Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 90963 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ruly Karnadi
"Proses pemilihan teman hidup merupakan satu tahap yang berlangsung sebelum searang pria dan seorang wanita memasuki kehidupan berkeluarga. Dalam proses ini terdapat pertimbangan terhadap berbagai faktor, seperti pendidikan, sifat, keadaan fisik, agama, dimana seluruh faktor pertimbangan pada dasarnya tercakup dalam tiga kelompok ciri, yaitu ciri sosial-budaya, fisik dan ciri-ciri yang berkaitan dengan aspek mental. Adanya pertimbangan dalam memilih teman hidup ternyata menyebabkan seseorang cenderung menyukai teman lawan jenis yang memiliki beberapa faktor kesamaan dengan dirinya sendiri terjadi kecenderungan homogami pada karakteristik tertentu. atau Kecenderungan untuk mempersamakan karakteristik tidak terjadi pada seluruh faktor pertimbangan karena pada kenyataannya ada tingkat-tingkat kepentingan di dalam memilih teman hidup, dalam arti bahwa, ada faktor-faktor tertentu yang dianggap sangat penting sehingga merupakan syarat utama yang harus terpenuhi, tetapi di samping itu ada pula persyaratan ideal yang diharapkan dapat terpenuhi- Pada tingkat terakhir diperoleh pula faktor yang kurang mendapat perhatian karena dianggap kurang berperanan dalam kelangsungan hidup berkeluarga. Golongan etnis Tionghoa di Jakarta, khususnya peserta dari biro atau kontak - jodoh, tentunya memiliki urutan prioritas tertentu sesuai dengan sistem nilai yang dianutnya, lagi, tingkat persyaratan terhadap ciri sosial-budaya, fisik dan mental ternyata memperlihatkan pula bahwa antara pria Tionghoa dengan wanita Tionghoa terdapat perbedaan urutan tingkat kepentingan walaupun keduanya menempatkan sifat sebagai faktor persyaratan yang paling utama."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1990
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
S6928
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chandra Kirana
"Penelitian ini berupaya untuk mendeskripsikan perilaku self-disclosure yang dilakukan oleh individu beretnis Tionghoa. Studi yang mengambil setting di Jakarta ini bertujuan untuk menjelaskan peranan aspek kultur dalam melakukan self-disclosure pada kelompok tersebut. Dalam pelaksanaannya, penulis menggunakan pendekatan kualitatif - konstruktivistik untuk mengetahui perilaku self-disclosure di kalangan etnis Tionghoa.
Proses pengumpulan data dilakukan pada awal tahun 2001 hingga pertengahan 2002. Kegiatan ini melibatkan teknik participant observation dan teknik wawancara mendalam terhadap lima informan (yang atas permintaan mereka, nama mereka akan dituliskan berdasarkan inisial saja). Kemudian, hasil temuan lapangan dikategorikan ke dalam empat bagian yaitu profil informan, identitas ketionghoaan, interaksi informan dengan kelompok Pribumi (nonTionghoa) dan perilaku self-disclosure.
Dalam studi ini ditemukan bahwa identitas etnisitas (ketionghoaan) yang utama ditentukan oleh asal usul kelahiran, yang lainnya berdasarkan pada tradisi dalam keluarga. Selain itu, terkadang identitas etnis tersebut ditentukan oleh cap sosial (labeling) ataupun oleh peraturan hukum tertentu. Selain itu, studi ini menemukan bahwa dalam berinteraksi, inforrnan melakukan kegiatan interaksi yang tidak terbatas pada kalangan mereka sendiri (sesama Tionghoa). Mereka berinteraksi dengan warga Pribumi serta memiliki kegiatan (ruang/tempat) yang notabene tidak didominasi oleh warga Tionghoa raja.
Studi ini mengemukakan bahwa perilaku self-disclosure dimaknai sebagai perilaku komunikasi, khususnya sebagai cara berinteraksi, sarana untuk berbagi (sharing) maupun strategi untuk menyelesaikan masalah. Perilaku ini bagi mereka bertujuan untuk menjadi sarana berinteraksi, menciptakan kenyamanan (fisik dan psikologis) serta memungkinkan mereka untuk mengontrol situasi komunikasi yang sedang berlangsung.
