Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 37134 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Riani Ayuningtyas
"ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan bentuk-bentuk representasi
Vladimir Putin sebagai kandidat presiden Rusia pada Pemilu 2012 dalam berita
politik, khususnya dalam bentuk teks, oleh media online Pravda.ru. Teks-teks
yang dianalisis adalah sumber data yang dimuat pada masa Pra-pemilu yang
dimulai dari 27 November 2011 hingga 3 Maret 2012. Penelitian ini
menggunakan teori yang ditulis oleh Norman Fairclough: Analisis Wacana Kritis
(2003) dan M.A.K Halliday: Tata Bahasa Fungsional (1994) dan Konteks Situasi
(1989) untuk mengungkapkan tujuan penelitian ini. Berdasarkan proses analisis
dapat disimpulkan bahwa sebagian besar bentuk representasi Vladimir Putin
terkait dengan posisinya dalam pemerintahan, khususnya sebagai Presiden
Federasi Rusia selama dua masa berturut-turut (2000-2008), dan Perdana Menteri
Federasi Rusia (2008-2012). Berdasarkan hal tersebut, bentuk-bentuk representasi
Vladimir Putin pada sumber data dipengaruhi oleh kekuasaan.

ABSTRACT
The aim of this study is to reveal the representation forms of Vladimir Putin as
The Russian Presidential Candidate in 2012 Election in political news, specifically
in the text form, by online media Pravda.ru. The texts that are analyzed are the
data sources that posted during pre-election day that is from 27th November 2011
until 3rd March 2012. This study using theories written by Norman Fairclough:
Critical Discourse Analysis (2003) and by M.A.K Halliday: Context of Situation
(1989) and Functional Grammar (1994) in order to reveal the aim of this study.
Based on the analysis, most of the representation forms for Vladimir Putin related
to his positions in government, especially as the president of Russian Federation
for two terms consecutively (2000-2008) and the prime minister of Russian
Federation (2008-2012). Therefore, the representation forms of Vladimir Putin in
data sources are strongly connected to power."
Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2012
S42537
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Dimas Erwan Atmaja
"ABSTRAK
Kebijakan-kebijakan Putin yang cenderung kontra demokrasi dan tetap
tingginya popularitas Putin di Federasi Rusia merupakan konsekuensi dari habitus
yang ada pada Putin. Kapital-kapital yang sejak era Soviet tertanam dalam diri
Putin membuat kebijakan-kebijakan yang Putin keluarkan merupakan tendensi
dari habitus yang tertanam pada Putin. Penelitian ini menggunakan desain
deskriptif-analitis dengan penerapan teori praktik sosial Pierre Bourdieu. Hasil
penelitian menjelaskan bahwa habitus merupakan pengaruh dari kebijakankebijakan
yang dikeluarkan oleh Putin di Federasi Rusia.

Abstract
Putin?s policy which is tend to against democracy and Kebijakankebijakan
Putin yang cenderung kontra demokrasi dan tetap tingginya popularitas
Putin di Federasi Rusia merupakan konsekuensi dari habitus yang ada pada Putin.
Kapital-kapital yang sejak era Soviet tertanam dalam diri Putin membuat
kebijakan-kebijakan yang Putin keluarkan merupakan tendensi dari habitus yang
tertanam pada Putin. Penelitian ini menggunakan desain deskriptif-analitis dengan
penerapan teori praktik sosial Pierre Bourdieu. Hasil penelitian menjelaskan
bahwa habitus merupakan pengaruh dari kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan
oleh Putin di Federasi Rusia."
Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2012
S43660
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Monica Dian Adelina
"Sentralisme Demokratik pertama kali dipakai di Rusia sebagai dasar pemerintahan negara pada masa Lenin. Sistem ini dipilih karena di dalamnya terdapat apa yang disebut dengan ?kebebasan berdiskusi dan kesatuan aksi? yang dianggap Lenin paling sesuai sebagai dasar pemerintahan negara. Sentralisme Demokratik menjadi semacam doktrin resmi bagi pemimpin Uni Soviet setelah Lenin. Sistem ini sempat hilang pada masa Nikita Khruschev namun kembali ditegaskan dalam Konstitusi Soviet 1977 pada masa Leonid Brezhnev. Pada masa Mikhail Gorbachev dan Boris Yeltsin, sistem ini benar-benar hilang dan digantikan oleh sistem Demokratik Liberal. Sentralisme Demokratik baru kembali digunakan pada masa Vladimir Putin. Sistem ini terbukti berhasil mengatasi krisis ekonomi yang terjadi sejak runtuhnya Uni Soviet.
