Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 125243 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rizki Syahdati
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2009
S5264
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Mohd. Din
"ABSTRAK
Sistem Peradilan Pidana terdiri dari sub sistem Polisi, Jaksa Penuntut Umum, Hakim, dan Lembaga Pemasyarakatan. Bekerjanya Sistem Peradilan Pidana ini harus terpadu dan saling mengisi antara sub sistem. Sub sistem Polisi sebagai sub sistem hulu atau sebagai gerbang berkenalannya seseorang dengan Sistem Peradilan Pidana sangat menentukan untuk proses selanjutnya, kernampuan teknik keresersean yang dimiliki oleh Polisi (penyidik) harus didukung dengan teknik yuridis dari Jaksa Penuntut Umum, sehingga diperlukan koordinasi. KUHAP sebagai induk dasar berpijaknya Sistem Peradilan Pidana telah mengatur koordinasi tersebut berupa:
pemberitahuan dimulainya penyidikan, petunjuk penuntut umum dalam pemeriksaan tambahan (Prapenuntutan), perpanjangan penahanan, dan pemberitahuan penghentian penyidikan.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana koordinasi antara penyidik dan penuntut umum, apa hambatan dalam melakukan koordinasi, kebijakan apa yang telah ditempuh dalam menanggulangi hambatan itu dan bagaimana pengawasan penuntut umum terhadap berkas perkara yang dikembalikan kepada penyidik.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa koordinasi antara penyidik dan penuntut umum belum berjalan sebagaimana yang di.tentukan oleh KUHAP. Hambatan yang paling mendasar adalah menyangkut sarana telekomunikasi, karena jarak antara Polsek dengan kejaksaan Negeri relative Jauh. Sedangkan upaya yang dilakukan adalah dengan terus meningkatkan koordinasi dan mengadakan gelar perkara."
1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suhartina Dewi
"Secara khusus tesis ini meneliti tentang Berkas Perkara, Tersangka dan Barang Bukti yang "macet" di penyidik tidak diserahkan ke penuntut umum tanpa ada alasan yang jelas, sehingga menjadikan suatu perkara tidak selesai atau terkatung-katung. Hal ini sangat tidak sesuai dan bertentangan dengan prinsip peradilan yang Sederhana dan Cepat (speedy Trial). Penelitian ini bertujuan untuk dapat menjawab dan memperjelas permasalahan mengenai Berkas Perkara, Tersangka, dan Barang bukti tersebut yaitu: (1) Apa alasan penyidik sehingga tidak bisa melaksanakan kewajibannya balk dalam menyerahkan SPDP, berkas perkara tahap I maupun tahap II (2)Apakah ketentuan perundangundangan sudah memberikan rambu-rambu aturan-aturan yang jelas mengenai mekanisme pengaturannya (3) Upaya apa yang dilakukan oleh Kepolisian sebagai instansi penyidik dan kejaksaan sebagai pihak penuntut umum atas berkas perkara, tersangka dan barang bukti yang "Macet" tersebut? (4) Apa dampak yang ditimbulkan atas tidak diserahkannya/terlambat diserahkannya berkas perkara, tersangka dan barang bukti dari penyidik kepada penuntut umum baik bagi hukum itu sendiri, aparat penegak hukum, tersangka dan korban. Hasil penelitian terhadap permasalahan ini, ditemukan bahwa di wilayah kerja DKI Jakarta, ditemukan angka yang tidak sedikit baik itu untuk SPDP yang tidak jadi berkas, P-19 yang tidak dikembalikan ke penuntut umum, dan tersangka serta barang bukti yang tidak diserahkan kepada penuntut umum dan ditemukan pula beberapa alasan hal ini bisa terjadi. Alasan tersebut adalah adanya hambatan dalam struktur pelaksanaannya itu sendiri (SDM dan sarana) maupun dari substansi hukumnya yaitu peraturan perundang undangannya dalam hal ini UU NO. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Masih Banyak ditemukan pasal-pasal yang masih memiliki kekurangan sehingga dapat ditemukan apa kekurangannya. Permasalahan ini tidak bisa dibiarkan tetapi harus dikaji lebih lanjut karena permasalahan ini merupakan salah satu hambatan dalam pelaksanaan penanganan perkara pada tahap penyidikan. Sehingga harus dicari penyelesaiannya."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
T16615
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Idris
"Secara khusus tesis ini meneliti tentang koordinasi antara penyidik dan oditur militer dalam penyelesaian perkara di daerah hukum Pengadilan Militer 11-08 Jakarta. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab masalah-masalah sebagai berikut . (1) Untuk mengetahui dan menggambarkan bagaimana koordinasi antara penyidik dan Oditur Militer dalam penyelesaian Perkara di Daerah Hukum Pengadilan Militer 11-08 Jakarta, (2) Untuk mengetahui dan menggambarkan hambatan dalam melakukan koordinasi tersebut, (3) Untuk mengetahui dan menggambarkan kebijakan apa yang telah ditempuh dalam mengatasi hambatan tersebut, (4) Untuk mengetahui dan menggambarkan bagaimana pengawasan oditur militer terhadap berkas perkara yang dikembalikan kepada penyidik.
