Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 184055 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sukaria
"ABSTRAK
Masa dewasa muda adalah masa kehidupan yang sangat penting bagi seseorang.
Pada usia ini seseorang mencapai tanggung jawab yang lebih besar daripada usia
sebelumnya karena ia mulai memilih arah hidup selanjutnya (Tumer 8; Helms, 1987).
Di antara tugas-tugas perkembangan dewasa muda menurut Havighurst,
sebagian berkaitan dengan kehidupan berumah tangga, diantaranya adalah:
berpacaran dan memilih pasangan hidup, dan belajar menyesuaikan diri dan hidup
selaras dengan pasangan perkawinannya (Tumer & Hchns, 1987). Dalam membina
hubungan yang intim dengan lawan jenis ini, salah satu emosi yang sangat penting dan
menentukan adalah cinta. Cinta yang dimaksud oleh penulis dalam hal ini adalah cinta
heteroseksual amara dua orang dewasa yang menjurus pada perkawinan.
Dewasa ini di negara-negara maju, cinta romantis dinilai oleh orang muda sebagai
satu alasan terpenting untuk perkawinan (Rathus dkk., 1993). Satu hal yang sangat
penting dalam hubungan cinta adalah konsep cinta yang dianut oleh orang yang
bersangkutan. Konsep cinta dapat mencakup sekurang-kurangannya pemahaman
seseorang tentang apa yang menjadi ciri-ciri/unsur-unsur cinta, dan bagaimana
persamaan, dan perbedaan cinta dengan emosi yang lainnya yang hampir serupa.
Konsep cinta ini penting bagi kelangsungan hubungan cinta karena banyak
masalah yang timbul dalam hubungan cinta berkaitan dengan kosep cinta ini.
Masalah-masalah yang dapat terjadi dalam hubungan cinta yang berkaitan dengan
konsep cinta itu antara lain:
- Masalah perbedaan dalam memahami cinta karena perbedaan jenis kelamin dan
perbedaan individual
- Masalah perbedaan individual dalam komitmen dan nilai-nilai yang dianut:
- Masalah perbedaan antara gambaran ideal dan kenyataan
- Masalah-masalah perubahan cinta
Dengan adanya permasalahan di atas maka melalui penelitian ini peneliti ingin
mengetahui :
I. Bagaimanakah gambaran konsep cinta pada orang dewasa muda?
2. Apakah ada perbedaan konsep cinta antara pria dan wanita?
3. Apakah ada perbedaan konsep cinta antara orang yang sudah menikah dengan
orang yang belum menikah?
Untuk menjawab masalah ini maka peneliti menggabungkan pendekatan kualitatif
dan kuantitatif, dengan menggunakan dimensi-dimensi emosi menurut Frijda dkk.
(1989) dan dimensi-dimensi cinta menurut Sternberg (1988) sebagai kerangka analisis.
Untuk alat pengumpul data, peneliti menggunakan wawancara.
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah: secara umum dari seluruh subyek
yang berjumlah 12 orang, dimensi yang paling menonjol pada konsep cinta keseluruhan
subyek adalah dimensi penilaian dalam teori emosi Frijda (1986, 1989) dan dimensi
keakraban dalam teori Sternberg (1988).
Analisis kuantitatif menunjukkan bahwa dalam perbandingan antara pria dan
wanita, tidak ditemukan perbedaan yang signifikan dalam dimensi-dimensi emosi
menurut Frijda dan dimensi-dimensi cinta menurut Sternberg. Perbandingan antara
subyek yang belum menikah dengan yang sudah menikah juga tidak menunjukkan
perbedaan yang signifikan.
Namun secara kualitatif dari segi isi konsep cinta, nampak bahwa ada beherapa
perbedaan antara pria dan wanita, yaitu:
- dalam dimensi emosi menurut Frijda, pada pria tidak terdapat respons ketergugahan
faali sebagai unsur dalam konsep cinta sedangkan pada wanita terdapat respons
ketergugahan faali walaupun hanya sedikit (5%).