Democratic centralism has been used at the first time in Russia as the basic of governance in the Lenin era. This system has been choosen because it?s contains "freedom in discussion and unity in action" that Lenin considered most appropriate as a basic for state government. Democratic centralism becomes such as official doctrine for Soviet leaders after Lenin. This system doesn?t exist during the Nikita Khruschev era but during the Leonid Brezhnev era, it?s listed in 1977 Soviet Constitution. At Mikhail Gorbachev and Boris Yeltsin era, this system is completely doesn?t exist and replaced by the Liberal Democratic system. This system once again used in the Vladimir Putin era. In fact, this system has been success to fix economic crisis after the fall of Soviet Union."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2009
S15098
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Archellie, Reynaldo de
"Nasionalisme Pragmatis Pemerintahan Pertama Vladimir Vladimirovich Putin Tahun 2000-2004. (Di bawah bimbingan Dr. Zeffry Alkatiri). Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2007. Nasionalisme pragmatis merupakan sebuah kajian tentang upaya-upaya yang dilakukan sebuah pemerintahan untuk menjaga kedaulatan bangsanya dalam beberapa kasus berusaha membangkitkan kembali kejayaan masa lalu. Upaya-upaya tersebut dilakukan dalam metode pragmatis yang tidak terikat dogma dan ideologi. Tujuan yang hendak dicapai adalah keuntungan paling optimal bagi bangsa dengan memanfaatkan berbagai kebijakan strategis, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Hal telah dijalankan oleh pemerintahan Vladimir Vladimirovich Putin pada periode pertamanya tahun 2000-2004 di Republik Federasi Rusia.
Nasionalisme menurut Ernest Gellner pada dasarnya merupakan doktrin politik yang menuntut pertautan (kongruensi) antara unit sosial (bangsa dan unit politik (negara). Nasionalisme muncul dengan Cara yang berbeda-beda di setiap masyarakat tergantung pads nilai-nilai budaya setempat. Nasionalisme Rusia dalam setiap periode sejarahnya selalu tampil dalam bentuk nasionalisme pemerintahan (official nationalism). Hal ini terkait dengan upaya pemerintah Rusia untuk memposisikan bangsa Rusia di tengah-tengah alur evolusi sejarah dunia yang lebih banyak didominasi oleh bangsa-bangsa Eropa. Setiap upaya ini selalu menandakan corak pragmatis. Tujuannya adalah pengakuan eksistensi bangsa Rusia oleh bangsa-bangsa lain, khususnya Eropa.
Pragmatisme menurut Charles Sanders Peirce merupakan sebuah metode penalaran (method of logic). Pragmatisme disebut sebagai sebuah metode karena ia bukanlah jawaban atas pertanyaan-pertanyaan kehidupan manusia. Ia tampil sebagai alat untuk mencari jawaban dengan menggunakan berbagai pemikiran (ide). Pembuktian pragmatisme dapat dilakukan melalui tindakan konkret. Sebuah ide dapat dikatakan berhasil jika si pelaku tindakan telah memperoleh manfaat dari tindakannya. Jika manfaat telah diperoleh oleh si pelaku, maka sebuah ide memperoleh nilai kebenaran menurut pragmatisme.
Penggunaan terminologi pragmatis secara resmi diterapkan Putin dalam menjalankan setiap kebijakannya, terutama kebjakan-kebijakan luar negeri. Hal ini dapat dilihat dalam naskah pidato pengangkatan dirinya sebagai presiden Rusia terpilih, 7 Mei 2000; pidato resmi pertama Putin di depan parlemen (Duma), 8 Juli 2000; pidato resmi kedua Putin di depan Duma, 3 Juli 2001; dan dalam Konsep Kebijakan Luar Negeri Federasi Rusia yang dirilis tanggal 28 Juni 2000.
