Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 136938 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Saprianto
"Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran hubungan antara pengetahuan dan sikap tentang seksualitas dengan perilaku seksual siswa Sekolah Menengah Umum. Desain yang digunakan adalah cross sectional, lama penelitian lebih kurang satu minggu, yaitu dari tanggal 5 Mei s/d 10 Mei 2003, alat pengumpul data adalah kuesioner. Variabel yang dilihat adalah umur siswa, jenis kelamin, pengetahuan dan sikap, jarak rumah ke sekolah, waktu sekolah, serta komunikasi tentang seks dengan orang tua, teman sebaya dan guru. Secara umum hasil yang didapat 66 siswa (38,6%) perilaku seksual berisiko tinggi.
Kesimpulan penelitian didapatkan dua variabel yang mempunyai hubungan bermakna dengan perilaku seksual siswa SMU. Variabel tersebut adalah jenis kelamin siswa dengan P value = 0,002 dan OR = 2,778 yang memberikan informasi bahwa siswa perempuan mempunyai peluang untuk berperilaku seksual berisiko tinggi 2,778 kali dibanding siswa laki-laki, dan variabel komunikasi seksual dengan teman sebaya didapatkan hubungan bermakna P value 0,000 dan OR = 3,197 yang artinya tidak melakukan komunikasi seksual dengan teman sebaya mempunyai peluang 3,197 kali untuk melakukan perilaku seksual berisiko tinggi dibandingkan dengan melakukan komunikasi tentang seksual dengan teman sebaya.
Saran untuk orang tua dan guru selayaknya dapat memberikan pendidikan seksualitas pada siswa secara benar dan sesuai tahap perkembangannya. Bantu siswa dalam menghadapi dan mengatasi masalah seksualnya serta lakukan pendekatan dengan teman sebaya (peer group), upayakan memberdayakan kelompok sebaya dengan membekali mereka pengetahuan tentang kesehatan reproduksi. Dalam kegiatan pembelajaran sebaiknya materi kesehatan reproduksi remaja dimasukkan sebagai muatan lokal sehingga dapat memperkaya pengetahuan siswa dan dapat memenuhi kebutuhannya.

This study is tried to find out the description of relationship between knowledge and attitude on sexuality, and sexual behavior among high school students. A cross-sectional is used as the study design. The study takes time about a week, from 5 to 10 May 2003, and a structured questionnaire is used as the instrument for data collection. The study is look at variables of student's age, gender, knowledge and attitude on sexuality, the school distance from home. school time, and communication about sexuality with parents, peers, and teachers. In general, the study found that there are 66 students (38.6%) who have a high-risk sexual behavior.
The study concluded that there are two variables that have a significant relationship with high school student's sexual behavior. They are: student's gender with P-value 0.002 and OR at 2.778, which mean that girls have a chance to be having high-risk sexual behavior 2.778 times than boys; and communication on sexuality with their peers, with P-value 0.000 and OR at 3.197, which mean that those who have no communication on sexuality with their peers have a chance to be having high-risk sexual behavior than those who have communication on sexuality with their peers.
A suggestion to the parents and teachers is that they are supposed to be giving the sexual education to their children and students in appropriate way depend on their stages age of life. They should support the children and students to deal with and to encounter their sexual problems, with a peer group approach. They suppose to reinforce the peer group with the reproductive health information. Regarding to the education and learning process at school, it is suggested that adolescent reproductive health materials are included at local capacity, as they can enrich the student's knowledge and fulfill their needs.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2003
T12997
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Kehidupan seksual yang tidak harmonis tidak jarang mengakibatkan banyak masalah. Ketika fungsi seksual istri tidak optimal maka kepuasan seksual pria beristri ataupun kedua belah pihak dapat terganggu sehingga tidak jarang pria beristri mencari tempat pelarian misalnnya dengan melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan WPS. Dampak dari hubungan seksual tanpa kondom dengan WPS dapat mengakibatkan IMS. Penelitian ini bertujuan mengetahui frekuensi hubungan seksual tanpa kondom dengan WPS berhubungan dengan tingkat kepuasan seksual pria beristri dan risiko Infeksi Menular Seksual. Metode: Desain penelitian observasional analitik cross sectional. Teknik accidental sampling. Sampel 196 orang, dengan kriteria pria memiliki istri yang legal, istri belum monopause, teratur melakukan hubungan seksual dengan istri tanpa kondom 6 bulan terakhir, melakukan hubungan seksual dengan WPS tanpa kondom minimal 1 kali dalam 6 bulan terakhir, tahap keluarga sejahtera II, sehat dan bersedia menjadi responden. Data tingkat kepuasan seksual dan frekuensi hubungan seksual tanpa kondom dikumpulkan dengan wawancara, data risiko IMS dengan pemeriksaan fisik dan laboratorium oleh tenaga medis. Pemeriksaan laboratorium gonore dengan pewarnaan Gram's, sifilis dengan Treponema Pallidum Hemagglutination Assay (TPHA) dan Veneral Disease Research Laboratory (VDLR), herpes genitalis dan kondiloma akuminata berdasarkan gejala klinis. Hasil disajikan secara deskriptif, dan uji normalitas data dengan Kolmogorav-Smirnov serta uji korelasi Spearman's rho dan Chi-Square. Hasil: penelitian menunjukkan frekuensi hubungan seksual tanpa kondom terbanyak 1 kali/minggu 57 orang (29,10%), tingkat kepuasan seksual cukup puas 97 orang (49,50%), dengan IMS 10 orang (5,10%). Frekuensi hubungan seksual tanpa kondom dengan WPS tidak berhubungan dengan tingkat kepuasan seksual pria beristri p = 0,146 (p > 0,05). Frekuensi hubungan seksual tanpa kondom dengan WPS berhubungan dengan risiko IMS p = 0,001 (p < 0,01). Kesimpulan: penelitian ini menunjukkan frekuensi hubungan seksual tanpa kondom dengan WPS tidak berhubungan dengan tingkat kepuasan seksual pria beristri, tetapi berhubungan dengan risiko IMS. Penelitian dapat dipakai sebagai dasar penelitian lebih lanjut untuk mengetahui hubungan faktor lainnya yang berkaitan dengan frekuensi hubungan seksual pria beristri dengan WPS. "