- dalam dimensi cinta menurut Sternberg (1988), unsur yang paling besar proporsinya
pada subyek pria adalah keakraban (52%) sedangkan pada wanita adalah nafsu
(44%)
Perbandingan antara orang yang belum menikah dengan orang yang menikah
juga apabila dianalisis isinya, terlihat bahwa pada orang yang sudah menikah unsur
yang menempati bagian terbesar dalam konsep cintanya adalah nafsu (48,5%)
sedangkan pada orang yang belum menikah adalah keakraban (49,4%).
Dengan analisis kualitatif peneliti juga menemukan ciri-ciri utama dari cinta sbb:
- bersifat subyektif
- bersifat egois yaitu menuntut balasan
- adanya kesediaan berkorban untuk orang yang dicintai
- berkaitan dengan ketertarikan seksual (nafsu)
- berkaitan dengan komitmen yaitu mengarah pada perkawinan, dan
- penerimaan secara total terhadap orang yang dicintai atau menerima orang yang
dicintai apa adanya.
Semua ciri di atas itulah yang membedakan cinta dari emosi lain yang hampir
sama seperti sayang dan suka. Apabila dilihat dari teori Sternberg (1988) maka
sebagian besar ciri utama itu tergolong dalam dimensi nafsu. Dengan demikian peneliti
dapat mengajukan asumsi bahwa aspek yang paling dominan dalam membedakan cinta
dengan emosi lainnya adalah nafsu.
Analisis kualitatif juga menemukan faktor-faktor penyebab seseorang mencintai
orang lain, yaitu dapat disebutkan sbb:
- karena orang yang dicintai memenuhi ideal/kriteria yang sudah dimiliki oleh subyek
- karena orang yang dicintai memenuhi kebutuhan subyek diantaranya kebutuhan akan
perhatian dan kebutuhan akan rasa penting
- karena orang yang dicintai memiliki kesamaan nilai-nilai yang dianut dengan subyek,
dan
- karena subyek mendapatkan balasan yang setimpal dari lawan jenis atas usaha dan
perhatian yang ia berikan.
Keempat faktor penyebab cinta itu secara sendiri-sendiri maupun secara bersama
dapat menimbulkan perasaan cinta pada diri subyek."
1995
S2499
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Stein, Ben
Jakarta: Gramedia, 2006
152.41 STE e
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Una Amanda Priharani
2004
S3324
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yusak Novanto
"ABSTRAK
Menurut Bowlby (dalam Sperling & Herman, 1994), attachment atau kelekatan emosional yang teijadi antara anak/bayi dan figur pengasuh utamanya akan berpengaruh pada kehidupan seorang mulai dari lahir sampai ke Hang kubur. Perilaku attachment masa kanak - kanak tadi akan direfleksikan dalam hubungan cinta seseoiang dengan pasangannya ketika ia meraasuki usia dewasa ffluda. Setiap orang akan mengembangkan pola adult attachment yang berbeda berdasarkan kombinasi tertentu dari dimensi avoidance dan anxiety yang melandasinya.
Salah satu teori tentang cinta, yaitu teori segitiga cinta Stemberg (1988) mengemukafcan bahwa cinta merupakan gabungan dari komponen intimacy, passion, dan commitment. Topik ini menarik dan layak untuk diteliti fcarena attachment dan cinta ini akan berpenganA pada bidang-bidang kehidupan liianusia yang lainnya. (baik pengaitih negatif maupun positif), sefflentata itu di Indonesia, penelitian semacam ini belum banyak dilakukan. Oleh karena itu, dalam penelitian ini akan dicoba untuk menyelidiki pengaruh dimensi - dimensi adult attachment terhadap komponen - komponen cinta.
Metode Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adatah metode korelasional yang berusaha melihat hubungan yang terjadi di antara variabe! - variabel penelitian. Sedangkan tehnik utama yang digunakan adatah analisis regresi ganda dan korelasi produk momen Pearson, serta uji beda means dengan t test. Dimensi avoidance dan anxiety adult attachment diufcur dengall menggunakan skala ECR {Experiences in Close Relationships) yang disusun oleh Brennan dkk (1998). Skala ini terdiri dari dua subskala berbentuk skala Likert 1-7 yang masing - masing terdiri atas 18 item pemyataan yang mengukur dimensi yang berbeda.
