Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 170962 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Irfan Maksum
"Functional decentralisation practices in developing countries are mired with the so-called privatisation which is a part of economic desentraiisation and/or delegation of administrative decentralization. This concept research is important in order to understand the concept of decentralisation as a whole. This article tries to make comparison of functional decentralisation practices in jour countries: the Netherlands, Japan, the United States, and Germany."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007
JHII-4-3-Apr2007-498
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Alma`arif
"ABSTRAK
Penelitian ini menganalisis praktek pengelolaan irigasi, pendidikan dan perdagangan bebas dihubungkan dengan konsep desentralisasi fungsional dalam kerangka kebijakan desentralisasi di Indonesia. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan konstruktivis yang biasa juga disebut pendekatan kualitatif dengan tipe penelitian deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat beberapa faktor yang menyebabkan tidak diadopsinya desentralisasi fungsional dalam kebijakan desentralisasi di Indonesia pada urusan pengairan, pendidikan, dan perdagangan bebas. Tidak diakomodasinya lembaga politik, independensi petani, integrasi sungai dan jaringan irigasi, dan konstitusi negara merupakan faktor-faktor dari urusan irigasi. Adapun faktor-faktor yang menyebabkan desentralisasi fungsional tidak diadopsi pada urusan pendidikan adalah eksistensi dewan pendidikan, independensi sekolah, devolusi pengelolaan pendidikan, dan konstitusi negara. Sementara untuk urusan perdagangan bebas, faktor kelembagaan pemerintahan Batam, struktur keanggotaan dewan kawasan, ketidakjelasan BP. Batam dalam sistem ketatanegaraan, serta konstitusi negara menjadi faktor tidak diakomodasinya desentralisasi fungsional pada urusan perdagangan bebas. Pada umumnya, pengaturan oleh konstitusi merupakan penyebab umum tidak diadopsinya desentralisasi fungsional. Konstruksi tata kelola desentralisasi dalam kebijakan desentralisasi di Indonesia kedepan khususnya pada sektor irigasi, pendidikan, dan perdagangan bebas dapat dilakukan secara bertahap dimulai dari kerjasama antar daerah, kolaborasi pusat dan daerah dalam bentuk dewan hingga menuju pembentukan lembaga berbasis desentralisasi fungsional.

ABSTRACT
This research analyze the practice of irrigation, education, and free trade governance linked with functional decentralization concept in Indonesia decentralization policy frame. This research use constructivist approach and qualitative descriptive method. Research result find several factors that cause functional decentralization in Indonesia decentralization policy for irrigation, education, and free trade is not adopted. Political institution is not adopted, independence of the farmers, integration of river and irrigation web, and state constitution, are the factors from irrigation side. Several factors in education are the existence of educational boards, the independence of school, devolution in education governance, and state constitution. For free trade, the institution of Batam governance, members structure in Batam boards, the uncertainty of BP. Batam in Indonesia administration structure, and state constitution, which make functional decentralization is not adopted. Generally, state constitution is major factor of functional decentralization is not adopted.The Construction of Decentralization in the Future of Indonesia Decentralization Policy especially in irrigation, education, and free trade can be done gradually begin from inter local government cooperation, state local collaboration in boards until establishing the functional decentralization organization."
[;;;, ]: 2017
T48777
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irfan Ridwan Maksum
"Penelitian ini membandingkan antara praktik pengelolaan air irigasi tertier di Kabupaten dan Kota Tegal dengan model Dharma Tirta, Subak di Kabupaten Jembrana Bali, dan di Hulu Langat, Malaysia. Oleh karena analisis perbandingan menuntut harus dipenuhinya prinsip-prinsip ketepatan dalam membandingkan antarobyek, maka ketiga lokasi mencerminkan kesederajatan tingkatan, yakni pada tingkatan kedua dalam sistem pemerintahan. Penelitian ini tidak mempersoalkan bentuk negara, sehingga walaupun Hulu Langat tepat di bawah Negara Bagian Selangor, yang seharusnya secara normatif berbanding dengan Provinsi di Indonesia; dalam penelitian ini disejajarkan dengan Kabupaten/Kota ditilik dari luas wilayah dan keseluruhan jenjang pemerintahan di Malaysia. Pendekatan verstehen menjadi kerangka umum metodologis karya ini. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan tipe deskriptif. Teknik penggalian data dilakukan dengan triangulasi-eklektik. Di samping itu, berbagai key informan diperlukan dalam penelitian karya ini dengan teknik analisis multilevel. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga praktik bukanlah ejawantah dari desentralisasi fungsional walaupun di Indonesia potensial mengarah ke dalam praktik desentralisasi fungsional, sedangkan di Malaysia sepenuhnya sentralisasi melalui aparatus dekonsentrasi dengan karakter masing-masing. Praktik desentralisasi di Indonesia khususnya di bidang irigasi, baru menyangkut desentralisasi territorial, sedangkan desentralisasi fungsional tidak dipraktikkan meskipun wacana akademik dan potensi serta kebutuhan akan adanya lembaga yang merupakan perwujudan desentralisasi fungsional sudah muncul. Di tingkatan mikro menunjukkan terdapatnya kegagalan dalam pengelolaan urusan irigasi tersier khususnya dan urusan irigasi pada umumnya. Kegagalan tersebut juga didorong oleh kondisi makro persoalan distribusi urusan sektor irigasi yang berpaku pada desentralisasi teritorial semata. Pemerintah perlu membenahi organisasi pengairan di level grassroots dalam kerangka peningkatan kinerja pertanian dan pengelolaan sumberdaya air secara holistik bahkan sampai terciptanya regime irigasi lokal. Perubahan pasal 18 UUD 1945 agar lebih tegas kembali memasukkan konsep desentralisasi fungsional yang pernah digunakan pada 1920-an oleh Hindia Belanda.

