Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 138065 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2005
S5867
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Armin
"Di penghujung abad ke dua puluh Indonesia di landa oleh gelombang reformasi yang menuntut perubahan yang mendasar dalam berbagai bidang. Salah satu tuntutan yang bergulir adalah pemberian otonomi yang lebih besar kepada daerah. Hal itu berimplikasi pada perubahan pola hubungan pusat daerah. Adanya perubahan dalam hubungan pusat daerah mendorong penulis untuk mengkaji lebih jauh.
Studi hubungan pusat dan daerah berfokus pada masalah kebebasan pemerintah daerah provinsi kalimantan timur dalam berprakarsa dan mengambil keputusan mencari sumber keuangan dan mengalokasikannya sesuai dengan prioritas dan kepentingan masyarakat setempat. Suasana kebebasan di satu sisi dan adanya kontrol pemerintah pusat terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah di sisi lain memicu konflik kepentingan antara tingkatan pemerintahan. Di samping itu konflik kepentingan di provinsi kalimantan timur juga disebabkan oleh perebutan sumber daya oleh semua tingkatan pemerintah, baik pemerinta pusat dengan pemerintah daerah provinsi maupun antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah kabupaten/kota.
Metode penelitian yang digunakan dalam studi ini ada 5 aspek. Pertama, tipe penelitian eksplanatif. Kedua, pendekatan penelitian yang digunakan adalah struktural. Ketiga, konteks penelitiannya transisi. Keempat, teknik pengumpulan data menggunakan wawancara mendalam dan observasi terbatas. Kelima, teknik analisisnya kualitatif.
Temuan-temuan yang diperoleh dari studi ini akan dikemukakan sebagai berikut. Pertama, pemerintah daerah provinsi kalimantan timur memiliki kebebasan untuk berprakarsa dan mengambil keputusan mencari sumber keuangan sesuai dengan batas-batas kewenangan yang diberikan kepadanya. Batas-batas kewenangan itu ditentukan oleh pemerintah pusat dalam bentuk peraturan perundang-undangan.
Kedua, ada dua upaya pemerintah daerah provinsi kalimantan timur dalam berprakarsa dan menciptakan sumber pendapatan baru bagi daerahnya. Pertama, intensifikasi pendapatan asli daerahnya. Kedua, ekstensifikasi pendapatan asli daerahnya.
Ketiga, kontrol pemerintah pusat terhadap pelaksanaan otonomi daerah ada dua macam. Pertama, pengawasan terhadap pelaksanaan APBD dan peraturn daerah dan atau keputusan kepala daerah. Kedua pengendalian pemerintah pusat dilakukan dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang selanjutnya dijadikan pedoman dan acuan bagi pemerintah daerah untuk melaksanakan pemerintahan dan pembangunan daerah.
Keempat, konflik kepentingan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi kalimantan timur terjadi disebabkan oleh dua faktor. Pertama, ketidakadilan dalam bagi hasil minyak dan gas. Pasalnya provinsi papua dan NAD diberikan bagi hasil minyak dan gas sebanyak 70%, sedangkan provinsi kalimantan timur dan riau hanya diberikan sebanyak 15%. kedua, konflik dalam penentuan Dana Alokasi Umum, konflik itu berawal dari simulasi DAU yang dilakukan oleh departemen keuangan pertengahan tahun 2001. Simulasi itu merugikan daerah penghasil termasuk provinsi kalimantan timur. Oleh karena itu daerah penghasil bersatu membentuk Kaukus Pekan Baru dan Kaukus jakarta. Kedua kaukus itu menuntut kepada panitia anggaran DPR RI agar kebijakan formulasi DAU yang disimulasikan ditinjau kembali. Panitia anggaran DPR RI berpendapat bahwa mereka tidak terikat dengan simulasi yang dilakukan oleh Departemen Keuangan. atas dasar itu dalma Rapat Kerja Panitia Anggaran DPR RI dengan Menteri Keuangan disimpulkan bahwa tidak ada Daerah yang menerima DAU lebih rendah dari 2001.
Kelima, konflik antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah kota samarinda bersumber dari pencabutan peraturan daerah No. 20 Tahun 2000 tentang ketentuan pengusahaan pertambangan umum dalam wilayah kota samarinda. Pencabutan peraturan daerah itu didasarkan atas dua faktr. Pertama, peraturan daerah No. 20 Tahun 2000 bertentangan dengan kontrak karya (KK) yang dilakukan antara pemerintah pusat dengan pengusaha batubara. Kedua, peraturan daerah tersebut bertentangan dengan UU No. 11 Tahun 1967 tentang ketentuan-ketentuan pokok pertambangan.
