Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 28148 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sony Nugratama H.
"Sektor pariwisata memiliki peranan penting dalam pengembangan wilayah, dimana tempat-tempat yang menjadi daerah tujuan wisata dapat memacu pertumbuhan wilayah di sekitarnya. Daerah Tanjung Pakis berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Karawang telah ditetapkan sebagai daerah tujuan wisata bahari. Penelitian ini mengkaji potensi wisata alam di Pantai Tanjung pakis dan kegiatan wisata dengan model ROS (Recreation Oppurtunity Spectrum), melalui survey lapangan pada 7 (tujuh) lokasi, yang dilanjutkan dengan penilaian kesesuaian fisik wilayah dan kesesuaian lokasi objek wisata serta evaluasi perencanaan kegiatan wisata dengan model ROS. Dari analisa kesesuaian dengan menggunakan parameter fisik yang dilakukan diperoleh bahwa zona I cukup sesuai untuk rekreasi menikmati suasana alam sambil melihat pemandangan, zona II cukup sesuai untuk dijadikan penangkaran satwa dan arena motor cross, zona III cukup sesuai untuk aktivitas berenang, sama halnya dengan zona IV yang cukup sesuai untuk berenang. Sedangkan zona V sesuai dengan persyaratan, zona VI dan zona VII tidak sesuai untuk tempat rekreasi. Berdasarkan penerapan model ROS, pantai yang termasuk ke dalam kelas semi urban (zona III dan zona IV), sedangkan pantai yang termasuk dalam kelas ?rural natural? ( zona II), ?Semi Primitive? (zona I dan zona V) dan ?Primtive? (zona VI dan zona VII).

The tourism sector has an important role in the development of the region, which places a tourist destination can spur growth to surrounding area. Cape region of ferns based on Spatial Planning Khanewal district has been designated as a marine tourism destination. This study examines the potential of nature tourism in Cape Coast ferns and tourism activities with model ROS, through a field survey on the 7 (seven) locations, followed by assessment of physical fitness and suitability of the location of the area attractions and tourist activities of planning evaluation model with ROS. Produced that the assessment of compliance with the physical parameters obtained by zone 1 is quite appropriate for recreation enjoy the natural atmosphere, looking pemabndangan, zone 2 is quite suitable to be used as breeding animals and motor cross arena, zone 3 is quite suitable for swimming activity, as well as zone 4 which is quite appropriate to swim. Whereas in accordance with the requirements of the zone 5, zone 6 and zone 7 is not suitable for recreation. Based on the application of the model spectrum of a class derived ROS."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2011
T23214
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Tenouye, Elly
"Proses perencanaan pembangunan melalui Lembaga Masyarakat Adat Suku Mee (Lemasme) di kampung Kebo wilayah adat Pantai Utara, distrik Pantai Timur, kabupaten Pantai pasca otonomi daerah merupakan langkah awal dari pemerintah yang responsif dan bertanggung jawab. Hal ini dirasakan bagi mereka/orang-orang yang seakan-akan telah lama dipaksa tunduk/takluk dan baru merasa/menikmati alam demokrasi karena mereka diberikan kebebasan bersuara menurut keinginan mereka tanpa intervensi dari pihak lain. Sebelum dikeluarkan UU Otonomi Daerah No. 25 Tahun 1999 sistim perencanaan yang partisipatif, aspiratif yang ditetapkan melalui permendagri No 09 Tahun 1982 rupanya telah dimanipulasi oleh pusat untuk kepentingan tertentu yang kemudian telah menempatkan masyarakat hanya sebagai objek yang diam dan bisu dimana mereka jarang diajak untuk menunjukkan/menyampaikan keinginan, aspirasinya dalam setiap usulan program pembangunan sebagai hak warga negara untuk memperoleh manfaat dari pembangunan bahkan pemerintah di daerahpun menerima dan menjalankan keinginan dari atas. Bentuk partisipasi umumnya dimobilisasi dalam melaksanakan dan menerima kehendak luar tanpa diikutkan dalam perencanaan oleh sebab itu sifat partisipasi hanya mendukung keinginan pusat dengan falsafahnya masyarakat yang baik adalah masyarakat yang mendukung dan mengikuti apa yang dirancang oleh Pusat melalui Bappenas. Meskipun telah dikeluarkan UU Otonomi Daerah No. 25 Tahun 1999 dimana sistim perencanaan yang partisipatif, aspiratif dipandang perlu dibangun sesuai dengan keberadaan sosial budaya lokal dengan melibatkan stakeholder dan grassroot namun dalam belum dapat diwujudkan pemerintahan yang bersih (good governance).