Pada prakteknya, pemilihan topik pembicaraan berkaitan erat dengan risiko atau konsekuensi yang mengikuti perilaku self-disclosure tersebut. Artinya, pemilihan topik diupayakan sedemikian rupa agar memiliki derajat risiko yang kecil. Oleh karena itu, selain pemilihan topik pembicaraan yang khusus, penetapan hubungan menjadi aspek lain yang dinilai penting ketika individu akan berself-disclosure. Adapun topik-topik yang dipilih adalah topik pembicaraan mengenai keluarga, kesehatan, hobi/minat, pergaulan dengan lawan jenis dan kegiatan di tempat kerja/kuliah. Sementara itu, jenis hubungan yang dipilih adalah hubungan yang bersifat spesifik dan telah berlangsung secara mapan. Hubungan yang diutamakan adalah hubungan persahabatan, lalu hubungan keluarga dan terakhir adalah hubungan pasangan (hubungan percintaan (pacaran) dan hubungan perkawinan).
Jika dikaitkan dengan communicator style yang ada pada informan, studi ini tidak menemukan cara pengucapan yang cadel maupun penggunaan kata ganti berupa 'lu orang', 'dia orang', 'kita orang', dll. Sementara itu, jika dikaitkan dengan gaya komunikasi (dari Stella Ting-Toomey et.al), mereka dapat dikatakan menganut gaya komunikasi personal style (gaya personal). Gaya personal berorientasi kepada individu (komunikator) yang lebih menekankan pada aspek "aku" (identitas ego).
Dalam studi ini juga ditemukan bahwa informan menetapkan pertimbangan khusus berself-disclosure. Menurut informan, pertimbangan khusus perlu diperhitungkan karena biasanya informasi yang dipertukarkan menyangkut hal-hal yang khusus (rahasia/intim), jadi tidak setiap orang dapat mengetahui informasi tersebut. Dalam hal ini pertimbangan khusus itu meliputi penetapan tempat yang spesifik, tidak terganggu oleh kehadiran orang banyak (waktunya khusus), dan sedapat mungkin dilakukan oleh mereka yang memiliki usia yang relatif sebaya.

The research is trying to describe self-disclosure acted by individual from Chinese ethnic. This study takes place in Jakarta and aim to give explanation of the cultural role in acting self disclosure in the group. In carrying out this research, the researcher is using qualitative-constructive approach to find the self-disclosure in the circle of Chinese group.
Data processing was collected in early 2001 through mid 2003. It is using participation observation and in-depth interview technique to the-five informant (which as asked, they want to use an initial name only). Afterwards, the field result is categorized to 4 (four) parts that is Informants profile, Chinese identity, Informants interaction with the indigenous people (non Chinese) and Self-disclosure.
The study has found that identity ethnicity (Chinese) primary is determined by the history of its lineage and others by family tradition. Besides, the ethnic identity is determined by social labeling or by certain rule law. Furthermore, the study found that in their interaction, informants are doing unlimited interaction activities in their own circle (Chinese circle). They interact with the indigenous people and doing activities (space/place), which is not dominated by Chinese group.
This study is putting forward that self-disclosure is a meant to be as communications performance, particularly as the way of interact, tool for sharing and problem solving strategy. To them, self-disclosure purpose as interaction tool, creating comfortable (physic and psychologist) and enable them controlling the-on-going communications situation.
Practically, the selection of discussion topic is closely related with the risk or consequence, which follows the self-disclosure. Meaning that the topic has in such a way tried to have a minimum risk. So that besides particular conversation topic, the establishment of relations is another aspect considered as important thing to the individual who wants to have a self-disclosure. More over, the selected topics are around their family, health, and hobby; socialize with the opposite gender and work/campus activities. In the mean time, the type of relations selected is specific relation and has a long time established been built. The prominent relation for them is friendship relation, family relation and last is couple relation (engagement relation/marriage relation).
If it is connected with the informant's communicator style, this study has not found the way of suffer pronounce or the user of 'lu orang`(you), ' dia orang`(he/she/they), 'kita orang' (we/us), etc. While if it is connected to communication style (from Stella Ting Toomey eta!), they can be said followed communication style of personal style. The personal style is more oriented to the individual (communicator) which more emphasis on the "me" aspect (ego identity).
In this study also found that the informants determine particular consideration for self-disclosure. According to the informants, this particular consideration are needed to be considered as usually the exchange information contains confidential thing, which is only for certain person who they can share with. In this case, the particular consideration include determination of specific space, is not bothered by the presence of many people (particular time), and as possible as acted by those who have the same age.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12402
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Amin Rais
305.895.98 E414
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Tan, Mely G.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008
305.8 MEL e
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Andri
"Penelitian ini membahas mengenai konstruksi identitas etnis dalam proses produksi video YouTube bertema etnis Indonesia-Tionghoa oleh kreator dengan latar belakang etnis yang sama. Penelitian ini menggunakan kerangka pemikiran Sirkuit Budaya dari du Gay 2013 dengan fokus pada interaksi antara momen produksidengan identitas dan konsumsi. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif melalui wawancara mendalam dan analisis isi kualitatif video produksi para kreator YouTube.Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa konstruksi identitas etnis pada video bertema etnis Indonesia Tionghoa di YouTube mengalami negosiasi antara idealisme dan kebutuhan komersial kreator. Penelitian ini juga menemukan bahwa konstruksi identitas etnis dilatarbelakangi proses produksi yang berhubungan dengan momen identitas dan konsumsi pada tingkatan saluran dan individu kreator. Hubungan yang terjadi bersifat sangat kompleks dengan status kreator sebagai etnis Indonesia-Tionghoa sebagai topik sensitif di masyarakat.