Nasionalisme dan pragmatisme seharusnya tidak dapat dipadukan dalam sebuah konsepsi baru karena pertentangan nilai yang dikandung kedua konsep tersebut. Hal yang paling mencolok adalah nilai-nilai demokaasi dan individualisme yang dikandung pragmatisme. Upaya mempertahankan kedaulatan sebuah bangsa lebih sering menempuh cara-cara yang tidak demokratis. Hal ini menjadi ciri khas bangsa Rusia dalam menjaga eksistensinya. Di lain pihak, bangsa Rusia merupakan bangsa yang memiliki tradisi kolektivisme. Artinya, demokrasi model Barat tidak akan pernah cocok diterapkan pada masyarakat Rusia. Namun, kajian ini mencoba untuk menggabungkan nasionalisme dengan sifat umum pragmatisme, yaitu asas manfaat. Hal ini dilakukan Putin mengingat situasi dalam negeri Rusia yang mulai mengarah pada kehancuran tatanan sosio-politik setelah kegagalan Yeltsin dalam mengelola demokratisasi pada dekade 1990-an. Kebijakan-kebijakan strategis Putin dalam kerangka konsep nasionalisme pragmatis terlihat dari upayanya untuk menjadikan Rusia sebagai kekuatan utama di wilayah Eurasia. Singkatnya, nasionalisme pragmatis merupakan doktrin politik yang mengharuskan pertautan bangsa dan negara dalam cara-cara yang mengedepankan asas manfaat demi kemajuan bangsa."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2007
S14876
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Utaryo Santiko
"Penelitian dalam tesis ini dimaksudkan untuk mengidentifikasi faktor¬faktor yang menyebabkan Pemerintah Republik Federasi Rusia mengeluarkan kebijakan luar negeri untuk membentuk Shanghai Cooperation Organization (SCO). Faktor-faktor dimaksud terdiferensiasi menjadi dua, yaitu faktor eksternal dan domestik.
Metode penelitian dalam penelitian ini mengambil bentuk penelitian eksplanatif karena bertujuan untuk menganalisa dan mengidentifikasikan faktor¬faktor yang menyebabkan kebijakan Rusia untuk membentuk SCO. Berdasarkan teknik pengumpulan data, penelitian ini merupakan studi dokumen atau literatur. Kerangka pemikiran yang digunakan dalam skripsi ini terdiri atas beberapa terori, yaitu teori perumusan kebijakan luar negeri, teori kepentingan nasional, teori kerjasama intemasional. Teori perumusan kebijakan luar negeri digunakan untuk menerjemahkan faktor-faktor domestik dan eskternal yang menyebabkan kebijakan luar negeri Rusia untuk membentuk SCO. Untuk menjawab permasalahan itulah teori Kalevi J. Holsti diperlukan.
Dalam tulisannya, Holsti mengemukakan faktor-faktor internal maupun eksternal beserta indikatomya untuk menjelaskan bagaimana suatu kebijakan luar negeri diambil oleh suatu negara. Diantaranya adalah pengaruh struktur internasionaI, tindakan yang dilakukan aktor lainnya, perekonomian dunia, atribut nasional yang dimiliki negara, dan lain sebagainya. Teori kepentingan nasional dan kerjasama internasional digunakan untuk mengetahui tujuan kebijakan luar negeri Rusia, kepentingan nasional Rusia, dan alasan-alasan yang menyebabkan negara tersebut merasa perlu untuk membentuk SCO.
Temuan di dalam penelitian ini menyimpulkan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan kebijakan Luar negeri Rusia untuk membentuk SCO, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, terdiferensiasi menjadi dua: faktor domestik dan faktor eksterbal. Faktor domestik juga terdiferensiasi menjadi dua, yaitu ancaman atas kepentingan nasional Rusia dalam sektor politik-keamanan yang berasal dari gerakan kelompok separatis etno-religius di Chechnya dan Dagestan, serta kepentingan ekonomi Rusia di Laut Kaspia. Faktor eksternal yang menyebabkan kebijakan luar negeri Rusia untuk membentuk SCO adalah: pertama, kepentingan Rusia di kawasan Asia Tengah, dan kedua, peranan dan kepentingan aktor-aktor eksternal di kawasan post-Soviet States.

This research is an attempt to identify factors that drove the Russian Federation decision to form the Shanghai Cooperation Organization (SCO) in 2001. This decision is an example of foreign policy. What are the Russian Federation government interests in the formation of SCO? What domestic pressure stands in? Is there any external pressure in the advent of this decision? Those are the main questions to be answered in this research. To answer those questions, I will use the foreign policy making model presented by KJ Holsti about external and internal factors in foreign policy making.
In his framework Holsti explains that foreign policy is influenced by international structure, actions taken by other actors, global economy, national attributes, and so on. In addition, I also use the concept of national interest and international cooperation to find out the goal of the Russian Federation in their decision to form the SCO.
