Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 127940 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Benny Hopman
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas mengenai perbedaan tender dan beauty contest. Beauty Contest sangatlah berbeda dengan tender sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 22 Undang-undang No. 5 Tahun 1999. Hal tersebut menyebabkan adanya perbedaan pendapat antara KPPU dengan para akademisi. Para akademisi menilai bahwa beauty contest bukanlah bagian dari Pasal 22 Undang-undang No. 5 Tahun 1999, dikarenakan beauty contest sifatnya yang subjektif. Namun KPPU berpendapat bahwa beauty contest termasuk ke dalam pengertian tender Pasal 22 Undang-undang No. 5 Tahun 1999. Pendapat KPPU ini dapat dilihat dalam Putusan No. 35/KPPU-I/2010 mengenai perkara Donggi-Senoro, dan Putusan No. 23/KPPU-L/2007 mengenai kasus Pembangunan Pasar Melawai Blok M. Dalam perkara-perkara tersebut, KPPU menggunakan ketentuan Pasal 22 Undangundang No. 5 Tahun 1999.
Skripsi ini dibuat dengan metode penelitian yuridis normatif ini menyimpulkan bahwa beauty contest berbeda dengan tender terutama tender dalam Pasal 22 Undang-undang No. 5 Tahun 1999 tersebut, sehingga KPPU tidak berwenang dalam memutus perkara mengenai pencarian mitra kerja melalui konsep beauty contest.

ABSTRACT
This thesis discusses about the differences between tender and beauty contest. Beauty Contest is very different from tender as referred to Article 22 of Act No. 5, 1999. This causes a difference of opinion between the Commission and the academics. The academics considered that the beauty contest is not part of Article 22 of Law. 5, 1999 about Competition Law, due to the subjective nature of beauty contest. However, the Commission for The Supervision of Business Competition (KPPU) believes that the beauty contest, including the tender within the meaning of Article 22 of Act No. 5, 1999. These KPPU's opinion can be found in Decision No. 35/KPPU-I/2010 on Donggi-Senoro case, and Decision No. 23/KPPU-L/2007 the case Melawai Market Development Block M. In these matters, the Commission uses the provisions of Article 22 of Law. 5, 1999.
This thesis is made by the method of juridical normative study concluded that in contrast to the beauty contest and tender especially tender in Article 22 of Act No. 5, 1999, so the Commission is not authorized in deciding the case on searching partners through the concept of beauty contest."
2012
S42946
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Dinda Aprianty
"Persekongkolan tender menjadi salah satu isu penting dalam Hukum Persaingan Usaha di Indonesia. Dalam Position Paper KPPU Terhadap Perkembangan Sektor Jasa Konstruksi tercatat bahwa sekitar 80% dari seluruh kasus yang ditangani oleh KPPU merupakan kasus persekongkolan tender. Salah satu kasus yang terkait dengan persekongkolan tender adalah kasus Proyek Donggi-Senoro. Dalam proyek tersebut, dalam proses pemilihan mitra dilakukan melalui beauty contest, menurut KPPU, beauty contest sama dengan tender yang dimaksud dalam Pasal 22 UU No. 5 Tahun 1999, namun menurut berbagai para pihak, antara pemilihan mitra melalui beauty contest dan tender tersebut berbeda, sehingga menimbulkan adanya perbedaan pendapat antara keduanya. Putusan kasus ini terdapat dalam Putusan KPPU Nomor: 35/KPPU-I/2010, yang kemudian diperkuat oleh Pengadilan Negeri dalam Putusan Nomor: 34/PDT.G/KPPU/2011/PN.JKT.PST. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian adalah yuridis normatif. Istilah tender diatur didalam Pasal UU No. 5 Tahun 1999, akan tetapi istilah beauty contest tidak terdapat dalam UU No. 5 Tahun 1999. Pemilihan mitra juga tidak masuk di dalam ruang lingkup Pasal 22 UU No. 5 Tahun 1999, karena pemilihan mitra adalah pemilihan calon partner untuk membangun suatu usaha, bukan mengenai pengadaan barang/ jasa. KPPU bukanlah merupakan lembaga yudisial, sehingga tidak dapat memperluas ruang lingkup suatu undangundang. Apabila dikaitkan dengan hukum perseroan, pemilihan mitra dianggap sebagai business judgement yang dapat dilakukan oleh Direksi. Sehingga proses pemilihan mitra melalui beauty contest tidak dapat dianggap sebagai tender yang ada dalam Pasal 22 UU No. 5 Tahun 1999.

