Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 146826 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional. Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, 1994
364 PER
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Romli Atmasasmita
Jakarta: Badan Pembinaan Nasional. Departemen Kehakiman, 1992
364 ROM p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Panjaitan, Petrus Irwan, 1958-
"Hampir di sepanjang sejarah hukum Pidana menunjukkan, problema mendasar yang terjadi dalam penanggulangan kejahatan adalah : Membina pelanggar hukum. Sebagai pelaku kejahatan, kerapkali diperhadapkan kepada berbagai pilihan, salah satu di antaranya adalah mentaati hukum. Ketaatan pada hukum dengan tidak melakukan kejahatan ulang setelah selesai menjalani hukuman merupakan indikator adanya perubahan sikap perilaku. Pembinaan pelanggar hukum (Treatment of offenders) di dalam Negara Hukum seperti Indonesia, tidak saja menjadi tanggung jawab keluarga, atau masyarakat semata. Di dalam kenyataan Pemerintah melalui Garis-garis Besar Haluan Negara telah menunjukkan keseriusan akan pentingnya pembinaan Manusia Indonesia Seutuhnya. Hal ini terlihat pada Garis-garis Besar Haluan Negara 1988-1993 yang telah ditetapkan MPR dengan Ketetapan Nomor II/MPR/1988. Di dalam Bab IV butir kedelapan mengenai Kesejahteraan Sosial ditegaskan lebih lanjut :
Pelayanan kesejahteraan sosial perlu di tingkatkan secara lebih terpadu melalui upaya pemberian bantuan dan santunan serta upaya rehabilitasi sosial. Pemberian bantuan dan Santunan Sosial bagi fakir miskin, anak-anak terlantar, yatim piatu, orang lanjut usia yang tidak mampu, korban bencana alam dan musibah lainnya serta rehabilitasi social bagi mereka yang tersesat terus di lanjutkan dan dilaksanakan sebagai upaya Pemerintah, Lembagalembaga Sosial dan masyarakat dan pada umumnya. Dalam hubungan ini dilanjutkan pula usaha-usaha untuk membantu penyandang cacat agar dapat memperoleh kesempatan kerja sesuai kemampuannya.
Memperhatikan isi dan makna Garis-garis Besar Haluan Negara tersebut, jelas terlihat adanya usaha untuk melakukan Pelayanan Kesejahteraan Sosial, khususnya bagi pelanggar hukum melalui rehabilitasi sosial bagi mereka yang tersesat. Di rumuskannya suatu usaha Pelayanan Kesejahteraan bagi pelanggar hukum dengan istilah orang yang tersesat menunjukkan adanya suatu gejala baru yang positif dalam memperlakukan pelanggar hukum. Dengan demikian Pelanggar hukum tidak lagi di lihat sebagai manusia yang harus disingkirkan maupun di jatuhi hukuman tanpa memperhatikan aspek-aspek kemanusiaan. Pelanggar hukum itu dilihat dan dipahami maupun diperlakukan sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang harus di bina dibimbing ke jalan yang benar agar kaiak dapat menjadi warga yang sadar dan taat pada Hukum. Usaha selanjutnya yang diprioritaskan oleh Pemerintah untuk membina pelanggar hukum adalah melalui Lembaga Pemasyarakatan. ?"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1992
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Pengayoman, 1994
364.177 IND p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Widya Puspa Rini Soewarno
"Konsepsi Sahardjo tentang pemasyarakatan merupakan momentum yang membedakan filosofi, proses dan tujuan pemidanaan di Indonesia dengan masa sebelumnya, yaitu sejak masa penjajahan Belanda dan masa Indonesia merdeka tahun 1945 hingga awal 1963. Secara filosofis pemasyarakatan merupakan sistem yang sudah jauh bergerak meninggalkan filosofi Retributif, Detterence dan Resosialisasi. Pemasyarakatan sejalan dengan filosofi Reintegrasi sosial yang berasumsi bahwa kejahatan adalah konflik yang terjadi antara terpidana dengan masyarakat sehingga pemidanaan ditujukan untuk memulihkan konflik atau menyatukan kembali terpidana dengan masyarakatnya (reintegrasi). Pemasyarakatan memperlihatkan komitmen dalam upaya merubah kondisi terpidana melalui proses pembinaan dan memperlakukan dengan manusiawi melalui hak-hak terpidana.
Remisi merupakan salah satu hak narapidana yang diatur dalam Pasal 14 huruf-i Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan namun dari hasil penelitian penulis terjadi pergeseran baik dari pengertian, kriteria maupun tujuan dari remisi.Terlebih terhadap narapidana tindak pidana korupsi,penulis melihat adanya deskriminasi terhadap pemberian hak-hak terhadapnya. Hal ini tidak lagi sejalan dengan asas pemasyarakatan yaitu asas pengayoman dan asas persamaan perlakuan dan pelayanan. Ketidakjelasan aturan remisi terhadap narapidana tindak pidana korupsi serta lemahnya pengawasan menjadikan kurangnya perlindungan terhadap hak-hak narapidana pada umumnya serta narapidana tindak pidana korupsi pada khususnya.