Sedangkan untuk komponen cinta, alat ukumya adaiah skala segitiga cinta Stemberg (1988) yang l^rtjifi dari tiga subskala berbentuk skala Likert 1-7 yang rrtasing - masirig terdiri dari 15 item peitiyataan yang mengufcur kompoiien - komponen cinta yang berbeda.
Subyek penelitian adalah mahasiswa usia dewasa muda di Universitas Indonesia (84 orang) dengan pertimbangan bahwa pada usia inilah manusia mulai mengembangkan hubungan cinta dengan lawan jenisnya sehingga usia ini sangat sesuai untuk menjadi subyek penelitian. Tehnik pengambilan sampel yang digunakan adalah accidental sampling.
Hasii penelitian ini menunjukkan adanya koretasi yang signifikan antara dimensi avoidance adult attachment dengan ketiga komponen cinta intimacy, passion, dan commitment. Korelasi yang teijadi cukup besar (korelasi lebih dari 0,3) dengan hubungan yang berlawanan arah. Ditemukan juga korelasi yang signifikan antara dimensi anxiety adult attachment dengan komponen cinta passion. Secara umum dapat dikatakan kedua dimensi itu berpenganih terhadap ketiga komponen cinta, namun secara statistik, pengaruh yang signifikan hanya dimiliki oleh dimensi avoidance saja.Kedua dimensi itu memberifcan fcontribusi rata - rata sebesar 33 % kepada komponen - komponen cinta.
Hasil tambahan yang lainnya adalah tidak ditemukan adanya perbedaan antara responden pria dan wanita pada dimensi adult attachment dan komponen - komponen cinta. Kemudian ditemukan juga bahwa lama hubungan cinta saat ini temyata mempunyai hubungan yang positif dengan komponen intimacy dan commitment.
Saran praktis dari penelitian ini adalah ketika seseorang mulai menjalin cinta dengan pasangannya, ada baiknya jika ia mengetahui pola adult attachment yang dimilikinya serfa komponen - komponen cinta dengan tujuan jika terjadi sesuatu yang kurang memuaskan dalam hubungan cinta, ia dapat mengusahakan bebempa langkah yang hams ditempuh agar hubungan dapat beqalan langgeng. Misalnya, meningkatkan komponen intimacy dengan melakukan perjalanan bersama dan saling terbuka satu sama Iain, atau meningkatkan komponen commitment dengan cara mempertahankan hubungan meskipun ada hflrangf^Tt yang mencoba mengganggu hubungan cinta tersebut.
Saran metodologis dari penelitian ini adalah ditambahnya jumtah sampel penelitian dan dilakukan penganekaragaman karakteristik subyek sehingga hasil yang dicapai lebih kaya. Saran yang lain adalah ditambahkannya alat ukur dengan metode yang Iain (wawancara, eksperimen, observasi) supaya dapat dilakukan validasi silang untuk meningkatkan keakuratan pengukuran dan kemantapan konstruk yang diukur."
2001
S2838
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Riana Sahrani
"ABSTRAK
Perkawinan adalah hubungan yang paling intim dari semua
hubungan dekat lainnya dan merupakan salah satu tugas
perkembangan yang harus dicapai oleh orang dewasa muda. Bila
perkawinan berjalan dengan baik, maka kepuasan yang
diberikannya lebih besar dibandingkan dengan kepuasan yang
diberikan oleh dimensi-dimensi lain dalam kehidupan.
Kepuasan perkawinan berkaitan erat dengan tahapan
perkembangan keluarga. Kepuasan perkawinan tampaknya mengikuti
curnilinear path (arah garis lengkung), dimana kepuasan
perkawinan paling tinggi pada saat pasangan baru menikah dan
belum mempunyai anak, mencapai titik terendah ketika anak
pertama berusia remaja, dari kemudian meningkat kembali ketika
anak pertama telah mandiri/keluar rumah (Rollins dan Cannon
dalam Lerner & Hultsch, 1983; Levenson) Capstensen, & Gottman,
1993; Spanier, Lewis, & Cole, 1975; Strong & DeVault, 1989).