Tesis ini bertujuan untuk memperoleh gambaran mengenai bentuk, tingkat dan faktor pendorong, penghambat partisipasi suku Mee dalam proses perencanaan pembangunan melalui lembaga masyarakat adat dengan mengacu pada teori serta upaya atau mengetahui dan memahami cara apa yang telah dilakukan dan dapat dilakukan agar kesempatan masyarakat berpartisipasi dalam perencanaan pembangunan di kampung Kebo dan wilayah adat Pantai Utara dapat lebih terwujud.
Metode penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Sumber datanya ialah informan yang didukung oleh dokumen serta pustaka. Informan-informan penting yang menjadi sampel penelitian ini adalah mereka yang terlibat dalam musyawarah adat (MA), teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara, observasi dan studi kepustakaan.
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk partisipasi suku Mee dimobilisasi oleh pemerintah dan Lemasme (Lembaga Masyarakat Adat Suku Mee), dan dalam pelaksanaan musyawarah dan pengambilan keputusan masih didominasi oleh personil Lemasme (Lemasme Masyarakat Adat Suku Mee) yang disebut "Tonawi" yang merangkap beberapa jabatan. Sementara itu posisi masyarakat adat meskipun telah diberikan kesempatan untuk terlibat dalam mengusulkan aspirasi program pembangunan, mereka belum sepenuhnya memahami bahwa merekalah yang berhak mengambil berbagai keputusan.
Berangkat dari pemahaman diatas dan kondisi umum partisipasi suku Mee dalam perencanaan pembangunan di kampung Kebo dan wilayah adat Pantai Utara jika dinilai berdasarkan DELAPAN TANGGA PARTISIPASI MASYARAKAT menurut Arnstein menunjukkan bahwa tingkat partisipasi suku Mee dalam perencanaan pembangunan berada pada tangga pertama NON PARTICIPATION dan tangga ke dua TOKENISME. Dengan pengertian bahwa dua tangga pada Non Partisipasi adalah bentuk-bentuk peran serta yang dinamakan terapi dan manipulasi. Sedangkan di tingkat Tokenisme yaitu tingkat dimana peran serta masyarakat didengar dan berpendapat, tetapi mereka tidak memiliki kemampuan untuk mendapatkan jaminan bahwa pandangan mereka akan dipertimbangkan oleh pemegang keputusan. Peran serta pada tingkat ini memiliki kemungkinan yang sangat kecil untuk menghasilkan perubahan pada masyarakat. Pemahaman diatas dapat dirumuskan bahwa suku Mee telah menghadiri, mendengar dan mengusulkan program pembangunan tetapi mereka tidak memiliki jaminan bahwa apa yang diusulkan dapat diterima oleh pengambil keputusan.
Penyampaian aspirasi masyarakat melalui Lemasme (Lembaga Masyarakat Adat Suku Mee) wilayah adat dan kampung dapat berjalan karena masyarakat yang diundang telah hadir dan menyampaikan usulan program pembangunan. Usulan yang disampaikan lebih mengarah pada kepentingan umum wilayah khususnya pembangunan sektor sosial. Hambatan yang dihadapi selain didominasi oleh tokoh lokal, diantara masyarakat yang terlambat mengetahui informasi perencanaan pembangunan mudah merasakan dipasifkan dan cenderung mencurigai bahwa hasil musyawarah dapat merugikan dan hanya mementingkan kelompok tertentu (kerabat saja), namun demikian personality tokoh lokal dapat menetralisir. Oleh sebab itu yang terpenting disini adalah membangun komunikasi dan konsultasi terlebih dahulu dengan tetap melibatkan tokoh lokal yang merepresentasi tiap dusun dan marga di kampung Kebo dan wilayah adat dalam proses perencanaan pembangunan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13907
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Naufal Nandaniko
"Kedinamisan wilayah pesisir dapat diamati dengan mengamati parameter berupa perubahan garis pantai baik akibat abrasi maupun akresi. Kabupaten Karawang yang terletak di Provinsi Jawa Barat merupakan kabupaten yang langsung berbatasan dengan Laut Jawa sehingga menyebabkan di sepanjang pesisir utara Kabupaten Karawang menjadi rentan akan fenomena perubahan garis pantai. Abrasi yang terjadi telah mengakibatkan hilangnya wilayah daratan seperti permukiman serta tambak penduduk yang merugikan warga setempat. Sama seperti abrasi, akresi juga dapat merugikan masyarakat sekitar karena akibatnya yang menimbulkan pendangkalan muara sungai sehingga menghambat lalu lintas kapal dan perahu. Tiga