Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 97555 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Panji Wijanarko
"Azas oportunitas merupakan diskresi penuntutan yang dimiliki institusi Kejaksaan Agung yang dalam hal ini pelaksanaanya hanya ada pada Jaksa Agung. Azas oportunitas yang dilaksanakan melalui perundang- undangan, yakni UU No.15 Tahun 1961, UU No.5 Tahun 1991 dan UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, dengan jelas memberikan wewenang kepada Jaksa Agung untuk mengesampingkan perkara demi kepentingan umum. Azas oportunitas sampai sekarang tetap ada keberadaannya di Indonesia. Penggunaan azas ini harus memberikan manfaat pada kepentingan umum sebagai dasar pertimbangan Jaksa Agung dalam menggunakannya. Azas tersebut sesuai dengan tujuan pidana, dalam hal ini azas oportunitas bertujuan untuk mengimbangi ketajaman azas legalitas. Berdasarkan penjelasan pasal 77 KUHAP, buku pedoman pelaksanaan KUHAP, KUHAP mengakui eksistensi pewujudan azas oportunitas.

The principle of discretionary prosecution the opportunity is owned institutions in the Attorney General that this implementation is only in the General Prosecutor. Opportunity principle is implemented through legislation, namely Law No. 15 of 1961, Act No. 5 of 1991 and Law No.16 of 2004 on RI Attorney, clearly authorizes the Attorney General to waive the case in the public interest. The principle of opportunity until now remained a presence in Indonesia. The use of this principle should provide benefits to the public interest as the basis for the attorney general considerations in using it. The principle is consistent with the purpose of criminal, in this case the principle of opportunity aims to offset the sharpness of the principle of legality. Based on the explanation of Article 77 Criminal Code, the implementation guidebook Criminal Procedure Code, Criminal Procedure Code recognizes the existence of realizing the principle of opportunity."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S1187
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Evi Anastasia
"Skripsi ini membahas mengenai penghentian penyidikan berdasarkan asas oportunitas oleh Jaksa Agung. Penyidikan merupakan tahap yang penting dalam proses penyelesaian perkara pidana. Keberhasilan penyidikan menentukan keberhasilan penuntutan dan sebaliknya penyidikan yang gagal akan membuat penuntutan menjadi gagal. Instansi penyidik dan penuntut mempunyai hubungan koordinasi fungsional dalam menyelesaikan perkara pidana. Mereka bertindak berdasarkan fungsi dan wewenang masing-masing berdasarkan prinsip diferensiasi fungsional. Jaksa Agung sebagai penuntut umum tertingi mempunyai hak dan wewenang untuk menyampingkan perkara berdasarkan asas oportunitas atau kepentingan umum. Penyampingan perkara tersebut menyebabkan peniadaan penuntutan. Peraturan perundang-undangan di Indoensia tidak mengatur apakah asas oportunitas boleh diterapkan dalam tahap penyidikan dan menyebabkan penghentian penyidikan.

This bachelor Thesis explains The Cease of Investigation by The General Attorney with Opportunity Principle which happened in Indonesian trial systems. Investigation is important part of Trial Process. The Successful of Investigation influencing the successful of prosecution. Investigator and Prosecutor have functional coordination in trial process. They act with their function and authority by their functional coordination principle. General attorney as high prosecutor have authority to cease prosecution by opportunity principle or interest public. The regulation in Indonesia not put in order about opportunity principle must be applied in investigation process and have consequence cease investigation."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
S22553
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Kaligis, Otto Cornelis, 1942-
Bandung: Alumni, 2002
343.014 KAL p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
"A public prosecutor acting on behalf of state has a monopolistic right to prosecute and wide discretion to make prosecution policy. A public Prosecutor may drop accusation or stop prosecution for the sake of public interest and transaction. the role of a public prosecutor is not only to investigate, but also to be a liaison officer between investigation process and court sessions."
343 JPIH 21 (1999)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Arin Karniasari
"Tesis ini berisikan pembahasan mengenai wewenang Jaksa Agung mengesampingkan perkara demi kepentingan umum yang ditinjau dari perspektif teoritis, historis, yuridis dan praktis. Permasalahan dalam tesis ini terkait dengan kriteria ?Kepentingan Bangsa dan Negara dan/atau Kepentingan Masyarakat Luas? yang merupakan penjelasan dari istilah ?Kepentingan Umum?, dan Badan- Badan Kekuasaan Negara yang dimaksud dalam penjelasan Pasal 35 huruf c Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia, yang dapat diperhatikan saran dan pendapatnya oleh Jaksa Agung, serta mengenai kekuatan mengikat saran dan pendapat Badan-badan Kekuasaan Negara tersebut terhadap Jaksa Agung, dan terakhir tentang sifat final dan mengikat keputusan Jaksa Agung mengesampingkan perkara demi kepentingan umum.
Penelitian ini merupakan penelitian yuridis sosiologis, karena menggambarkan selengkapnya tentang wewenang Jaksa Agung dalam mengesampingkan perkara demi kepentingan umum, baik dari segi teoritis, historis, yuridis dan praktis, dengan perbandingan segi teoritis penyampingan perkara demi kepentingan umum di Indonesia dan Belanda. Kemudian dilakukan wawancara dengan narasumber yang terkait pelaksanakan wewenang tersebut, serta para narasumber lainnya yakni akademisi yang bidang keilmuannya sesuai dengan permasalahan penelitian ini.