By definition, this research is an explanatory research since it's seeks to analyze and identify the underlying factors behind the decision made by the Russian Federation. I'm employing literature study method in conducting this research.
In conclusion, I find out that there are a pairs of internal and external factors which stimulate the Russian Federation decision to build the SCO in 2001. The threat to the Russian Federation' security and politics that come from ethno¬religious movements of Chechnya and Dagestan is the first domestic factor in its decision to form the SCO."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2008
T24409
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Paulani
"Dalam menjadikan Rusia menjadi kekuatan Global, Rusia melakukan aneksasi terhadap Krimea pada 2014. Aneksasi Krimeaatau reunifikasi Rusia-Krimea ini menuai banyak kecaman, khususnya dari Group of Seven. Hal ini dianggap ilegal dan melanggar hukum yang berlaku. Berbagai macam media telah memberitakan mengenai kasus aneksasi Krimea ini, dapat dikatakan media menjadi peranan penting dalam menyampaikan pesan terhadap masyarakat luas. Penelitian ini menggunakan metode penelitian studi kasus dengan menerapkan teori geopolitik imperatif untuk mengidentifikasikan bagaimana strategi geopolitik mempengaruhi pandangan serta respon media nasional dan media internasional negara-negara Group of Seven. Hasil yang didapatkan, strategi geopolitik yang dilakukan Rusia cukup mempengaruhi pandangan media internasional Group of Seven dan kurang mempengaruhi pandangan media nasional Group of Seven.

In making Russia a global power, Russia annexed Crimea in 2014. The annexation of Crimea or reunification Rusia-Crimea has drawn a lot of criticism, especially from the Group of Seven. This act is considered illegal and violates applicable laws. Various media have reported about the Crimea annexation case, it can be said that the media has played an important role in conveying messages to the wider community. This research uses a case study method by applying imperatif geopolitical theory to identify how geopolitical strategies affect the views and responses of Group of Seven national media and international media. The results obtained, the geopolitical strategy carried out by Russia quite influenced the Group of Seven international media views and less influenced the views of the Group of Seven national media."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2021
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Donny Hermaswangi
"Gerakan etnonasionalisme Chechnya merupakan kajian tentang upaya-upaya yang dilakukan oleh kelompok etnis Chechnya dalam menuntut kedaulatan dan kemerdekaan wilayahnya dari bagian Republik Federasi Rusia. Upaya-upaya yang dilakukan tersebut merupakan bagian dari resistensi yang berumur ratusan tahun lamanya dan buntut dari ketidakpuasan atas kebijakan Rusia terhadap etnis mereka. Nasionalisme menurut Ernest Gellner pada dasarnya merupakan doktrin politik yang menuntut pertautan (kongruensi) antara unit sosial (bangsa dan unit politik (negara). Nasionalisme muncul dengan cara yang berbeda-beda di setiap masyarakat tergantung pada nilai-nilai budaya setempat. Nasionalisme Rusia dalam setiap periode sejarahnya selalu tampil dalam bentuk nasionalisme pemerintahan (official nationalism). Hal ini terkait dengan upaya pemerintah Rusia untuk memposisikan bangsa Rusia di tengah-tengah alur evolusi sejarah dunia yang lebih banyak didominasi oleh bangsa-bangsa Eropa. Setiap upaya ini selalu menandakan corak pragmatis. Etnonasionalisme menurut Peter M. Leslie adalah kebudayaan, dalam hal ini meliputi pencapaian artistik, alat dan gaya pernyataan diri, dan seluruh sistem nilai sosial-agama yang mendefinisikan sebuah komunitas-menjadi kontribusi pada sebuah masyarakat yang berbeda, hidup berdampingan dengan yang lainnya dalam batas-batas suatu negara. Dapat dikatakan bahwa etnonasionalisme merupakan bentuk solidaritas atau rasa komunitas yang berdasarkan etnisitas merujuk pada perasaan subyektif yang memisahkan satu kelompok tertentu dengan kelompok lain dalam sebuah