Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 164225 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ayu Muzayyanah
"Skripsi ini membahas tentang makna nama dan variasi nama tokoh-tokoh Pandawa dalam wayang purwa. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif interpretatif. Teori yang digunakan yaitu teori simbol menurut Bastomi dan teori interpretasi teks menurut Jan van Luxemburg. Hasil dari penelitian ini berupa analisis makna nama dan variasi nama tokoh-tokoh Pandawa dalam wayang purwa serta faktor-faktor yang melatarbelakangi variasi nama tokoh-tokoh Pandawa dalam wayang purwa.

The focus of this study is about the meaning of names and various name of Pandavas in puppet purwa. The method used in this study is interpretative descriptive method. The theory used is the theory of symbols according by Bastomi and interpretation theory by Jan van Luxemburg. The results of this study is analyze the meaning of names and various name of Pandavas in puppet purwa and the factors underlying the various of name of Pandavas in puppet purwa."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2012
S42123
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Hafidz Fadli
"ABSTRAK
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya asumsi yang menyatakan bahwa nama tokoh-tokoh wayang Punakawan merupakan serapan dari bahasa Arab. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membuktikan benar atau tidak bahwa nama tokoh wayang Punakawan adalah serapan dari bahasa Arab. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan studi pustaka. Penelitian ini berawal dari adanya beberapa pernyataan yang menunjukkan bahwa nama tokoh-tokoh perwayangan Punakawan seperti Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong berasal dari bahasa Arab akan tetapi belum ada pembuktiannya secara linguistik. Tokoh-tokoh Punakawan mulai dimainkan pada awal mula penyebaran agama Islam oleh Sunan Kalijaga. Hal ini menunjukkan adanya hubungan yang erat antara penyebaran Islam dengan penamaan tokoh tersebut sebagai dakwah kepada masyarakat Jawa saat itu. Setelah dilakukan analisis linguistik, baik fonologis, morfologis, dan semantis, ternyata nama tokoh-tokoh merupakan serapan dari bahasa Arab. Semar diserap dari sammir, Nala Gareng diserap dari naala qariin, Petruk diserap dari fatruk, dan Bagong yang diserap dari baagin. Selain itu, dimainkannya tokoh-tokoh Punakawan oleh Sunan Kalijaga sejak zaman penyebaran agama Islam di tanah Jawa semakin memperkuat bahwa nama tokoh-tokoh tersebut diserap dari bahasa Arab.

ABSTRAK
There was an assumption which says that the name of Punakawan characters on puppet Wayang are derived from Arabic language. The objective of this research is to prove whether the name of Punakawan characters is derived from Arabic or not. This research uses qualitative method with the literature study approach. This research start from some statements which state that the name of Punakawan characters, like Semar, Nala Gareng, Petruk, and Bagong are derived from Arabic however there is no proof linguistically. These characters began to be played in the beginning of the spread of Islam by Sunan Kalijaga. This thing shows that there was a relation between the spread of Islam with naming these characters as a dakwah to the Java society at that time. After the linguistic analysis, both phonological, morphological, and semantic research, the name of Punakawan characters have evidently derived from Arabic vocabularies. Semar is derived from sammir, Nala Gareng is derived from naala qariin, Petruk is derived from fatruk, and the last Bagong is derived from baagin. Beside, these characters played by Sunan Kalijaga since the spread of Islam in Java reinforces that the name of Punakawan characters are derived from Arabic language. "
2017
S69419
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Turita Indah Setyani
"ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan ingin mengungkapkan mengapa dan apa tujuan para wanita disayembarakan dalam cerita dan lakon wayang serta citra dan posisi wanita Jawa melalui citra dan posisi para wanita yang disayembarakan itu. Cerita dan lakon wayang yang digunakan sebagai bahan untuk mengumpulkan data berasal dari teks, oleh karena itu penelitian ini bergantung pada teks yang berbicara, di mana berdasarkan teks-teks cerita dan lakon wayang tersebut diperoleh gambaran bagaimana sesungguhnya citra dan posisi wanita Jawa seperti yang tercermin dalam wayang.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, dalam penelitian ini digunakan pendekatan intrinsik dan metode kualitatif, sebab penelitian bersifat deskriptif analisis sehingga ditemukan hasil yang obyektif dari gambaran keadaan sebenarnya sesuai dengan tujuan penelitian.
