Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 124296 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
S6928
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hesti Armiwulan S.
"Negara Republik Indonesia sejak awal kemerdekaan sesungguhnya telah memiliki komitmen untuk menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Hal ini dapat dipahami dari UUD Tahun 1945 yang menegaskan bahwa Indonesia adalah negara yang berdasar pada paham kedaulatan rakyat, negara yang berdasar pada hukum serta sistem Konstitusi. Artinya berdasarkan ketiga pilar tersebut maka adanya jaminan pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia adalah salah satu prinsip dari Demokrasi, Negara Hukum dan Sistem Konstitusi yang harus diwujudkan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Konsekuensinya Negara mempunyai kewajiban untuk menjamin kebebasan, kesetaraan dan prinsip non diskriminasi bagi semua orang yang harus tercermin dalam penyelenggaraan pemerintahan. Mengenai hal ini telah ditentukan dalam Pasal 28 I Ayat (4) dan Ayat (5) UUD Negara RI Tahun 1945. Namun sepanjang perjalanan kehidupan ketatanegaraan Indonesia ternyata masih ada praktik-praktik penyelenggaraan negara yang tidak mencerminkan adanya jaminan terhadap kebebasan, kesetaraan dan prinsip non diskriminasi yang merupakan esensi dari perlindungan hak asasi manusia. Salah satu contoh adalah praktik diskriminasi rasial yang tetap menjadi current issue di semua rezim pemerintahan di Indonesia, bahkan di era Reformasi yang menyatakan sebagai pemerintahan yang lebih demokratis dan menjunjung tinggi hak asasi manusia justru praktik diskriminasi rasial yang berujung pada konflik horisontal terjadi di berbagai wilayah di Indonesia. Persoalan diskriminasi rasial sangat potensial terjadi di Indonesia, mengingat jumlah penduduknya yang sangat banyak dengan berbagai suku bangsa, ras dan etnis (multi etnis) serta tingkat pendidikan yang relatif masih rendah. Sementara harus diakui bahwa sampai saat ini upaya yang dilakukan belum dapat menghentikan praktik-praktik diskriminasi rasial. Semboyan Bhineka Tunggal Ika dan berbagai peraturan perundang-undangan tidak cukup menjawab persoalan mengenai diskriminasi ras dan etnis. Studi tentang etnis Tionghoa yang dilakukan secara komprehensif diharapkan mampu untuk memetakan problematika diskriminasi ras dan etnis di Indonesia sekaligus membangun kesadaran bagaimanakah wujud perlindungan hukum yang tepat untuk menghentikan praktik diskriminasi rasial di Indonesia. Etnis Tionghoa adalah salah satu etnis yang secara terus menerus menyuarakan perlawanan terhadap praktik diskriminasi rasial yang dialami oleh etnis Tionghoa, namun di sisi yang lain dominasi ekonomi oleh etnis Tionghoa juga disebut sebagai sebab praktik diskriminasi rasial yang dilakukan oleh etnis Tionghoa terhadap etnis yang lain. Model pendekatan hukum hak asasi manusia dapat digunakan sebagai pisau analisis untuk menghentikan praktik diskriminasi rasial di Indonesia. Hukum hak asasi manusia menjamin kebebasan setiap orang namun disisi yang lain juga diperlukan adanya pembatasan kebebasan dengan tujuan untuk menghormati kebebasan tersebut. Hukum hak asasi manusia memuat larangan diskriminasi atas dasar apapun termasuk larangan diskriminasi rasial, namun untuk mewujudkan prinsip kesetaraan diperlukan juga langkah-langkah khusus (tindakan affirmatif) yang ditujukan untuk kelompok masyarakat tertentu. Tindakan affirmatif adalah pembedaan yang tidak boleh dinilai sebagai perbuatan diskriminatif. Selain itu untuk sampai pada penyelesaian akar masalah diskriminasi rasial maka memaknai keadilan yang diwujudkan dalam sistem hukum yang intergratif dan tersedianya mekanisme penegakan yang komprehensif adalah sebuah keharusan dalam paham konstitusionalisme.