faktor oseanografis penting yang mempengaruhi perubahan garis pantai adalah arus, gelombang, dan pasang surut. Selain itu, faktor topografi pantai dan penggunaan lahan juga turut dipertimbangkan. Dilakukan analisis mengenai ada atau tidak terdapatnya pengaruh topografi pantai terhadap abrasi dan akresi yang terjadi, serta bagaimana pengaruh penggunaan lahan terhadap perubahan garis pantai. Dengan memodelkan prediksi perubahan garis pantai yang akan terjadi di masa depan, langkah preventif dapat dilakukan guna mencegah dampak negatif yang merugikan warga setempat dari fenomena ini. Model prediksi perubahan garis pantai didapatkan dari informasi laju perubahan di setiap garis transek yang tersebar di sepanjang garis pantai Kabupaten Karawang. Laju perubahan didapatkan dari data perubahan garis pantai yang diolah dengan mengekstraksi citra satelit Landsat 8 OLI/TIRS tahun 2018, Landsat 7 ETM+ tahun 2008, dan Landsat 5 TM tahun 1998. Analisis perubahan garis pantai dikaji dalam pendekatan per segmen. Dalam melihat hubungan antara topografi pantai dengan abrasi dan akresi, digunakan analisis regresi linier sederhana. Hasil menunjukkan bahwa topografi pantai yang landai cenderung terjadi akresi. Sebaliknya, abrasi lebih mudah terjadi di wilayah dengan topografi pantai yang lebih curam. Untuk penggunaan lahan, adanya alih fungsi lahan menjadi permukiman dan tambak akan mempercepat proses abrasi. Sedangkan ekosistem mangrove mendukung terjadinya fenomena akresi. Model prediksi abrasi diprediksi terjadi paling besar di bagian tengah Kabupaten Karawang. Sedangkan untuk akresi, bagian paling Timur Kabupaten Karawang diprediksi menjadi wilayah dengan luasan akresi terbesar.

Dynamics of coastal areas can be observed by observing the parameters in the form of shoreline changes both due to abrasion and accretion. Karawang Regency, which is located in West Java Province, is a regency that borders the Java Sea directly, so that along the northern coast of Karawang Regency it becomes vulnerable to the phenomenon of coastline changes. Abrasion that occurred has resulted in the loss of land area such as settlements and resident pond which harm local residents. Just like abrasion, accretion can also be detrimental to the surrounding community because of the consequence that it causes siltation of river estuaries which hampers ship and boat traffic. Three important oceanographic factors that influence changes in shoreline are currents, waves, and tides. In addition, coastal topography and land use factors are also considered. An analysis of the presence or absence of coastal topographical effects on abrasion and accretion is carried out, as well as how the influence of land use on shoreline changes. By modeling predictions of shoreline changes that will occur in the future, preventive steps can be taken to prevent negative impacts that can harm local residents of this phenomenon. The prediction model for shoreline change is obtained from information on the rate of change in each line of transects that are scattered along the coastline of Karawang Regency. The rate of change was obtained from the shoreline change data processed by extracting Landsat 8 OLI/TIRS satellite images year 2018, Landsat 7 ETM + year 2008, and Landsat 5 TM year 1998. The shoreline change analysis was assessed in a per segment approach. In perceiving the relationship between coastal topography and abrasion and accretion, simple linear regression analysis was used. The results show that the sloping topography of the beach tends to accretion. Conversely, abrasion is occur easier in regions with steeper coastal topography. For land use, the conversion of land into settlements and ponds will accelerate the abrasion process. While the mangrove ecosystem supports the occurrence of accretion phenomena. The abrasion model is predicted to occur most in the central part of Karawang Regency. While for accretion, the easternmost part of Karawang Regency is predicted to be the region with the largest accretion area."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Naufal Nandaniko
"ABSTRAK