Bid rigging is one of the important issues in Competition Law in Indonesia. In the Position Paper Sector Development Commission Against Construction Services noted that roughly 80% of all cases handled by the Commission are bid rigging cases. One of the cases which related to bid rigging is Donggi – Senoro case. In this project, the partner selection process is done by a beauty contest, according to the Commission, the beauty contest is similar to tender which is referred to in Article 22 of Act No. 5, 1999, however, according to various parties, partner selection through the beauty contest is different with tender, which results different point of views between those two. The verdict of the case is contained in the Commission's Decision No. 35/KPPU-I/2010, which is then amplified by the District Court in its Decision Number: 34/PDT.G/KPPU/2011/PN.JKT.PST. The research method used in this thesis is juridical normative study. The term tender is regulated under Act. 5, 1999, however, the term a beauty contest is not contained in Act No. 5, 1999. In addition, the selection of partners is not also regulated in Article 22 of Act No. 5, 1999, as this selection is meant to select business partner candidates, to build a joint venture, not to provide goods/ services. Commission is not a judicial body, so it cannot widen the scope of the legislation. If the law is associated with the company law, partner selection is considered as a business judgment that can be made by the Board of Directors. So, the partner selection process through a beauty contest cannot be regarded as a tender under Article 22 of Act No. 5, 1999."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T38726
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Suci Ratnaningsih
"Skripsi ini membahas mengenai penerapan substantive test sebagai bentuk penilaian yang dilakukan oleh otoritas pengawas persaingan usaha di berbagai Negara untuk menilai apakah suatu merger dapat berdampak terhadap persaingan atau tidak. Ada tiga jenis substantive test yang dikenal di dunia, yaitu Market Dominance Test, Substantial Lessening Competition Test atau Significant Impediment to a Competition Test dan Public Interest Test. Penilaian merger dituangkan dalam sebuah merger guidelines yang dikeluarkan oleh otoritas persaingan yang memuat berbagai kriteria penilaian merger. Merger dua raksasa petrokimia Indonesia yang merupakan anak perusahaan PT. Barito Pacific Tbk., PT. Chandra Asri dan PT. Tri Polyta Indonesia Tbk. mengakibatkan threshold yang sangat besar sehingga banyak kalangan menilai merger kedua pelaku usaha ini dapat berdampak terhadap persaingan.

This thesis discusses about the application of substantive tests as a form of assessment conducted by business competition supervisory authorities in various countries to assess whether a merger may affect competition or not. There are three types of substantive tests which is well-known in the world, namely the Market Dominance Test, Substantial Lessening Competition Test atau Significant Impediment to a Competition Test and Public Interest Test. Assessment of the merger set forth in a merger guidelines issued by competition authorities that includes a variety of merger assessment criteria. Merger of two giant petrochemical Indonesia, which is a subsidiary of PT. Barito Pacific Tbk., PT. Chandra Asri and PT. Tri Polyta Indonesia Tbk. resulted in a very large number of its threshold, so many people thinks that there should be an assessment merger towards them because their merger plan can give an impact on competition. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
S318
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Cindy Nova
"ABSTRAK
Sulitnya pembuktian kartel, terutama di Indonesia diyakini karena para pelaku usaha berada dalam pasar yang oligopoli dan berkolusi secara diam-diam. KPPU pada tahun 2010 mengeluarkan pedoman yang sangat baru berkaitan dengan Kartel dengan mengadopsi suatu program yang telah lama dikenal di negara-negara maju lainnya, yaitu Leniency Program. Namun, Leniency Program yang dikeluarkan KPPU pada tahun 2010 yang berbentuk pedoman, memiliki hambatan dalam pelaksanaannya terkait dengan payung hukum yang menaunginya.

