Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 61650 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dian Purnamasari
"Sediaan mengapung multi unit famotidin dikembangkan untuk memperpanjang waktu tinggal obat di dalam lambung yang ditujukan untuk pengobatan tukak lambung. Formulasi beads mengapung ini dibuat dengan cara mendispersikan famotidin dan kalsium karbonat ke dalam campuran larutan natrium alginat dan hidroksipropilmetilselulosa (HPMC). Larutan tersebut kemudian diteteskan ke dalam larutan 5% CaCl2 yang mengandung 10% asam asetat dengan menggunakan syringe needle dengan ukuran 22-G, 25-G, dan 27-G. Beads kalsium alginat terbentuk karena terjadinya gelasi ion dengan adanya ion kalsium, sedangkan gas karbon dioksida terbentuk karena terjadinya reaksi antara garam karbonat dengan asam asetat. Terbentuknya gas ini akan menghasilkan poros dan menyebabkan beads dapat mengapung. Pada penelitian ini, beads yang dihasilkan dapat mengapung selama lebih dari 24 jam. Beads dengan ukuran 22-G memiliki penjerapan dan daya mengembang terbesar. Persentasi penjerapan beads 22-G adalah sebesar 11,41% dan mampu mengembang hingga 4 kalinya. Namun sediaan yang dihasilkan tidak dapat dijadikan sebagai sediaan lepas lambat karena profil pelepasan obatnya yang sangat cepat.

A multiple-unit-type oral floating dosage form of famotidine was developed to prolong gastric residence time, target peptic ulcer. The floating beads formulations were prepared by dispersing famotidine together with calcium carbonate into a mixture of sodium alginate and hydroxypropyl methylcellulose (HPMC) solution. The resulting solution was dropped through 22-G, 25-G, and 27-G syringe needle into 5% CaCl2 solution containing 10% acetic acid. Calcium alginate beads were formed, as alginate undergoes ionotropic gelation by calcium ions and carbon dioxide develops from the reaction of carbonate salts with acetic acid. The evolving gas permeated, leaving pores, which provided the beads buoyancy. The result of this study, the prepared beads have excellent floating ability over period of 24 hours. The 22-G beads have the largest entrapment efficiency and swelling ability. The percent entrapment efficiency of 22-G beads was 11,41% and swelling up to 4 times. Nevertheless, these beads cannot be used as sustained release dosage form due to its rapidly in releasing drugs."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2011
S788
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Dave Jason Satria
"Ulkus peptik, yang disebabkan oleh infeksi Helicobacter pylori (H. pylori), merupakan masalah kesehatan global dengan prevalensi yang cukup tinggi, termasuk di Indonesia. Klaritromisin adalah salah satu obat yang dipakai untuk mengatasi infeksi bakteri ini sebagai bagian dari regimen tiga obat. Sediaan konvensional klaritromisin hanya bertahan 1-3 jam di lokasi aksi. Oleh karena itu, klaritromisin dibuat menjadi granul gastroretentif mukoadhesif dengan bantuan polimer untuk meningkatkan waktu singgah obat yang meningkatkan efektivitas terapi dan mengurangi insidensi resistensi. Polimer yang dipilih, yaitu hidroksietil selulosa (HEC), hidroksipropil selulosa (HPC), dan polimetakrilat mempunyai rekam jejak yang baik dalam aktivitas mukoadhesinya, namun masih belum ada studi yang mempelajari polimer berikut untuk sediaan mukoadhesi gastroretentif. Penelitian ini bertujuan untuk memformulasi granul gastroretentif dengan sifat fisik yang baik dan profil pelepasan obat, serta daya mukoadhesi granul secara in vitro. Granul dengan konsentrasi 1:1 tiap polimernya dibuat dengan metode granulasi basah yang dievaluasi dari karakterisasi fisiknya, fungsional, kadar, profil pelepasan, dan mekanisme pelepasannya. Hasil granul Klaritromisin : HEC (F1) = 1:1 menghasilkan hasil yang paling baik diantara ketiga formula. Granul yang dihasilkan memiliki rendemen 93,25% dan sifat alir excellent. Granul mengembang hingga 822,69%, mampu bertahan hingga 12 jam pada uji mukoadhesi in-vitro, dan daya adhesi yang terbaik dari ketiga formula. Dari uji disolusi, granul F1 memiliki kadar 77,58% dan profil pelepasannya adalah orde 0 difusi disolusi yang terdapat fenomena lag release. Oleh karena itu, granul F1 dapat digunakan untuk penelitian lebih lanjut seperti pada uji in vivo.