Kedinamisan wilayah pesisir dapat diamati dengan mengamati parameter berupa perubahan garis pantai baik akibat abrasi maupun akresi. Kabupaten Karawang yang terletak di Provinsi Jawa Barat merupakan kabupaten yang langsung berbatasan dengan Laut Jawa sehingga menyebabkan di sepanjang pesisir utara Kabupaten Karawang menjadi rentan akan fenomena perubahan garis pantai. Abrasi yang terjadi telah mengakibatkan hilangnya wilayah daratan seperti permukiman serta tambak penduduk yang merugikan warga setempat. Sama seperti abrasi, akresi juga dapat merugikan masyarakat sekitar karena akibatnya yang menimbulkan pendangkalan muara sungai sehingga menghambat lalu lintas kapal dan perahu. Tiga faktor oseanografis penting yang mempengaruhi perubahan garis pantai adalah arus, gelombang, dan pasang surut. Selain itu, faktor topografi pantai dan penggunaan lahan juga turut dipertimbangkan. Dilakukan analisis mengenai ada atau tidak terdapatnya pengaruh topografi pantai terhadap abrasi dan akresi yang terjadi, serta bagaimana pengaruh penggunaan lahan terhadap perubahan garis pantai. Dengan memodelkan prediksi perubahan garis pantai yang akan terjadi di masa depan, langkah preventif dapat dilakukan guna mencegah dampak negatif yang merugikan warga setempat dari fenomena ini. Model prediksi perubahan garis pantai didapatkan dari informasi laju perubahan di setiap garis transek yang tersebar di sepanjang garis pantai Kabupaten Karawang. Laju perubahan didapatkan dari data perubahan garis pantai yang diolah dengan mengekstraksi citra satelit Landsat 8 OLI/TIRS tahun 2018, Landsat 7 ETM+ tahun 2008, dan Landsat 5 TM tahun 1998. Analisis perubahan garis pantai dikaji dalam pendekatan per segmen. Dalam melihat hubungan antara topografi pantai dengan abrasi dan akresi, digunakan analisis regresi linier sederhana. Hasil menunjukkan bahwa topografi pantai yang landai cenderung terjadi akresi. Sebaliknya, abrasi lebih mudah terjadi di wilayah dengan topografi pantai yang lebih curam. Untuk penggunaan lahan, adanya alih fungsi lahan menjadi permukiman dan tambak akan mempercepat proses abrasi. Sedangkan ekosistem mangrove mendukung terjadinya fenomena akresi. Model prediksi abrasi diprediksi terjadi paling besar di bagian tengah Kabupaten Karawang. Sedangkan untuk akresi, bagian paling Timur Kabupaten Karawang diprediksi menjadi wilayah dengan luasan akresi terbesar."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ricky Hapsapto Sulaksono
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2006
T39479
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Universitas Indonesia, 1997
S33619
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syahruddin
"Tesis ini membahas kebijakan publik oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Karawang dalam usaha mengembangkan Kawasan industri. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh, pentingnya mengembangkan kawasan industri guna membuka lapangan kerja dan lapangan usaha serta untuk meningkatkan ekonomi daerah. penelitian ini mencoba untuk mengevaluasi sejauh mana kebijakan yang telah dilakaukan oleh Pemerintah Daerah kabupaten Karawang melalui Peraturan Daerah Nomor 19 Tahun 2004 terhadap pengembangan kawasan industri. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan model yang dikembangkan oleh George C. Edwards III yaitu implementasi kebijakan dipengaruhi oleh empat variabel yaitu Komunikasi, sikap, sumber-sumber, dan struktur birokrasi. Pokok masalah yang dikaji pada penelitian ini adalah kebijakan apa yang telah dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Karawang dalam mengembangkan kawasan industri dan permasalahan apa yang menghambat kebijakan tersebut. Berdasarkan hasil analisa dan pembahasan yang mengacu pada konsep George C. Edwards III, disimpulkan bahwa hambatan yang dihadapi adalah kurang efektifnya komunikasi, rendahnya kualitas sumber daya manusia, dan terbatasnya sarana dan prasarana kerja. Untuk pengembangan kawasan industri melalui penciptaan iklim investasi yang baik, pemerintah daerah segera melakukan deregulasi berbagai peraturan yang menghambat investasi dan debirokratisasi dalam mewujudkan pelayanan publik yang baik dan memuaskan dunia usaha dan masyarakat.