Walaupun perkawinan diharapkan memberikan kepuasan pada
pasangan suami istri, tetapi dalam kenyataannya banyak juga
pasangan yang akhirnya mengakhiri perkawinan mereka dengan
parceraian. Kasus perceraian terbanyak diakibatkan oleh adanya
perselisihan suami istri yang terus-menerus, sebanyak ,49.76%
(Salaban, 1992); yang disebabkan antara lain oleh adanya
hambatan komunikasi di antara suami istri. Munculnya masalah
komunikasi ini dapat dikarenakan tidak adanya intimacy di
antara pasangan suami istri, karena intimacy adalah dasar dari
komunikasi (Stephen dalam Strong & Devault, 1989).
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka peneliti tertarik
untuk meneliti hubungan intimacy dengan kepuasan perkawinan
pasangan suami istri pada tiga tahapan perkembangan keluarga,
yaitu pasangan suami istri yang anak pertamanya usia
prasekolah, pasangan suami istri yang anak pertamanya usia
remaja, dan pasangan suami istri yang anak pertamanya telah
mandiri/keluar rumah. Ketiga tahapan ini dipilih dengan
pertimbangan bahwa pada masa-masa tersebutlah kepuasan
perkawinan sangat jelas terlihat, sehingga diharapkan hasil
penelitian ini nantinya dapat memperlihatkan adanya
curvelinear path (arah garis lengkung) dalam kepuasan
perkawinan seperti hasil-hasil penelitian sebelumnya. Tujuan
penelitian ini adalah untuk memberi gambaran mengenai
perkawinan dan krisis yang terjadi pada tahap-tahap
perkembangan keluarga tersebut, sehingga dapat diantisipasi
masalah yang timbul dan dicari pemecahannya secara benar.
Penelitian ini dilakukan di Jabotabek dengan subyek
pasangan suami iatri yang berpendidikan minimal SLTA dan
memiliki tingkat sosial ekonomi menengah keatas. Untuk
mengukur derajat intimacy, maka akan diberikan kuesioner
intimacy dari Sternberg (1988). Sedangkan untuk mengukur
kapuasan perkawinan akan digunakan skala kepuasan perkawinan
dari Spanier (1976) yaitu DAS (Dyadic Adjustment ScaIe) yang
terdiri dari 4 subskala yaitu: dyadic consensus (kesepahaman) ,
dyadic satisfaction (kepuasan dalam hubungan), dyadic cohesion
(kebersamaan), dan affectional expression (ekspresi perasaan).
Hasil panelitian ini memperlihatkan bahwa ada hubungan
positif dan bermakna antara intimacy dengan kepuasan pasangan
suami istri dari seluruh tahapan perkembangan keluarga yang
diteliti. Selain itu ditemukan bahwa kepuasan perkawinan
ternyata memang mengikuti arah garis lengkung (curvilinear
path), dimana kapuasan perkawinan tinggi pada pasangan suami
istri yang anak pertamanya usia prasekolah, menurun dengan
tajam pada pasangan suami istri yang anak pertamanya usia
remaja, kemudian meningkat kambali pada pasangan suami istri
yang anak pertamanya telah keluar rumah/mandiri. Selain itu
juga ditemukan bahwa kepuasan parkawinan suami lebih besar
daripada kepuasan perkawinan istri, dan cara pasangan dalam
memecahkan masalah sehari-hari di antara mereka berpengaruh
terhadap kepuasan perkawinan dan intimacy mereka.
Berdasarkan hasil yang diperoleh tersebut, maka beberapa
saran diajukan untuk mempebaiki penelitian lebih lanjut, yaitu: ditambahkan metode wawancara untuk mendapatkan gambaran
yang mendalam dan menyeluruh dari kepuasan perkawinan dan
intimacy; penelitian melibatkan seluruh tahapan perkembangan
keluarga untuk melihat apakah kepuasan perkawinan dan intimacy
di Indonesia memang mengikuti curvelinear path (arah garis
lengkung); skala kepuasan perkawinan yang dipakai adalah hasil
analisa faktor karena diperkirakan sesuai dengan keadaan yang
ada di Indnesia. Sedangkan saran tambahan adalah sebaiknya
bila Iembaga-lembaga dan para ahli yang kompeten dalam hal
komunikasi orang tua dan remaja melakukan pelatihan tentang
bagaimana menjadi orang tua dan remaja yang efektif.