Peptic ulcer, caused by Helicobacter pylori (H. pylori) infection, is a global health issue with a significant prevalence, including in Indonesia. Clarithromycin is one of the drugs used to treat this bacterial infection as part of a triple therapy regimen. Conventional clarithromycin formulations only remain active for 1-3 hours at the site of action. Therefore, clarithromycin was formulated into gastroretentive mucoadhesive granules using polymer assistance to prolong drug residence time, enhance therapeutic effectiveness, and reduce resistance incidence. The selected polymers hydroxyethyl cellulose (HEC), hydroxypropyl cellulose (HPC), and polymethacrylate have shown good track records in mucoadhesive activity, yet there are no studies on the latter polymer for gastroretentive mucoadhesive formulations. This research aims to formulate gastroretentive granules with good physical properties and drug release profiles, as well as in vitro mucoadhesive properties. Granules with a 1:1 concentration of each polymer were prepared using wet granulation method and evaluated for their physical and functional characteristics, drug content, release profile, and release mechanism. Among the three formulations, the Clarithromycin:HEC (F1) granules at a 1:1 ratio showed the most promising results. The resulting granules had a yield of 93.25% and excellent flow properties. They expanded up to 822.69%, could sustain for up to 12 hours in in-vitro mucoadhesion tests, and exhibited the best adhesion capability compared to the other formulations. Dissolution testing showed that F1 granules had a drug content of 77.58% and followed a zero-order release with lag release phenomenon. Hence, F1 granules are suitable for further research, such as in vivo studies."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Asiandi
"Lingkup permasalahan luka tekan belum dapat diketahui dengan pasti sehingga sulit menentukan biaya sesungguhnya untuk penatalaksanaannya. Luka tekan merupakan kondisi yang belum biasa dilaporkan dan institusi meyakini keberadaan luka tekan adalah gambaran negatif dari mutu perawatan. Penggunaan skala risiko luka tekan adalah cara untuk mencegah terjadinya luka tekan sehingga mutu perawatan tarhadap klien dapat ditingkatkan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui skala pengkajian risiko luka tekan yang paling sesuai digunakan dalam praktik keperawatan. Desain penelitian ini menggunakan desain deskriptif perbandingan untuk mengetahui kesesuaian pengkajian risiko luka tekan dinilai dengan skala Norton, skala Braden, dan skala Gosnell. Penelitian ini dilakukan terhadap 30 responden klien fraktur (n = 30) di RSUP Fatmawati Jakarta dengan cara melakukan satu kali observasi dan penilaian langsung dengan skala Norton, skala Braden, dan skala Gosnell.
Hasil observasi dan penilaian menunjukkan 7 klien berisiko dan 23 klien berisiko tinggi dinilai dengan skala Norton, 7 klien berisiko dan 23 klien berisiko tinggi dinilai dengan skala Braden, Serta 30 klien berisiko dan tidak ada klien yang berisiko tinggi dinilai dengan skala Gosnell. Koefisien reliabilitas skala ditentukan dengan teknik reliabilitas konsistensi internal menggunakan rumus Alfa Cronbach. Koefisien reliabilitas skala Norton r = 0,13, skala Braden r = 0,46, skala Gosnell r = 0,59. Hasil uji hipotesa dengan derajat kebebasan dk=2 dan tarap kesalahan 0,05 diperoleh harga Chi Kuadrat tabel (5,591) lebih kecil daripada harga Chi Kuadrat hitung (47,08). Kesimpulan, terdapat perbedaan kesesuaian pengkajian risiko luka tekan dinilai dengan skala Norton, skala Braden, dan skala Gosnell. Reliabilitas skala Gosnell lebih tinggi daripada dua skala pembanding lainnya, sehingga skala Gosnell paling sesuai digunakan dalam praktik keperawatan."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2002
TA5206
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nandang Ahmad Waluya
"Ulkus diabetik merupakan salah satu komplikasi kronis diabetes melitus (DM). Terjadinya ulkus diabetik diawali dengan adanya neuropati dan penyakit vaskular perifer sebagai dampak hiperglikemia serta adanya trauma akibat kurangnya pasien melakukan perawatan kaki. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan antara kepatuhan pasien dengan kejadian ulkus diabetik dalam konteks asuhan keperawatan pada pasien DM di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung. Penelitian ini menggunakan rancangan crossectional study. Jumlah sampel penelitian 88 responden terdiri dari 44 orang pasien DM dengan ulkus dan 44 orang pasien DM tanpa ulkus. Teknik pengambilan sampel yaitu consecutive sampling dan acak sederhana. Analisis statistik yang digunakan yaitu uji Chi Square dan regresi logistik ganda.