Berdasarkan hasil yang ditemukan itu, dapat diketahui bahwa penyebabnya adalah pertama karena memang sudah waktunya bagi para wanita yang disayembarakan tersebut untuk menikah, namun hingga dewasa belum mau menikah dan belum mempunyai pilihan untuk dijadikan suami, selain itu juga karena banyaknya raja dan satria yang ingin melamar mereka, kedua karena banyaknya pria yang ingin menyunting sang putri yang mempunyai kelebihan-kelebihan, ketiga karena memang untuk menanti jodoh yang sudah dipastikan; keempat karena hilangnya sang putri dari kerajaan, kelima untuk memperoleh pasangan yang sesuai dengan keinginan, dan keenam tidak disebutkan alasannya, maka diadakanlah sayembara. Oleh karena itu, dapat pulalah diketahui tujuan mereka disayembarakan, yaitu untuk mencari calon suami bagi mereka.
Sedangkan penggambaran tentang citranya secara garis besar para wanita yang disayembarakan itu taat dan patuh kepada ayah atau saudara laki-lakinya, serta memiliki sifat-sifat santun dan pasrah. Dengan citra yang senantiasa taat dan patuh serta setia dan pasrah tersebut, mengakibatkan para wanita menduduki posisi yang tersubordinat Hal itu diakibatkan oleh tidak diberinya wewenang dan hak untuk mengungkapkan pendapat pribadi yang sesuai dengan keinginan mereka. Sementara di sisi lain terdapat citra wanita yangpantang menyerah, sabar, belas kasih, dan pendendam. Disamping itu mempunyai watak yang teguh pada pendiriannya Dengan citra yang seperti itu mengakibaikan para wanita menduduki posisi yang sejajar dengan para pria. Posisi seperti itu diakibatkan oleh adanya kesempatan untuk menggunakan wewenang dan haknya mengemukakan sesuatu sesuai dengan keinginan, sehingga dapat menentukan dan memutuskan kehendaknya berdasarkan keadaan yang dialaminya.
Dengan demikian, dari hasil citra dan posisi wanita yang disayembarakan dalam cerita dan lakon wayang dapat diketahui bahwa citra dan posisi wanita Jawa tidak berbeda dengan citra dan posisi wanita yang disayembarakan tersebut Sebab selama ini konsep-konsep budaya Jawa yang menyatakan bahwa wanita adalah kanca wingking `sebagai yang dipimpin' dan laki-laki adalah kanca ngajeng `sebagai pemimpin atau yang memimpin' sudah begitu mengakar dalam kehidupan masyarakat nya Demikian juga dengan konsep gurulaki, swarga nunur naraka karat, menyebabkan wanita selatu berada pada posisi di belakang atau bahkan di bawah laki-laki. Meskipun konsep-konsep itu sudah tidak dianut secara fanatik, dan bahkan terdapat ungkapan-ungkapan yang menilai kedudukan wanita cukup tinggi, misalnya 'Ibu pertiwi', Ibu jari.'', dan `surga di bawah telapak kaki Ibu', namun tanpa disadari mereka (masyarakat Jawa) masih terkungkung oleh budaya yang melingkupinya.

ABSTRACT
Image and Position of Javanesse Woman: Case Study in Women Figure which are Contested in Stories and Lakon WayangThe objective of this research is to find out why and what the purpose of contested woman is in stories and lakon wayang and image and the position of Javanesse women as well in terms of the contested image and position of the women. Stories and lakon wayang are used as material to collect data originated from texts, therefore, this research is depending upon the speaking texts, where the real image and position of Javanesse women are obtained in accordance to the texts as reflected in wayang.
To answer the above question, intrinsic and qualitative methods are used in this research for the research is analysis descriptive, so the unbiased result of real image is obtained up to the objective of this research.
Based on the result, there are some reasons why the contest is conducted; first, they are already have to get married, but they don't want it yet, and also they aren't find yet a goad pair, apart from that, there are so many prince and king want to proposed them; second, quite a few nobles men want to marry them; third, they waiting for somebody who has a faith to be their husband; fourth, somebody kidnapped the princess; fifth, to find somebody who fulfilled her desired; sixth, contested performed without any reason. Therefore, we can find the purpose of the contest, that is to find a marriage partner.