Perlunya mempersoalkan hak-hak narapidana tindak pidana korupsi untuk diakui dan dilindungi oleh hukum dan penegak hukum karena narapidana tindak pidana korupsi adalah warga negara yang perlu diayomi walaupun telah melakukan pelanggaran hukum. Penghukuman bukan berarti pencabutan hak-hak yang melekat pada dirinya. Penulis melihat masih kurangnya perhatian sekaligus perlindungan hukum terhadap hak-hak narapidana, hal yang sangat berbeda dengan perlindungan terhadap hak-hak tersangka dan atau terdakwa karena KUHAP dengan segala ketidaksempurnaan yang masih terkandung didalamnya, telah sangat jauh mengurangi kesewenang-wenangan yang dimungkinkan proses peradilan pidana di bawah HIR.
Demi terjaminnya perlindungan atas hak-hak narapidana tindak pidana korupsi maka menurut penulis diperlukan pemberdayaan kembali fungsi Hakim Pengawas dan Pengamat sebagaimana amanat KUHAP. Reposisi Balai Pertimbangan Pemasyarakatan untuk diarahkan sebagai cikal bakal lahirnya suatu badan baru misalnya dalam bentuk Komisi Pemasyarakatan agar fungsi check and balances dapat lebih efektif serta pemberdayaan akan pentingnya Pengawasan masyarakat. Kehadiran instrumen atau perangkat yang mengatur tentang bagaimana keterlibatan masyarakat seperti media, lembaga non pemerintahan (LSM) dan perorangan dalam melakukan kontrol atau pengawasan pada tiap UPT Pemasyarakatan sangat mendesak untuk diwujudkan sehingga proses pembinaan dan pelayanan pada tiap UPT Pemasyarakatan terhadap narapidana dapat berjalan secara optimal.

Sahardjo conceptions are the momentum that distinguishes correctional philosophy, process and purpose of punishment in Indonesia with the previous period, ie since the Dutch colonial period and the period of Indonesia's independence in 1945 until early 1963. Philosophically correctional system is already moving far left retributive philosophy, Detterence and Resocialization. Correctional facilities in line with the philosophy of the social reintegration assume that crime is a conflict between the convict with the community so that criminal prosecution is intended to restore conflict or convict reunite with his society (reintegration). Correctional show commitment in the effort to change the condition of prisoners through the coaching process and treat the human rights of prisoners through.
Remission is one of the prisoners' rights provided for in Article 14 letter-i of Act No. 12 of 1995 on Corrections, but the authors of the study there was a shift from understanding, and purpose of the remission criteria. Especially to inmates of corruption seen any discrimination against granting the rights to it. It is no longer in line with the principle of stewardship is the principle and the principle of equal treatment shelter and services. Remission to the prisoners' lack of clarity of rules of corruption and weak oversight made the lack of protection for the rights of prisoners in general and prisoners of corruption in particular.
The need to question the rights of prisoners of corruption to be recognized and protected by law and law enforcement corruption cases because inmates are citizens who need to be protected although has violated the law. Punishment does not mean deprivation of rights attached to him. The author sees is the lack of attention as well as legal protection of the rights of prisoners, it is very different from the protection of the rights of suspects or accused because of the Criminal Procedure Code and with all the imperfections that still contained in it, was very much reduces the possible arbitrariness of the criminal justice process under HIR.
For ensuring the protection of the rights of prisoners of corruption it is necessary according to the authors re-empowerment of the institution of monitoring and controlling Judges functions as mandated by the Criminal Procedure Code. Consideration repositioning Correctional Center to be directed as a forerunner to the birth of a new entity instance in the form of the Commission of Corrections for checks and balances to function more effectively as well as the empowerment of the importance of community supervision. The presence of an instrument or device that regulates how community involvement such as media, non governmental organizations and individuals in the control or supervision at each UPT Correctional very urgent to be realized so that the process of coaching and service to each of the Correctional Unit inmates to run optimally.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T30306
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Hawari
Yogyakarta: Balai Besar Penelitian dan Pengambangan Pelayanan Kesejahteraan Sosial, 1999
361.06 MUH p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Basuki Katono
"ABSTRAK
Perubahan sistem nilai dengan cepat menuntut adanya norma-norma kehidupan sosial baru untuk senantiasa mengikuti perkembangan masyarakat, termasuk ketentuan mengenai remisi. Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Bagi narapidana tindak pidana narkotika¬-psikotropika, korupsi, terorisme, dan kejahatan HAM berat, remisi diberikan setelah mereka menjalani sepertiga masa pidana dan berkelakuan baik. Hal ini berbeda dengan peraturan sebelumnya yang tidak membedakan jenis tindak pidana.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana fungsi remisi dalam pembinaan narapidana tindak pidana narkotika-psikotropika, korupsi, terorisme dan kejahatan HAM berat dan mengetahui langkah-langkah yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM DKI Jakarta dan Lembaga Pemasyarakatan Klas I Cipinang dalam pemberian remisi bagi mereka.