This research discusses about ethnic idenitity construction in production process of Chinese Indonesia themed video by YouTube creator from the same ethnic. This study draws from du Gay, et al. 2013 argument about circuit of culture. Using qualitative approach, this study examines the interaction between production, identity, and consumption moments. This study applies social construction strategy and collect data through contextual content analysisand in depth interviews with on three YouTube creators from three different channels.The result shows that construction of Chinese Indonesian identity in the video and production process is compromised between creators rsquo idealism to show resistance about the stereotypes and commercial need to get user views that led to advertising revenue. This research also learns that identity construction in the video is interwined between moment of production, moment of identity and consumption in both channel level and individual level of the creator. The relationship between these three moments is very complex in regard to Chinese Indonesian as a sensitive topic."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2017
S68636
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1984
S6564
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mariana Makmur
"ABSTRAK
Orang Tionghoa di Indonesia seperti sudah banyak diketahui sering
dikelompokkan dalam kategori totok dan peranakan. Ukuran ketotokan dan keperanakan itu bisa bermacam-macam, antara lain ada yang
mengidentikkan totok dengan mereka yang asli keturunan Cina, sedangkan
peranakan adalah mereka yang merupakan keturunan campuran. Ada pula yang mengkategorikan totok itu ialah mereka yang lahir di Tiongkok.
Sedangkan mereka yang lahir di Indonesia adalah peranakan. Kriteria yang lain melihat dari kebudayaan masyarakat atau kelompok orang Tionghoa yang bersangkutan. Orang Tionghoa Totok adalah mereka yang masih memiliki dan memegang teguh tradisi Cina dan masih menggunakan secara aktif bahasa Tionghoa baik yang Mandarin maupun dialek seperti Kanton, Hakka, Teochiu. Sedangkan peranakan adalah mereka yang sudah kehilangan kemampuan untuk menggunakan bahasa Tionghoa dan aktif menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa daerah serta terintegrasi dengan penduduk setempat (Skinner 1979:10-11, Suryadinata 1978:2) Diantara golongan totok dan golongan peranakan disamping terdapatnya perbedaan orientasi politik juga terdapat perbedaan dalam pandangan hidup, gaya hidup dan berbagai macam perbedaan lainnya yang dapat dirasakan oleh kedua belah pihak secara jelas bahwa mereka sebenarnya berbeda, tetapi hal ini akan sulit dirasakan dan diketahui oleh orang luar (Willmott 1960 : 107). Didalam kehidupan sehari-hari, golongan totok lebih suka bekerja untuk diri sendiri dan banyak bergerak di bidang usaha, sedangkan golongan peranakan lebih beraneka-ragam pekerjaannya (Skinner 1979: 11-16).
Penjelasan selanjutnya dibawah ini difokuskan pada masalah aturan-aturan yang berlaku bagi orang-orang Tionghoa di Indonesia, baik totok maupun peranakan semenjak zaman Hindia Belanda sampai masa kini.
Semenjak masa pemerintahan Hindia Belanda dahulu terdapat berbagai macam undang-undang, peraturan-peraturan, dan ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi penduduk di Hindia Belanda.
"
1993
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ernawati Purwaningsih
"This descriptive qualitative research examines social solidarity of the Chinese and Javanese (pesantren) ethnic groups in Lasem. Both Chinese and Javanese ethnic groups live side by side safely and peacefully, thus creating a harmonious life. The aim of this research is to explain the mechanical and organic solidarity between the Chinese and the santris living in the pesantren (Islamic Boarding School) in Kauman, Lasem. The research result indicates that organic solidarity can be seen when these two ethnic groups help each other in various activities. For example, in the haul (commemoration of the death of a person) of Mbah Sambu held by the Kauman Islamic boarding school, the Chinese ethnic gave support both morally and materially. Similarly, when the Chinese ethnic commemorate their feast days, they will receive support from the pesantren."
D.I. Yogyakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2018
400 JANTRA 13:2 (2018)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>