"
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1995
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siagian, Eva Grace Rouli
"ABSTRAK
Hubungan pacaran merupakan salah salah jenis hubungan interpersonal.
Menurut Bird dan Melville (1994), hubungan pacaran adalah suatu hubungan atau
proses formal yang dilewati oleh perempuan lajang dan laki-laki lajang, dimana
dalam proses/hubungan itu masing-masing memilih pasangan hidupnya. Dalam
hubungan pacaran, pasangan kekasih biasanya saling mencurahkan atau
mengekspresikan cinta dan kasih sayangnya terhadap satu sama lain.
Menurut Plutchik, cinta adalah salah satu jenis emosi kompleks yang
dibentuk dari kombinasi dua emosi dasar, yaitu joy dan acceptance. Sementara itu,
dengan merujuk pada definisi ekspresi emosi menurut Gross dan John (1997), maka
ekspresi emosi cinta dapat diartikan sebagai manifestasi dari emosi cinta yang
muncul dalam bentuk perilaku. Menurut Buscaglia (1988), ekspresi emosi cinta ini
sangat penting bagi perkembangan hubungan pacaran. Ekspresi emosi cinta juga
penting karena dapat memperkuat emosi cinta itu sendiri (Tysoe, dalam Sukaria,
1995). Adapun setiap budaya memiliki display rules yang berperan dalam mengatur
tampilan atau ekspresi emosi seseorang.
Sesuai dengan stereotip gender dan beberapa literatur, disebutkan bahwa
perempuan lebih ekspresif dibandingkan dengan laki-laki. Penelitian ini bertujuan
untuk meneliti gambaran ekspresi emosi cinta dalam hubungan pacaran menurut
laki-laki dan perempuan. Subyek penelitian adalah individu dewasa muda yang
berusia antara 20-30 tahun. Penelitian ini merupakan studi kuantitatif dengan
menggunakan kuesioner sebagai alat ukur. Subyek diminta untuk memberi tanda
centang (v) pada skala yang sesuai dengan diri subyek, untuk setiap ekspresi emosi
cinta yang dilakukan subyek kepada pasangannya dan untuk setiap situasi dimana
subyek mengekspresikan emosi cinta kepada pasangannya. Untuk mengukur
ekspresi emosi cinta, dilihat nilai mean dari total ekspresi verbal dan nilai mean dari
total ekspresi non verbal pada kelompok subyek laki-laki dan perempuan. Kemudian
dilakukan perhitungan t-test untuk melihat apakah ada perbedaan yang signifikan
antara kedua kelompok subyek dalam jenis-jenis ekspresi emosi cinta (verbal dan
non verbal), serta antara jenis-jenis ekspresi cinta itu sendiri pada masing-masing
kelompok subyek. Selain itu, dilihat pula nilai mean dari setiap ekspresi untuk
mengetahui ekspresi-ekspresi mana yang paling sering dan yang paling jarang
dilakukan subyek. Kemudian untuk mengukur situasi ekspresi emosi cinta, dilihat
dari nilai mean setiap situasi untuk mengetahui pada situasi-situasi apa subyek cenderung mengekspresikan dan pada situasi-situasi apa subyek cenderung tidak
mengekspresikan emosi cinta kepada pasangan.
Hasil penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan antara
kelompok subyek laki-laki dan perempuan dalam mengekspresikan emosi cinta
kepada pasangannya, baik secara verbal maupun secara non verbal. Hasil penelitian
juga menunjukkan ada perbedaan yang signifikan antar jenis ekspresi emosi cinta
(verbal dan non verbal), baik pada kelompok subyek laki-laki maupun pada
kelompok subyek perempuan. Dalam hal ini, kelompok subyek laki-laki dan
kelompok subyek perempuan sama-sama lebih ekspresif secara non verbal daripada
secara verbal.
Hasil penelitian yang diperoleh ternyata tidak sesuai dengan stereotip gender
dan literatur yang menyebutkan bahwa perempuan lebih ekspresif daripada laki-laki.