komunitas. Gerakan etnonasionalisme yang muncul di Chechnya pada di masa akhir Uni Soviet berdiri bukanlah hasil dari glasnost dan perestroika, seperti layaknya yang terjadi di negara-negara bagian Uni Soviet pada pertengahan tahun 1980-an, melainkan hasil resistensi ratusan tahun melawan imperialisme Rusia. Sementara itu jika dilihat dari sejarahnya, terorisme merupakan sebuah gerakan politik karena pengakusisian serta penggunaan kekuatan yang bertujuan agar seseorang menyetujui apa yang diminta oleh para pembuat teror (teroris). Terosrisme mengembangkan lingkungan yang diselimuti perasaan takut dan intimidasi melalui sebuah serangan teroris, yang bertujuan untuk menciptakan atau mengambil-alih kekuasaan. Ciri khas dari para pembuat teror ini adalah mereka selalu membenarkan apa yang mereka lakukan dengan mengatakan bahwa mereka merasa terbuang atau frustasi karena suatu hal, seperti keinginan mereka ditolak oleh rezim yang berkuasa. Dalam pergerakan etnonasionalisme di Chechnya, agama juga memiliki peran yang besar pula sehingga tercipta suatu masyarakat yang kuat dalam satu kesatuan dua unsur tersebut. Perubahan arah pergerakan terjadi sebagai akibat yang ditimbulkan oleh sikap ekspansionis dan represif orang-orang Rusia sejak lama. Perubahan arah pergerakan tersebut rupanya menjadi sasaran empuk pemerintahan Rusia era Vladimir Putin yang cenderung pragmatis, terlebih karena dukungan bangsa-bangsa Barat pasca serangan 11 September 2001. Etnonasionalisme dan teroris menjadi ciri pergerakan mencapai kemerdekaan di Chechnya pada abad ke-21 ini. Upaya mempertahankan kedaulatan Rusia sebagai sebuah bangsa lebih sering menempuh cara-cara yang tidak demokratis. Hal ini menjadi ciri khas bangsa Rusia dalam menjaga eksistensinya. Kajiam ini mencoba untuk menganalisa kebijakan Putin terhadap reaksi yang ditimbulkan oleh dua unsure yang dihadapinya di Chechnya dalam menjaga stabilitas wilayahnya serta upaya menghindari menjadi Yugoslavia kedua. Singkatnya kebjakan yang telah dilakukan Putin tehadap Chechnya selama 5 tahun memerintah Rusia terbukti berhasil karena dua tahun belakangan ini Rusia tidak lagi menghadapi ancaman dari selatan tersebut."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2008
S14893
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Sabriana Jayaputri
"Masalah yang diteliti dalam skripsi ini adalah bagaimana kedudukan militer Rusia pada periode pertama pemerintahan Boris Yeltsin. Permasalahan ini ditinjau melalui latar belakang sejarah kemiliteran Rusia yang memberikan pengaruh terhadap kedudukan militer di masa Yeltsin. Tujuan dalam skripsi ini adalah untuk merekonstruksikan kedudukan militer Rusia di masa Yeltsin.
Dalam merekonstruksi, penulis menggunakan metode penelitian deskriptif-analitis serta histories komparatif untuk membandingkan kedudukan militer Rusia pada masa Uni Soviet, sehingga terdapat benang merah yang dapat dijadikan perbandingan. Berdasarkan rekonstruksi dalam skripsi ini penulis menyimpulkan bahwa kedudukan militer Rusia di masa Yeltsin berbeda dengan masa sebelumnya (Uni Soviet). Militer Rusia pada masa Yeltsin lebih dekat dengan politik dibandingkan masa sebelumnya. Kedekatan dengan politik tersebut diperlihatkan melalui salah satunya dalam Perang Chechnya 1994_1995, di mana militer Rusia terlibat dalam bisnis jual-beli senjata perang."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2007
S14878
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Subahagia Rendy Warman
"Penelitian ini membahas reaksi Pemerintah Rusia terhadap Referendum Krimea melalui Pidato Kenegaraan Presiden Vladimir Putin. Pembahasan yang dianalisis adalah teks pidato kenegaraan Presiden Vladimir Putin. Penelitian ini menggunakan teori Analisis Wacana Kritis oleh Norman Fairclough. Pada teori tersebut, penulis mengkaji pidato kenegaraan Presiden Vladimir Putin dari segi teks, discourse practice, dan sociocultural practice. Penelitian ini menyimpulkan bahwa reaksi Pemerintah Rusia melalui pidato kenegaraan Presiden Vladimir Putin adalah untuk mengakui dan menyetujui Krimea kembali bergabung dengan Rusia melalui unsur sejarah dan perdamaian.

