Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 82959 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Evita Ratna Panji Putri
"Setiap manusia memiliki teritori pribadinya masing-masing yang merupakan batasan dalam berhubungan dengan orang di luar dirinya. Di lain pihak, manusia merupakan makhluk sosial. Hal tersebut membuat manusia tidak dapat hidup sendiri dan akan berinteraksi sosial dengan manusia lainnya. Saat terbentuk sebuah kelompok dari interaksi yang terjadi antar manusia tersebut, maka mereka akan membentuk sebuah teritori yang menjadi batasan yang kasat mata bagi orang asing di luar kelompok mereka. Orang yang tergabung dalam suatu teritori kelompok akan merasakan ikatan emosi yang kuat dengan teritori tersebut dan akan berusaha untuk melindungi teritori kelompoknya dari serangan pihak luar. Intervensi teritori hampir dapat dikatakan tidak mungkin terhindarkan. Namun, setiap orang memiliki cara masing-masing dalam menangani intervensi tersebut. Reaksi yang dikeluarkan oleh orang dewasa berbeda dengan reaksi anak kecil yang cenderung masih labil dan reaktif. Intervensi teritori pada wilayah anakanak mungkin dapat menyebabkan perselisihan yang besar.

Every human has their own territory which is a limitation in dealing with people outside of themself. On the other hand, humans are social beings. It makes a human can not live alone and will interact socially with other human beings. When forming a group of interactions that occur between people, they will form a territory that became visible limits to foreigners outside their group. People who are members of a group territory will feel a strong emotional bond with the territory and will seek to protect the territory from intervention outside their group. We can always say that interventions of territory will appear. However, everyone has their own way in dealing with these interventions. Reaction from adults are different from young children who tend to be still unstable and reactive. Because of that, intervention in the area of children`s territories may cause great strife."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2012
S1730
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
"Buku yang berjudul "Himpunan surat keputusan Gubernur KDKI Jakarta mengenai pengelolaan lingkungan" ini merupakan sebuah buku yang membahas tentang keputusan Gubernur DKI Jakarta mengenai pengelolaan lingkungan."
Jakarta: PPPPL DKI, 1990
R 711 HIM
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
Karyanto
"ABSTRAK
Pembangunan lingkungan hidup merupakan subsistem dari pembangunan nasional secara keseluruhan. Pembangunan nasional adalah kegiatan terencana yang dilakukan secara terus menerus daiam rangka mencapai tujuan nasional. Setiap kegiatan pembangunan tersebut diperkirakan menimbulkan dampak negatif di samping manfaat positif terhadap lingkungan hidup. Untuk mencegah dampak negatif dan memperbesar manfaat positif tersebut, telah dilaksanakan pembangunan lingkungan hidup sebagaimana arahan dalam GBHN 1993 yaitu terwujudnya kelestarian fungsi lingkungan hidup dalam keseimbangan dan keserasian yang dinamis dengan perkembangan kependudukan agar dapat menjamin pembangunan nasional yang berkelanjutan.
Tanggungjawab dalam pengendalian dampak lingkungan hidup merupakan komitmen bersama antara pemerintah dan masyarakat. Sedangkan untuk mencapai tujuan pembangungan lingkungan hidup tersebut telah dibuat berbagai kebijaksanaan dan perangkat hukum pendukungnya baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Hai ini sesuai dengan prinsip pembangunan itu sendiri bahwa pembangunan dilaksanakan secara menyeluruh dan merata baik di pusat, di daerah, di perkotaan, dan di perdesaan. Demikian juga dalam kelembagaan bidang lingkungan hidup. Di tingkat pusat telah dibentuk Kementerian Lingkungan Hidup, Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (BAPEDAL) Pusat dengan badan lininya di daerah yaitu BAPEDAL Wilayah. Di tingkat daerah pun secara formal diperbolehkan membentuk Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah baik di Daerah Tingkat I maupun Daerah Tingkat Il. Dasar hukumnya adalah Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 98 tahun 1996 tentang Pedoman Pembentukan, Organisasi, dan Tatakerja Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah.