Hasil tersebut bisa disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, karena kesetaraan gender
yang saat ini sudah mulai berkembang. Kedua, karena pengaruh kemajuan jaman
sehingga masyarakat sekarang menjadi lebih terbuka. Selain itu, dikatakan pula
bahwa individu yang mengalami emosi cinta akan cenderung mengekspresikannya
baik secara verbal maupun secara non verbal (Fitness & Fletcher, 1993).
Bagi penelitian selanjutnya sebaiknya dilakukan pembenahan terhadap alat
ukur ekspresi emosi cinta dan situasinya serta lebih memperhatikan faktor-faktor
lain yang dapat mempengaruhi ekspresi emosi cinta. Pada penelitian lanjutan
sebaiknya juga dilakukan metode observasi dan wawancara disamping metode
kuantitatif untuk dapat memperoleh gambaran yang lebih menyeluruh mengenai
ekspresi emosi cinta yang diteliti pada konteks yang lebih spesifik. Selain itu, dapat
juga dilakukan penelitian lintas budaya mengenai ekspresi emosi cinta atau
penelitian perbandingan antar kelompok usia yang berbeda maupun status hubungan
yang berbeda."
2002
S3117
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annajm Arradita Andhi Ajeng
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah keberfungsian keluarga dapat memprediksi intimacy dalam hubungan berpacaran pada dewasa muda yang memiliki orang tua bercerai. Selain itu penelitian ini juga ingin melihat apakah dimensi-dimensi dari keberfungsian keluarga yaitu problem solving, communication, roles, affective responsiveness, affective involvement dan behavior control secara bersama-sama dapat memprediksi intimacy dalam hubungan berpacaran pada dewasa muda yang memiliki orang tua bercerai. Pengukuran intimacy dilakukan dengan menggunakan Miller Social Intimacy Scale MSIS sementara pengukuran keberfungsian keluarga dilakukan dengan menggunakan Family Assessment Device FAD yang didasari oleh teori McMaster Model of Family Functioning. Responden dalam penelitian ini terdiri dari 188 perempuan dan 67 laki-laki dewasa muda yang memiliki orang tua bercerai, berumur 20-40 tahun, sedang menjalin hubungan berpacaran, dan belum menikah. Hasil penelitian dengan teknik simple regression menunjukkan bahwa keberfungsian keluarga tidak signifikan memprediksi intimacy dalam hubungan berpacaran pada dewasa muda yang memilki orang tua bercerai. Hal yang sama juga ditemukan pada dimensi-dimensi dari keberfungsian keluarga, dimana hasil multiple regression menunjukkan bahwa dimensi-dimensi dari keberfungsian keluarga secara bersama-sama tidak signifikan memprediksi intimacy dalam hubungan berpacaran pada dewasa muda yang memiliki orang tua bercerai.

This study conducted to examined family functioning as predictor of intimacy in dating relationship among young adults with divorced parents. This study also examined whether the dimensions of family functioning problem solving, communication, roles, affective responsiveness, affective involvement and behavior control could simultaneously predict intimacy in dating relationship among young adults with divorced parents. Intimacy was measured with Miller Social Intimacy Scale MSIS and family functioning was measured with Family Assessment Device FAD based on McMaster Model of Family Functioning Theory. This study consisted of 188 females and 67 males young adults with divorced parents, aged 20 40, is in dating relationship during the study, and have not been married before. The result with simple regression indicated that family functioning not significantly could be a predictor of intimacy in dating relationship among young adults with divorced parents. The same result was found on the dimensions of family family functioning in which multiple regression showed that the dimensions of family functioning could not simultaneously predict intimacy in dating relationship among young adults with divorced parents."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indriyana Djohansjah
"Salah satu tugas perkembangan yang dihadapi oleh individu adalah masa dewasa muda. lndividu dewasa muda belajar untuk hidup secara intimate bersama dengan individu lain, memulai sebuah keluarga, dan juga membesarkan anak-anak. Pentingnya pembuatan komitmen-komitmen pada masa ini juga ditekankan oleh Erikson.