From that research we can find out that the image of the Javanesse women are always obey to the father and the brother's will, have a loyal and submit to their fate,-The consequences of these characteristic put the women in the subordinate position. Women can't expose their right and opinion as their wanted to. In the other side, women are describe have strong character, patient, mercifully, and bears a grudge. Consquences on that image cause the women have a similar position with a man. In that case, women can dicided what ever she wanted to do.
Javanesse culture have a concept of that a women is kanca wingking (follower), and a man is kanca ngajeng (leader), and also guru lake, swrzrga nunut, naraka katut (should follow the man in a good place or a bad place). All of these concept make a woman always in the lower position or even under the man. Besides that perceptions, in the wayang plays, there are another concept which is contrary different as we mention before. For example; i pertiwi (home land); ibu fart (thumb) and surga di bawah telapak kaki ibu (heaven is under mother's foot). These concept try to put the women in a good position. But that can't change so much, because man still fells that he is a leader and the women is the follower. Until now that conditions still continue and that continuation influenced with the patron of education and socialization that still life in the society.
Actually with wayang we can change the perception of the society. For example with the presentation of the Damayanti story. With the lakon wayang we also can influence the mission of equality of man and woman. We can change the perception of the society about the images and position of woman, from the subordinate to equality.
"
Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1995
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
"Di dalam berbagai teks bahasa Indonesia, penulisan nama diri dan nama jenis sering tidak benar. Tulisan ini memberikan panduan bagaimana menuliskan nama diri dan nama jenis menurut Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan. Perdebatan antara ahli bahasa dan ahli hukum mengenai hal itu selalu berhenti ketika ahli hukum mengatakan bahwa hal itu sudah nomenklatur. Padahal, nomenklatur berarti 'istilah khusus yang digunakan di bidang ilmu tertentu', jadi, nomenklatur bukan nama diri. Nama diri dituliskan dengan huruf kapital, sedangkan nomenklatur dan nama jenis dituliskan dengan huruf kecil. "
JLI 6:4 (2009)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Mochamad Nasrul Chotib
"Kontak pertama bangsa Indian (Amerika dan Meksiko) dengan kulit putih (Amerika) adalah pertemuan dua budaya yang tidak saling memahami. Dari pertemuan tersebut timbul catatan sejarah penindasan dan perlawanan yang panjang. Berbagai kepentingan mulai dari ekonomi, politik, agama, hingga sastra berbaur dan menciptakan benturan ideologi antara dua bangsa tersebut.
Salah satu bentuk benturan ideologis tersebut terwujud melalui kehadiran tokoh-tokoh nativephilia dalam teks. Tokoh nativephilia adalah karakter kulit putih yang sengaja dihadirkan pengarang non-kulit putih dengan keberpihakan dalam bentuk komitmen yang tulus maupun dedikasi yang tinggi kepada pihak terjajah. Adalah fungsi ideologis tokoh ini yang diangkat sebagai masalah utama tesis.
Teori yang digunakan ialah teori Louis Afthusser yang menekankan dua hal : subjek dan aparat ideologis. Subjek ialah anggota masyarakat (pengarang dalam hal ini) yang berposisi tetap di hadapan ideologi sebagai hasil dan proses interpelasi dengan menginternalisasikan kesadaran semu kepada anggotanya. Aparat ideologi dibagi menjadi RSA (Repressive State Apparatus) dan ISA (Ideological State Apparatuses). Perbedaan pertama terletak pada konteks semantik-gramatik (apparatus=tunggal ; apparatuses=jamak) yang membuat kesatuan ISA tidak segera bisa terlihat. Kedua ialah wilayah kerja masingmasing : RSA pada wilayah publik dan 1SA perorangan (swasta). Perbedaan mendasar terletak pada cara kerja masing-masing. RSA pertama kali berfungsi secara represif meski ada kemungkinan menerapkan tindak represif seperti ISA, sementara ISA secara ideologis meski terbuka kemungkinan untuk menerapkan tindak represif seperti RSA.
Untuk kepentingan analisis dihadirkan dua tokoh nativephifia, Father Arnold dalam novel Reservation Blues dan Professor Mate dalam Delia's Song. Masing-masing secara berurutan, mewakili institusi keagamaan dan pendidikan dalam wacana masyarakat kolonial. Selain keberpihakan, tokoh nativephilia dilengkapi pengarang dengan ciri ambivalensi sebagai senjata, yakni jembatan, tekstual untuk melontarkan pesan berupa kritik pada ideology. Pesan pengarang tersebut ditujukan untuk mengungkap wajah lain kolonialisme. Dalam kasus Father Arnold, pengarang memanipulasi ambivalensi dalam nada olok-olok melalui oposisi 'keluguan penjajahan,' sementara Profesor Mattie dalam oposisi 'dedikasi/ supremasi.'