Sebelum Kepmendagri Nomor 98/1996 dan Keputusan Kepala Bapedal Nomor 135/1995 tentang Bapedal Wilayah diterbitkan, di Kotamadya Daerah Tingkat II Semarang telah dibentuk suatu lembaga yang mempunyai otoritas formal dalam pengendalian dampak lingkungan yang disebut Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (BAPEDALDA). Dasar hukum pembentukannya adalah Keputusan Gubernur KDH Tingkat I Jawa Tengah Nomor 061.1/34/1992 tentang Pembentukan, Susunan Organisasi dan Tatakerja Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (BAPEDALDA) Kotamadya Daerah Tingkat II Semarang.
Menilik pembangunan industri di Semarang yang kian pesat, jumlah industri besar dan menengah 292 buah, industri kecil 4.868 buah, dan industri yang potensial mencemari lingkungan 267 buah, maka setiap dampak kegiatannya dipastikan menimbulkan permasalahan lingkungan hidup seperti masalah air bersih, limbah, penghijauan, transportasi. Dengan demikian maka keberadaan BAPEDALDA Kotamadya Dati II Semarang dirasa sangat penting.
Pembentukan BAPEDALDA yang relatif baru dengan tanggungjawab dalam menangani permasalahan lingkungan yang besar merupakan obyek menarik untuk diteliti.
Permasalahan dalam penelitian ini meliputi :
1. Permasalahan menyangkut kinerja (performance) lembaga BAPEDALDA Kotamadya Dati II Semarang dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
2. Permasalahan hukum; berupa taraf sinkronisasi vertikal, yaitu tingkat kesesuaian antara Keputusan Gubernur KDH I Jawa Tengah Nomor 061.1/3411992 dengan Kepmendagri Namor 98 tahun 1996.
Tujuan penelitian ini adalah :
1. Mengatahui kinerja lembaga BAPEDALDA Kotamadya Dati II Semarang dan mengidentifikasi faktor-faktor apa yang mempengaruhinya.
2. Mendalami dan menganalisis aspek-aspek hukum yang mendasari pembentukan Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (BAPEDALDA) Kotamadya Dati II Semarang.
Unit analisis dalam penelitian ini adalah organisasi BAPEDALDA Kotamadya Dati II Semarang. Populasinya adalah keseluruhan karyawan BAPEDALDA berjumlah 29 orang. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif, eksploratif, dan metode penelitian hukum normatif taraf sinkronisasi vertikal. Analisis data yang digunakan adalah deskriptif kualitatif yaitu menggambarkan secara rinci fenomena, katagori, dan karakteristik tertentu dan secara kuantitatif yaitu menggunakan instrumen statistik regresi linier berganda dengan bantuan SPSS for Window. Sedangkan yang terkait dengan hukum menggunakan instrumen Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR Gotong Royong, dimana di dalamnya terdapat Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan Republik Indonesia.
Hasil penelitian adalah :
1. Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (BAPEDALDA) Kotamadya Dati II Semarang diselenggarakan berdasarkan atas desantralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan (medebewind) dalam rangka peningkatan otonomi daerah di bidang pengendalian dampak lingkungan hidup.
2. Program kegiatan yang berhasil dilaksanakan oleh BAPEDALDA Kotamadya Dati II Semarang adalah; Program Kali Bersih, Program Penanganan Kasus Pencemaran Lingkungan, Program Pengawasan RKL dan RPL, Program Pengendalian Dampak Usaha Kecil, Program Identifikasi Pencemaran Sungai, Program Pengendalian Kerusakan Lingkungan, Program Pembuatan Buku Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Program Pembangunan Laboratorium Lingkungan, Kursus Apresiasi AMDAL, dan Program Penanganan Lingkungan Dukuh Tapak.
3. Kinerja lembaga BAPEDALDA Kotamadya Dati II Semarang dilihat dari realisasi pelaksanaan program terhadap target yang ditetapkan dan tingkat kepuasan karyawan daiam pelaksanaan program kegiatan memiliki katagori tinggi, yaitu persentase rata-ratanya 90,24%.
4. Kinerja lembaga BAPEDALDA Kotamadya Dati II Semarang dalam upaya pengendalian dampak lingkungan dipengaruhi oleh faktor-faktor tatakerja dan proses organisasi meliputi; kepemimpinan, komunikasi, koordinasi, sumberdaya, dan struktur organisasi. Faktor kepemimpinan mencakup perhatian pimpinan terhadap upaya pengendalian dampak lingkungan dan perhatian kepentingan bawahan. Faktor komunikasi mencakup pemberian informasi, pemahaman langkah kegiatan, dan kemudahan melakukan interaksi dalam pelaksanaan pengendalian dampak lingkungan. Faktor koordinasi mencakup koordinasi antar unit dan koordinasi antar instansi dalam upaya pengendalian dampak lingkungan. Faktor sumberdaya mencakup sumberdaya manusia, sumberdana lembaga, bahan dan peralatan. Faktor struktur organisasi mencakup pola pendelegasian wewenang dan tanggungjawab, ada/tidaknya kegiatan pengendalian dampak lingkungan yang tumpang tindih. Rata-rata skor termasuk dalam katagori tinggi yaitu 89,62%.