Erikson (dalam Papalia, 2001) mengemukakan bahwa manusia dewasa muda menghadapi permasalahan yang berkaitan dengan intimacy. Jika seseorang tidak mampu membina hubungan yang mendalam bersama orang lain maka ia akan merasa terisolasi meskipun pada dasarnya ada masa-masa tertentu mereka tetap membutuhkan waktu untuk menyendiri (isolated). lnteraksi yang dikembangkan oleh pasangan yang menjalin hubungan cinta dapat menggambarkan bagaimana status intimacy mereka. Status intimacy tidak sekedar menggambarkan bagaimana interaksi antara kedua individu yang sedang berpacaran namun juga menggambarkan bagaimana mereka melakukan coping atas permasalahan yang mereka hadapi.
Demikian juga dengan anak tunggal, mereka dituntut untuk mampu membuka dirinya (self-disclosure) serta membagi (share) permasalahan-permasalahan seputar hubungannya dengan orang lain, dalam hal ini adalah pacar atau teman dekatnya. Pada akhirnya tuntutan yang harus mereka jalani dalam hubungan pacaran akan menggambarkan bagaimana status intimacy mereka. Beberapa karakteristik yang dimiliki anak lunggal yang memiliki kecendenrungan untuk independent serta memiliki sense of love yang tinggi mungkin justru akan menimbulkan konflik pada saat anak tunggal membina intimate relationship. Keadaan dimana anak tunggal selalu menjadi fokus kasih sayang dari orangtua bisa jadi membuat anak tunggal mengalami kesulitan untuk membagi sayangnya pada orang lain. Hal ini membuat anak tunggal lebih sedikit merasa kehilangan kasih sayang dibandingkan anak lain yang memiliki saudara kandung (Conners, dalam Gladys, 1979). Selain itu, kesendirian anak tunggal seringkali dikaitkan dengan kebiasaan mereka untuk menghadapi masalah sendiri sehingga sulit untuk terbuka pada orang lain (self-disclosure).
Tujuan dari penelitian ini untuk melihat gambaran mengenai status intimacy pada masa dewasa muda yang berstatus anak tlmggal Serta mengetahui lebih jauh hal-hal apa saja yang memberi pengaruh pada anak tunggal saat ia mengembangkan Intimate Relationship dengan orang lain.
Dalam penelitian ini digunakan metode wawancara sebagai metode pengumpulan data utama dan observasi sebagai penunjang hasil wawancara Serta pembelian alat tes psikologis sebagai data penunjang dalam penelitian ini.
Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa keempat subyek memiliki status intimacy yang berbeda-beda yaitu siereoguped relationship untuk subyek M, pseudointimate pada subyek I, merger commited pada subyek D dan intimate pada subyek R. Keempat subyek penelitian memiliki taraf yang tinggi untuk aspek penerimaan terhadap keterpisahan pasangan. Hal ini mungkin disebabkan karena kebiasaan mereka yang selalu sendiri mengingat mereka adalah anak tunggal sehingga mereka tidak terlalu merasa kehilangan jika harus melakukan kegiatan tanpa pasangan. Keempat subyek penelitian memiliki taraf yang tinggi untuk aspek mempertahankan minat-minat pribadi. Kondisi anak tunggal yang menuntutnya untuk menjalankan segalanya sendiri bisa jadi salah satu faktor yang berperan dalam pembentukan taraf tersebut.