ABSTRACT
The difficulties of proving cartel availability especially in Indonesia is believed because the entrepreneurs are competing in an oligopoly market and they are making tacit collusion among others. Indonesian Competition Authority (KPPU) has recently in the year of 2010 issuing a new Guidelines regarding Cartel by adopting a program called Leniency Program, which had been known for long in other countries. However, The Guidelines which issued by KPPU in 2010 has some obstacles regarding the law enforcement since it has no law basis to be enforced. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
S403
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Hasudungan, Archie Michael
"Skripsi ini membahas bagaimana pendekatan yang digunakan KPPU dan otoritas penegakan hukum persaingan usaha lainnya dalam memeriksa perkara-perkara yang berkaitan dengan ketentuan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis-normatif menggunakan data sekunder. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan pendekatan yang berbeda dalam penerapan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dapat menghasilkan putusan yang berbeda. Pendekatan yang lebih tepat untuk diterapkan adalah Rule of Reason. Di dalam menggunakan pendekatan Rule of Reason, KPPU dan otoritas penegakan hukum persaingan usaha lainnya perlu membuktikan unsur tambahan. Pertama, unsur perilaku penyalahgunaan posisi dominan yang dibuktikan dengan mengacu pada ketentuan Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 atau pada tindakan anti-persaingan lainnya. Kedua, unsur dampak negatif terhadap persaingan yang dilakukan dengan menilai pengaruh pemilikan saham mayoritas atau pendirian beberapa perusahaan sejenis terhadap: (a) tingkat kompetisi di pasar bersangkutan; (b) price leadership; (c) excessive pricing; (d) excessive profit; dan (e) kerugian konsumen.

This Thesis answers the problem of how is the approach that KPPU and other antitrust law authorities used in examining cases involving Article 27 Law Number 5 Year 1999. This research is a normative legal research using secondary data. The result of this research shows that applying different approaches in cases involving Article 27 Law Number 5 Year 1999 could resulting in different decision. Rule of Reason is the more suitable approach to be applied in such cases. In applying Rule of Reason, KPPU and other antitrust law authorities have to prove additional factors. First, the abuse of dominant position, be evidenced by referred to Article 25 (1) Law Number 5 Year 1999 or other anti-competition acts. Second, negative impact on competition in the relevant market, be evidenced by judging the effect of majority shareholding or establishment of similar companies towards: (a) competitiveness in the relevant market; (b) price leadership; (c) excessive pricing; (d) excessive profit; and (e) consumers loss."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S44815
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Liza Mashita Ramadhania
"Bahwa pada dasarnya setiap negara memerlukan adanya peningkatan dalam pembangunan infrastruktur. Oleh karena itu, pemerintah membuka kemitraan dengan swasta untuk dapat terlibat melakukan pembangunan infrastruktur, yang mana lazim dilakukan dengan proses pengadaan barang dan/atau jasa dengan metode tender. Namun kenyataanya, banyak adanya indikasi persekongkolan tender dengan menggonakan metode tender terbatas. Oleh karena itu, perlu diketahui bagaimana hukum di Indonesia mengatur tender terbatas dalam hal tindakan persekongkolan tender dan bagaimana metode pembuktian yang perlu diterapkan dalam rangka membuktikan persekongkolan tender terbatas. Metode penelitian yang dilakukan adalah yuridis normatif dengan data sekunder. Adapun teori yang diguanakn dalam penelitian ini adalah teori persekongkolan tender dan teori pengadaan barang dan/atau jasa. Adapun hasil penelitian ini adalah telah ditemukan banyak negara-negara yang telah memberikan pemahaman atas metode tender terbatas, namun fakta nya di Indonesia belum ada peraturan definitif mengenai tender terbatas tersebut. Absennya definisi dan juga kekosongan hukum atas tender terbatas ini akan menimbulkan kerancuan dan ambiguitas dalam pelaksanaan tender. Sehingga hal ini justru rentan dengan adanya praktik kecurangan dan persekongkolan tender. Dalam hal pembuktian, faktanya sampai saat ini masih terdapat kesulitan untuk melakukan pembuktian atas kasus persekongkolan tender, khususnya tender terbatas. Oleh karena itu, penting bagi pengawas persaingan usaha untuk dapat menerapkan pembuktian dengan pendekatan indirect evidence. Dari hasil penelitian tersebut, peneliti menyarankan agar disusun sebuah peraturan perundang-undangan yang komprehensif terkait dengan pengawasan persekongkolan tender terbatas, agar tidak terjadi kekosongan hukum yang menyebabkan adanya kerancuan dan ambiguitas.