Hasil penelitian menunjukan adanya hubungan yang bermakna antara kepatuhan pasien DM (p=0,000), kepatuhan memonitor glukosa darah (p=0,000), diet (p=0,000), aktivitas (p=0,023), perawatan kaki (p=0,000), kunjungan berobat (p=0,000) dengan kejadian ulkus diabetik. Kepatuhan kunjungan berobat merupakan faktor paling dominan berhubungan dengan kejadian ulkus diabetik (OR=8,95). Karakteristik demografi jenis kelamin merupakan faktor pengganggu. Sedangkan umur, tingkat pendidikan dan status ekonomi bukan faktor pengganggu. Kesimpulan penelitian ini adalah terdapat hubungan antara ketidakpatuhan pasien DM dengan kejadian ulkus diabetik. Saran peneliti yaitu pasien perlu mendapat pendidikan kesehatan, pemeriksaan kaki secara teratur, pasien harus mematuhi terhadap saran petugas kesehatan. Perlu dilakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan ketidakpatuhan pasien DM.

Diabetic ulcer is one of chronic complications of Diabetes Mellitus. Neuropathy and peripheral vascular disease are the beginning of ulcer, as the result of hyperglycemia condition, and a trauma caused by lack of foot care. The aim of this study is to identify the relation of patient adherence with diabetic ulcer occurance in the context of nursing care of patient with diabetes mellitus at Dr. Hasan Sadikin Hospital, Bandung. Crossectional study design was used in this study. The samples size were 88 patients with diabetes mellitus, consisted of 44 patients with diabetic ulcer and 44 patients without diabetic ulcer. Samples were selected by simple random and consecutive sampling technique. Chi Square and a multiple logistic regression were used to examine the relation of patient adherence with occurrence diabetic ulcers.
The result showed that there was a significant corelation of diabetes mellitus patient adherence (p=0,000), adherence of monitoring blood glucose level (p=0,000), diet (p=0,000), activities (p=0,023), foot care (p=0,000), and visiting health care provider (p=0,000) with diabetic ulcer occurence. Adherence of visiting health care provider was the most dominant factor related to diabetic ulcer occurence (OR=8,95). Sex was confounding factor. Whereas age, education and economic level were not confounding factors. It is concluded that there was a relationship between patient adherence and the occurance of diabetic ulcer. Recommendations of this research were patient need to get health education, regular foot examination, patient adherence to recommendations health care provider. Further research about factors related to nonadherence in diabetes mellitus patients need to be done.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2008
T-Pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Khoeruni Aulia Saida
"Spondilitis tuberkulosis manifestasi tuberkulosis ekstrapulmoner hasil dari penyebaran hematogen tuberkulosis ke vertebral melalui aliran darah dan paling sering melibatkan persimpangan thorakolumbar. Tanda-tanda lanjutan penyakit ini adalah paraparesis dan paraplegia, kejadian ini dilaporkan pada 4% sampai 30% kasus. Pasien spondilitis tuberkulosis mengalami gangguan neuromuskuler sehingga mengalami gangguan mobilitas dan sangat rentan terhadap perkembangan ulkus dekubitus akibat jaringan terlalu lama terpapar oleh tekanan. Analisis dilakukan pada pasien laki-laki berusia 55 yang mengalami paraparesis akibat spondilitis tuberkulosis sehingga muncul ulkus dekubitus dan menjalani operasi debridement ulkus. Masalah keperawatan yang muncul adalah risiko infeksi, risiko ketidakseimbangan elektrolit, ketidakseimbangan nutrisi:kurang dari kebutuhn tubuh. Tujuan penulisan ini yaitu memaparkan hasil analisis asuhan keperawatan dengan perawatan luka menggunakan honey dressing pada pasien spondilitis tuberkulosis dan post debridement ulkus dekubitus. Penerapan perawatan luka dengan honey dressing ini dilakukan dari tanggal 18-20 April 2023, balutan diganti sehari sekali. Dari penerapan intervensi ini, terbukti menurunkan skor PUSH tool (Pressure Ulcer Scale for Healing) namun, perlu penilaian dengan durasi lebih lama untuk melihat kemajuan luka. Kesimpulannya perawatan luka dengan honey dressing dapat dilakukan untuk meningkatkan kesembuhan luka, selain itu honey dressing ini mudah dicari, efektif, dan ekonomis.