Since the beginning the Republic of Indonesia in fact, already had commitment to respect and uphold human rights. This could be understood from Constitution of Republic Indonesia 1945 which stated that Indonesia is a country based on the understanding of sovereignty, which is based on Rule of Law and Constitution system. That is based on three pillars guarantees the recognition and protection of human rights is one of the principles of Democracy, Rule of Law and Constitution System should be realized in Constitutional law system. This brought a consequence for the State, which has obligation to guarantee freedom, equality and the principle of non-discrimination for all people that should be reflected in governance. This matter has been specified in Paragraph I of Article 28 (4) and (5) the Constitution of Republic Indonesia 1945. However, throughout as long as the experiences of Indonesia, the lack of state enforcement practices that do not reflect a guarantee of liberty, equality and non-discrimination principles which is the essence of the protection of human rights. One example is the practice of racial discrimination that remains as current issue in all regimes of governance in Indonesia, even in reformation era that states as a more democratic government and respect for human rights is precisely the practice of racial discrimination that leads to horizontal conflicts occur in various areas Indonesia. The issue of potential racial discrimination occurred in Indonesia, considered the vast amount of people from different ethnic, racial and ethnic groups (multi-ethnic) and educational level is still relatively low. While it must be admitted that so far, the efforts have not been able to end the practice of racial discrimination. The motto Unity in Diversity and the various laws and regulations do not adequately addressed the question of racial and ethnic discrimination. The study of ethnic Chinese that has been done, hopefully will be able to comprehensively map the problem of racial and ethnic discrimination in Indonesia as well as build awareness on how to form the legal protection to end the practice of racial discrimination in Indonesia. Ethnic Chinese is one of the ethnic that continually active engaged in opposition to practice of racial discrimination faced by ethnic Chinese, but on the other hand by the Chinese economic dominance also mentioned as the reason for the practice of racial discrimination committed by the Chinese against other ethnic groups. Model approach to human rights law can be used as an analytical knife to stop the practice of racial discrimination in Indonesia. Human rights law guarantees freedom of every person, but on the other also required the restriction of freedom in order to respect these freedoms. Human rights law includes the prohibition of discrimination on any ground, including the prohibition of racial discrimination, but to embody the principle of equality is also required special measures (affirmative action) aimed at specific communities. Affirmative action is a distinction that should not be considered as discriminatory acts. In addition to the completion of the root of the problem of racial discrimination, therefore to make sense of justice embodied in the legal system integrative and the availability of a comprehensive enforcement mechanism is a necessity in understanding of constitutionalism.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Helena Dewi Justicia
"ABSTRAK
Studi ini menguji pengaruh faktor orientasi religius, diskriminasi dan
Right-Wing Aurhor-irarianism dalam membentuk prasangka. Sebanyak 128
responden berusia 21-35 tahun dari elnis Tionghoa yang, beragama Kristen
dan Katolik mengisi kuesioner untuk mengukur variabel-variabei
penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa diskriminasi dan right-wing authoritarianism dapat menjadi variabel moderator bagi orientasi
religius dalam membentuk prasangka. Saran bagi pcnelitian selanjutnya
adalah mengembangkan penelitian mengenai orientasi religius dan
pengaruhnya terhadap prasangka."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
T37931
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Amin Rais
305.895.98 E414
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Megah Ria
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2010
S5225
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Chandra Linsa Hikmawati
"ABSTRAK
Penelitian ini membahas mengenai pemerkosaan massal terhadap perempuan Tionghoa dalam Tragedi Mei 1998 di Jakarta. Beberapa studi yang membahas kekerasan terhadap masyarakat Tionghoa dalam Tragedi Mei 1998 di Jakarta sedikit yang menaruh perhatian pada kekerasan terhadap perempuan Tionghoa (misalnya Purdey 2013; Siegel 1998; dan TadiƩ 2009). Beberapa penulis yang mencoba memberikan perhatian seperti Heryanto (2000) dan Wichelen (2000) masih melihat masalah itu dari satu aspek bahasan seperti kekerasan negara dan gender. Dengan menggunakan metode kualitatif yaitu dengan pemeriksaan dokumen yang relevan dan studi literatur, penelitian ini berargumen bahwa pemerkosaan terhadap perempuan Tionghoa merupakan peristiwa yang kompleks dan perlu dilihat dengan penjelasan yang lebih dalam. Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan peristiwa tersebut dengan konsep opresi atau kekerasan berlapis dengan menggunakan konsep kekerasan struktural, interseksionalitas, ideologi gender negara, dan pemerkosaan massal. Opresi berlapis terhadap masyarakat Tionghoa melihat bahwa posisi mereka yang kuat secara ekonomi namun lemah secara sosial-politik telah membangun akar sentimen masyarakat pribumi terhadap masyarakat Tionghoa. Situasi tersebut semakin rumit dengan adanya ideologi gender negara serta budaya patriarki masyarakat dalam memandang perempuan (konstruksi sosial keperempuanan sebagai simbol kehormatan dan objektifikasi dari tubuh perempuan)."