This thesis is about public policy by the Regional Government of Karawang in order to develop the industrial region. The research was conducted because of the importance of developing industrial region in order to provide new job opportunities and business opportunities and also to increase the economic development in the region. This thesis was trying to evaluate the previous policy which has been implemented by the Regional Government of Karawang by the Local Regulation Number 19/2004 on Industrial Region Development. The research used qualitative research method by the model which was developed by George C. Edwards III mentioned that policy implementation is influenced by four variables, communication, attitude, resources, and structure of bureaucracy. The main problem which was analyzed in the research is about the policy which has been implemented by the Regional Government of Karawang in order to develop the industrial region and also the problems which have impeded the policy. According to the analysis result and study related to the concept of George C. Edwards III, the conclusion could be taken that the obstacles happened because lack of effective communication, lack of qualified human resources, and lack of working facility and infrastructure. In order to develop the industrial region by creating a good investment situation, the local government immediately made deregulation in some regulations which impeded the investment and also simplified the bureaucracy in order to create a good public service which could satisfy business and society need."
Depok: Universitas Indonesia, 2009
T26361
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Aulia Puji Hartati
"

Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem yang sangat penting bagi kehidupan flora, fauna serta manusia yang ada disekitarnya. Pengembangan ekosistem mangrove menjadi ekowisata merupakan salah satu cara untuk keberlanjutan ekosistem mangrove agar tidak berdampak negatif terhadap kehidupan makhluk hidup disekitarnya. Kabupaten Karawang memiliki ekosistem mangrove dengan luas 275 hektar yang tersebar di 8 desa yaitu Desa Tambaksari, Sedari, Pusakajaya Utara, Pasir Putih, Sukakerta, Rawagempol Kulon, Muara Baru dan Muara. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis daya tarik dan persepsi masyarakat dalam pengembangan ekowisata mangrove di Kabupaten Karawang dan menganalisis potensi pengembangan ekowsiata mangrove di Kabupaten Karawang. Metode yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan melakukan perhitungan menggunakan bobot dan skoring. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis spasial untuk melihat persamaan dan perbedaan daya tarik, persepsi dan potensi pengembangan ekowisata mangrove. Hasil penelitian menunjukkan bahwa desa yang memiliki nilai daya tarik sangat menarik berada pada Desa Sukakerta yang memiliki fasilitas lengkap dengan jumlah banyak, sedangkan yang memiliki daya tarik rendah yaitu Desa Rawagempol Kulon dan Tambaksari dengan ketersediaan fasilitas yang terbatas. Persepsi masyarakat terhadap pengembangan ekowisata mangrove didominasi dengan persepsi setuju dan hanya satu desa yang memiliki persepsi tidak setuju yaitu Desa Muara. Berdasarkan daya tarik dan persepsi masyarakat dapat diketahui potensi pengembangan ekowisata mangrove memiliki klasifikasi cukup berpotensi dan hanya terdapat satu desa yang kurang berpotensi yaitu Desa Rawagempol Kulon. 


Mangrove ecosystem is one of the ecosystems that is very important for the life of flora, fauna as well as the people around it. Development of mangrove ecosystems into ecoturism is one way to sustainability of mangrove ecosystem so that have a negative impact on the lives of their creatures. Karawang Regency has a mangrove ecosystem with an area of 275 hectares spread across 8 villages, that is Tambaksari, Sedari, North Pusakajaya, Pasir Putih, Sukakerta, Rawagempol Kulon, Muara Baru and Muara Villages.. This research was conducted to analyze the attractiveness and perception of the community in the development of mangrove ecotourism in Karawang Regency and to analyze the non-physical potential of mangrove ecotourism in Karawang Regency. The method used in this research is to do calculations using weights and scoring. The analysis used in this study is a spatial analysis to see the similarities and differences in attractiveness, perceptions and non-physical potential of mangrove ecotourism development. The results showed that villages that had very attractive attractiveness value were in Sukakerta village which had complete facilities with large numbers, while those that had low attractiveness were the villages of Rawagempol Kulon and Tambaksari with limited availability of facilities. Community perception of the development of mangrove ecotourism is dominated by the perception of agree and only one village that has a perception of disagreeing is the village of Muara. Non-physical potential of ecotourism development has a potential category and there is only one village that has no potential, that is Rawagempol Kulon village

"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>