Dalam Sistem Peradilan Pidana Militer, oditur militer bukanlah yang berwenang menentukan apakah suatu perkara pidana dilimpahkan ke peradilan militer seperti pada Kejaksaan artinya meskipun sebelumnya Perwira Penyerah Perkara meminta saran pendapat hukum oditur militer karena sifatnya saran pendapat jadi tidak mengikat, akhirnya Perwira Penyerah Perkara juga menentukan. jika terdapat pertentangan antara oditur militer dengan keputusan Perwira Penyerah Perkara maka perbedaan pendapat tersebut diputus oleh Pengadilan Militer Utama. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 127 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997.
Hasil penelitian menunjukan bahwa koordinasi antara penyidik dan oditur militer belum berjalan sebagaimana yang telah ditentukan Hukum Acara Pidana Militer. Hambatan yang paling mendasar adalah menyangkut sarana dan komunikasi. Sedangkan upaya yang dilakukan adalah dengan terus meningkatkan koordinasi."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
T18211
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Legal analysis and evaluation on deadline of appeal records transfer from investigator to public prosecutor in Indonesian trial."
Jakarta: Pengayoman, 2007
363.2 ANA
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Bobby Ruswin
"Masalah lingkungan hidup adalah perusahaan yang seyogyanya harus diperhatikan oleh semua orang hal tersebut disebatkan karena dampak atas terjadinya pencemaran atau perusakan lingkungan hidup akan berdampak kepada kerusakan alam yang akan mempengaruhi kehidupan di masa yang akan datang dimana generasi berikutnyalah yang akan merasakan dampak tersebut. Pengelolaan lingkungan hidup biasanya diartikan sebagai upaya mengatur hubungan antara manusia dengan lingkungan alam dan bertujuan untuk mendapatkan kualitas lingkungan hidup yang mampu memberi dukungan maksimum dan bermutu bagi peri kehidupan. Pengelolaan lingkungan hidup berkaitan dengan upaya meningkatkan hubungan yang harmonis antara kegiatan manusia dengan alam sehingga kualitas kegiatan manusia dan kualitas dukungan alam menjamin kehidupan yang berkelanjutan. Merupakan tugas kita semua sebagai bagian dari anggota masyarakat untuk menjaga kelestarian lingkungan. Peran Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS), Penyidik Polri dan Penuntut Umum sangatlah menentukan dalam menegakan hukum lingkungan karena bagaimanapun juga budaya hukum merupakan sikap masyarakat terhadap hukum dan sistem hukum yang dipatuhinya. Sebaik apapun struktur hukum yang dibuat dan sebaik apapun kualitas substansi hukum yang ada tanpa didukung budaya hukum masyarakatnya termasuk aparat penegak hukumnya maka penegakan hukum tidak akan berjalan dengan efektif. Ketiga unsur ini sangat berpengaruh dalam penegakan hukum. Jika salah satu saja unsur tidak berjalan dengan baik maka dapat dipastikan penegakan hukum di masyarakat akan lemah. Penegakan hukum yang dilakukan harus berada dalam suatu sistem yakni sistem peradilan pidana (criminal justice system) yang terdiri dari 4 (empat) komponen (kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan). Sistem peradilan pidana ,yang terpadu akan memudahkan tercapainya tujuan dari sistem peradilan pidana. Sehubungan dengan. apa yang ingin dicapai dalam tujuan sistem peradilan pidana adalah resosialisasi dan rehabilitasi pelaku tindak pidana, pemberantasan kejahatan dan untuk mencapai kesejahteraan sosial.