The aim of this study is to describe and understand the Russian Federation Government response to Crimea Referendum through President Putin?s Official Speech of the Nation Address. This research analyzed the text draft of President Vladimir Putin's official speech of the nation address by employing Critical Discourse Analysis theory of Norman Fairclough. Within this theory framework, the author examines the text of speech of President Vladimir Putin from the angle of text, discourse and sociocultural practices. The thorough analysis results in a conclusion that majority of the part of Putin?s nation address is to acknowledge and approve the Crimea reunification with Russian Federation through historical and peace lenses.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2016
S65841
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Titis Sari Putri Rahayu
"Penelitian ini bertujuan untuk memberikan bukti empiris tentang hubungan antara penerapan tata kelola media sosial dengan legitimasi organisasi, serta pengaruh karakteristik internal organisasi dalam mempengaruhi hubungan tersebut. Tata kelola media sosial adalah sekumpulan kerangka kerja (frameworks) yang mengatur aktivitas dari anggota organisasi di media sosial. Berdasarkan teori legitimasi, organisasi yang melakukan kegiatan yang selaras dengan norma sosial akan diterima oleh masyarakat atau memperoleh legitimasi. Kegiatan ini juga meliputi aktivitas media sosial yang umum dimanfaatkan organisasi pada saat ini. Maka, model penelitian pertama dibangun untuk membuktikan asosiasi positif antara tata kelola media sosial dengan legitimasi organisasi. Namun, kekuatan hubungan ini turut dipengaruhi oleh karakteristik internal perusahaan seperti budaya dan tipe organisasi. Organisasi menurut tipe dibagi berdasarkan orientasi laba, kepemilikan pemerintah, dan kepemilikan publik di pasar saham. Sedangkan, budaya organisasi diidentifikasikan dengan The Competing Value Model. Perbedaan kekuatan hubungan ini diprediksi oleh teori institutional yang menyatakan bahwa konteks sosial dimana organisasi beroperasi, serta nilai dan norma internal antar anggota, mempengaruhi perilaku organisasi. Oleh karena itu, model penelitian kedua dan ketiga dibangun untuk meneliti efek dari budaya dan tipe organisasi terhadap hubungan antara tata kelola media sosial dengan legitimasi organisasi. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh organisasi di Indonesia. Sampel dipilih dengan purposive sampling untuk memastikan keterwakilan setiap tipe organisasi. Data yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari data kuesioner yang didistribusikan kepada pegawai di 51 organisasi sampel untuk mengukur tata kelola media sosial dan karakteristik internal organisasi. Lalu, legitimasi organisasi diukur berdasarkan analisis sentimen pada data Twitter terkait organisasi sampel selama periode Januari 2019 hingga Mei 2020. Hasil menunjukkan bahwa semakin baik aplikasi tata kelola media sosial, semakin baik pula legitimasi organisasi, dimana budaya klan dan orientasi laba memperkuat asosiasi tersebut. Penemuan in menunjukkan pentingnya tata kelola media sosial untuk meraih legitimasi organisasi yang memiliki karakteristik internal yang berbeda-beda.

This study aims to provide empirical evidence on the association between social media governance and organizational legitimacy and whether organizations’ internal characteristics affect the association. Social media governance is a set of frameworks that regulate an organization’s members’ actions within the social web. This postulate is based on legitimacy theory; an organization that maintains its operations to comply with social norms will be regarded as legitimate, including in the area of social media communication as commonly used these days. Therefore, the first research model was built to seek evidence of the association between social media governance and organizational legitimacy. However, the magnitude of association might vary in different organizational characteristics, such as types and cultures. Organizational types distinguish organizations by profit orientation, state ownership, and public ownership. Organizational culture refers to The Competing Values Model. These discrepancies are predicted by institutional theory because of the social context where firms operate, and the shared value and norms between members influence an organization’s behavior. Therefore, two additional research models were developed to examine the effect of internal characteristics on the first model. The population of this study is all organizations in Indonesia. Samples were selected using purposive sampling to ensure the representation of each organizational types. Questionnaires were distributed to employees to measure social media governance and organizations’ internal characteristics. Subsequently, sentiment analysis was conducted to measure organizational legitimacy by examining tweets related to 51 sample organizations from January 2019 to May 2020. Results show that a better social media governance application is associated with better organizational legitimacy, and clan culture and profit-oriented characteristics strengthen this association. These findings reveal the benefit of social media governance to help organizations achieve the goals under different organizational settings."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>