5. Berdasarkan hasil analisis regresi linier berganda, diketahui bahwa kinerja BAPEDALDA Kotamadya Dati II Semarang dipengaruhi oleh faktor kepemimpinan, komunikasi, koordinasi, sumberdaya, dan struktur organisasi. Hal ini ditunjukkan oleh F hitung sebesar 75,404 lebih besar dari F tabel sebesar 2,02. Berdasarkan nilai R2 = 0,943 dapat disimpulkan bahwa kinerja BAPEDALDA dipengaruhi oleh beberapa faktor. Dari seluruh faktor tersebut ternyata kepemimpinan memberikan kontribusi terbesar dalam menentukan kinerja BAPEDALDA dengan koefsien persamaan sebesar 1,304.
6. BAPEDALDA Kotamadya Dati II Semarang yang sudah terbentuk adalah Badan Staf Pemerintah Daerah sebagai unsur pembantu Walikotamadya, bukan perangkat daerah yang memiliki kewenangan langsung dalam pelaksanaan tugas pengendalian dampak lingkungan. Namun dalam pelaksanaannya sudah berfungsi sebagai perangkat daerah yang mempunyai kewenangan langsung dalam pengendalian dampak lingkungan di Kotamadya Dati II Semarang.
7. Meskipun ada perbedaan susunan organisasi BAPEDALDA Kotamadya Dati II Semarang berdasarkan Kepgub No. 061.1134/1992 dengan Kepmendagri No. 98 tahun 1996, namun lembaga tersebut sudah berjalan sesuai dengan fungsinya. Dengan mengacu pada pasal 90 ayat (4) Kepmendagri Nomor 98 tahun 1996, bahwa perubahan susunan organisasi BAPEDALDA Tingkat I, BAPEDALDA Tingkat II dan BAPEDALDA Kotamadya ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri setelah mendapat pertimbangan teknis dari Kepala BAPEDAL dan persetujuan tertulis dari Menteri yang bertanggungjawab di bidang Pendayagunaan Aparatur Negara (MENPAN), maka perbedaan tersebut dimungkinkan.

ABSTRACT
Institutional Analysis Of District Environmental Impact Control Agency OfSemarangEnvironmental development is a sub system of national development as a whole. National development is a planned activity which is carried out continuously in order to achieve national goal. Each activity of development is expected to cause both positive and negative impact towards the environment. To prevent negative impact and to increase positive benefit, environmental development has been carried out as directed by the [993 GBHN, namely, the realization of sustained environmental function in a balance and dynamic harmony equilibrium with population growth in order to guarantee sustainable national development.
Responsibility in controlling environmental impact is a joint commitment between the government and society. Whereas, in order to achieve environmental development goal, various policies and supporting laws and regulations have been made both at the national and regional level. This in accordance with development principles, namely that development is implemented in its entirety at the national and regional level, in rural and urban areas. The same is true in environmental institutions.
At the national level, the office of the State Minister for Environment, Environmental Impact Control Agency (BAPEDAL) and its line agents in the regions namely Regional Environment Impact Control Agency (BAPEDAL Wilayah) were established. At the regional level Provincial Environmental Impact Control Agency (BAPEDALDA I) and District Environmental Impact Control (Bapedalda II) are formally permitted to be established. The legal foundation is Domestic Affairs Minister Decision (Kepmendagri) No. 9811996 on guidance of establishment of organization and procedures of BAPEDALDA. Long before the existence of Kepmendagri No. 9811996 and Decision of the Director of Environmental Impact Control Agency Agency No.13611995 on Regional Environmental Impact Control Agency, in Semarang an institution that has formal authority in controlling environmental impact has been established that is called BAPEDALDA. The legal basic of its existence is the Decision of the Governor of Central Java No. 061.11341 1992 on the formation of organizational chart and procedures of District Environmental Impact Control Agency of Semarang.