Jakarta: Departemen Ilmu Politik FISIP UI, 2017
320 JURPOL 2:2 (2017)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Ruly Karnadi
"Proses pemilihan teman hidup merupakan satu tahap yang berlangsung sebelum searang pria dan seorang wanita memasuki kehidupan berkeluarga. Dalam proses ini terdapat pertimbangan terhadap berbagai faktor, seperti pendidikan, sifat, keadaan fisik, agama, dimana seluruh faktor pertimbangan pada dasarnya tercakup dalam tiga kelompok ciri, yaitu ciri sosial-budaya, fisik dan ciri-ciri yang berkaitan dengan aspek mental. Adanya pertimbangan dalam memilih teman hidup ternyata menyebabkan seseorang cenderung menyukai teman lawan jenis yang memiliki beberapa faktor kesamaan dengan dirinya sendiri terjadi kecenderungan homogami pada karakteristik tertentu. atau Kecenderungan untuk mempersamakan karakteristik tidak terjadi pada seluruh faktor pertimbangan karena pada kenyataannya ada tingkat-tingkat kepentingan di dalam memilih teman hidup, dalam arti bahwa, ada faktor-faktor tertentu yang dianggap sangat penting sehingga merupakan syarat utama yang harus terpenuhi, tetapi di samping itu ada pula persyaratan ideal yang diharapkan dapat terpenuhi- Pada tingkat terakhir diperoleh pula faktor yang kurang mendapat perhatian karena dianggap kurang berperanan dalam kelangsungan hidup berkeluarga. Golongan etnis Tionghoa di Jakarta, khususnya peserta dari biro atau kontak - jodoh, tentunya memiliki urutan prioritas tertentu sesuai dengan sistem nilai yang dianutnya, lagi, tingkat persyaratan terhadap ciri sosial-budaya, fisik dan mental ternyata memperlihatkan pula bahwa antara pria Tionghoa dengan wanita Tionghoa terdapat perbedaan urutan tingkat kepentingan walaupun keduanya menempatkan sifat sebagai faktor persyaratan yang paling utama."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1990
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chandra Kirana
"Penelitian ini berupaya untuk mendeskripsikan perilaku self-disclosure yang dilakukan oleh individu beretnis Tionghoa. Studi yang mengambil setting di Jakarta ini bertujuan untuk menjelaskan peranan aspek kultur dalam melakukan self-disclosure pada kelompok tersebut. Dalam pelaksanaannya, penulis menggunakan pendekatan kualitatif - konstruktivistik untuk mengetahui perilaku self-disclosure di kalangan etnis Tionghoa.