Secara teoritis, studi ini menunjukkan relevansi terhadap beberapa teori yang diginakan dan mengkonstruksi teori baru tentang nasionalisme masyarakat Kalimantan Timur. Kebebasan pemerintah daerah provinsi kalimantan timur dalam berprakarsa dan mengambil keputusan mencari sumber keuangan dan mengalokasikannya sesuai dengan prioritas dan kepentingan masyarakat setempat, menunjukkan relevansi dengan teori Otonimi Daerah menurut Abdul Muttalib dan Mohd Ali Khan. Teori yang dikemukakan oleh Mack dan Snyder dan Maswadi Rauf tentang konflik menunjukkan relevansinya. Di samping relevansi teoritis juga dikemukakan konstruksi teoritis mengenai tingginya nasionalisme masyarakat Kalimantan Timur. Tingginya nasionalisme masyarakat Kalimantan Timur disebabkan oleh tiga faktor. Pertama, masyarakat tidak frustasi terhadap pemerintah-baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah-. Hal itu disebabkan oleh dua faktor. Pertama, masyarakat tidak mendapat tekanan dari pemerintah. Kedua, masyarakat masing-masing memiliki kesibukan sehingga kurang waktu untuk memikirkan masalah pemerintahan apalagi melakukan gerakan separatis. kedua, heterogenitas masyarakat kalimantan timur. Tingginya heterogenitas masyarakat sehingga tidak ada suku yang mayoritas. Ketiga, masyarakat dan elite beranggapan bahwa melakukan gerakan separatis kerugiannya lebih banyak dari pada manfaatnya. Kerugian bagi elite jika terjadi gerakan separatis atau semacamnya adalah mereka sendiri akan terlempar dari struktur kekuasaan. Sedangkan kerugian bagi masyarakat adalah kalau terjadi kekacauan maka iklim untuk berusaha juga akan terganggu. Oleh karena itu elite politik Kalimantan Timur memegang prinsip bahwa bekerjasama dengan pemerintah Pusat lebih banyak manfaatnya dari pada melawannya."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
D475
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elfida
"Penelitian ini bertujuan mengetahui pola Seven S, yaitu Strategy, Structure, System, Style of Leadership, Staff, Skill, Shared Value dalam pengelolaan pajak daerah.
Sampel penelitian adalah para pejabat dan staff yang bertugas mengelola pajak daerah sebanyak 55 orang. Berdasarkan hasil analisis data dan wawancara diperoleh kesimpulan:
BPKD belum memiliki strategi, ditandai belum adanya perencanaan strategi (Strategy Plan), belum efektifnya pengambilan kebutuhan akibat kurangnya keterlibatan personil atau pihak-pihak yang terkait.
Struktur organisasi belum sesuai dengan kebutuhan pengelolaan pajak daerah, dimana struktur cenderung fungsional mengakibatkan sentralisasinya pendelegasian wewenang, dan sulitnya berkoordinasi.
Sistem administrasi pengelolaan pajak daerah belum sepenuhnva mengacu kepada Kepmendagri Nomor 43/1999, ditandai: belum seluruhnya dilakukan perhitungan potensi pajak, adanya keberatan atas penetapan pajak, belum adanya hukum yang tegas (Law Enforcement) dan penegakan sangsi , belum adanya Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP) dan kurangnya sarana prasarana.
Kepemimpinan masih mengarah pada Middle Road of Leadership artinya kepemimpinan yang menyelaraskan antara tugas dan hubungan kerja dengan bawahan. Belum terpenuhinya semua kebutuhan pegawai mengakibatkan kurangnya motivasi dalam bekerja diantara kebutuhan fisiologis dan pengembangan diri.
Personil secara kualitas dan kuantitas belum memadai terutama berbasis pendidikan perpajakan dan akutansi serta pelatihan-pelatihan teknis pengelolaan pajak daerah
Organisasi belum memiliki nilai kebersamaan dalam bekerja, ditandai belum adanya misi organisasi, dan standar pelayanan yang baku.
Berdasarkan kondisi tersebut, faktor Sevens S mempengaruhi kinerja BPKD dalam pengelolaan pajak daerah yang mengakibatkan penetapan target dan realisasi pajak daerah belum sesuai dengan potensi pajak.
Dari hasil penelitian disarankan agar Badan Pengelolaan Keuangan Daerah:
1. Memiliki perencanaan strategis, Pengambilan keputusan melibatkan 2/3 dari personil.
2. Pembenahan struktur, dan badan yang fungsional, menuju kepada organisasi produk atau hibrida sehingga memiliki unit teknis, mudah berkoordinasi, memiliki unit-unit penyuluhan, perencanaan, pengendalian operasional.
3. Penerapan sistem komputerisasi data, perhitungan potensi pajak dan peremajaan data pajak maksimal setahun sekali, penyuluhan dua atau tiga bulan sekali , penciptaan hukum dan penegakan sangsi yang tegas, serta pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP ).