Penelitian ini bersifat deskriptif analisis dan dikategorikan sebagai penelitian kualitatif, dengan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan menggunakan metode wawancara terhadap petugas Lembaga Pemasyarakatan Klas I Cipinang, Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM DKI Jakarta, dan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan yang berkaitan secara langsung dengan bidang remisi, registrasi dan statistik maupun narapidana tindak pidana narkotika¬p-sikotropika, korupsi, terorisme dan kejahatan HAM berat.
Analisis penelitian menunjukkan bahwa pemberian remisi bagi narapidana tindak pidana narkotika-psikotropika, korupsi, terorisme dan kejahatan HAM berat belum berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006. Fungsi remisi maupun langkah-Iangkah yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Kantor Wilayah dan Lembaga Pemasyarakatan pada dasarnya sama seperti tindak pidana umum lainya dengan berdasar pada Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan dan Keputusan Presiden Nomor 174 Tahun 1999 Tentang Remisi.
Untuk itu perlu direkomendasikan agar Pemerintah segera melakukan pengkajian untuk memberikan kejelasan terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, sehingga memberikan kepastian hukum bagi Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Kantor Wilayah maupun Lembaga Pemasyarakatan dalam pelaksanaan pemberian remisi bagi narapidana tindak pidana narkotika-psikotropika, korupsi, terorisme dan kejahatan HAM berat.

ABSTRACT
This study aimed to determine whether Changes in evaluation system demands new norms in social life to always in track with development within society, including regulations about remission. Government passed Regulation Number 28/2006 about alteration to Government Regulation Number 3211999 about Conditions and Requirements of Inmates' Rights. For inmates granted with cases of drugs, corruption, terrorism and human rights violation, remission is granted after they have done one third of conviction time and recorded good behavior. This is different from the previous regulation which did not differentiate the nature of criminal cases.
This study is conducted to find how remission works inmates in drugs, corruption, terrorism and human rights violation cases, and various steps that need to be taken by Director General of Correction, Jakarta Regional Office of Law and Human Rights, and Correctional Institution of Class I Cipinang in granting remission for them.
This study is a descriptive analysis and categorized as qualitative research. Sources of information were obtained from interview with officers in Correctional Institution Class I Cipinang, Regional Officer of Law and Human Rights, and Director General of Correction who have direct access to area of remission, registration and statistic, as well as inmates with cases of drugs, corruption, terrorism and human rights violation.
This research also revealed that informants feel that remission for those inmates has not in accordance with government Regulation Number 2812006. Remission and other treatments conducted by Director General of Correction for those special inmates are basically the same as with other inmates, which is based on Government Regulation Number 3211999 about Conditions and Requirements of Inmates' Rights and Presidential Decree Number 174/1999 about Remission.
Therefore it is recommended that the government should do through examination to clarify Government regulation Number 28/2006 about alteration to Government Regulation Number 3211999 about Conditions and Requirements to give assurance to Director General of Correction, Regional Officer of Law and Human Rights and Correctional Institutional in granting remission for inmates with cases of drugs, corruption, terrorism and human rights violation.
"
2007
T20838
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Universitas Indonesia, 2004
S22144
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ferdinandus Hartadi Edy Nugroho
"Dalam proses peradilan pidana setelah ada putusan pengadilan, selanjutnya jaksa akan melaksanakan putusan itu dan membawa terpidana untuk dimasukkan ke lembaga pemasyarakatan. Pada tahap selanjutnya pengadilan masih memiliki tanggungjawab dan kewajiban untuk mengendalikan putusannya dengan melakukan pengawasan terhadap pelaksanaaan pidana yang harus dijalani oleh terpidana. Lembaga baru berupa hakim yang bertugas untuk mengawasi eksekusi dari putusan pidana awalnya diambil dari negara Perancis, yaitu "juge de l'application des peines", yang dapat disejajarkan dengan hakim pengawas dan pengamat yang diintrodusir oleh Undang-Undang Nomor 14 Tabun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Nomor 8 Tabun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Hakim pengawas dan pengamat melaksanakan tugas pengawasan dan pengamatan setelah ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dan terpidana menjalani pembinaan di lembaga pemasyarakatan, pidana bersyarat, pelepasan bersyarat, maupun setelah selesai menjalani pidana dan kembali ke masyarakatan. Hakim pengawas dan pengamat dalam KUHAP diatur pada Pasal 277 sampai dengan Pasal 283."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T14504
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia, 1995
364.168 IND p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>