In general, every country needs an escalation of the infrastructure development. Therefore, the government will make partnerships with the private sector involving the infrastructure development, which is usually done through the process of goods and/or service procurement using a tender method. However, in practice, there are many indications of bid rigging or collusion using the limited tender method. Therefore, it is necessary to know how the law in Indonesia regulates limited tenders in terms of tender conspiracy actions and what methods of evidentiary to apply in order to prove limited tender conspiracy. The research method used is normative juridical with secondary data. The theory used in this study is the tender conspiracy/bid rigging theory and the theory of procurement of goods and/or services. The results of this research are that many countries have provided an understanding of the limited tender method, but the fact is that in Indonesia, there are no definitive regulations regarding the limited tender. The absence of a definition as well as a legal vacuum for this limited tender will lead to confusion and ambiguity in the implementation of the tender. Therefore, this circumstances is actually resistance to the existence of fraudulent practices and tender conspiracy. In terms of evidence, the fact is that until now there are still difficulties in proving cases of tender conspiracy, especially limited tenders. Therefore, it is important for business competition authorities to be able to apply evidence using the indirect evidence approach. From the results of this study, the researcher suggests that a comprehensive legislation related to the supervision of limited tender conspiracy is applied, so that there is no legal vacuum that causes confusion and ambiguity."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Achmad Firmansyah
"Pengadaan barang/jasa pemerintah tidak terlepas dari ketentuan yang ada dalam peraturan presiden nomor 54 tahun 2010. Dalam peraturan tersebut jelas mengatur tentang mekanisme tender dan kelesuruhan hal mengenai pelaksanaan tender untuk memilih penyedia barang/jasa. Dalam perkara tender pengadaaan e-KTP di lingkungan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil, Kementrian Dalam Negeri tahun anggaran 2011-2012, terdapat berbagai permasalahan yang berdasarkan putusan KPPU nomor 03/KPPU-L/2012 berujung pada persekongkolan tender, dimana salah satu dugaan pelanggaran yang mengindikasikan adalah post bidding activity. Majelis Komisi kemudian dalam putusannya memutus untuk menghukum para Terlapor atas terjadinya persekongkolan tender sebagaimana diatur dalam pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 atas dasar salah satu dugaan yang ada, yaitu post bidding activity.. Dengan melihat persoalan tersebut, maka kemudian perlu untuk menjabarkan lebih jelas unsur dari post bidding activity dan persekongkolan tender sebagaimana diatur dalam UU nomor 5 tahun 1999 dan Perpres nomor 54 tahun 2010 demi terciptanya penegakan hukum persaingan yang sehat di Indonesia.

Procurement of Government's good/services can't be separated from the provision of the Presidential rule no. 54 year 2010. The mecanism of selecting the good/servies provider is clearly stipulated witihin the provision. In the case of electronic citizenship card procurement in directorate general of occupation and civil registar, Ministry of domestic affairs budjet year 2011-2012. There are several issues under the Commission's desicion number 03/KPPU-l/2012 that leads to bid rigging in which post post bidding activity is one of the issues. In the Commission in comission's desicion adjudicat to punish the defendant's upon the bid rigging activity which are dealt with Law number 5 year 1999, especially for the post bidding indication. Acknowledging the issues, it is necessary for us to clearly define the elements of bid rigging and post bidding activity set forth in Law number 5 Year 1999 in order to execute a fair business law in Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Benavita Aprilia Kurnia
"Gun Jumping merupakan suatu istilah yang menggambarkan aktivitas pelaku usaha yang seolah-olah transaksi merger yang dilakukannya sudah berlaku secara sah dan efektif di mata hukum walaupun pada kenyataannya merger tersebut belum disetujui oleh otoritas persaingan usaha karena masih dalam proses peninjauan notifikasi merger. Gun Jumping merupakan suatu pelanggaran yang hanya terjadi pada negara yang menganut sistem notifikasi pra-merger atau pra-notifikasi seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa. Di Indonesia, tidak dikenal istilah Gun Jumping karena sistem notifikasi yang berlaku saat ini ialah pasca-notifikasi atau post-notifikasi. Pada perkembangan saat ini, pasca-notifikasi dipandang sebagai sistem notifikasi yang sudah tidak kontekstual dengan perkembangan zaman dan memiliki banyak kekurangan. Dengan adanya rencana untuk melakukan amandemen UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat maka diharapkan terjadi perubahan pada sistem notifikasi Indonesia dari pasca-merger notifikasi menjadi pra-merger notifikasi. Usulan perubahan ini merupakan hal yang wajar karena dapat memberikan kepastian hukum terutama bagi pelaku usaha. Apabila nantinya amandemen UU No. 5 Tahun 1999 telah disetujui, maka Gun Jumping akan menjadi salah satu permasalahan yang mungkin akan terjadi sebagai pelanggaran yang dilakukan pelaku merger sebelum merger disetujui oleh otoritas persaingan usaha. Selanjutnya, berhubungan dengan metode pada penelitian ini menggunakan metode yuridis-normatif dan kepustakaan. Serta saran yang penulis berikan terhadap penelitian ini adalah dengan secara konsisten mematuhi dan menjalankan setiap prosedural yang berkaitan dengan ketentuan gun jumping.

