused coping. Sebaliknya para pensiunan dengan tipe kepribadian-B (TBBP) tampak lebih mempergunakan strategi Coping emotion-focused. Individu dengan tipe kepribadian-B (TBBP) memiliki kepuasan hidup masa pensiun yang lebih tinggi dibanding subyek dengan tipe kepribadian-A. Kelompok problem-focused ternyata memiliki tingkat kepuasan hidup masa pensiun yang lebih rendah dibandingkan kelompok emotional-focused Sebagai rangkuman dari seluruh penelitian ini diperoleh hasil bahwa tipe kepribadian tertentu (tipe-A, maupun tipe-B) memang mempunyai pengaruh terhadap tinggi rendahnya kepuasan hidup pada masa pensiun. Namun efek variabel perilaku coping (problem-focused atau emotional-focused) tidak banyak berpengaruh terhadap terbentuknya kepuasan dalam masa pensiun."
Depok: Fakultas Psikologi Unversitas Indonesia, 1995
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Noveaty Mayanoellah
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1991
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sekarsari Suyono
"Kemacetan lalu lintas merupakan salah satu masalah bagi warga Jakarta. Kemacetan lalu lintas ternyata dapat menimbulkan kerugian psikis bagi pengguna jalan. Hal ini dapat terjadi karena adanya interaksi psikologis, yaitu kondisi pengemudi kendaraan secara psikologis melakukan interaksi dengan sistem kontrol kendaraan, lingkungan sekitar jalan raya termasuk sistem kontrolnya, kemudian melakukan respon terhadap stimulan yang terjadi selama ini. Salah satu daerah yang sangat dikenal akan kemacetan lalu lintasnya adalah Ciputat. Kondisi yang telah dianggap sebagai sebuah pemandangan sehari-hari ini ternyata mempunyai berbagai dampak negatif bagi manusia. Salah satu dampak yang ditimbulkan adalah dampak psikologis, dalam hal ini berupa stres terhadap subyek yang mengalami kemacetan lalu lintas.
Karena itu penelitian ini mencoba melihat dampak psikologis kemacetan terhadap warga Kompleks Dosen UI Ciputat sebagai wilayah penelitian. Jika seseorang mengalami stres maka akan timbul tingkah laku tertentu sebagai usahanya dalam meredakan rasa tidak menyenangkan yang dialaminya akibat stres. Tingkah laku yang ada karena stres sebenarnya merupakan cara individu mencari strategi coping terbaik bagi dirinya untuk menghadapi stres yang dialaminya. Dalam psikologi dikenal tiga macam coping yang konstruktif, yakni coping yang dinilai relatif sehat baik dari segi mental maupun fisik, yaitu problem-focused coping, appraisal-focused coping, dan emotion-focused coping. Setelah individu memilih suatu strategi coping tertentu, maka stres yang dialaminya akan mereda, sehingga individu tersebut dapat cope dengan stressor dan dapat dikatakan coping individu efektif. Akan tetapi jika strategi coping yang dipilih tidak dapat meredakan stres yang dialaminya, maka coping individu tidak ekektif.
Penelitian ini juga melihat tanda-tanda atau gejala-gejala stres yang timbul dari subyek yang disebabkan oleh stressor, dalam hal ini kemacetan lalu lintas dan mengaitkannya dengan hubungan antara gender dan tipe kepribadian A dan B. Alat yang digunakan untuk melihat tanda-tanda stres akibat kemacetan dibuat berdasarkan hasil elisitasi dan tanda-tanda stres dari Vlisides, Eddy, dan Mozie; yang diambil dalam Rice (1999), menggunakan skala 1-5. Alat mengukurtipe kepribadian disusun berdasarkan 3 faktor menurut Jenkins, 1974; Zyzanski dan Jenkins, 1970), yakni faktor S, yaitu cepat dan tidak sabar (speed and impatience); faktor J, yaitu keterlibatan dengan tugas/pekerjaan (job involvement);dan faktor H, yaitu kompetitif, mudah marah dan pekerja keras (competitive, hostile, and hard driving), menggunakan skala 1-6. Alat yang digunakan untuk mengukur perilaku coping disusun menurut Rudolph Moos dan Andrew Billings (dalam Weiten dan Lloyd, 1997)."