This research compared tertiary irrigation management in the Municipality and Regency of Tegal, the Regency of Jembrana, and the Regency of Hulu Langat Selangor Malaysia. Malaysia has been developing water board at National and State Level. Although the two countries differed in governmental arrangements, the locus used in this research experienced the same level of governments. Verstehen has been as a general framework of this research approach. Qualitative and descriptive were the method of this research. Data are gathered using eclectic-triangulation methods and analyzed with multilevel tools. This research concluded that the tertiary irrigation in those three locus in Indonesia were not established based on functional decentralization, eventhough it has potential to do so. It is different from Malaysia which is fully centralized through deconcentration. Only the teritorial decentralization is the basic of tertiary irrigation management in Indonesia. Functional decentralization is not being practiced in tertiary irrigation management both in Indonesia and Malaysia. Empirically, Government should improve the performance of irrigation organization at the grassroot level in order to increase the whole agricultural performance which creating special local regime in the irrigation management. Furthermore, amandment to the constitution of 18th article should induce the concept of functional decentralization that was practiced in Indonesian local government system in 1920."
Depok: Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 2006
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Irfan Ridwan Maksum
"Pengelolaan air irigasi berhubungan erat dengan sistem pemerintahan yang dikembangkan di suatu negara. Di Belanda dikenal melalui waterschappen yang pengernbangannya didasari oleh mekanisme desentralisasi fungsional. Di negara berkembang, menurut pakar-pakar pemerintahan daerah hampir dirancukan oleh konsep delegasi seperii diakui oleh Cheema, Rondinelli dan Nellis.
Di negara-negara maju seperti Belanda, Jepang, USA, dan Jerman pengembangan praktek lembaga semaoam ini ditandai oleh sifat-sifat otonom yang sejajar dengan pemerintah daerah dalam konstelasi sistem administrasi negaranya Lembaga ini bersifat khusus dan otonom di tingkat lokal mengerjakan fungsi yang spesifik. Baik di negara Kesatuan maupun negara Federal terdapat lembaga tersebut. Lembaga ini pertanda sebagai kompleksnya sistem administrasi negara dimana persoalan sosial-ekonomi masyarakat tidak melulu diselesaikan oleh tingkatan pemerintahan yang selama ini dikenal, melainkan dapat dikernbangkan Iembaga khusus yang otonom tersebut.
Penelitian ini membandingkan antara praktek pengelolaan air irigasi tertier di Kabupaten dan Kota Tegal dengan model Dharma Tirta, Subak di Kabupaten Jembrana Bali, serta di Hulu Langat Malaysia. Alasan mengangkat ketiganya adalah sama-sama menangani persoalan air irigasi. Malaysia telah lama mengembangkan dewan sumberdaya air di tingkat Nasional dan Negara Bagian. Oleh karena analisis perbandingan menuntut harus dipenuhinya prinsip-prinsip ketepatan dalam membandingkan antar obyek, maka ketiga lokasi mencerminkan kesederajatan tingkatan, yakni pada tingkatan kedua dalam sistem pemerintahan. Penelitian ini tidak mempersoalkan bentuk negara, sehingga walaupun Hulu Langat tepat di bawah Negara Bagian Selangor, yang seharusnya seoara normatif berbanding dengan Provinsi di Indonesia; dalam penelitian ini disejajarkan dengan Kabupatenf Kota ditilik dari luas wilayah dan keseluruhan jenjang pemerintahan di Malaysia.