Tuberculosis spondylitis is manifestations of extrapulmonary tuberculosis result from hematogenous spread of tuberculosis to the vertebrae via the bloodstream and most commonly involve the thoracolumbar junction. Later signs of the disease are paraparesis and paraplegia, which have been reported in 4% to 30% of cases. Patients with tuberculosis spondylitis have neuromuscular disorders that cause impaired mobility and are highly susceptible to the development of decubitus ulcers due to prolonged tissue exposure to pressure. The analysis was performed on a 55-year-old male patient who had paraparesis due to tuberculosis spondylitis resulting in decubitus ulcers and underwent ulcer debridement surgery. The problems that arise are the risk of infection, the risk of electrolyte imbalance, nutritional imbalance: less than the body's needs. The purpose of this paper is to present the results of an analysis of wound care using honey dressing in patients with tuberculosis spondylitis and decubitus ulcer post debridement. The implementation of wound care with honey dressing is carried out from April 18-20 2023, the dressing is changed once a day. From the implementation of this intervention, it is proven to reduce the score of the PUSH (Pressure Ulcer Scale for Healing) tool but requires an assessment with a longer duration to see the progress of the wound. In conclusion, wound care with honey dressing can be done to improve wound healing, besides that honey dressing is easy to find, effective, and economical."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2023
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Adi Satriyo
"Sering (10-20%) ditemukan pada pasien MH. Berbagai terapi topikal ulkus neuropatik sederhana MH, antara lain salap seng oksida (ZnO) 10% masih belum optimal dan menunjukkan keterbatasan. Beberapa penelitian memperlihatkan manfaat penambahan faktor pertumbuhan pada penyembuhan berbagai jenis ulkus. Terdapat beberapa metode untuk mengekstraksi faktor pertumbuhan autolog, salah satunya dengan konsentrat fibrin kaya trombosit (FKT).
Tujuan : Menilai tingkat kesembuhan ulkus neuropatik sederhana MH yang diobati secara topikal dengan konsentrat FKT dibandingkan dengan menggunakan salap ZnO 10%.
Metode : Penelitian ini merupakan suatu uji klinis acak terkontrol, terbuka, dengan desain paralel. Dilakukan randomisasi untuk membagi 50 subyek menjadi dua kelompok, yaitu kelompok uji (konsentrat FKT) dan kelompok pembanding (salap ZnO 10%). Pengobatan dan evaluasi dilakukan tiap minggu selama enam minggu.
Hasil : Pada akhir pengobatan, proporsi tingkat kesembuhan baik (pengecilan ulkus > 75%) kelompok uji adalah 40% dan proporsi tingkat kesembuhan baik pada kelompok pembanding adalah 32%. Perbedaan 8% proporsi tingkat kesembuhan baik di antara kedua kelompok tersebut tidak bermakna secara statistik (p = 0,56) (RR 1,3; IK95%: 0,6-2,6).
Kesimpulan : Tidak terdapat perbedaan bermakna antara tingkat kesembuhan ulkus neuropatik sederhana MH yang diobati secara topikal menggunakan konsentrat FKT dibandingkan dengan salap ZnO 10%.

Disability found in leprosy patients. Various topical treatment for simple neuropathic ulcer in leprosy patients, such as 10% zinc oxide (ZnO) ointment is still not optimal and show limitations. Recent studies have shown the benefits of the addition of growth factors in the healing of various types of ulcers. There are several methods for extracting autologous growth factors, one of which is plateletrich fibrin (PRF) concentrate.
Objective : To assess the healing response of simple neuropathic ulcers in leprosy patients treated topically with PRF concentrate compared to 10% ZnO ointment.