Depok: Fakultas Psikologi Unversitas Indonesia, 2001
S2956
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dixie Rinanti Nugita
"Penelitian yang menggunakan pendekatan kuantitatif ini dilakukan untuk melihat hubungan antara trait kepribadian dan strategi coping pada penerbang sipil. Jumlah partisipan yang mengikuti penelitian ini berjumlah 57 orang dengan seluruh partisipan berjenis kelamin laki-laki dan mempunyai rentang usia 20-64 tahun. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah NEO FFI untuk mengukur trait kepribadian dan Brief COPE untuk mengukur strategi coping yang telah diadaptasi oleh peneliti ke dalam Bahasa Indonesia. Pengolahan data dilakukan dengan teknik statistik Pearson Product-Moment Correlation. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan dan positif antara trait kepribadian extraversion dan emotion focused coping, trait kepribadian extraversion dan problem focused coping, serta antara trait kepribadian conscientiousness dan problem focused coping.

This research which uses quantitative approach is done to see the relationship between personality trait and coping strategy among civil pilot. There are a total of 57 participants, all of which is male, ranging from the age of 20 to 64. The instruments used in this research is NEO FFI to measure personality trait and Brief COPE to measure coping strategy which had been adapted into Indonesian language. The data analysis is done using Pearson Product-Moment Correlation statistical technique. The research show that there are positively significant relationship between extraversion personality trait and emotion focused coping, extraversion personality trait and problem focused coping, and between conscientiousness personality trait and problem focused coping."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2013
S44501
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Dewi Ningsih
"Wanita Indonesia pada masa sekarang ini, khususnya di Jakarta kebanyakan tidak lagi tinggal dirumah sebagai pengurus rumah tangga dan anak, tetapi ikut aktif bekerja diluar rumah untuk meningkatkan karir dan penghasilan mereka. Wanitapun banyak memperoleh kesempatan untuk mengembangkan kemampuan intelektualnya serta mengaplikasikannya dalam kehidupan bermasyarakat. Namun di dalam masyarakat Indonesia seorang wanita yang bekerja tetap diharapkan untuk berperan sesuai dengan fungsi utamanya di dalam keluarga yaitu sebagai ibu rumah tangga dan sebagai istri. Oleh karena itu jika wanita mengkombinasikan perannya didalam pekerjaan dan juga keluarga, hal ini seringkali menimbulkan stres.
Salah satu bidang kerja yang seringkali terdapat banyak stafnya mengalami stres adalah perawat, oleh karena itu perawat sering dikatagorikan sebagai profesi yang menimbulkan stres. Dalam kondisi stres, dikhawatirkan perawat tidak dapat menjalankan perannya secara optimal, oleh karena itu perawat diharapkan dapat mengatasi stres yang dialami. Hal ini menyebabkan ia melakukan penyesuaian diri. Penyesuaian diri ini apabila ditujukan khusus pada keadaan atau situasi yang dirasakan menantang, mengancam, atau membebani sumber daya yang dimiliki seseorang serta menimbulkan emosi-emosi negatif maka penyesuaian diri ini disebut sebagai Coping.
Coping merupakan usaha dalam bentuk kognisi dan perilaku untuk mengatasi tuntutan eksternal dan internal yang dinilai melebihi sumber daya penyesuaian yang dimiliki seseorang. Coping dibedakan menjadi dua yaitu Problem Focused Coping merupakan usaha yang dilakukan seseorang untuk mengatasi atau meyelesaikan masalah yang dihadapi, sedangkan Emotion Focused Coping merupakan usaha yang dilakukan seseorang untuk mengurangi ketegangan dan perasaan yang tidak menyenangkan yang timbul dari kesulitan atau masalah yang sedang dihadapi.
Dari penelitian selanjutnya Coping berhasil dikembangkan menjadi delapan strategi baru dari Problem Focused Coping dan Emotion Focused Coping yaitu tiga strategi yang tergolong dalam Probel Focused Coping adalah Tindakan berhati-hati, Tindakan Instrumental, dan Negosiasi, kemudian empat strategi yang tergolong dalam Emotion Focused Coping adalah Melarikan diri, Minimization, Menyalahkan diri sendiri, dan Mencari makna, serta satu strategi yang merupakan kombinasi dari Problem Focused Coping dan Emotion Focused Coping adalah Mobilisasi dukungan. Namun pemilihan jenis Strategi Coping yang dilakukan seseorang dapat dipengaruhi oleh faktor Sosio Demografi, Tipe Kepribadian, dan faktor Kontekstual.