The rapid growth of industrial development in Semarang, the sum are 292 big and middle industrials level, 4,868 small industrials, and 267 industrials potentially degrading environment hence each activity to cause environmental problems, such as clean water, solid wastes, reboisation, transportation, etc., the establishment of District Environmental Impact Control Agency of Semarang is deemed to be important.
The establishment of a relatively new District Environmental Impact Control Agency of Semarang with responsibilities in managing big environmental problems is an interesting object to study. The problems in this study include :
1. Performance problems, namely organizational performane of District Environmental Impact Control Agency of Semarang and influencing factors.
2. Legal problems, namely synchronization at the vertical level dealing with conforming the Decision of Governor of Central Java No. 061.1/34/1992 and that of the Decision of Domestic Affairs Minister No.98/1996.
The objectives of this research include :
1. To know how organizational performance of District Environmental Impact Control Agency of Semarang and to identify each factors which influences it.
2. To deepen and analyse legal aspects which constitute the bases of establishing District Environmental Impact Control Agency of Semarang.
Unit of analysis of this research is the organization of District Environmental Impact Control Agency of Semarang. The population is the entire personnel of District Environmental Impact Control Agency of Semarang, the total is 29. The research methods used is descriptive, explorative as well as normative law at vertical synchronization level. Data analysis used were descriptive qualitative, that is, describing in detail the phenomena, categories, and characteristics by scoring. Meanwhile, quantitative analysis used statistical approach helped by SPSS Computer Program. Whereas data related the laws instrument used is Determination the MPRS No. XX/MPRS/1966 on DPRGR Memorandum, mentioning the sequence acts and regulations of Republik of Indonesia is used as an instrument.
The result of the study include :
1. District Environmental Impact Control Agency of Semarang is carried out based on principles of decentralization, deconcentration and coadministration with the framework of increasing regional autonomy in the environmental management sector.
2. Programs carried out succesfully by District Environmental Impact Control Agency of Semarang cover River Management, Environment Pollution Cases Management, RKL and RPL Implementation Control, Small Enterprise Impact Control, River Pollution Identification, Environmental Degradation Control, Making the Book in Environmental Management Policy, Building an Environmental Laboratories, AMDAL Appreciation Courses, Environmental Management of Dukuh Tapak.
3. Organizational performance of District Environmental Impact Control Agency of Semarang seen from indicators of achieving targets in implementation programs as well as personnel satisfaction. The score of organizational performance was categorized as high, percentage 90.24%.
4. Organizational performance of District Environmental Impact Control Agency of Semarang in carrying out an environmental impact control was influenced by process and procedure factors such as leadership, communication, coordination, resources, and organizational structure. Leadership factor comprises the leader's attention to task of an environmental impact control and subordinates interests. Communication factor comprises to send information, to know work procedures, to facilitate interaction in carrying out an environmental impact control. Coordination factor consists of coordination among units as well as institutions. Resources factor consists of human resources, budget, tools and materials resources. Organizational structure consist of delegation of authority and responsibility, possibility of overlapping activities in an environment impact control. Mean score of the whole factors was categorized as high, namely 89.62%.
5. Analysis of multiple linear regression shows that all factors such as leadership, communication, coordination, structure, and resources have significantly influenced the organizational performance of District Environmental Impact Control Agency of Semarang.This is shown by F test = 75,404 more than F table = 2.02. The value of R square = 0.94 which indicated that all factors have clearly explained the organizational performance.
6. The established District Environmental Impact Control Agency of Semarang is the regional governmental staff institution as a support element to the Mayor. It is not a regional institution that has direct authority in carrying out the task of handling environmental impact at regional level. Whereas it has function as a regional institution that has direct authority in the field of an environmental impact control.