4. Untuk memiliki kepemimpinan efektif, perlu pembentukan kelompok kerja (teamwork)
5. Pemenuhan kebutuhan personil secara sekaligus atau bertahap terutama upah yang diterima upah minimal standar (UMR).
6. Perlu keterampilan baik pendidikan maupun pelatihan teknis di bidang pengelolaan pajak daerah.
7. Perlu penciptaan visi, misi organisasi dan pelayanan prima yang memiliki standar.
8. Untuk meningkatkan kinerja pengelolaan pajak daerah maka penetapan target pajak daerah harus sesuai dengan potensi pajak."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T11425
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mukhlis Abidin
"Masalah penyediaan perumahan dan penertiban permukiman merupakan salah satu masalah serius yang kini sedang dihadapi oleh Pemerintah Kota Tangerang. Masalah tersebut timbul akibat angka pertumbuhan penduduk di Kota Tangerang yang cukup tinggi. Dalam Proyek Inovasi Manajemen Perkotaan tentang Restrukturisasi dan Revitalisasi Pelayanan lJmum Kota Tangerang Tahun 2002 tercatat pertumbuhan penduduk Kota Tangerang sebesar 4,86% pertahun. Hal ini disebabkan baik karena kelahiran maupun karena banyak pendatang baru yang berasal dari luar Kota Tangerang.
Pentingnya masalah perumahan terutama untuk penyediaan rumah-rumah yang murah dan Iayak huni dengan fasilitas pendukung yang memadai menjadi perhatian serius Pemerintah Kota Tangerang. Perhatian Pemerintah Kota Tangerang terhadap masalah perumahan setidaknya dapat dilihat dari Rencana Strategis Pemerintah Kota Tangerang yang memasukkan masalah perumahan menjadi salah satu core business.
Untuk mengatur dan menjamin tersedianya perumahan yang layak beserta fasilitas pendukungnya, telah dibentuk suatu Dinas Perumahan dan Perrnukiman (Disperkim) yang mempunyai tugas pokok melaksanakan kewenangan di bidang perumahan, permukiman, teknik penyehatan dan pemakaman.
Dari latar belakang tersebut penelitian ini bertujuan untuk mengetahui model-model aransemen kelembagaan (Institutional arrangement) apa raja yang digunakan dalam memberikan pelayanan di bidang perumahan dan permukiman di Kota Tangerang. Selain itu penelitian ini juga ingin mengetahui Iebih jauh altematif model-model aransemen kelembagaan dalam kegiatan pelayanan perumahan dan permukiman yang dapat dikembangkan.
Untuk mendukung penelitian ini, penulis banyak menggunakan teori-teori yang dikemukakan oleh E.S. Savas dalam buku Privatization and Public Private Partnership (2000). Menurut Savas (2000:66), penggunaan model-model aransemen kelembagaan dapat dipahami dengan memperhatikan hubungan dan interaksi antara tiga elemen panting yang mempengaruhi penyediaan layanan publik, yaitu: pelanggan (customer), produser (producer) dan penyedia (provider/arranger). Lebih jauh Savas menjelaskan 10 model yang sering ditemui dalam kegiatan pelayanan kepada masyarakat, yaitu: government service, intergovernmental agreements, government vending, contracts, franchise, grants, free market, voluntary service, self-service, dan vouchers. Tujuh model aransemen yang disebut terakhir dapat dikategorikan kedalam bentuk-bentuk privatisasi dimana peran pemerintah semakin berkurang sementara peran swasta dan masyarakat semakin besar.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif kwalitatif agar peneliti dapat mengetahui lebih jauh tentang bagaimana model-model aransemen kelembagaan (Institutional arrangement) yang dilakukan oleh Dinas Perumahan dan Permukiman. Sedangkan teknik pengambilan data dilakukan dengan mengunakan teknik wawancara, observasi dan studi kepustakaan.