Penelitian ini dilakukan terhadap 155 orang perawat di RS. Fatmawati dan RS. Pondok Indah, untuk mengetahui Bagaimana pemilihan Strategi Coping wanita berperan ganda, khususnya perawat di dua Rumah Sakit Jakarta, serta hubungannya dengan faktor Sosio Demografi, Tipe Kepribadian, dan Faktor Kontekstual.
Hasil pengujian memperlihatkan bahwa faktor Sosio Demografi, Tipe Kepribadian, dan Faktor Kontekstual, berhubungan secara signifikan dengan pemilihan Strategi Coping wanita berperan ganda. Namun yang memberi sumbangan terbesar dari ketiga faktor tersebut adalah Faktor sosio demografi yaitu penghasilan dan pendidikan, kemudian Faktor Kontekstual, baru Tipe Kepribadian.
Selain itu penelitian ini menemukan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan dalam pemilihan Strategi Coping yang ditampilkan wanita berperan ganda di RS. Fatmawati dan RS. Pondok Indah. Responden di RS. Fatmawati umumnya cenderung menggunakan Strategi Emotion Focused Coping (EFC) yaitu Menyalahkan diri sendiri, dan mencari makna; serta kombinasi antara Problem Focused Coping (PFC) dan EFC yaitu melakukan dukungan mobilisasi. Sedangkan responden di RS. Pondok Indah cenderung menggunakan Strategi Problem Focused Coping (PFC) yaitu tindakan instrumen, tindakan berhati-hati, juga negosiasi; bahkan yang menarik di RS Pondok Indah cenderung pula menggunakan Strategi Emotion Focused Coping (EFC) yaitu Menyalahkan diri sendiri, dan mencari makna.
Berkaitan dengan hasil penelitian tersebut maka disarankan : (1) Sebaiknya dilihat pula gambaran stres yang dialami oleh wanita berperan ganda, agar diketahui jenis atau intensitas stressor yang dialaminya, sehingga pengukuran coping akan lebih terarah dan spesifik. (2) Bagi yang ingin melakukan penelitian yang sama disarankan untuk membuat alat ukur Strategi Coping yang lebih spesifik, dan mempertimbangkan karakteristik budaya masyarakat Indonesia. (3) bagi yang berminat melakukan penelitian lanjutan disarankan agar membandingkan dengan jenis pekerjaan lain sehingga terlihat variasi pemilihan Strategi Copingnya. (4) Bagi pengembangan Sumber Daya Manusia, dalam hal rekruitmen karyawan, khususnya wanita berperan ganda perlu diperhatikan penghasilan yang tinggi dan pendidikan tinggi , agar mereka dapat langsung memecahkan masalahnya yang berkaitan dengan peran gandanya, sehingga akan mempengaruhi efektiftas dan produktifitas kerjanya."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Soesilorini
"Perbankan di Indonesia sebagai jantung perekonomian masyarakat telah
mengalami krisis yang menjadi salah satu sebab krisis ekonomi yang kita alami saat ini. Sebab utama adalah kesalahan, kecurangan, atau pelanggaran yang dilakukan oleh orang dalam bank-bank itu sendiri. Dinyatakan juga oleh POLRI 95% kejahatan bidang perbankan dilakukan oleh orang dalam atau setidaknya memberi informasi pada orang luar. Pelanggaran-pelanggaran atau kecurangan-kecurangan tersebut mengindikasikan integritas moral pengelola bank masih
diragukan padahal bank adalah lembaga kepercayaan tempat orang menitipkan uangnya.
Penelitian ini dimaksudkan untuk mempelajari Seberapa jauh hubungan antara nilai-nilai personal dan tipe-tipe kepribadian dengan pertimbangan dan intensi moral dalam pekerjaan di bidang perbankan.
Dengan dilakukannya penelitian ini maka diharapkan dapat disumbangkan cara-cara atau pikiran untuk memperbaiki kondisi perbankan di masa yang akan datang dari sudut moral atau etika. Selain itu diharapkan dapat merupakan sumbangan dalam bidang ilmu psikologi terutama nilai, kepribadian, dan perilaku moral serta
sumbangan dalam pengembangan studi etika bisnis.