7. Although there are some differences of articles in the Decision of Domestic Affairs Minister No. 98/1996 on guidance of establishment, organization, and procedures of BAPEDALDA from the Decision of Governor of Central Java No. 061.1134/1992 on the establishment of organizational chart and procedures of BAPEDALDA II Semarang, but those institution has been functioning in an environment impact control. To make a reference by articles 90 clausula 4 Decision of Domestic Affairs Minister No. 9811996 that states changes in organizational structure of Bapedalda I, Bapedalda II and Kotamadya are determined by Domestic Affair Minister after obtaining technical considerations from Directors of Bapedal and written agreement from Minister that responsible in the field of efficiency of state aparatus sector (Menpan), hence some differences have enabled.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fajar Winarsih
"Skripsi ini meneliti tentang bentuk keterikatan tempat sebagai hasil dari hubungan antara stategi hidup masyarakat bantaran dengan Program Normalisasi dan Sodetan yang akan dilaksanakan di Bantaran Ci Liwung Jakarta dengan membagi daerah penelitian menjadi 3 kelas, yaitu rentan, sedang dan tidak rentan. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan analisis deskriptif korelatif dan analisis life history.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum, semakin rentan satu daerah, semakin tinggi hubungan keterikatan dengan lingkungan tempat tinggalnya. Bentuk keterikatan yang ditemukan di daerah rentan yaitu emotional, daerah sedang adalah emotional dan daerah tidak rentan adalah behavioural dan cognitive.

This study examines the type of place attachment in the Ci Liwung riverbank population as a result of relationship between the people's living strategy with river normalization and diversion program in Jakarta's segment of Ci Liwung riverbank. The study area is divided into three classes, namely vulnerable, moderately vulnerable, and invulnerable. This is a qualitative study with descriptive correlative analysis and life-history analysis.
The results show that generally, the more vulnerable the area, the higher the attachment to the neighbourhood will be. Type of attachment found in vulnerable areas is emotional, and in moderately vulnerable and invulnerable areas is either behavioural or cognitive.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2014
S57521
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Laila Febrina
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hoogervorst, Tom Gunnar
"This paper examines the sociolinguistic situation in the city of Surabaya, by presenting an impression of various phenomena unique to Indonesia?s second largest city. A surprisingly little amount of linguistic research has heretofore been carried out on this subject, whereas it transpires from this study that enough intriguing and unique things can be found in this Southeast Asian metropolis, both among its Javanese majority as well as its Madurese and Chinese inhabitants. Due to the lack of earlier relevant publications, this research is largely based on the results of several fieldwork trips, which included the pleasant activities of watching television, interviewing people and making excursions in and around Surabaya to experience how languages are used in daily life. Additionally, concepts such as "language mixing", "slang" and "attitudes towards language" are involved and considered very significant in disentangling the role and function of language in an urban setting."
Depok: Faculty of Humanities University of Indonesia, 2009
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Peter J.M. Nas
"In this essay we present three case studies of Peru, Jamaica and Indonesia to illustrate the use of the concept of race in daily life in relation to labour, popular culture and beauty respectively. These cases demonstrate how the use of the concept of race changes in the transition from a colonial into a postcolonial setting, depending on the role of the state and nation building. In Peru, we see a clear continuation of racialized thinking; thinking and speaking in terms of ?race? is still the norm. In Jamaica we find a process of inversion: the concept of race is maintained as a frame of societal analysis, but blackness is revalidated and has become a prerequisite for national and cultural belonging. In Indonesia racialized categorizations have disappeared almost completely as "race" has become subjected to the development rhetoric, which just allows limited space for ethnic manifestations. However, discrimination on other rhetorical basis, such as non-citizenship, remains."
Depok: Faculty of Humanities University of Indonesia, 2009
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Relief art style that can be interpreted as a redudancy to a certain style, at certain times and places can be used as an indication for the presence of outside influences that affect a work relief. In addition, by comparing the art style can be a relative dating to the building of the temple, in this case is a temple in Simanghambat, North Sumatera."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Kakay Sukayah
"Kampung Nelayan Muara Angke adalah daerah yang kaya akan keanekaragaman organisme dan budaya. Daerah Kampung Nelayan memiliki banyak masalah lingkungan hidup seperti pencemaran laut dan sungai, kerusakan hutan mangrove, banjir akibat pasang air laut dan sistem pengolahan sampah. Salah satu alasan timbulnya masalah-masalah tersebut adalah rendahnya kepedulian masyarakat terhadap lingkungan hidup. Karena itu pendidikan lingkungan hidup di daerah Kampung Nelayan Muara Angke tersebut harus ditingkatkan.
Pendidikan lingkungan hidup yang diselenggarakan di sekolah hams bersifat terbuka, memberikan life skill dan memberikan potensi lokal di daerah tersebut. Hal ini menuntut kompetensi guru dan kultur sekolah yang baik, karena siswa akan mempersepsi kompetensi dan kultur sekolah tersebut dan akhirnya merubah sikap dan prilakunya terhadap lingkungan hidup. Dengan demikian persepsi siswa terhadap kompetensi guru dan kultur sekolah turut menentukan kepedulian siswa terhadap lingkungan hidup.