Tampilan kolonialisme ini dapat disimpulkan dalam oposisi 'dominasi/ persuasi' untuk menunjukkan pengokohan ideologi yang berlangsung bukan hanya melalui kekerasan (represi), namun juga terselubung (hegemoni).
Namun, posisi pengarang sebagai subjek bukannya tidak mengandung arus ambivalensi. Arus ini dimanfaatkan kolonialisme untuk menghadirkan siasat dalam menghadapi kritik pengarang dengan menunggangi ambivalensi yang tercipta dari kritik pengarang. Hal ini menimbulkan ambivalensi fungsi dalam kritik pengarang, yakni sebagai kritik yang menyerang sekaligus mengokahkan keberadaan ideologi. Dalam kasus Father Arnold ambivalensi pesan pengarang dibuktikan melalui muatan 'penipu/ penyelamat,' sementara Profesor Mattie muatan 'penjajah/ pembebas.' Muatan ambivalensi tersebut menyiratkan sisi anglophilia pengarang yang secara tak sadar turut mempertahankan keberadaan kolonialisme di antara bangsanya sendiri. Dalam kasus pengarang Indian ialah pernyataan Indian yang terselamatkan adalah Indian yang telah terevangelisasi budaya kulit putih, dalam kasus pengarang Chicano ialah pernyataan chicano yang tidak inferior adalah chicano yang telah terdidik oleh budaya kulit putih.

The first contact between (American and Mexican) Indian and White (American) settlers was the encounter between two not-each-other-understand cultures. From this erupts long historical annals of continual oppression and challenges. Much interests, including economic, politic, religious, even literary, melt and seek way to create ideological collisions between the nations engaged.
One of those ideological collisions manifests through the presence of nativephilian characters within the text. Nativephilian characters are white textual figures which purposively characterized by their non-white writers with their withstanding, either through commitment or dedication, towards the colonized. It is the characters ideological function which becomes main problem of this thesis.
Theory used is Althusserian ideological notion which stresses two things: subject and ideological apparatuses. Subject is sociological member (i.e. writers) which has constitutive position before ideology as a result of interpellation process by internalizing false consciousness towards its member. Ideological apparatuses consist of RSA (Repressive State Apparatus) and ISA (Ideological State Apparatuses). The first difference lies on semantic-grammatical context (apparatus=singular; apparatuses=plural) which makes ISA's unity can not immediately be noticed. The second the domains that RSA is public and ISA private. The basic difference lies on their function that RSA firstly functions repressively, though there would always be possibility to be ideological as ISA; while ISA ideologically, though, as RSA, repressive acts also remains possible.
For analysis, two characters presented that are Father Arnold within Reservation Blues novel and Professor Mattie within Delia's Song. Each, respectively, represents religious and educational institutions within the discourse of colonial society. Besides their withstanding, nativephilian characters are polished with ambivalence as weapon, i.e. tool, to send message, that is criticism, towards ideology. The writers message is directed to disclose the other face of colonialism. As in Father Arnold's case, the writer manipulates ambivalence within mockery tone through 'innocence/invasion' opposition, while Professor Mattie through 'dedication/supremacy.' These colonial images, then can be concluded as 'domination/ persuasion' opposition to represent ideology's prevalence which not only takes places in violence (repressive), but also in concealment (hegemonic).