Kesimpulan yang dapat diambil dalam penelitian ini adalah bahwa terdapat enam model aransemen kelembagaan yang digunakan dalam pelayanan bidang perumahan dan permukiman, yaitu: government service, franchise, contract, voluntary service, free market dan aransemen kombinasi. Dari kelima aransemen tersebut, model aransemen kontrak dapat dikembangkan dalam membangun infrastruktur dan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan teknik penyehatan. Sedangkan model aransemen free market juga dapat dikembangkan untuk pembangunan dan pengelolaan rumah susun sederhana sewa. Model institutional arrangement pelayanan bidang perumahan dan permukiman yang dapat dikategorikan kedalam bentuk-bentuk privatisasi, menjadi sesuatu yang panting untuk dilaksanakan agar tujuan pelayanan yang cepat, tepat dan murah dapat tercapai. Hal ini juga didukung dengan adanya kebijakan pemerintah tentang desentralisasi dan otonomi daerah yang memberikan keleluasaan bagi daerah untuk mengatur sendiri bentuk dan model-model layanan sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12022
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Desvanty Rahman
"Dalam kebijakan insentif bagi tenaga kesehatan di daerah yang menangani COVID-19 (Innakesda) merupakan bagian dari anggaran kesehatan untuk penanganan COVID-19 yang harus dianggarkan oleh pemerintah daerah yang bersumber dari dana Refocusing 8% DAU/DBH pada Tahun 2021. Hal menjadi menarik untuk dikaji lebih lanjut perbedaan hasil implementasi dari kebijakan Innakesda yang dilakukan oleh Pemerinah Daerah dimana terdapat pemerintah daerah yang berhasil melakukan implementasi kebijakan ini dan ada pula pemerintah daerah yang tidak berhasil melakukannya. Keberhasilan dalam implementasi ini dilihat dari adanya ketersediaan anggaran di daerah serta terlaksananya realisasi anggaran insentif bagi tenaga kesehatan di daerah tersebut. Oleh karena itu, menjadi hal yang menarik untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi suatu daerah berhasil mengimplentasikan kebijakan ini dari sisi pengelolaan keuangan daerah.
Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif menggunakan metode wawancara mendalam dengan beberapa informan kunci serta kajian literatur. Segitiga kebijakan Walt dan Gilson digunakan dalam menganalisis kebijakan Analisis dilakukan untuk melihat keberhasilan implementasi kebijakan Innakesda dari dimensi aktor, konten, kontek dan proses dalam pengelolaan keuangan daerah. Lokasi penelitian dilakukan pada salah satu daerah yang berhasil melaksanakan implementasi kebijakan Innakesda yaitu Kota Tangerang Selatan.
Kesimpulan penelitian memberikan gambaran bahwa terdapat faktor konteks situasional penanganan pandemi bertumpu pada peran tenaga kesehatan sebagai garda terdepan serta faktor struktural pada azas desentralisasi penyelenggaran pemerintah daerah dan faktor kemanusiaan, konteks ini turut mempengaruhi Political Will pemerintah Kota Tangerang Selatan dalam implementasi kebijakan Innakesda. Konten kebijakan Innakesda dalam keharmonisasi peraturan prinsipnya sudah saling selaras dan serasi dengan peraturan yang lebih tinggi untuk mempayung hukum kebijakan Innakesda dan berbagai upaya evaluasi implementasi kebijakan juga dilakukan oleh pemerintah pusat dan hasilnya digunakan sebagai masukan dalam membuat penyempurnaan konten kebijakan dalam upaya percepatan realisasi Innakesda di Pemerintah Daerah Kota Tangerang Selatan. Political Will Walikota Tangerang selatan merupakan peran kunci dalam proses implementasi kebijakan dalam pengelolaan keuangan daerah dari tahapan perencanaan dan penganggaran dalam Integrasi dan koordinasi refocusing dan realokasi anggaran tetap menjaga kesesuaian/keselarasan pencapaian target RPJMD dan tetap fokus dalam program penanganan COVID-19 serta Innakesda dengan melihat kemampuan penganggaran. Untuk tahap pelaksanaan dan penatausahan tetap memperhatikan azas tertib dan patuh dalam pengelolaan keuangan daerah di dukung dengan sistem pelaporan realisasi dengan memanfaatkan teknologi dalam Sistem Informasi Manajemen Perencanaan, Penganggaran, dan Pelaporan (SIMRAL).
Penelitian merekomendasikan Pemerintah Kota Tangerang Selatan melakukan penyempurnaan pada Perda Tentang Penanggulangan Bencana. Pemerintah Daerah di Indonesia membuat Perda tentang penangulangan bencana non alam dengan merinci terkait penganggaran, pencatatan dan pelaporan serta memaksimalkan peran APIP. Dalam penetapan pemberian Insentif bagi Tenaga Kesehatan Kementerian Keuangan tetap memperhatikan kemampuan keuangan daerah dan Kementerian Dalam Negeri terus mendorong Pemerintah Daerah untuk Implementasi Sistem Informasi Pemerintahan Daerah (SIPD) dengan baik. dan untuk penelitian selanjutnya penelitian bersifat sumatif dimana fokus penelitian akan lebih diposisikan tataran Outcome, benefit dan impact/dampak dari diimplementasikannya kebijakan Innakesda.

In the incentive policy for health workers in regions dealing with COVID-19 (Innakesda) it is part of the health budget for handling COVID-19 which must be budgeted by local governments sourced from the Refocusing 8% DAU/DBH fund in 2021. It becomes interesting to further study the differences in the results of the implementation of the Innakesda policy carried out by the Regional Government where there are local governments that have succeeded in implementing this policy and there are also regional governments that have not succeeded in doing so. The success in this implementation can be seen from the availability of the budget and the realization of the incentive budget for health workers in the area. Therefore, it is interesting to know the factors that influence a region's success in implementing this policy.