Methods : Randomized, open, controlled clinical trials, with parallel design. Fifthy subjects randomly allocated into two trial groups, the intervention group (PRF concentrate) and the control group (10% ZnO ointment). Treatment and evaluation was performed every week for six weeks.
Results : At the end of treatment, the proportion of good healing response (> 75% closure) in the intervention group and the control group was 40% and 32% respectively. The 8% difference in the proportion of good healing response was not statistically significant (p = 0,56) (RR 1,3; 95%CI: 0,6-2,6).
Conclusion : There was no significant difference in the healing response of simple neuropathic ulcers in leprosy patients treated topically with PRF concentrate compared to 10% ZnO ointment.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
London: Mosby , 2001
616.545 PRE
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Elsa Trinovita
"Tukak lambung adalah salah satu gastrointestinal kronis yang paling umum. Penggunaan obat konvensional banyak menimbulkan efek samping, sehingga perlu adanya pendekatan terapi herbal. Salah satunya dengan menggunakan dedak padi yang berasal dari penggilingan padi. Dedak padi mengandung ?-oryzanol yang mempunyai berbagai aktivitas farmakologis. Salah satunya adalah sebagai anti tukak lambung.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menggunakan metode IL-MAE untuk meningkatkan ?-oryzanol dalam dedak padi dan mengevaluasi efektivitas ekstrak dedak padi sebagai gastroprotektif pada model tukak lambung yang diinduksi etanol pada tikus. Ekstrak dedak padi diperoleh dengan IL-BMIM[BF4] 0,7 M dengan MAE pada kondisi ekstraksi rasio sampel/pelarut 15 g/mL, waktu ekstraksi 15 menit dan daya mikrowave 10 . Tikus diberi perlakuan dengan ekstrak dedak padi pada dosis yang berbeda 100, 200, 400 mg/kgBB selama tujuh hari dan kemudian terpapar lesi lambung akut yang diinduksi 80 etanol 0,5 ml/200 gBB . Omeprazol 36 mg/kgBB digunakan sebagai obat anti-ulkus standar. Indeks ulkus, keasaman lambung dan pembentukan mukus diukur untuk menilai tingkat gastroproteksi.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa metode IL[BMIM]BF4-MAE dapat meningkatkan kadar ?-oryzanol sebesar 0,421 mg/g dibandingkan dengan metode isopropanol-MAE dan pemberian oral ekstrak dedak padi pada dosis 400 mg/kgBB secara nilai signifikan menghambat pembentukan lesi lambung sebesar 66,75 dan penurunan keasaman lambung. Selain itu, ekstrak dedak padi dapat melindungi mukosa lambung dari lesi lambung akibat etanol dengan meningkatkan pembentukan mukus lambung. Aplikasi metode IL[BMIM]BF4-MAE lebih efektif meningkatkan kadar ?-oryzanol pada ekstrak dedak padi dan ekstrak dedak padi 400 mg/kgBB mempunyai efektivitas sebagai gastroprotektif.

Peptic ulcer is one of the most common chronic gastrointestinal. The use of conventional medicine causes many side effects, so the need for an approach of herbal therapy. One of them by using rice bran derived from rice milling. Rice bran contains oryzanol which has various pharmacological activities. One of them is as an anti gastric ulcer.
The aim of this study was to use the IL MAE method to increase oryzanol in rice bran and evaluate the effectiveness of rice bran extract as gastroprotective in the ethanol induced peptic ulcer model in rats. The rice bran extract was obtained with IL BMIM BF4 0.7 M with MAE at ratio sample liquid of 15 g mL, extraction time 15 min and microwave power 10. The rats were treated with rice bran extract at different doses 100, 200, 400 mg kgBW for seven days and then exposed to acute induced gastric lesions 80 ethanol 0.5 ml 200 gBW. Omeprazole 36 mg kgBW is used as a standard anti ulcer drug. The ulcer index, gastric acidity and mucus formation were measured to assess the level of gastroprotection.