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui persepsi siswa terhadap kompetensi guru, persepsi siswa terhadap kultur sekolah, kepedulian siswa terhadap lingkungan hidup dan hubungan persepsi-persepsi tersebut terhadap kepedulian siswa terhadap lingkungan hidup. Kegunaan penelitian ini adalah untuk meningkatkan kompetensi guru dan kultur sekolah, sehingga tujuan lingkungan hidup dapat terpenuhi dengan baik. Alasan penentuan Kampung Nelayan Muara Angke sebagai lokasi penelitian adalah karena penduduk tersebut sebagian besar adalah nelayan. Disamping itu, penulis lebih mengenal wilayah Kampung Nelayan Muara Angke dari wilayah yang mungkin representatif juga sebagai lokasi penelitian.
Penelitian ini didesain dengan menggunakan metode wawancara berstruktur dan observasi lapangan, dengan mengambil data pokok secara langsung di lokasi penelitian dan mengacu pada variabel-variabel yang menjadi fokus penelitian ini. Variabel bebas dari penelitian ini adalah persepsi siwa terhadap kompetensi guru dan persepsi siswa terhadap kultur sekolah. Variabel terikat adalah keperdulian siswa terhadap lingkungan hidup. Sampel yang diteliti adalah siswa SD kelas VI dari SDN Pluit 03, SDN Pluit 04, SDN Pluit 05 dan SDN Pluit 06. Pengambilan sampel dilakukan dengan cara purposive sampling dan stratified proporsional sampling. Penelitian ini dilakukan pada semester dua tahun ajaran 2002/2003.
Skor rata-rata dari persepsi siswa terhadap lingkungan hidup adalah 64,42857, skor rata-rata persepsi siswa terhadap kultur sekolah adalah 67,1143 dan skor rata-rata kepedulian siswa terhadap lingkungan hidup 124,1714. Ketiga skor rata-rata tersebut berkategori baik. Perhitungan statistik dengan menggunakan spearman rho memperlihatkan bahwa hubungan antara persepsi siswa terhadap kompetensi guru dan kepedulian lingkungan hidup cukup berarti (r = 0,6459). Hubungan antara persepsi siswa terhadap kultur sekolah dengan kepedulian siswa terhadap lingkungan hidup adalah kuat (r = 0,8358). Dan hubungan antara persepsi siswa terhadap kompetensi guru dan persepsi siswa terhadap kultur sekolah dengan kepedulian siswa terhadap lingkungan hidup adalah kuat (r 0,8637). Hubungan-hubungan tersebut di atas adalah signifikan pada a = 0,05. Secara deskriptif dengan penjabaran jawaban siswa terhadap butir soal dalam kuesioner menunjukan hasil yang sama.
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa:
1. Persepsi siswa terhadap kompetensi guru berkategori golongan baik
2. Persepsi siswa terhadap kultur sekolah berkategori golongan baik
3. Kepedulian siswa terhadap lingkungan hidup berkategori golongan baik.
4. Terdapat hubungan yang positif antara persepsi siswa terhadap kompetensi guru dengan kepedulian siswa terhadap lingkungan hidup (r2 = 41,72 %).
5. Terdapat hubungan yang positif antara persepsi siswa terhadap kultur sekolah dengan kepedulian lingkungan hidup (r-2 = 69,87 %).
6. Terdapat hubungan yang positif antara persepsi siswa terhadap kompetensi guru dan persepsi siswa terhadap kultur sekolah secara bersama-sama dengan kepedulian siswa terhadap lingkungan hidup (r2 = 74,60 %).