This research was conducted with a qualitative approach using in-depth interviews with several key informants and literature review. The analysis was conducted to see the success of Innakesda policy implementation from the dimensions of actors, content, context and processes in regional financial management. The location of the research was conducted in one of the areas that have successfully implemented the implementation of incentive policies for health workers in the regions, namely South Tangerang City.
The conclusion of the study illustrates that there are situational context factors for handling the pandemic that rely on the role of health workers as the frontline as well as structural factors on the principle of decentralization of local government administration and humanitarian factors, this context also influences Political Will of the South Tangerang City government in implementing the Innakesda policy. Innakesda policy content in the harmonization of regulations in principle is in harmony with higher regulations to underpin the law on Innakesda policies and various efforts to evaluate policy implementation are also carried out by the central government and the results are used as input in making improvements to policy content in an effort to accelerate the realization of Innakesda in the Government South Tangerang City Area. Political Will of the Mayor of South Tangerang is a key role in the policy implementation process in regional financial management from the planning and budgeting stages in the integration and coordination of refocusing and budget reallocation while maintaining conformity/alignment of achieving RPJMD targets and staying focused on the COVID-19 handling program and Innakesda by looking at budgeting ability. For the implementation and administration stages, the principles of order and compliance in regional financial management are supported by a realization reporting system by utilizing technology in the Planning, Budgeting and Reporting Management Information System (SIMRAL).
The research recommends that the South Tangerang City Government make improvements to the Regional Regulation on Disaster Management. Local governments in Indonesia make local regulations on non-natural disaster management with details related to budgeting, recording and reporting as well as maximizing the role of APIP. In determining the provision of incentives for Health Workers, the Ministry of Finance continues to pay attention to regional financial capabilities and the Ministry of Home Affairs continues to encourage Regional Governments to implement the Regional Government Information System (SIPD) properly.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mohamad Bonnie Mufidjar
"Otonomi daerah yang diberikan oleh pemerintah sebagai pelaksanaan dari desentralisasi merupakan upaya untuk dapat lebih mendekatkan penyelenggaraan pelayanan pemerintah kepada masyarakat. Pelaksanaan Otonomi daerah telah membentuk dua lembaga yang bertanggung jawab untuk penyelenggaraannya yaitu, pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai perubahan terhadap Undang-Undang sebelumnya telah mengakibatkan adanya perubahan yang signifikan didalam pelaksanaan otonomi daerah. Jika dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 terlihat DPRD lebih memiliki kekuasaan dibanding dengan Pemerintah Daerah, karena DPRD dapat menjatuhkan kepala daerah apabila laporan pertanggungjawabannya ditolak. Pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ini, DPRD tidak dapat menjatuhkan pemerintah daerah. Penelitian ini memusatkan kajian pada salah satu fungsi DPRD yang penting yaitu pengawasan DPRD. Fungsi pengawasan DPRD dalam pelaksanaan kebijakan Pemerintah Daerah diharapkan dapat menjaga agar terselenggaranya pemerintahan yang baik mencakup rule of law, partisipasi yang diperintah, keadilan, efektifitas, efisiensi, transparansi dan akuntabilitas yang kesemuannya penting bagi pembangunan manusia. Akuntabilitas akan sulit terwujud tanpa keterbukaan (openess) atau transparansi (tranparency). Asas ini merupakan jaminan terdapatnya kesempatan bagi publik untuk memperoleh pengetahuan mengenai siapa yang membuat keputusan, keputusan yang dibuat dan alasan yang mendasari.
Transparansi merupakan asas pelengkap bagi public disclosure. transparansi sangat membantu pengelolaan yang baik dan dalam mengurangi peluang bagi korupsi, kolusi dan nepotisme. Transparansi juga untuk memelihara kepercayaan publik terhadap lembaga pemerintahan. Fungsi pengawasan yang dilakukan DPRD sangat tergantung dari sejauh mana keterlibatan DPRD sejak perancangan perumusan kebijakan, penguasaan terhadap peraturan dan perundang-undangan serta kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang, hubungan dan komunikasi dengan masyarakat dan konstituennya, kesesuaian antara perencanaan dan pelaksanaan kebijakan, juga pengawasan internal terhadap anggota dan alat-alat kelengkapannya yang dapat bekerja secara maksimal.
Adapun efektifitas dalam pelaksanaan fungsi pengawasannya DPRD akan dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti; interaksi antara pemerintah dan DPRD, mekanisme dan teknik pengawasan dewan, kemampuan dan integritas serta perhatian anggota DPRD dalam melaksanakan pengawasan, adanya intrumen dan jelasnya indikator suatu dokumen kebijakan, dan juga terdapatnya komunikasi dan hubungan yang baik antara DPRD dan masyarakat serta konstituennya.