Yet, the writers' subjectical position is not without its own ambivalence. This other current is used by colonialism to present strategy vis-a-vis the writers criticism by manipulating the ambivalence created inside the writer own criticism. This, in turn, creates ambivalent function within the writers criticism, i.e. as criticism that attacks and, in like manner, intensifies the presence of ideology. Within Father Arnold's case, this is proven through the presence of 'deceiver/saver' opposition, while in Profesor Mattie 'conquer or freer opposition. This ambivalence implies anglophilian side of the writers who, subconsciously, support the presence of colonialism among their own people. In Indian writer's case is the inference that the saved Indian is the whitely-evangelized Indian, while in Chicano writer, the not-inferior chicane is the whitely-educated chicane."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2001
T2048
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syarifah Su`ud
"Penelitian terhadap tiga hikayat yang memakai tokoh wanita sebagai tokoh utamanya dilakukan sekitar bulan September 1992-Februari 1993. Penelitian ini bertujuan untuk nengungkapkan tema-tema apa saja yang digunakan serta bagainana tokoh wanita ditampilkan dalam hikayat-hikayat tersebut. Penelitian ini dilakukan berdasarkan netode deskriptif dan analisis dengan nenggunakan pendekatan intrinsik dan ekstrinsik. Sedangkan teknik yang digunakan adalah studi pustaka. Hasil penelitian membuktikan bahwa ketiga hikayat tersebut memiliki tema yang terbatas, dan dapat dibagi menjadi dua kelonpok. Pertama hikayat-hikayat yang menggunakan tema pengkhianatan dan kedua hikayat yang menggunakan tema pembangkangan. Tokoh-tokoh wanitanya yang ditampilkan hampir memiliki kesamaan. Umumnya mereka memiliki kecantikan lahiriah tetapi miskin dalam kecantikan batiniah..."
Depok: Universitas Indonesia, 1993
S13393
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Darmoko
Fakultas Ilmu Pengatahuan Budaya Universitas Indonesia, 1992
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1978
S10557
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Heru S. Sudjarwo
Jakarta: Kakilangit kencana, 2010
791.53 HER r
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Syahrun Ramadhan
"Penelitian ini mengkaji reinterpretasi kepahlawanan Gatotkaca melalui alih wahana cerita wayang Hikayat Pandawa ke dalam film “Satria Dewa Gatotkaca”. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan transformasi kepahlawanan Gatotkaca serta kaitannya terhadap perkembangan masyarakat. Penelitian ini menggunakan ancangan kualitatif. Data yang diambil adalah unsur naratif penting cerminan karakter asli Gatotkaca yang ditulis dengan paragraf naratif. Data diolah menggunakan teori alih wahana dan intertekstual dengan membandingkan perubahan karakter tokoh Gatotkaca. Perubahan ini lantas dilihat implikasinya terhadap perkembangan nilai-nilai di tengah masyarakat melalui sosiologi sastra. Penelitian ini menemukan bahwa Gatotkaca Hikayat Pandawa adalah pahlawan yang sempurna dengan status sosial, keilmuan, dan kehebatannya, sedangkan Gatotkaca “Satria Dewa Gatotkaca” adalah pahlawan tidak sempurna karena masalah ekonomi, keluarga, dan peran sosialnya dalam masyarakat. Pahlawan sempurna adalah cerminan masyarakat abad ke-19 yang memiliki kesederhanaan nilai baik-buruk, sedangkan pahlawan tidak sempurna adalah cerminan masyarakat modern yang memiliki kompleksitas nilai baik-buruk. Jadi, dapat disimpulkan bahwa reinterpretasi dan transformasi Gatotkaca secara langsung bersinggungan dengan perkembangan nilai yang dipengaruhi oleh sistem teknologi, sosial, dan kebudayaan yang ada di masyarakat.

This research studies the reinterpretation of Gatotkaca heroism through the ecranisation of the Hikayat Pandawa wayang story into the film “Satria Dewa Gatotkaca”. The aim of this research is to explain Gatotkaca’s heroism and its relation to the development of society. This research uses a qualitative approach. The data taken are important narrative elements that reflects Gatotkaca’s real character written in narrative paragraphs. The data is processed using the ecranisation and intertextuality theory by comparing the changes in the real character of Gatotkaca from Hikayat Pandawa and “Satria Dewa Gatotkaca”. These changes are then seen as its implications for the development of values in society through the sociology of literature. This research found that the Gatotkaca from Hikayat Pandawa is a perfect hero with high social status, knowledge, and greatness. On the other hand, Gatotkaca from “Satria Dewa Gatotkaca” is an imperfect hero because of his economy, family, and social role problem. The perfect hero is a reflection of 19th century Malay society which has a simple of values structure, while the imperfect hero is reflection of modern Indonesian society which has a complex values structure. Finally, it can be concluded that the reinterpretation and transformation of Gatotkaca is directly related to the development of existing values in society which affected by technology, social issues, and cultural issues that lived in the society."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2022
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>