Essentially, life environmental is any case that should be observed by all parties, because it has impact either against pollution or life environmental or natural destruction, as well as it will influence the life in the future in which the next generation will bear such impact. Usually, life environmental management is meant as efforts for managing correlation among human and life and environment being aimed to get life environmental quality to be able to give life quality maximally. Life environmental management correlated with efforts for increasing harmonic relationship among nature and human activities, so that, qualities of human activities and natural support will ensure the sustainability of life. It is our duty as part of society member to preserve life environment. Role of both Investigator for Civil Servant (PNS) and Police Department of Republic of Indonesia (POLRI) is very required to enforce environmental laws, however, legal culture is society attitude against law and such adhered law system. How good both legal structure to be made and given legal substance quality, but, without support from society legal system including law enforcers, then, it will not be realized effectively. Those three components is highly influenced for law enforcement. If one of them had not implemented their role effectively, subsequently, law enforcement in society will be weak. The law enforcement to be realized should be made in corridor of criminal justice system comprising four (4)component, those are police, judiciary, justice and correctional facility. By an integrated criminal justice system, then, objective of it may be achieved easily. In relation with what will be achieved by objective of criminal justice system is both rehabilitation and reconciliation of criminal actors, criminal fighting as well as achieving social welfare."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007
T19577
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Djoko Prakoso
Jakarta: Bina Aksara, 1987
345.05 DJO p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Swasti Kartikaningtyas
"Sumpah palsu adalah delik yang terjadi apabila seorang saksi yang berada di bawah sumpah menyatakan keadaan lain daripada keadaan yang sebenarnya dengan dikehendaki dengan sengaja. Pengaturan mengenai delik sumpah palsu terdapat dalam KUHP pasal 242 ayat (2). Dalam peraturan perundang-undangan mengenai peradilan pidana di Indonesia, proses penyelesaian perkara pidana sumpah palsu belum diatur secara jelas dan terperinci. Prosedur penyelesaiannya sebagaimana yang diatur dalam pasal 174 KUHAP, hanya menyebutkan untuk diserahkan kepada penuntut umum untuk selanjutnya diselesaikan menurut ketentuan dalm undang-undang ini. Hingga pada akhirnya dalam praktek pelaksanaannya diserahkan kepada pengertian oleh aparat penegak hukum di setiap lembaga peradilan. Hal ini menyebabkan timbulnya ketidakjelasan dalam proses penyelesaian perkara pidana sumpah palsu, diantaranya mengenai tahapan-tahapan yang harus ditempuh, serta wewenang dan tanggung jawab masing-masing lembaga peradilan dalam proses penyelesaian perkara pidana sumpah palsu tersebut. Ketidakjelasan dalam penyelesaian perkara sumpah palsu terutama terletak pada harus atau tidaknya penyelesaian tersebut melalui penyidikan biasa oleh Polisi Republik Indonesia selaku penyidik tindak pidana umum. Sedangkan apabila tidak melalui penyidikan biasa, dipertanyakan apakah Jaksa Penuntut Umum juga memiliki kewenangan untuk melakukan penyidikan dalam melengkapi berkas perkara. Seyogyanya Penuntut Umum setelah menerima salinan Berita Acara Sidang dari Panitera dapat langsung melaporkan saksi yang telah diduga melakukan delik sumpah palsu tersebut kepada penyidik Polri, untuk kemudian dilakukan penyidikan dan dilanjutkan dengan penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan. Dengan demikian aparat penegak hukum dalam setiap lembaga peradilan memiliki wewenang dan tanggung jawab dalam proses penyelesaian perkara sumpah palsu. Selain itu, implikasi dari wewenang dan tanggung jawab aparat penegak hukum di setiap lembaga peradilan tersebut terkait dengan keberadaan lembaga praperadilan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
"Penyidikan merupakan salah satu proses penting dalam penyelesaian kasus tindak pidana perpajakan. Berdasarkan ketentuan Pasal 44 ayat (1) Undang-Undang No 28 tahun 2007, yang berwenang untuk melakukan penyidikan tindak pidana perpajakan adalah Penyidik Pegawai Negeri Sipil lingkungan Direktorat Jendral Pajak. Namun, ada pihak-pihak lain yang terkait dengan penyidikan tindak pidana perpajakan seperti kepolisian, kejaksaan, serta instansi-instansi lainnya. Oleh karena itu membutuhkan kejelasan kewenangan dalam proses penyidikan, terutama dalam praktek dimana terdapat beberapa aspek tindak pidana, seperti kasus AAG yang memiliki aspek tindak pidana perpajakan, tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana korupsi. Batasan kewenangan, serta proses penyidikan tindak pidana perpajakan itu diatur melalui KUHAP, Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Keputusan Direktur Jendral Nomor KEP-272/PJ/2002, serta dalam praktek penyidikan dibuat Memorandum of Understanding (MoU) antara Direktorat Jendral Pajak dengan berbagai instansi lainnya. Dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif, skripsi ini mencoba menjawab permasalahan kedudukan dan kewenangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Direktorat Jendral Pajak dalam penyidikan tindak pidana perpajakan, serta proses penyidikan tindak pidana perpajakan tersebut. Dengan adanya kejelasan kewenangan dalam proses penyidikan diharapkan penyidikan tindak pidana perpajakan menjadi lebih efektif dan efisien sehingga mampu meningkatkan ketaatan Wajib Pajak dan meningkatkan penerimaan kas negara dari pajak."
[Fakultas Hukum Universitas Indonesia;, ], 2007
S22251
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>