Penelitian dilaksanakan pada para bankir yang sedang mengikuti kursus di Institut Bankir Indonesia. Data dikumpulkan melalui kuesioner dengan menggunakan Rokeuch Value Survey, Profil kepripadian OMNI Berkeley untuk Indonesia, dan skenario dilema moral atau etika dilingkungan perbankan di Indonesia
Hasil penelitian yang diketemukan adalah (I) Ada beberapa nilai terminal dan nilai instrumental yang mcnunjukkan hubungan bermakna dengan pertimbangan moral maupun intensi moral (2) Tidak ada hubungan bermkna anrara tipe-tipe kepribadian dengan pertimbangan moral (3)Ada hubungan bermakna antara tipe kepribadian "Conscientious? dengan intensi moral (4) nilai personal bersama-sama dengan tipe kepribadian merupakan prediksi yang baik untuk pertimbangan moral maupun intensi moral.
Saran-saran yang dapat dianjurkan adalah (1) melakukan penelitian
lanjutan tentang perilaku moral baik dilingkungan perbankan maupun lingkungan pekerjaan lain untuk memberikan sumbangan pada pengembangan etika di Indonesia (2) melakukan pelatihan untuk meningkatkan nilai-nilai personal dan tipe-tipe kepribadian yang mendukung pertimbangan dan intensi moral antara lain
dengan metode self-confrontation terutama bagi para bankir. (3) Dalam
menempatkan pejabat pada posisi yang rawan pelanggran etika atau moral dapat dipilih orang yang memiliki nilai-nilai personal dan tipe-tipe kepribadian yang mendukung pcrilaku moral yang baik
"
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2000
T38307
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Olivia Musdalifah
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2001
S3064
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Thomas Aquino Tyas Primusanto
"ABSTRAK
Pembuatan skripsi merupakan sesuatu hal yang khas umumnya dikeijakan oleh mahasiswa untuk menyelesaikan studinya. Dalam pengeijaan skripsi ini, tentu saja mahasiswa menemui kesulitan-kesulitan yang biasanya menyangkut standar pengeijaan yang diciptakan oleh mahasiswa sendiri.
Walupun nilai dari hasil pengerjaan skripsi itu sendiri kecil, mahasiswa biasanya mengalami tekanan dalam pengerjaannya. Tekanan internal, yang berasal dari diri mahasiswa itu sendiri, biasanya berkaitan dengan standar waktu serta kualitas dari mahasiswa, dan juga kemandirian yang dituntut dari mahasiswa sesuai dengan taraf perkembangannya yaitu pada masa dewasa muda. Sedangkan tekanan ekstemal biasanya timbul dari keluarga dan teman, di mana dari lingkungan sosial tersebut muncul beliefbelief negatif mengenai keterlambatan dalam pengeijaan skripsi.
Kecemasan dapat timbul pada mahasiswa dari situasi yang mencakup tekanantekanan internal dan ekstemal tersebut. Hal ini dikarenakan bahwa pada dasarnya kecemasan dapat timbul dari perasaan seseorang bahwa performanya dievaluasi dan kegagalan adalah suatu hal yang mungkin teijadi (Atkinson, 1964). Selain itu ketidakjelasan situasi pada mahasiswa, seperti kurangnya data mengenai skripsi dan informasi-informasi penunjang lainnya, juga dapat menimbulkan kecemasan. Kecemasan pada mahasiswa memang tidak saja teijadi hanya pada saat pembuatan skripsi, tapi juga situasi-situasi lainnya. Namun yang membuat penelitian ini dirasa perlu adalah keterkaitan kecemasan mahasiswa dalam pembuatan skripsi dengan tipe kepribadiannya. Tipe kepribadian memiliki efek yang khas pada perilaku individu dalam situasi-situasi tertentu, seperti pada pembuatan skripsi ini. Dari penelitian ini, diharapkan dapat dilihat keterkaitan tipe kepribadian dengan tingkat kecemasan mahasiswa dalam pembuatan skripsi, di mana efeknya pada performa pembuatan skripsi dapat berupa cepat lambatnya proses pembuatan skripsi itu sendiri.
Tipe kepribadian yang digunakan dalam penelitian ini adalah tipe kepribadian yang diperkenalkan oleh Eysenck. Tipe kepribadian dari Eysenck ini meliputi tipe-tipe unstable introvert, unstable extrovert, stable introvert dan stable ekstravert. Tipe kepribadian Eysenck ini digunakan karena memang pada pengembangannya Eysenck juga meneliti fenomena kecemasan sebagai fiingsi dari tipe kepribadian. Asumsi Eysenck adalah bahwa tipe kepribadian introvert terasosiasikan dengan kecemasan. Sedangkan untuk dasar pengukuran kecemasan, dipergunakan konsep kecemasan dari Spielberger mengenai state dan trait anxiety. State anxiety pada penelitian ini aka dipergunakan untuk merepresentasikan kecemasan mahasiswa dalam pembuatan skipsi dan trait atrxiety merepresentasikan kecemasan mahasiswa dalam kehidupannya seharihari.