Dua subyek penelitian yang berjenis kelamin laki-laki memiliki taraf yang tinggi untuk aspek komitmen dan aspek perhatian dan kasih sayang. Dua subyek penelitian yang berjenis kelamin laki-laki memliki keinginan yang lebih kuat untuk mempertahankan hubungan pacaran mereka dibanding subyek penelitian berjenis kelamin wanita. Peran, pola asuh dan attachment pada orang tua memberi kontribusi pada pembentukan status intimacy pada keempat subyek penelitian."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2006
T16817
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Haura Athaya Rachman
"Masa dewasa muda merupakan sebuah masa transisi dari remaja ke dewasa di mana individu memiliki tanggung jawab yang lebih besar, mempunyai ekspektasi masa depan, dan banyak tuntutan di saat yang sama. Banyaknya tantangan yang dialami dewasa muda menyebabkan dewasa muda menjadi rentan terhadap gangguan mental. Kematangan emosi menjadi salah satu aspek penting yang harus dimiliki oleh dewasa muda agar mereka dapat menghadapi periode yang kompleks ini. Salah satu faktor yang paling berperan dalam membentuk kematangan emosi dewasa muda merupakan bahasa cinta orang tua. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat hubungan antara bahasa cinta orang tua dan kematangan emosi pada dewasa muda. Partisipan terdiri dari 260 dewasa muda yang berusia 18-25 tahun dan berdomisili di seluruh Indonesia. Kematangan emosi diukur menggunakan Emotional Maturity Scale (EMS) dan bahasa cinta orang tua diukur menggunakan Parental Love Language Scale (PLLS). Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara bahasa cinta orang tua dengan kematangan emosional. Diantara lima bahasa cinta yang paling tinggi korelasinya adalah perkataan afirmasi (r = .374, p < .01), diikuti dengan waktu berkualitas (r = .197, p < .01), tindakan melayani (r = .152, p < .01), penerimaan hadiah (r = .160, p < .01), dan sentuhan fisik (r = .126, p < .05) dengan tingkat kematangan emosi.

Emerging adulthood is a transitional phase from adolescence to adulthood, marked by increased responsibilities, future expectations, and simultaneous demands. The numerous challenges faced during this period make young adults vulnerable to mental health disorders. Emotional maturity is identified as a crucial aspect for young adults to navigate this complex period successfully. One significant factor shaping emotional maturity in young adults is the parental love language. The purpose of this study was to examine the relationship between parental love languages and emotional maturity in emerging adult. The study involved 260 young adults aged 18-25 from various regions in Indonesia. Emotional maturity was assessed using the Emotional Maturity Scale (EMS), while the parental love language was measured using the Parental Love Language Scale (PLLS). The results indicated a positive and significant relationship between parental love languages and emotional maturity. Among the five parental love languages, the highest correlation is found in words of affirmation (r = .374, p < .01), followed by quality time (r = .197, p < .01), acts of service (r = .152, p < .01), receiving gifts (r = .160, p < .01), and physical touch (r = .126, p < .05), all associated with emotional maturity."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rif`atul Mahmudah
"Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara aspek intimacy dalam Sternberg's Triangular Theory of Love dengan kesiapan menikah pada dewasa muda. Penelitian yang menggunakan pendekatan kuantitatif ini melibatkan 120 orang dewasa muda yang telah merencanakan pernikahan dengan pasangannya Partisipan diminta untuk mengisi kuesioner yang mengukur intimacy dan kesiapan menikah. Intimacy diukur dengan menggunakan subscale intimacy yang menjadi bagian dari alat ukur Triangular Love Scale (TLS) yang dikembangkan oleh Robert J. Sternberg. Kesiapan menikah diukur dengan menggunakan Modifikasi Inventori Kesiapan Menikah (Wiryasti, 2004). Adapun area-area kesiapan menikah yang diukur adalah komunikasi, keuangan, anak dan pengasuhan, pembagian peran suami-istri, latar belakang pasangan dan relasi dengan keluarga besar, agama, serta minat dan pemanfaatan waktu luang. Dari hasil penelitian ini diperoleh hasil bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara intimacy dan kesiapan menikah. Selain itu, ditemukan adanya perbedaan mean kesiapan menikah yang signifikan berdasarkan tahun rencana pelaksanaan pernikahan.

This research is examined to understand the relationship between intimacy of Sternberg's Triangular Theory of Love and readiness for marriage in young adults. The research used quantitative approach and involving 120 young adults that have planned a marriage with their couple. Intimacy was measured using a subscale intimacy which is a part of Triangular Love Scale (TLS) that developed by Robert J. Sternberg. Readiness for marriage is measured by the Modified Marriage Readiness Inventory (Wiryasti, 2004). The areas measured on the readiness for marriage is communication, finance, children and parenting, husband and wife roles, partner background and relationships with family, religion, interest and use of leisure time. The result of this research showed that there is a significant relationship between intimacy and readiness for marriage. Furthermore, this research find a significant mean difference in readiness for marriage based on years of the implementation of marriage."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>