The results of this study indicate that the method of IL BMIM BF4 MAE can increase the oryzanol level by 0.421 mg g compared with isopropanol MAE method and oral administration of rice bran at dose 400 mg kgBW significantly decreases gastric lesion formation by 66.75 and decreased gastric acidity. In addition, rice bran extract can protect the gastric mucosa from gastric lesions due to ethanol by increasing gastric mucus formation. The application of the IL BMIM BF4 MAE method more effectively increases the oryzanol content of rice bran extract 400 mg kgBW has effectiveness as gastroprotective."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2018
T49062
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"An ulcer is an area of discontinuity of an epithelial surface. Ulceration is the commonest oral soft tissue disorders and vary greatly in term of etiology signs and symptoms, prognosis and treatment. Abnormalities of immune system can cause oral mucosal ulceration. The purpose of this paper is to discuss the management of some of the more common oral ulcer associated with immunologic disorders. Because the natural history and treatment varies with the diagnosis, the practitioner should became familiar with the clinical aspects of the various type of ulcerations so that appropriate treatment can be instituted."
Journal of Dentistry Indonesia, 2003
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Dimas Tri Prasetyo
"Varikokel telah terbukti mempengaruhi kualitas sperma. Namun, efek operasi varikokel terhadap tingkat keberhasilan pengambilan sperma melalui pembedahan dan pola histopatologi testis pada pria dengan azoospermia nonobstruktif belum banyak dilaporkan. Penelitian retrospektif ini bertujuan untuk menginvestigasi tingkat keberhasilan pengambilan sperma dengan teknik operasi dan pola histopatologi testis pada pria dengan azoospermia nonobstruktif yang dirujuk ke Klinik Urologi di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo (Jakarta, Indonesia) dan Rumah Sakit Umum Bunda (Jakarta, Indonesia) pada periode Januari 2009 hingga Desember 2019. Subjek yang dibandingkan adalah pasien yang menjalani prosedur pengambilan sperma melalui pembedahan tidak lebih awal dari tiga bulan setelah operasi varikokel dan pasien yang tidak menjalani operasi varikokel melainkan langsung menjalani prosedur pengambilan sperma melalui pembedahan. Penelitian ini melibatkan 104 subjek dengan rentang usia 26-54 tahun, 42 di antaranya telah menjalani operasi varikokel sebelum prosedur pengambilan sperma. Spermatozoa motil ditemukan pada 29 (69,1%) pasien yang menjalani operasi varikokel dan 17 (27,4%) pasien yang langsung menjalani prosedur pengambilan sperma melalui pembedahan (risiko relatif: 2,51; interval kepercayaan 95%: 1,60±3,96; P < 0,001). Grafik probabilitas yang diprediksi menunjukkan tingkat keberhasilan prosedur pengambilan sperma yang lebih tinggi secara konsisten untuk subjek yang menjalani operasi varikokel terlebih dahulu. Pasien yang menjalani operasi varikokel menunjukkan pola histopatologi testis yang lebih baik (P = 0,001). Kesimpulan penelitian ini adalah pria dengan azoospermia nonobstruktif dan varikokel klinis yang menjalani operasi varikokel memiliki tingkat keberhasilan pengambilan sperma yang lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang tidak menjalani operasi varikokel.

Varicocele adversely affects semen parameters. However, the effect of varicocele repair on the sperm retrieval rate and testicular histopathological patterns in men with nonobstructive azoospermia has not been widely reported. We retrospectively assessed the sperm retrieval rates and testicular histopathological patterns in men with nonobstructive azoospermia who were referred to the Urology Clinic in Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital (Jakarta, Indonesia) and Bunda General Hospital (Jakarta, Indonesia) between January 2009 and December 2019. We compared patients who had undergone a surgical sperm retrieval procedure for assisted reproductive technology no earlier than three months after varicocele repair and those who had not undergone varicocele repair. The study included 104 patients (age range: 26±54 years), 42 of whom had undergone varicocele repair before the sperm retrieval procedure and 62 who had not. Motile spermatozoa were found in 29 (69.1%) and 17 (27.4%) patients who had undergone varicocele repair before the sperm retrieval procedure and those who had not undergone the repair, respectively (relative risk: 2.51; 95% confidence interval: 1.60± 3.96; P < 0.001). A predicted probabilities graph showed consistently higher sperm retrieval rates for patients with varicocele repair, regardless of their follicle-stimulating hormone levels. Patients who underwent varicocele repair showed higher testicular histopathological patterns (P = 0.001). In conclusion, men with nonobstructive azoospermia and clinical varicocele who underwent varicocele repair before the sperm retrieval procedure had higher sperm retrieval rates compared to those who did not undergo varicocele repair"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>