Proses pengumpulan data dilakukan pada awal tahun 2001 hingga pertengahan 2002. Kegiatan ini melibatkan teknik participant observation dan teknik wawancara mendalam terhadap lima informan (yang atas permintaan mereka, nama mereka akan dituliskan berdasarkan inisial saja). Kemudian, hasil temuan lapangan dikategorikan ke dalam empat bagian yaitu profil informan, identitas ketionghoaan, interaksi informan dengan kelompok Pribumi (nonTionghoa) dan perilaku self-disclosure.
Dalam studi ini ditemukan bahwa identitas etnisitas (ketionghoaan) yang utama ditentukan oleh asal usul kelahiran, yang lainnya berdasarkan pada tradisi dalam keluarga. Selain itu, terkadang identitas etnis tersebut ditentukan oleh cap sosial (labeling) ataupun oleh peraturan hukum tertentu. Selain itu, studi ini menemukan bahwa dalam berinteraksi, inforrnan melakukan kegiatan interaksi yang tidak terbatas pada kalangan mereka sendiri (sesama Tionghoa). Mereka berinteraksi dengan warga Pribumi serta memiliki kegiatan (ruang/tempat) yang notabene tidak didominasi oleh warga Tionghoa raja.
Studi ini mengemukakan bahwa perilaku self-disclosure dimaknai sebagai perilaku komunikasi, khususnya sebagai cara berinteraksi, sarana untuk berbagi (sharing) maupun strategi untuk menyelesaikan masalah. Perilaku ini bagi mereka bertujuan untuk menjadi sarana berinteraksi, menciptakan kenyamanan (fisik dan psikologis) serta memungkinkan mereka untuk mengontrol situasi komunikasi yang sedang berlangsung.
Pada prakteknya, pemilihan topik pembicaraan berkaitan erat dengan risiko atau konsekuensi yang mengikuti perilaku self-disclosure tersebut. Artinya, pemilihan topik diupayakan sedemikian rupa agar memiliki derajat risiko yang kecil. Oleh karena itu, selain pemilihan topik pembicaraan yang khusus, penetapan hubungan menjadi aspek lain yang dinilai penting ketika individu akan berself-disclosure. Adapun topik-topik yang dipilih adalah topik pembicaraan mengenai keluarga, kesehatan, hobi/minat, pergaulan dengan lawan jenis dan kegiatan di tempat kerja/kuliah. Sementara itu, jenis hubungan yang dipilih adalah hubungan yang bersifat spesifik dan telah berlangsung secara mapan. Hubungan yang diutamakan adalah hubungan persahabatan, lalu hubungan keluarga dan terakhir adalah hubungan pasangan (hubungan percintaan (pacaran) dan hubungan perkawinan).
Jika dikaitkan dengan communicator style yang ada pada informan, studi ini tidak menemukan cara pengucapan yang cadel maupun penggunaan kata ganti berupa 'lu orang', 'dia orang', 'kita orang', dll. Sementara itu, jika dikaitkan dengan gaya komunikasi (dari Stella Ting-Toomey et.al), mereka dapat dikatakan menganut gaya komunikasi personal style (gaya personal). Gaya personal berorientasi kepada individu (komunikator) yang lebih menekankan pada aspek "aku" (identitas ego).
Dalam studi ini juga ditemukan bahwa informan menetapkan pertimbangan khusus berself-disclosure. Menurut informan, pertimbangan khusus perlu diperhitungkan karena biasanya informasi yang dipertukarkan menyangkut hal-hal yang khusus (rahasia/intim), jadi tidak setiap orang dapat mengetahui informasi tersebut. Dalam hal ini pertimbangan khusus itu meliputi penetapan tempat yang spesifik, tidak terganggu oleh kehadiran orang banyak (waktunya khusus), dan sedapat mungkin dilakukan oleh mereka yang memiliki usia yang relatif sebaya.

The research is trying to describe self-disclosure acted by individual from Chinese ethnic. This study takes place in Jakarta and aim to give explanation of the cultural role in acting self disclosure in the group. In carrying out this research, the researcher is using qualitative-constructive approach to find the self-disclosure in the circle of Chinese group.