Pendekatan verstehen menjadi kerangka umum metodologis karya ini. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan tipe deskriptif. Teknik penggalian data dilakukan dengan triangulasi-eklektik. Disamping itu, berbagai key informan diperlukan dalam penelitian karya ini dengan teknik analisis multilevel.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga praktek bukanlah ejawantah dari desentralisasi fungsional walaupun di Indonesia potensial mengaran ke dalam praktek desentralisasi fungsional, sedangkan di Malaysia sepenunnya sentralisasi melalui aparatus dekonsentrasi dengan karakter masing-masing Praktek desentralisasi di Indonesia khususnya di bidang irigasi, baru menyangkut desentralisasi territorial, sedangkan desentralisasi fungsional tidak dipraktekkan meskipun wacana akademik dan potensi serta kebutuhan akan adanya lembaga yang merupakan perwujudan desentralisasi fungsional sudah muncul. Di tingkatan mikro menunjukkan terdapatnya kegagalan dalam pengelolaan urusan irigasi tersier khususnya dan urusan irigasi pada umumnya. Kegagalan tersebut juga didorong oleh kondisi makro persoalan distribusi urusan sektor irigasi yang berpaku pada desentralisasi teritorial semata. Sementara itu, pengaturan kawasan khusus pada level makro pun tidak terkait dengan fungsi irigasi. Hal ini disebabkan oleh adanya daya dukung ekonomi politik yang rendah dari sektor irigasi pada umumnya dan irigasi tersier pada khususnya.
Implikasi akademik dan praktis dari penelitian ini adalah bahwa konsep desentralisasi dan pemerintahan daerah dalam wacana akademik Indonesia khususnya memerlukan pengembangan konsep desentralisasi fungsional secara komprehensif terkait konstruksi adminisrasi negara. Kuatnya wacana desentralisasi teritorial menjadi penyebab konstruksi distribusi urusan irigasi hanya berpaku pada model distnbusi pada lingkup desentralisasi teritorial.
Selanjutnya perlu dilakukan penelilian mengenai daya jangkau organisasi ingasi Subak dan dharma tirta, disamping penelitian-penelitian terhadap perlunya mengotonomikan organisasi tersebut pada jenjang yang cukup radikal yang menempatkan petani sebagai bagian dalam proses pengisian struktur politik terlepas dari pemerintahan daerah yang selama ini ada. Penelitian mengenai dampak (ekstmalitas) organisasi pengelola irigasi perlu dilakukan bersamaan dengan uji kepentingan atau nilai strategis kelembagan tersebut bagi masyarakat. Kajian terhadap sektor Iain pun memungkinkan untuk dilakukan.
Terhadap aras empirik, Pemerintah perlu membenahi organisasi pengairan di level grassroots dalam kerangka peningkatan kinerja pertanian serta pengelolaan sumberdaya air secara holistik bahkan sampai terciptanya regime irigasi lokal. Perubahan pasal 18 UUD 1945 agar Iebih tegas kembali memasukkan konsep desentralisasi fungsional yang pernah digunakan pada 1920-an oleh Hindia Belanda diperlukan dalam kerangka kepentingan kemajuan sektor pertanian sebagai sektor yang sangat tergantung kepada urusan irigasi di Indonesia.

Irrigation management closely relates to the distribution of functions among levels of government. It also has a hierarchical system from primary to tertiary level of cannal. The jurisdiction of the irrigation management creates a territory which does not always be symmetric with the administrative governmental area. This nature of irrigation implies an ambiguity of some existing institutions for tertiary water irrigation management at the grassroot level in term of decentralization and local govemment in Indonesia.
In the Netherlands, there are waterschappens instititution which have been established based on functional decentralization for managing irrigation. In the developing countries, functional decentralization has been mis-interpreted by delegation concept according to Cheema, Rondinelli and Nellis_ Functional decentralization in developed countries such as Netherland, Japan, USA, and Germany, are indicated by the existence of autonomous body in the local level. This institution is specific in the nature according to the function should be carried out.
Within both the Unitary state and the Federal state, the aformentioned institution can be established to retiect the complexity of the state. It shows that social and economic problems can be managed not only by local government based on territorial decentralization as ordinary local public body, but also by local institution based on functional decentraiization mechanism as special local public body.