Tujuan penelitian ini adaiah untuk meneliti hubungan antara tipe kepribadian menurut teori kepribadian Eysenck dengan tingkat kecemasan mahasiswa dalam pembutan skripsi. Selain itu penelitian ini juga bertujuan untuk melihat perbandingan tingkat kecemasan yang ada antara mahasiswa sesuai dengan tipe kepribadiannya dalam proses pembuatan skripsi.
Alat ukur yang digunakan untuk pengklasifikasian/pengukuran tipe kepribadian adaiah Eysenck Personality Inventory. Sedangkan untuk mengukur tingkat kecemasan mahasiswa dalam pembuatan skripsi digunakan State-Trait Anxiety Inventory Form Y. Yang menjadi subyek penelitian ini adaiah mahasiswa berstatus aktif, tidak terancam Drop Out, berada pada masa dewasa awal, dan berada pada bab 2,3, atau 4 dalam pengeijaan skripsinya. Metode statistik yang digunakan adaiah t-test untuk melihat signifikansi perbedaan antara state dan trait anxiety, anova one way untuk melihat adanya perbedaan antara tipe kepribadian dalam hal kecemasan pada proses pembuatan skripsi serta F-test untuk melihat signifikansinya.
Pada akhirnya hasil penelitian ini menyatakan bahwa memang teijadi perbedaan yang signifikan antara tingkat kecemasan mahasiswa dalam pembuatan slaipsinya {state anxiety) dan tingkat kecemasan mahasiswa sehari-hari {trait atixiety). Hasil lainnya adaiah memang ada perbedaan antara tipe-tipe kepribadian dalam hal kecemasan pada proses pembuatan skripsi, dan tipe kepribadian unstable introvert\ah yang berbeda secara signifikan dengan tipe kepribadian lainnya dalam hal tingkat kecemasan dalam proses pembuatan skripsi. Hasil ini mengantar kepada beberapa kemungkinan penjelasan, yang salah satunya adaiah tipe kepribadian introvert, dalam hal ini unstable introvert, memang memilih situasi yang secara potensial membuatnya cemas.
Dari hasil-hasil penelitian ini, penulis memberikan beberapa saran. Beberapa di antaranya adaiah perlunya penelitian ini dilakukan secara purposif dan mendalam dengan metode kualitatif agar lebih dapat diketahui secara mendetail faktor-faktor dalam situasi pembuatan skripsi yang dapat menimbulkan kecemasan. Selain itu perlu diteliti lebih lanjut lagi mengenai sampai sejauh mana kecemasan dapat menurunkan atau justru meningkatkan kinerja mahasiswa dalam pembuatan skripsi. Dengan demikian dapatlah dipikirkan bentuk treatment yang tepat bagi tiap tipe kepribadian untuk dapat mengontrol tingkat kecemasannya.

"
2000
S2833
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mutiara Aisha Maghfira
"Remaja rentan mengalami masalah kesehatan mental karena banyak perubahan yang terjadi di fase ini, serta berkaitan erat dengan kemampuan penyesuaian diri remaja dalam menghadapi tantangan. Fleksibilitas kognitif berperan penting dalam penyesuaian diri remaja dan menarik untuk dieksplorasi karena pemikiran remaja ditemukan unik dibandingkan dengan tahapan perkembangan lainnya. Penelitian sebelumnya juga menemukan hasil yang belum konsisten antara hubungan fleksibilitas kognitif dan penyesuaian diri di konteks yang berbeda, kemungkinan karena adanya faktor lain yang memediasi kaitan di antara keduanya, yaitu resiliensi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran resiliensi sebagai mediator pada hubungan antara fleksibilitas kognitif dan penyesuaian diri remaja. Penelitian ini adalah penelitian cross-sectional, menggunakan instrumen Brief Adjustment Scale-6 (BASE-6) untuk mengukur penyesuaian diri, Cognitive Flexibility Inventory (CFI) untuk mengukur fleksibilitas kognitif, dan Resiliency Scales for Children and Adolescents (RSCA) untuk mengukur resiliensi. Partisipan dalam penelitian ini berjumlah 377 orang partisipan berusia 12─18 tahun. Hasil analisis mediasi menunjukkan bahwa resiliensi yang dilihat melalui sense of mastery dan emotional reactivity memediasi secara penuh hubungan antara fleksibilitas kognitif dan penyesuaian diri, sedangkan sense of relatedness memediasi secara sebagian hubungan antara keduanya. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar pengembangan intervensi berbasis resiliensi bagi remaja.