Data processing was collected in early 2001 through mid 2003. It is using participation observation and in-depth interview technique to the-five informant (which as asked, they want to use an initial name only). Afterwards, the field result is categorized to 4 (four) parts that is Informants profile, Chinese identity, Informants interaction with the indigenous people (non Chinese) and Self-disclosure.
The study has found that identity ethnicity (Chinese) primary is determined by the history of its lineage and others by family tradition. Besides, the ethnic identity is determined by social labeling or by certain rule law. Furthermore, the study found that in their interaction, informants are doing unlimited interaction activities in their own circle (Chinese circle). They interact with the indigenous people and doing activities (space/place), which is not dominated by Chinese group.
This study is putting forward that self-disclosure is a meant to be as communications performance, particularly as the way of interact, tool for sharing and problem solving strategy. To them, self-disclosure purpose as interaction tool, creating comfortable (physic and psychologist) and enable them controlling the-on-going communications situation.
Practically, the selection of discussion topic is closely related with the risk or consequence, which follows the self-disclosure. Meaning that the topic has in such a way tried to have a minimum risk. So that besides particular conversation topic, the establishment of relations is another aspect considered as important thing to the individual who wants to have a self-disclosure. More over, the selected topics are around their family, health, and hobby; socialize with the opposite gender and work/campus activities. In the mean time, the type of relations selected is specific relation and has a long time established been built. The prominent relation for them is friendship relation, family relation and last is couple relation (engagement relation/marriage relation).
If it is connected with the informant's communicator style, this study has not found the way of suffer pronounce or the user of 'lu orang`(you), ' dia orang`(he/she/they), 'kita orang' (we/us), etc. While if it is connected to communication style (from Stella Ting Toomey eta!), they can be said followed communication style of personal style. The personal style is more oriented to the individual (communicator) which more emphasis on the "me" aspect (ego identity).
In this study also found that the informants determine particular consideration for self-disclosure. According to the informants, this particular consideration are needed to be considered as usually the exchange information contains confidential thing, which is only for certain person who they can share with. In this case, the particular consideration include determination of specific space, is not bothered by the presence of many people (particular time), and as possible as acted by those who have the same age.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12402
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sheyla Novotna
"Hubungan Tionghoa dan pribumi telah lama mengalami keretakan. Meskipun demikian, masih ada kaum Tionghoa yang berpihak pada pribumi. Keberpihakan ini tidak jarang membuat mereka justru mengkritik perilaku etnisnya sendiri. Kritik-kritik tersebut dapat dilihat dalam berbagai novel Melayu-Tionghoa, salah satunya Cerita Oey Se karya Thio Tjin Boen. Berkaitan dengan hal itu, penulis ingin memaparkan kritik dan fungsi kritik masyarakat Tionghoa terhadap etnisnya sendiri yang terdapat di dalam novel Cerita Oey Se karya Thio Tjin Boen. Selain itu, akan dipaparkan pula latar belakang keretakan hubungan pribumi dan Tionghoa. Dengan demikian, penelitian ini bertujuan untuk memaparkan kritik serta fungsi kritik terhadap kaum Tionghoa dalam Cerita Oey Se dan latar belakang keretakan hubungan pribumi dan Tionghoa. Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif dengan pendekatan sosiologi sastra. Melalui penelitian ini dapat disimpulkan bahwa keretakan hubungan pribumi dan Tionghoa dilatarbelakangi oleh beberapa faktor seperti, posisi kaum Tionghoa sebagai kaum minoritas perantara dan terjadinya Perang Jawa. Selain itu, dapat dilihat pula bahwa kritik dalam novel Cerita Oey Se disampaikan melalui komentar pencerita dan berfungsi sebagai alat komunikasi untuk menunjukkan perilaku-perilaku menyimpang yang ada di masyarakat pada masa itu.