Hasil penelitian menunjukan bahwa faktor-faktor tersebut sangat mempengaruhi pengawasan DPRD dalam pelaksanaan kebijakan pemerintah daerah. Pada beberapa hal DPRD dapat mengawal suatu perencanaan pembangunan sampai menjadi satu kebijakan Perda. Namun dalam hal lain menunjukkan bahwa fungsi pengawasan DPRD belum berjalan optimal mengontrol pelaksanaan pembangunann. Hal ini disebabkan karena kurangnya kemampuan dan integritas anggota DPRD. Hubungan antara Anggota DPRD dengan masyarakat dan konstituen yang kurang baik mengakibatkan tidak efektifnya pengawasan terhadap pelaksanaan pembangunan yang dilakukan pemerintah daerah.
Beberapa saran diberikan seperti perlunya menyepakati ruang lingkup pengawasan DPRD, peningkatan kemampuan dan integritas DPRD dengan pelatihan khusus, pengawasan oleh masyarakat dan konstituen terhadap DPRD serta perlunya pembakuan dan pola standar penjaringan aspirasi rakyat, peningkatan dan pendalaman penguasaan peraturan perundang-undangan oleh DPRD.

The regional autonomy given by the government as the implementation of decentralization is an effort to be able to bring closer public service to the people. The regional autonomy has organized two institutions which are responsible for its implementation i.e., the regional government and the regional parliament (DPRD). The announcement of Law Number 32/2004 on Regional Government as amendment to previous Law has resulted in significant changes in implementation of regional autonomy. In Law number 22/1999, DPRD had more power compared to the Regional Government, because DPRD could overthrow the regional head if his accountability report is refused, under Law number 32/2004 DPRD cannot overthrow the regional government.
This researched focuses on the study of one of the important functions of DPRD that is DPRD?s supervision. This supervisory function of DPRD in the implementation of regional government?s policy is expected to be able to see that the good governance implemented covers rules of law, participation of those governed, justice, effectiveness, efficiency, transparency and accountability those all of which are important for human development. Accountability will be difficult to realize without openness or transparency. This principle constitutes a guarantee of opportunity for the public to know who is the decision maker, what decisions are made and the reason for them. Transparency is supplemental principle for public disclosure.
Transparency helps a lot in assisting good management and in reducing the opportunity for corruption, collusion and nepotism. Transparency is also for keeping the trust of the public in the government institution. The function of supervision on the part of DPRD depends a lot on the extent of DPRD?s involvement in formulating the policies, command of the regulation and the Law and the authority given by the Law, the relation and connection with the public and its constituents, also internal controll on members and the instruments that can do maximum work.
Effectiveness of DPRD?s supervision will be influenced by several factors such as; conformity between policy making and implementation, interaction between the government and DPRD, the mechanism and technique of supervision, the capability and integrity and attention of members of DPRD in carrying out supervision, the existence of instrument and clarity of a policy document indicators and also the existence of communication and good relations between DPRD and the public and its constituents.
The results of the research show that the factors mentioned above have very great influence on DPRD?s supervision in implementation of regional government?s policy. In some cases, DPRD may supervise a development plant until it becomes a regional government policy. However, on the other hand the supervisory function of DPRD has not been running optimally in controlling development. this is the result of lack of capability and integrity on the part of members of DPRD. The less than good relationship between member of DPRD and the public and its constituents results in ineffective control over the implementation of development carried out by the regional government.
Several recommendations are given such as the necessity for joint a agreement on the scope of DPRD supervision, improved capability and integrity of DPRD by special training, public and constituents control of DPRD and necessity for standardization and pattern of screening public aspirations, improvied and in-depth command of the rules of Law by DPRD."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2007
T19258
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fridamarva Yasmine
"Penelitian ini bertujuan mengetahui pelaksanaan JAMKESDA setalah BPJS berjalan. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang menggunakan pendekatan sistem sehingga bertujuan untuk mengertahui bagaimana input proses dan output program JAMKESDA pada era JKN. Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa pelaksanaan program JAMKESDA sudah berjalan dengan baik. Kendala utama dalam program JAMKESDA di Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan adalah terlambatnya klaim dari rumah sakit yang mengakibatkan terlambatnya pelaporan. Dengan demikian, tidak ada perubahan yang signifikan pada program JAMKESDA di era JKN, hanya saja perlu penambahan kualitas dan kuantitas pegawai serta peningkatan sarana dan prasarana, selain itu pelajaran yang dapat diambil ketika JAMKESDA bergabung dengan BPJS adalah perlunya kesiapan sistem, kebijakan pemerintah daerah serta puskesmas sebagai gate keeper.