This research compared tertiary irrigation management in the Municipality and Regency of Tegal, the Regency of Jembrana, and the Regency of Hulu Langat Selangor Malaysia. Malaysia has been developing water board at National and State Level. Although the two countries differed in govemmental arrangements, the locus used in this research experienced the same level of governments.
Verstehen has been as a general framework of this research approach. Qualitative and descriptive were the method of this research. Data are gathered using eclectic-triangulation methods and analyzed with multilevel tools.
This research concluded that the tertiary irrigation in those three locus in Indonesia were not established based on functional decentralization, eventhough it has potential to do so. It is different from Malaysia which is fully centralized through deooncentration. Only the teritorial decentralization is the basic of tertiary irrigation management in indonesia. Functional decentralization is not being practiced in tertiary irrigation management both in Indonesia and Malaysia.
At the micro level, it is showed that there are some failures in tertiary irrigation management. These failures were results from macro level condition on distribution of functions among levels of govemment that were being developed just based on territorial decentralization concept. This condition created a weak tertiary irrigation institution. Meanwhile, special territory which developed according the law number 32 of 2004 on Local Governance does not relate to irrigation function- lt happened because of low political economic capabilities of irrigation sector, especially in tertiary irrigation level.
There are some academic and practical implications of this research. First, the discourse on decentralization and local government in Indonesia should be developed towards the concept of functional decentralization. Strong discourse on territorial decentralization an sich caused the distribution of functions among levels of government limited to this model distribution of functions in Indonesian local govemment.
Second, advanced research for analyzing tapering of Subak or Dharma Tirta should be conducted, rather than research that analyze the urgency of this organization's autonomy to radical stage which place the farmer as a part of political structure. Future research on irrigation management should be conducted with regards to its positive as well as negative externalities.
Empirically, Government should improve the performance of irrigation organization at the grassroot level in order to increase the whole agricultural performance which creating special local regime in the irrigation management. Furthermore, amandment to the constitution of 18th article should induce the concept of functional decentralization that was practiced in Indonesian local government system in 1920."
Depok: Universitas Indonesia, 2007
D805
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gilang Wildan Pratama
"ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh desentralisasi fungsional dan
persaingan politik terhadap tingkat transparansi di website pemerintah daerah
kota/kabupaten. Proksi desentralisasi fungsional yang dipergunakan adalah jumlah
badan usaha daerah dan badan layanan daerah pada masing-masing pemda.
Sementara persaingan politik diproksikan dengan selisih persentase perolehan suara
partai politik pemenang pemilu legislatif dengan pesaing terdekatnya. Pengukuran
transparansi dilakukan penulis melalui pengamatan penulis selama Maret-Mei
2015. Sampel dalam penelitian ini adalah website dari 467 pemda kota/kabupaten.
Data penelitian ini diolah dengan metode regresi cross-sectional. Hasil penelitian
membuktikan desentralisasi fungsional memiliki pengaruh positif signifikan
terhadap tingkat transparansi di website pemerintah daerah kota/kabupaten.
Sedangkan persaingan politik juga terbukti berpengaruh secara negatif signifikan
terhadap tingkat transparansi di website pemerintah daerah kota/kabupaten.

ABSTRACT
This study explains the practice of the impact of functional decentralization and
political competition on local government transparency at website. Functional
decentralization proxy used is the number of public companies and public business
entities in each local government. While political competition proxied by the
difference between the percentages of votes obtained by the parties coming in first
and second place. Local government transparency measure by observation through
each local government website during March to May 2015. Sample in this study
was 467 website government city/county. This research data is processed with
cross-sectional regression method. Based on the result research proves functional
decentralization has a significant positive effect on the level of transparency of local
government on the internet. Meanwhile political competition also proved a
significant negative effect on the level of transparency of local government on the
internet."