Tionghoa and pribumi relationship has long been fractured. Even so, there were still Tionghoa who sided with pribumi. This alignment often makes them criticize their own ethnic behavior. These criticisms can be seen in various Malay-Chinese novels, one of them is Cerita Oey Se by Thio Tjin Boen. Regarding to that matter, the author wishes to explain the criticism and criticism function of the Tionghoa community towards their own ethnic contained in the Cerita Oey Se novel by Thio Tjin Boen. The background of the fractures of pribumi and Tionghoa relationship will also be explained. Thus, this study aims to describe the criticism and function of criticism towards Tionghoa in the Cerita Oey Se and the background of the fracture of pribumi and Tionghoa relationship. This research uses a descriptive research method with the literature sociology approach. Through this research, it can be concluded that the fracture of pribumi and Tionghoa relationship was caused by several factors such as the position of the Tionghoa as a middleman minority and the occurrence of the Java War. It can also be seen that the criticism in the Cerita Oey Se novel is conveyed through the narrator's comments and serves as a communication tool to show deviant behavior in society at that time."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2020
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Musfiratun
"ABSTRAK
Tesis ini membahas tentang konsep diri pelaku konversi agama etnis Tionghoa yang merupakan anggota Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) Jakarta.
Identitas orang Tionghoa Indonesia mengalami pasang surut dari era kolonial
hingga Orde Baru, karena asal etnis mereka, orang Tionghoa tidak dianggap
sebagai penduduk asli Indonesia meskipun keberadaan mereka di negara ini sudah lama. Persepsi ini membuat orang Tionghoa mendapatkan status sebagai orang asing yang seringkali menerima diskriminasi. Hal paling dilematik yang terjadi adalah identitas diri dari mualaf Tionghoa yang berada di persimpangan di antara identitas Tionghoa dan identitas Pribumi.
Penelitian ini menggunakan teori Looking Glass Self yang dikemukakan oleh
Charles H. Cooley untuk membahas mengenai identitas dan konsep diri dari
pelaku konversi agama. Sedangkan jenis penelitian yang digunakan adalah
pendekatan kualitatif, fenomena konversi agama dianalisis melalui prespektif fenomenologi subjek sehingga diharapkan mampu merekonstruksi kehidupan yang dialami oleh setiap subjek penelitian. Keempat subjek penelitian dipilih dengan cara sampling purposive dengan kriteria 1) Merupakan pelaku konversi agama Islam yang berasal dari etnis Tionghoa, 2) Merupakan anggota aktif dari organisasi PITI Jakarta yang tercatat dan mengikuti berbagai kegiatan dari PITI.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa setiap subjek penelitian memiliki motifmotif personal yang melatarbelakangi proses konversi agama. Tahapan terakhir dari proses konversi agama adalah adanya perubahan konsep diri dan pembentukkan identitas baru dari keempat subjek penelitian. Perubahan konsep diri pada pelaku konversi agama etnis Tionghoa berlangsung secara bertahap seiring interaksinya dengan lingkungan. Berbagai peristiwa yang mengiringi subjek dalam proses konversi agama turut andil dalam pembentukan konsep diri

ABSTRAK
This thesis studies about self concepts of Tionghoa religion converts in Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) Jakarta. The identity of Tionghoa people experienced up and down from colonial times until the new order, because of their ethnic status, Tionghoa people never considered as Indonesia citizen although they have lived in this country for a long time. The perception makes Tionghoa people experienced discrimination. The most complicated that happen are the identitiy of Tionghoa converts is at the intersection between Tionghoa and Indonesia.
This research used looking glass self theory presented by Charles H Cooley to explain about identity and self concepts of religion converts. this thesis used qualitative approach, the phenomena analysed through phenomenology prespective which mean the subjects could reconstruct their life as what they have done. The number of subjects are four choosen by purposive sampling with criteria considered 1) Tionghoa converts to Islam 2) is an active member of PITI Jakarta.
The result of this research showed that mostly of the subjects have several
personal motives that can be predisposed them to conversion. The last and
important part of the conversion process typically canging self concept and
forming new identity of the four subject. The canging self concepts of Tionghoa converts took place gradually, over its interaction with the environment. The various events that centered the subjects in the conversion process, interfering to formed the self concepts"
2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>