Hasil penelitian ini mendapatkan bahwa tidak ada kriteria 'Kepentingan Bangsa dan Negara dan/atau Kepentingan Masyarakat Luas' yang merupakan penjelasan dari istilah 'Kepentingan Umum'. Kemudian Badan-Badan Kekuasaan Negara yang dimaksud dalam penjelasan Undang-undang No. 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia adalah lembaga negara yang wewenangnya meliputi kekuasaan-kekuasaan negara (primary constitutional organs) yakni MPR, DPR, DPD, MA, MK, Presiden dan Wakil Presiden, dan BPK, tetapi saran dan pendapat lembaga-lembaga negara tersebut tidak mengikat Jaksa Agung dalam mengesampingkan perkara demi kepentingan umum, karena hal tersebut merupakan hak prerogatif Jaksa Agung. Lebih lanjut wewenang Jaksa Agung mengesampingkan perkara demi kepentingan umum bersifat final dan mengikat, karena selain wewenang mengesampingkan perkara demi kepentingan umum termasuk kebebasan kebijaksanaan (beleidsvrijheid) dalam menghadapi situasi dan kondisi pada suatu waktu tertentu yang tidak dapat diserahkan kepada hakim, juga tidak terdapat pengaturan untuk melakukan upaya perlawanan, baik dasar hukum ataupun formulasi peradilannya di Indonesia.

This thesis contains of The Attorney General?s authority in dismiss cases based on public interest reason, which overviewed by theoretical, historical, juridical, practical perspectives. The thesis's problems related to the criteria of "Nation's, State's interest and community interest" which is the explanation of term 'public interest', and states institution which is stated on the explanation of Article 35 letter c of Law No. 16 of 2004 concerning the Republic of Indonesia?s Prosecutor, which their advices and opinions can be considered by the Attorney General, as well as the strength of binding of their advices and opinions to the Attorney General. The last is about the nature of the Attorney General decision in dismissing cases based on public interest reason.
It is a juridical sociological research, because it describes about the Attorney General? authority in dismiss cases based on public interest reason, which is viewed by theoretical, historical, juridical and practical perspectives, with a comparison of same matter in Indonesia and the Netherlands. The author has interviewed some relevant informants on the authority implementation, as well as the other speakers whom the field of their academic scientific research related to the problem.
The results found there is no criteria of ?the Nation?s, State?s and / or community Interest" which is the explanation of the term "Public Interest". Then the State institution referred to the explanation of Law number 16 of 2004 is state agencies whose authority includes powers of the state (primary constitutional organs) MPR, DPR, DPD, MA, MK, President and Vice President, and BPK, but the state institutions advice and opinion is not binding the Attorney General decision in dismiss cases based on public interest reason, because it is the prerogative of the Attorney General. Furthermore the Attorney General authority in dismiss cases based on public interest reason shall be final and binding, because it is such a freedom of wisdom (beleidsvrijheid) in dealing with the situation and conditions at a certain time that cannot be left to the judge, there is also no appeal efforts in Indonesian courts.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T31500
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Swasti Kartikaningtyas
"Sumpah palsu adalah delik yang terjadi apabila seorang saksi yang berada di bawah sumpah menyatakan keadaan lain daripada keadaan yang sebenarnya dengan dikehendaki dengan sengaja. Pengaturan mengenai delik sumpah palsu terdapat dalam KUHP pasal 242 ayat (2). Dalam peraturan perundang-undangan mengenai peradilan pidana di Indonesia, proses penyelesaian perkara pidana sumpah palsu belum diatur secara jelas dan terperinci. Prosedur penyelesaiannya sebagaimana yang diatur dalam pasal 174 KUHAP, hanya menyebutkan untuk diserahkan kepada penuntut umum untuk selanjutnya diselesaikan menurut ketentuan dalm undang-undang ini. Hingga pada akhirnya dalam praktek pelaksanaannya diserahkan kepada pengertian oleh aparat penegak hukum di setiap lembaga peradilan. Hal ini menyebabkan timbulnya ketidakjelasan dalam proses penyelesaian perkara pidana sumpah palsu, diantaranya mengenai tahapan-tahapan yang harus ditempuh, serta wewenang dan tanggung jawab masing-masing lembaga peradilan dalam proses penyelesaian perkara pidana sumpah palsu tersebut. Ketidakjelasan dalam penyelesaian perkara sumpah palsu terutama terletak pada harus atau tidaknya penyelesaian tersebut melalui penyidikan biasa oleh Polisi Republik Indonesia selaku penyidik tindak pidana umum. Sedangkan apabila tidak melalui penyidikan biasa, dipertanyakan apakah Jaksa Penuntut Umum juga memiliki kewenangan untuk melakukan penyidikan dalam melengkapi berkas perkara. Seyogyanya Penuntut Umum setelah menerima salinan Berita Acara Sidang dari Panitera dapat langsung melaporkan saksi yang telah diduga melakukan delik sumpah palsu tersebut kepada penyidik Polri, untuk kemudian dilakukan penyidikan dan dilanjutkan dengan penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan. Dengan demikian aparat penegak hukum dalam setiap lembaga peradilan memiliki wewenang dan tanggung jawab dalam proses penyelesaian perkara sumpah palsu. Selain itu, implikasi dari wewenang dan tanggung jawab aparat penegak hukum di setiap lembaga peradilan tersebut terkait dengan keberadaan lembaga praperadilan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