The aim of this study is to know the implementation JAMKESDA after BPJS. This study is a qualitative research using a systems approach that aims to determine how the process input and output JAMKESDA program at JKN era. Based on this research, it is known that the implementation of the program has been running well JAMKESDA. The main obstacle in JAMKESDA program in South Tangerang City Health Department is delayed claims from hospitals that resulted in delays in reporting. Thus, there was no significant change in the program JAMKESDA in JKN era, only need the addition of the quality and quantity of personnel and improvement of facilities and infrastructure, in addition to the lessons that can be taken when JAMKESDA join BPJS is the need for system readiness, government policy and health centers as a gate keeper."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2014
S55549
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ratna Haryanti
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efisiensi dan efektifitas kenaikan dan perluasan sumber-sumber retribusi, menghitung besar potensi retribusi terminal, mengidentifikasi faktor-faktor makro ekonomi yang mempengaruhi penerimaan retribusi terminal, memprediksi jumlah variabel-variabel yang mempengaruhi penerimaan retribusi dan akhirnya menentukan strategi yang tepat dalam rangka peningkatan penerimaan retribusi.
Pendekatan penelitian ini pada dasarnya adalah pendekatan kuantitatf dengan data-data sekunder sehingga dapat ditentukan model potensi pada masing-masing pos yang termasuk di dalam retribusi dan analisis kinerja. Dari analisis tersebut akhirnya dapat diketahui daya guna (efisiensi) dan hasil guna (efektifitas) retribusi terminal. Selanjutnya pendekatan ekonometrik ditujukan untuk mengidentifikasi varibel-variabel makro ekonomi yang mempengaruhi penerimaan retribusi terminal. Dengan menggunakan model tersebut akan dilakukan peramalan (forecast) terhadap penerimaan retribusi di tahun-tahun mendatang.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa selama tahun penelitian (1995/1996-1999/2000) kontribusi retribusi daerah terhadap PAD rata-rata 28,40%. Angka ini hampir lama dengan kontribusi retribusi terminal terhadap retribusi daerah yaitu sebesar 28,12%. Sehubungan dengan target yang ditetapkan terhadap pungutan retribusi terminal selama tahun tersebut secara keseluruhan terealisasi.
Hasil guna (efektifitas) penerimaan retribusi terminal mencapai tingkat optimum pada tahun anggaran 1997/98 yakni sebesar 94,76% sedangkan daya guna (efisiensi) tercapai tingkat paling efisien pada tahun anggaran 1999/00 yakni sebesar 3,02%.
Dari penelitian ini ditemukan model bahwa penerimaan retribusi terminal dipengaruhi oleh variabel PDRB dan jumlah kendaraan yang beroperasi serta krisis ekonami sebagai variabel dummy. Setelah terlebih dahulu dilakukan tahapan-tahapan uji statistik dan ekonometrik, model tersebut memenuhi syarat sebagai model linier dan variabel di dalam model berpengaruh secara signifikan terhadap penerimaan retribusi. Dengan model tersebut penelitian ini meramalkan bahwa penerimaan retribusi dan jumlah kendaraan berkecenderungan meningkat, sedangkan jumlah kendaraan diprediksi berkecenderungan menurun sampai tahun 2004."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2002
T2404
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ayi Sukandi
"Sejak diberlakukannya UU No.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah dan Daerah secara efektif pada tanggal 1 Januari 2001, telah terjadi perubahan-perubahan yang mendasar dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kota Tangerang. Perubahan yang mendasar itu antara lain teridentifikasi dari tersusunnya Rencana Strategis (Renstra) Kota Tangerang sebagai Daerah Otonom; dan tersusunnya kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja (APBD) Kota Tangerang untuk melaksanakan Rencana Strategis tersebut.
Penelitian ini bertujuan untuk Kebijakan Alokasi Pengeluaran Pemerintah Kota Tangerang, dengan merumuskan permasalahan penelitian, yakni : bagaimana mekanisme penjabaran Rencana Strategis Kota Tangerang di dalam perumusan kebijakan alokasi anggaran pembangunan; dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi perumusan kebijakan alokasi anggaran pembangunan tersebut. Penelitian menggunakan teori Anggaran, teori manajemen keuangan Daerah dan teori Penyusunan Rencana Anggaran.
Sumber data : Informan Penelitian serta buku dan dokumen. Jenis data yang dikumpulkan : data primer kualitatif dan data sekunder. Teknik pengumpulan data : teknik wawancara, studi kepustakaan dan observasi. Teknik penentuan Informan : Teknik snow ball. Pembahasan menggunakan metode analisis kualitatif.