Rekomendasi bagi SDN Pluit 03, 04, 05 dan 06 dalam meningkatkan Kepedulian siswa terhadap lingkungan hidup melalui perbaikan kompetensi guru dan kultur sekolah adalah sebagai berikut:
a. Kompetensi guru
Guru-guru perlu lebih memahami pendidikan lingkungan hidup yang terbuka, memuat potensi lokal yaitu daerah pesisir, memenuhi life skill, dan tidak memisahkan antara lingkungan hidup alami, sosial dan buatan. Hal ini dapat dilakukan dengan bekerja sama dengan Dinas Perikanan setempat, masyarakat nelayan, baik sebagai pedagang, pengelola, maupun buruh/ABK atau juga pengurus koperasi setempat untuk memberikan pengalamannya kepada siswa-siswa atau guru sebagai penambahan pengalaman dan pengetahuan. Disamping itu dapat juga dilakukan dengan membawa anak berkeliling daerah setempat seperti hutan bakau, pulau Rambut atau pulau Bokor dan lain-lain di daerah pesisir setempat untuk lebih mengenal kehidupan pesisir. Hal ini penting karena walaupun siswa hidup di daerah nelayan, mereka kurang memiliki pengetahuan yang terkait pada daerah tersebut. Disamping itu guru dalam proses belajar mengajar perlu memberikan contoh-contoh tumbuhan, hewan dan lain-lain yang berasal dari daerah nelayan, sehingga siswa lebih mengenal daerah lingkungan hidupnya. Perlu pula guru memberikan tugas atau prakarya yang bahan bakunya di ambil dari daerah pesisir, sehingga siswa belajar memanfaatkan potensi daerah pesisir. Guru dalam menerangkan lingkungan alami, sosial dan butan perlu mengkaitkan lingkungan-lingkungan tersebut sehingga tergambar bahwa lingkungan tersebut tidak dapat dikelola secara terpisah. Pendidikan lingkungan hidup tersebut dapat dilakukan oleh guru dengan menyisipkan pada muatan lokal pendidikan lingkungan kehidupan Jakarta (PLKJ) atau kegiatan pramuka yang merupakan ekstra kurikuler wajib bagi siswa.
b. Kultur sekolah
Kegiatan-kegiatan sekolah yang berkaitan dengan lingkungan hidup perlu ditingkatkan. seperti pramuka, UKS, P3K, kegiatan kerja bakti bersama dan bakti sosial. Khusus pramuka perlu dikembangkan lagi mengenai pengenalan alam sekitarnya. Mengaktifkan kegiatan-kegiatan tersebut di atas adalah penting, karena nilai-nilai, sikap dan perilaku yang ada pada kegiatan-kegiatan tersebut akan ditiru siswa dan diaplikasikan kepada lingkungannya. Karena hubungan persepsi siswa terhadap kompetensi guru dan persepsi siswa terhadap kultur sekolah bersinergik terhadap kepedulian siswa terhadap lingkungan hidup, maka guru hares aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang ada di sekolah yang terkait pada PKLH. Untuk mendukung kultur sekolah yang baik perlu dilakukan perbaikan-perbaikan sarana, prasarana dan tenaga kebersihan sekolah yaitu:
1. Perlu ditambah tempat sampah yang tertutup, sehingga tidak berterbangan tertiup angin. Disamping itu perlu disediakan tempat sampah yang terpisah antara tempat sampah kering dan tempat sampah basalt
2. Perlu ditambah tumbuhan hias atau apotik hidup sehingga dapat menciptakan suasana yang lebih sejuk dan nyaman
3. Perlu penertiban kembali mengenai kantin yang ada di sekolah. Hal ini dapat dilakukan dengan kerjasama antara pedagang makanan di sekolah dan pihak sekolah untuk membuat kantin yang bersih dan nyaman
4. Perlu ditambah tenaga kebersihan sekolah, mengingat sekoiah cepat kotor setelah dibersihkan karena daerah Kampung Nelayan Muara Angke merupakan daerah pesisir yang hembusan anginnya relatif kencang dan membawa debu-debu yang berasal dari gejaia pasang surut.

Students Perception and Environment Awareness (Case Study: Students Perception toward Teachers Competence, Students Perception toward School Culture and Students Awareness toward Environment In SDN Pluit 03, 04, 05 and 06 Kampung Nelayan Muara Karang, Jakarta)Kampung Nelayan Muara Angke is a coastal area that is rich in diversity of organism and culture. Kampung Nelayan Muara Angke has many environment problems, such as sea and river pollution, damage of mangrove, flood caused by the rise of tide, and garbage management system. One reason of the problems is low society awareness toward environment. Hence environment education in Kampung Nelayan Muara Angke should be increased.
Environment education in school should be open, must give life skill, and learn local potential. It needs good teachers' competence and good culture of school, because students will perceive them and finally change their attitude and behavior toward environment. So, students' perception toward teachers' competence and school culture determine students' awareness toward environment.