R. Soesilo
Bogor: Politeia, 1992
345.01 SOE k
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Rudi Pradisetia Sudirdja
"Penelitian ini membahas diskresi jaksa dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. KUHAP belum mengatur diskresi secara jelas. Konsep diskresi baru ditemukan dalam hukum administrasi, tetapi apakah konsep ini dapat diterapkan dalam hukum pidana dan bagaimana pengaturan diskresi jaksa dalam proses pemeriksaan perkara pidana di Indonesia. Penelitian ini juga mengkaji konsep penuntutan yang memungkinkan digunakannya diskresi jaksa untuk kepentingan hukum dan kepentingan umum, sekaligus memformulasikan konsep diskresi jaksa yang ideal dalam SPP Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif untuk mengkaji aturan hukum, prinsip, konsep, teori, dan masalah hukum terkait, dan metode kuantitatif dalam pengumpulan pandangan jaksa tentang diskresi dengan teknik survei. Hasil kajian menunjukkan bahwa diskresi dalam hukum administrasi tidak dapat langsung diterapkan dalam hukum pidana. Diskresi dalam hukum pidana terkait dengan masalah hak asasi manusia dan hanya dapat dilakukan jika diberikan kewenangan oleh undang-undang. Esensi diskresi terletak pada kebebasan jaksa dalam menilai dan menerapkan kewenangan yang dimiliki. Di Indonesia, diskresi jaksa ditemukan pada setiap tahapan sistem peradilan pidana, tetapi hanya didasarkan pada aspek kepentingan hukum dan belum mencakup aspek kepentingan umum. Pelaksanaan diskresi jaksa juga dibatasi oleh prinsip kesatuan komando di lembaga kejaksaan. Mayoritas responden jaksa di Indonesia jarang menerapkan diskresi karena birokrasi yang rumit. Mereka setuju bahwa jaksa harus memiliki independensi dan akuntabilitas yang lebih kuat. Temuan penelitian ini menawarkan pendekatan baru bagi jaksa dalam mengambil keputusan, yakni pendekatan the operational efficiency model, yang menekankan efisiensi sistem peradilan pidana dengan mempertimbangkan aspek kepentingan umum. Penelitian ini juga menawarkan konsep penuntutan yang menggabungkan asas legalitas dengan asas oportunitas, serta mempertegas posisi jaksa sebagai pengendali perkara dan menjaga independensinya. Penelitian ini juga mengusulkan konsep diskresi jaksa dalam sistem peradilan pidana, termasuk prinsip-prinsip diskresi, syarat-syarat diskresi jaksa, alternatif penyelesaian perkara oleh jaksa, dan pemaknaan ulang terhadap makna Pasal 139 KUHAP yang mencakup kepentingan umum.

This study examines the discretion of prosecutors within the Indonesian criminal justice system. The Indonesian Criminal Procedure Code does not clearly regulate prosecutor’s discretion. While the concept of discretion has been established in administrative law, it remains unclear whether it can be applied in criminal law and how the discretion of prosecutors is regulated in the examination of criminal cases in Indonesia. This research investigates the concept of prosecution, which allows prosecutors to exercise discretion for the benefit of the law and the public interest, while formulating an ideal framework for prosecutor’s discretion in the Indonesian criminal justice system. Qualitative research methods are employed to examine legal rules, principles, concepts, theories, and related legal issues, and a quantitative approach is used to collect prosecutors' perspectives on discretion through a survey. The findings indicate that discretion in administrative law cannot be directly applied to criminal law. Discretion in criminal law is associated with human rights issues and can only be exercised if authorized by law. The essence of discretion lies in the prosecutor's freedom to assess and apply their powers. In Indonesia, prosecutor’s discretion is present at every stage of the criminal justice system, but it is currently limited to considerations of legal interests and does not encompass the public interest. The implementation of prosecutor’s discretion is further restricted by the principle of unity of command within the prosecutor's institution. The majority of surveyed prosecutors in Indonesia rarely exercise discretion due to bureaucratic complexities. They agree that prosecutors should have greater independence and accountability. The findings propose a new decision-making approach for prosecutors—the operational efficiency model—which prioritizes the efficiency of the criminal justice system while considering the public interest. Furthermore, this study presents a prosecution concept that combines the legality principles and opportunity principles, reinforcing the prosecutor's role as a case controller and preserving their independence. Additionally, the study suggests a framework for prosecutor’s discretion in the criminal justice system, including principles, criteria for prosecutor discretion, alternative case resolutions, and a reinterpretation of Article 139 of the Indonesian Criminal Procedure Code to incorporate the public interest."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>