2015
S59171
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
JIP 43(2013)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Arie Sujito
Yogyakarta: Institute for research and Empowerment (IRE) Press, 2002
353.031 DEM
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Nurasni
"ABSTRAK
Ditetapkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia telah dibagi ke dalam daerah provinsi, daerah kabupaten, dan daerah kota yang bersifat otonom. Berdasarkan Undang-Undang tersebut maka seluruh wilayah Indonesia telah terbagi habis ke dalam wilayah-wilayah dengan memiliki kewenangan-kewenangan tertentu. Sebagai bentuk pelaksanaan otonomi daerah, Pulau Batam ditetapkan menjadi Kota Batam sesuai Undang-Undang Nomor 53 Tahun 1999. Pembentukan Kota Batam menuai polemik karena sebelum lahir sebagai daerah otonom, segala urusan pemerintahan yang ada dilaksanakan oleh Otorita Batam. Melalui Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2007 Batam ditetapkan sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam untuk jangka waktu 70 (tujuh puluh) tahun. Namun peralihan dari Otorita Batam menjadi BP Batam terkesan hanya sekedar mengganti baju karena Pemerintah tidak secara tegas membagi kewenangan antara kedua lembaga tersebut. Bahkan Pemerintah mencampuradukkan praktek penyelenggaraan pemerintahan desentralisasi teritorial, desentralisasi fungsional, dan dekonsentrasi dalam satu wilayah Kota Batam. Penelitian ini menggunakan data sekunder berdasarkan peraturan perundang-undangan (yuridis normatif). Dari hasil penelitian diketahui bahwa penyelenggaraan tata kelola Pemerintah Kota Batam dengan BP Batam, Pemerintah Pusat menerapkan dekonsentrasi dan desentralisasi fungsional secara bersamaan. BP Batam dengan dekonsentrasi memiliki kewenangan yang lebih dominan dalam mengelola urusan strategis di Kota Batam daripada Pemerintah Kota Batam selaku daerah otonom.

ABSTRACT
ABSTRAK
Ditetapkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia telah dibagi ke dalam daerah provinsi, daerah
kabupaten, dan daerah kota yang bersifat otonom. Berdasarkan Undang-Undang tersebut
maka seluruh wilayah Indonesia telah terbagi habis ke dalam wilayah-wilayah dengan
memiliki kewenangan-kewenangan tertentu. Sebagai bentuk pelaksanaan otonomi daerah,
Pulau Batam ditetapkan menjadi Kota Batam sesuai Undang-Undang Nomor 53 Tahun 1999.
Pembentukan Kota Batam menuai polemik karena sebelum lahir sebagai daerah otonom,
segala urusan pemerintahan yang ada dilaksanakan oleh Otorita Batam. Melalui Peraturan
Pemerintah Nomor 46 Tahun 2007 Batam ditetapkan sebagai Kawasan Perdagangan Bebas
dan Pelabuhan Bebas Batam untuk jangka waktu 70 (tujuh puluh) tahun. Namun peralihan
dari Otorita Batam menjadi BP Batam terkesan hanya sekedar mengganti baju karena
Pemerintah tidak secara tegas membagi kewenangan antara kedua lembaga tersebut. Bahkan
Pemerintah mencampuradukkan praktek penyelenggaraan pemerintahan desentralisasi
teritorial, desentralisasi fungsional, dan dekonsentrasi dalam satu wilayah Kota Batam.
Penelitian ini menggunakan data sekunder berdasarkan peraturan perundang-undangan
(yuridis normatif). Dari hasil penelitian diketahui bahwa penyelenggaraan tata kelola
Pemerintah Kota Batam dengan BP Batam, Pemerintah Pusat menerapkan dekonsentrasi dan
desentralisasi fungsional secara bersamaan. BP Batam dengan dekonsentrasi memiliki
kewenangan yang lebih dominan dalam mengelola urusan strategis di Kota Batam daripada
Pemerintah Kota Batam selaku daerah otonom.

ABSTRACT
The enactment of Law Number 22 Year 1999 concerning Regional Government, the territory
of the Unitary State of the Republic of Indonesia has been divided into autonomous
provincial, district, and urban areas. Based on the Act, all regions of Indonesia have been
divided into regions by having certain authorities. As a form of implementation of regional
autonomy, Batam Island was established as Batam City according to Law Number 53 of
1999. The establishment of Batam City was polemic because before it was born as an
autonomous region, all existing government affairs were carried out by the Batam Authority
Agency. Through Government Regulation Number 46 of 2007 Batam is designated as a Free
Trade and Free Port Zone for a period of 70 (seventy) years. But the transition from the
Batam Authority to BP Batam seemed to be merely changing clothes because the Government
did not expressly divide the authority between the two institutions. Even the Government
confuses the practice of administering territorial decentralization, functional
decentralization, and deconcentration in one area of Batam City. This study uses secondary
data based on legislation (normative juridical). Conclusion of the research has known that
the Central Government implements deconcentration and functional decentralization
simultaneously in terms of governancing Batam. BP Batam with deconcentration has more
dominant authority in managing strategic affairs in Batam City than the Batam City
Government as an autonomous region.
"
2019
T53770
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Purba, Radiks
Jakarta: Pustaka Binaman Pressindo, 1995
368.959 8 RAD m
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Purba, Radiks
Jakarta: Pustaka Binaman Pressindo, 1992
368.959 8 PUR m
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>