Gun Jumping is a term that describes the activity of merging parties as if their merger transaction has been valid and effective on law provision, in fact the merger has not approved by the competition commission because it is still in the process of reviewing merger notification. Gun Jumping is a violation that only occurs in countries that have a pre-merger notification system, for example United States of America and European Union. In Indonesia with its post-notification system, the term of Gun Jumping is not familiar. Post-notification system in these era is considered out of context and has many shortcomings. With the plan to amend Law of The Republic of Indonesia No. 5 of 1999 concerning The Ban on Monopolistic Practices and Unfair Business Competition, it is expected that there will be a change in Indonesia notification system from post-merger notification to pre-merger notification. This change is a reasonable because it can provide legal security, especially for merging parties. If the amendments of Law of The Republic of Indonesia No. 5 of 1999 has been approved, gun jumping is one of the problems that may occur as a violation that committed by the merging parties before the merger is approved by the competition commission. Futhermore, the method that author used for this research is juridical-normative and literature. For recommendation that author used for gun jumping problems is to consistently obey every procedure and rules that related to gun jumping provision."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Violla Brazzy Upoyo
"Tesis ini membahas mengenai Perubahan Perilaku Pelaku Usaha dalam Penanganan Perkara di Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Sejak berlakunya Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 1 tahun 2019, perubahan perilaku pelaku usaha menjadi salah satu kesempatan bagi pelaku usaha dengan melakukan perubahan perilaku sebagai salah satu bagian penanganan perkara di Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Perubahan perilaku sebagai komitmen dari pelaku usaha dituangkan dalam bentuk Pakta Integritas yang pelaksanaannya merupakan objek pengawasan dari Komisi yang dilaksanakan oleh unit kerja yang menangani penyelidikan. Tidak hanya di Indonesia, adapun negara-negara lain yang menerapkan komitmen mengenai perubahan perilaku pelaku usaha salah satunya adalah Jerman dan United Kingdom. Perubahan perilaku yang dikenal dengan istilah Commitment Decision menerapkan bahwa komitmen dapat dinegosiasikan ulang, diganti atau bahkan dilepaskan secara konsensual atau untuk keuntungan perusahaan terkait bahkan di luar ketentuan ekspisit yang mengatur pembukaan kembali prosedur. Berbeda dengan perubahan perilaku pelaku usaha yang diatur di Indonesia dimana pelaku usaha lah yang mengajukan namun kesempatannya ditawarkan oleh KPPU sebagai lembaga yang memiliki kewenangan untuk menawarkan perubahan perilaku kepada terlapor atau tidak sedangkan di Jerman maupun United Kingdom komitmen perubahan perilaku diajukan oleh terlapor. Indonesia sebaiknya mengadopsi tentang penerapan perubahan perilaku yang berlaku di EU dimana apabila sebagian dari terlapor yang diduga melanggar ketentuan UU No. 5/1999 hendak melakukan perubahan perilaku diberi kesempatan dan/atau diakomodasi. Akomodasi atas good faith tersebut dapat diterapkan pula dalam keringanan sanksi yang dijatuhkan jika perkara berlanjut ke tahap pemeriksaan lanjutan. Terkait dengan Pakta Integritas sebaiknya dibuka untuk dapat diakses oleh publik sehingga publik memiliki kesempatan untuk menilai pelaksanaan dari Pakta Integritas. Untuk segi pengawasan sebaiknya jangka waktu pengawasan akan pelaksanaan Pakta Integritas diperpanjang guna memberikan waktu yang cukup bagi pelaku usaha menunjukkan niat baiknya.