The research is generally aimed at knowing students' perception toward teachers' competence, students' perception toward school culture, students' awareness toward environment and knowing relationship between those perceptions and students' awareness toward environment. Purpose of this research is to increase teachers' competence and school culture, so aim of the environment education can be fulfilled. Kampung Nelayan Muara Angke is selected to be sample area since many of people are fishermen. In addition the researcher knows the representative area in Kampung Nelayan Muara Angke well for survey.
The research is designed to adopt structural interview and observation methods by referring to variable being the focus of this survey. Independent variables are students' perception toward teachers' competence and students' perception toward school culture. Dependent variable is students' awareness toward environment. Sample are students of level VI SD from SDN Pluit 03, SDN Pluit 04, SDN Pluit 05 dan SDN Pluit 06. Sampling method are purposive sampling and stratified proportional sampling. The research had been done during the second semester in the academic year 200212003.
Average score of students' perception toward teachers' competence is 64,42857. Average score of student's perception toward school culture is 67,1143 and average score of students' awareness toward environment is 124,1714. Average score of them are categorized as good level. Statistic calculation by using Spearman who show that relationship between students' perception toward teacher students' competence and students' awareness towards environment is strong enough (r = 0,6459). Relationship between students' perception toward school culture and students' awareness toward environment is strong (r = 0,8358). And Relationship between students' perception toward teacher students' competence plus students' perception toward school culture and students' awareness towards environment is strong (r - 0,8637). Those relationship are significant with a = 0,05.
From the result obtained, it can be concluded that:
1. Students' perception toward teachers' competence is categorized as level good
2. Students' perception toward school culture is categorized as level good
3. Students' awareness toward environment is categorized as level good.
4. There is the positive relationship between students' perception towards teachers' competence and students' awareness toward environment (r2 = 41,72 %).
5. There is the positive relationship between students' perception towards school culture and students' awareness toward environment (r2 = 69,87 %).
6. There is the positive relationship between students' perception toward teachers' competence plus students' perception toward school culture and students' awareness toward environment (r2 = 74,60 %).
Recommendation for SDN Pluit 03, 04, 05 dan 06 to increase students' awareness toward environment through improving teachers' competence and school culture are
a. Teachers competence
Teachers need to understand more about environment education which is open and local potential oriented, and does not separate between natural environment, social environment and handmade environment. This condition can be applied through cooperation with institution of fisheries, fisherman society as trader, processor of sea produce, or fisherman and laborer, and koperasi management to give their experience to students or teachers, so their knowledge can be wide. The other way is taking students to go around this coastal area such as Rambut Island, Bokor Island, etc, to know more the coastal life. It is important; since students live in coastal area do not know much about this coastal life. In the other side, teachers in learning-teaching process need to give coastal plant and animal, so students know much more about their environment. Teacher need to give assignment or vocational subjects in school which has material from coastal area, so students learn to use potential of coastal area. When teacher explain natural environment, social environment and handmade environment, they should explain connection among them so it will be clear that those environments can not be managed separately. This environment education can be carried out by teacher on the local subject of Jakarta life environment education (PLKJ) or scout which is a compulsory extracurricular for students.
b. School culture
The activities related environment education need to increase to be more active, such as scout, UKS, P3K, together work to clean environment of school, and social work to society. Especially for scout, it is necessary to increase recognition of students? environment. To make all activities functioning is important, because through increasing those activities, the values, attitude and behavior contained in the activities will be imitated and applied by students to their environment. Since students' perception toward teachers' competence and students' perception toward school culture strengthen each other to have correlation with students' awareness toward environment, teacher must be active to get involved in school activities which are related environment education. In order to be good school culture, some improvement on facilities and school servants should be applied. Those improvements are:
1. Necessity to add covered trash bins, so trash can not fly every which way when there is wind. Besides, it is necessary to have trash bins which separately consist of organic and non organic trash bins.
2. Necessity to add garnish plants or medicinal plants, so it can make comfortable atmosphere.
3. Necessity to put in order food trader in school. It can be applied through cooperation between food trader and school management to build a clean canteen.
4. I t is necessary to add servants to clean up school which is easy to dirty, since Kampung Nelayan Muara Angke is coastal area that has relatively fast wind and bring dust from rise of tide phenomenon."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T 10895
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>