Adolescence is a critical period marked by numerous changes, making it a vulnerable phase for mental health problems. The ability of adolescents to adjust and cope with the challenges they face is crucial for their overall well-being. One cognitive aspect that has been suggested to play a significant role in their adjustment is cognitive flexibility, which intriguing to explore because adolescents’ thinking is found to be unique compared to other developmental stages. However, previous research has yielded inconsistent findings regarding the direct relationship between cognitive flexibility and adjustment in various contexts. This may be due to the presence of mediating factors, such as resilience, which also plays a vital role in adolescents' adjustment. The present study aims to investigate the mediating role of resilience in the association between cognitive flexibility and adolescents’ adjustment. To achieve this, a cross-sectional research design was employed, utilizing three standardized instruments: the Brief Adjustment Scale-6 (BASE-6) to assess adolescent adaptation, the Cognitive Flexibility Inventory (CFI) to measure cognitive flexibility, and the Resiliency Scales for Children and Adolescents (RSCA) to evaluate resilience. A total of 377 participants, aged between 12 and 18 years, were recruited for this study. The results of the mediation analysis revealed that resilience, as observed through its components, namely, sense of mastery and emotional reactivity, fully mediated the relationship between cognitive flexibility and adolescent adaptation. Moreover, the sense of relatedness partially mediated this relationship. The study's implications lie in the potential development of targeted interventions based on resilience to promote positive adjustment among adolescents."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ira Dhamayanti
"Tujuan utama penelitian ini adalah mendapatkan gambaran penyesuaian diri seorang duda "ketika menghadapi kematian istrinya. Diharapkan akan diperoleh gambaran mengenai proses tahapan grief, serta upaya-upaya yang dilakukan seseorang dalam rangka menyesuaikan diri dengan rentang emosi yang dialaminya. Penyesuaian diri disini dikaitkan dengan teori mengenai tahapan grief dimana seseorang dianggap sudah menyesuaikan diri apabija ia sudah mencapai tahap terakhir, yaitu tahap penyelesaian. Manfaat penelitian secara teoritis adalah selain menambah pengetahuan mengenai penyesuaian diri seorang duda dalam menghadapi kematian istrinya. Sedangkan manfaat praktis adalah membantu memperoleh gambaran mengenai dinamika proses penyesuaian diri tersebut.
Teori yang dijadikan acuan dalam penelitian ini adalah konsep tentang penyesuaian diri, bereavement, faktor-faktor yang berpengaruh, dan karakteristik usia tengah baya. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif , dimana peneliti tidak meramalkan hasil yang akan diperoleh. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif, dimana data yang diperoleh berbentuk data deskriptif dan mendetail. Teknik pengambilan data yang dipakai adalah wawancara mendalam ditunjang dengan observasi. Karakteristik subyek penelitian yang diambil adalah duda usia tengah baya dari usia 35 sampai 60 tahua, yang sudah menjalani masa bereavement berkisar antara 6 bulan sampai 2 tahun.
Hasil panelitian menunjukkan bahwa dalam menjalani penyesuaian din. duda mengalami tahapan dalam rentang emosi yang dialaminya, Tahapan tersebut adalah .ahap kemunduran, tahap menjalani. dan tahap resolusi . Tidak semua duda mengalami mhapan dan mniang emosi yang sama. Perbedaan tersebut dipengaruh, terutama oleh tiga faktor. yaitu Kualitas hubungan. kondisi kematian, dan dukungan sosial. Selain itu juga ada faktor sosiodemografis, krisis yang teqadi secara bersamaan, dan faktor kepribadian. Yang menarik dari penelitian ini adalah ditemukan faktor baru yang : mempengaruhi proses tahapan grief, yaitu usia anak.
Saran untuk penelitian ini ada dua macam, yaitu saran prakt.s dan saran teontis. Saran praktisnya yanrg. bh.i-scap ddiibbeerniKkaann add alah bahwa prose,s menjalani ,masa bereavement akan lebih mudah apabila emosi yang d.rasakan diekspresikan. Sedangkan saran teoritis adalah perlunya penggalian informasi mengenai tahapan grief secara lebih dalam. serta penelitian diadakan pada kelompok usia yang berbeda."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1999
S2584
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>