This thesis discusses the Changes in the Behavior of Business Actors in Handling Cases at the Commission for the Supervision of Business Competition. Since the enactment of the Regulation of the Commission for the Supervision of Business Competition Number 1 of 2019, changes in the behavior of business actors have become an opportunity for business actors to change their behavior as part of handling cases at the Commission for the Supervision of Business Competition. Changes in behavior as a commitment from business actors are outlined in the form of an Integrity Pact whose implement ation is the object of supervision from the Commission carried out by the work unit handling the investigation. Not only in Indonesia, as for other countries that have implemented commitments regarding changes in the behavior of business actors, one of which is Germany and the United Kingdom. The change in behavior known as the Commitment Decision applies that commitments can be renegotiated, replaced or even released consensually or for the benefit of the company concerned even outside the explicit provisions governing the reopening of the procedure. It is different from changes in the behavior of business actors which are regulated in Indonesia where it is the business actors who propose but the opportunity is offered by the KPPU as an institution that has the authority to offer behavior changes to the reported party or not, while in the UK and Germany the commitment to change behavior is proposed by the reported party. Indonesia should adopt the implementation of behavior change that applies in the EU where if some of the reported allegedly violating the provisions of Law no. 5/1999 wishing to change behavior is given the opportunity and/or accommodated. Accommodation on good faith can also be applied in the relief of sanctions imposed if the case proceeds to the advanced examination stage. Regarding the Integrity Pact, it should be opened to be accessible to the public so that the public has the opportunity to evaluate the implementation of the Integrity Pact. In terms of supervision, it is advisable to extend the period of supervision over the implementation of the Integrity Pact in order to provide sufficient time for business actors to show their good intentions."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bobby Rahdyan Andhika Notokoesoemo
"Skripsi ini membahas mengenai penilaian terhadap Perjanjian Lisensi Patent Pooling terkait dengan aspek-aspek hukum persaingan usaha. Kondisi semakin banyaknya teknologi yang diberikan Paten dan dimiliki oleh banyak Pemegang Paten, berpotensi menyulitkan banyak pihak untuk mengembangkan teknologi baru karena terhalang oleh Paten-Paten lain yang saling menghambat (blocking). Perjanjian Lisensi Patent Pooling merupakan salah satu solusi untuk menyelesaikan masalah tersebut karena Perjanjian Lisensi Patent Pooling dapat mengintegrasikan teknologi-teknologi yang saling terkait, mengurangi biaya transaksi, menghilangkan Paten-Paten yang menghambat (blocking), dan mengurangi biaya sengketa di pengadilan. Namun demikian, Perjanjian Lisensi Patent Pooling adalah suatu bentuk perjanjian di antara banyak pihak yang juga berpotensi menjadi bersifat anti persaingan dalam kondisi-kondisi tertentu. Pengaturan mengenai pedoman penilaian terhadap Perjanjian Lisensi Patent Pooling di Indonesia masih belum diatur secara jelas, lengkap, dan komprehensif di dalam Peraturan KPPU No. 2 Tahun 2009. Karenanya, KPPU perlu membandingkan dan mengadaptasi pengaturan mengenai penilaian terhadap Perjanjian Lisensi Patent Pooling dengan pengaturan di Amerika Serikat.

This thesis discusses the assessment on Patent Pooling License Agreement with respect to the antitrust regulation. The increasing number of patented technologies that is owned by many patent holders could potentially complicate many parties to develop new technology because it can block each other. Patent Pooling License Agreement is one of the solution to overcome the condition because it can integrate technologies interrelated, reduce transaction costs, eliminate blocking patent, and reduce the costs of future disputes in court. However, Patent Pooling License Agreement is a form of agreement among many parties that can also be potentially anti-competitive under certain conditions. Regulations regarding guidelines to assess Patent Pooling License Agreements in Indonesia has yet to be arranged in a clear, complete, and comprehensive state in the KPPU Regulation No. 2 Year 2009. Therefore, KPPU should compare and adapt regulations regarding the assessment of Patent Pooling License Agreement based on regulations in the United States. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S57132
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>