Dari pembahasan hasil penelitian maka diperoleh kesimpulan :
Pencanangan Visi dan Misi Kota Tangerang telah menimbulkan perubahan organisasi dan manajemen kepemerintahan yang tercermin dari perubahan kebijakan pengeluaran Pemerintah dalam melaksanakan kegiatan pembangunan untuk mengatasi masalah kemiskinan, pengangguran dan sumber daya manusia, Kebutuhan dan permasalahan yang dihadapi Kota Tangerang adalah bahwa pada satu sisi perubahan struktur perekonomian, dari Daerah agraris menjadi Daerah industri dan perdagangan memerlukan dukungan kualitas sumber daya manusia yang seimbang dengan perubahan struktur perekonomian tersebut. Namun di sisi lain, rendahnya kualitas sumber daya manusia, kondisi kemiskinan dan pengangguran serta belum optimalnya kualitas sumber daya aparatur masih menjadi kendala pembangunan.
Visi dan Misi Kota Tangerang terbentuk dari karateristik wilayah yang secara alami terpengaruh oleh situasi dari kondisi dinamis kehidupan sosial ekonomi Propinsi DKI Jakarta. Hal ini dapat terjadi karena kuatnya korelasi faktor kependudukan, faktor perkembangan industri dan perdagangan serta faktor kehidupan sosial masyarakat, diantara wilayah Kota Tangerang dengan wilayah Propinsi DKI Jakarta.
Dan arah kebijakan umum yang bersifat strategis, diketahui bahwa arah kebijakan pembangunan di Kota Tangerang lebih terfokus pada peningkatan sarana dan prasarana fisik yang dapat memperlancar roda perekonomian, peningkatan pendidikan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang dapat memenuhi kebutuhan industrialisasi dan perdagangan yang semakin berkembang, termasuk pengembangan fungsi lembaga-lembaga perekonomian mikro yang berbasis pada sistem perekonomian rakyat.
Mekanisme penyusunan kebijakan alokasi anggaran pembangunan merupakan suatu serangkaian tahapan aktivitas administrasi yang meliputi penyusunan Arah dan Kebijakan Umum APBD, penyusunan Strategi dan Prioritas APBD, penyusunan Rencana Program dan Kegiatan, penerbitan Surat Edaran, penyusunan Pernyataan Anggaran, dan penyusunan Rancangan Anggaran Daerah. Rangkaian aktivitas ini terjadi dalam dinamika hubungan antar lembaga, yang secara teknis dilaksanakan oleh Tim Anggaran Eksekutif dan Panitia Anggaran Legislatif. Dan hasil perubahan kebijakan alokasi anggaran pembangunan tahun 2002 diketahui terdapat kebijakan alokasi anggaran pembangunan yang tidak rasional, yaitu alokasi anggaran untuk Sektor Aparatur dan Pengawasan.
Faktor sumber daya aparatur Pemerintahan dan anggota Legislatif Daerah, merupakan faktor determinan dalam proses penyusunan kebijakan alokasi anggaran pembangunan. Faktor-faktor lain yang juga mempengaruhi proses penyusunan kebijakan alokasi anggaran pembangunan adalah kebutuhan dan permasalahan Daerah, terutama kebutuhan dan permasalahan di bidang pendidikan, perekonomian dan sumber daya apartur; potensi sosial dan potensi perekonomian masyarakat; strategi dan arah kebijakan pembangunan; program strategis pada masing-masing unit kerja Perangkat Daerah Kota Tangerang; pelaku-pelaku ekonomi Daerah; dan lembaga swadaya masyarakat.
Saran-saran yang perlu disampaikan adalah sebagai berikut :
Perumusan kebijakan alokasi anggaran pembangunan untuk Sektor Aparatur Pemerintah dan Pengawasan perlu didasarkan pada analisis kebutuhan fungsional secara transparan.
Perumusan kebijakan alokasi anggaran pembangunan untuk Sektor Pengembangan Usaha Daerah, Keuangan Daerah dan Koperasi perlu didasarkan pada hasil penelitian mengenai kinerja keuangan Badan Usaha Milik Daerah serta analisis potensi, kendala dan perkembangan Usaha Mikro, Usaha Kecil, Usaha Menengah dan Koperasi di Kota Tangerang.
Perumusan kebijakan Alokasi Anggaran Pembangunan perlu diperkuat oleh Tim Analisis Kebijakan Keuangan Daerah yang terdiri atas unsur konsultan keuangan dan konsultan ekonomi pembangunan dari berbagai perguruan tinggi.
Perlu dilakukan survey terhadap potensi sumber-sumber penerimaan Pendapatan Asli Daerah Kota Tangerang dengan melibatkan tenaga-tenaga profesional dari berbagai perguruan tinggi, dan hasilnya disosialisasikan ke seluruh pihak yang berkepentingan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12284
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>