BULHSR 17:4 (2012)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Loveria Sekarrini
"Seksualitas dan kesehatan reproduksi adalah sebuah isu yang paling jarang untuk di bicarakan dan menjadi isu yang tabu di masyarakat. Secara psikologis remaja cenderung memiliki rasa ingin tahu yang tinggi dan ingin mencoba hal yang baru. Isu seksualitas dan kesehatan reproduksi yang tabu untuk dibicarakan menjadikan remaja cinderung ingin mencoba-coba sehingga remaja menjadi beresiko pada perilaku seks yang beresiko dan berdampak pada kehamilan tidak di inginkan, married by accident, infeksi menular seksual, hiv dan aids serta masih banyak lagi.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku seksual remaja di SMK Kesehatan di Kabupaten Bogor Tahun 2011. Penelitian dilakukan dengan rancangan cross sectional. Pengumpulan data dilakukan pada bulan Desember 2011 dengan responden sebanyak 112 responden yang diambil secara simple random sampling. Data dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner terstruktur yang telah di uji coba terlebih dahulu.
Dari hasil analisis, didapatkan sebanyak 60,7% berperilaku seksual beresiko berat. Sebagian besar responden perempuan, pubertas normal, memiliki pengetahuan yang kurang, memiliki sikap positif. Sebagian responden tidak melakukan komunikasi aktif dengan orang tua (50%), sebagian besar responden melakukan komunikasi pasif dengan teman (61%). Mempunyai orang tua yang masih lengkap (92%). Sebanyak 53% responden memiliki orang tua dengan pola asuh demokratis. 96,4% yang menyatakan pernah mempunyai pacar. Usia rata-rata berpacaran 13 tahun. Lama pertemuan dengan pacar kurang dari 5 jam/minggu dan lebih dari 21 jam/minggu, variabel yang memiliki hubungan yang bermakna dengan perilaku seksual remaja yaitu paparan terhadap media, sedangkan variabel yang lain tidak menunjukkan adanya hubungan yang bermakna.
Di sarankan bagi pihak SMK untuk meningkatkan pengetahuan siswa dan melakukan kerjasama lintas sektor dalam memberikan penyuluhan untuk siswa dan orang tua disekolah. Bagi pemerintah/departemen terkait untuk penetapan kurikulum pendidikan seksualitas yang komprehensif. Bagi Dinas Kesehatan/ Puskesmas memberikan akses informasi tentang kesehatan reproduksi dan seksualitas serta dapat menjadi wadah remaja untuk berkonsultasi mengenai masalah kesehatan reproduksi remaja, khususnya tentang seksualitas.

Sexuality and reproductive healt is an issue that is rare to be talk and become a taboo issue in society. Psychologically adolescent have a high curiosity and wanted try something new. Taboo Sexuality and reproductive health issues are makes adolescent want to create new experiment about sexual behavior which may impact on on unwanted pregnancy, married by accident, sexually transmitted infections, hiv and aids and many more. This research was conducted to determine the factors associated with adolescent sexual behavior in SMK Health in Bogor Regency Year 2011.
This research hase been conducted with cross-sectional design. The data was collected in December 2011 with 112 respondents taken by multistage systematic random sampling. Data collected by using a structured questionnaire that has been tested and analyzed prior univariate and bivariate.
Based on the result, it showed 60,7% have high risk of sexual behavior. The majority of female respondents, have normal puberty, have less knowledge, have a positive attitude. Most respondents did not perform active communication with parents (50%), most respondents do passive communication with friends (61%). Still have both parent (92%). As many as 53% of respondents had parents with democratic parenting. 96.4% said they never had a boyfriend. The average age of respondents was 13 years old with an age range of 9-16 years. Meeting with the boyfriend/girlfriend have less than 5 hours / week and more than 21 hours/week, and that the variables that have a significant relation with adolescent sexual behavior that exposure to media and the other variables showed no significant relation.
Suggested for the vocational high school (SMK Kesehatan) to increase of students' knowledge and conduct cross-sector cooperation in providing counseling to students and parents in schools. For the government / departments to create and apply the curriculum of comprehensive sexuality education. For Public Health / Community Health Center provides access to information about reproductive health and sexuality and provide a chance for adolecents to consult about sexual reproductive health and right.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2012
S1265
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Dini Dachlia
"Saat ini jumlah penduduk Asia Selatan dan Asia Tenggara yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) sudah dua kali lipat lebih banyak dibanding jumlah HIV di sejumlah negara maju. Prevalensi dan cepatnya penularan infeksi HIV di negara kawasan Asia sangat bervariasi. Di beberapa negara seperti Korea dan Mongolia prevalensinya masib rendah. Sedangkan di beberapa negara seperti Kamboja, Myanmar, Thailand, dan India prevalensinya cukup tinggi dengan penyebaran yang berlangsung cepat. Di beberapa negara lainnya seperti Indonesia, Bangladesh, Nepal, dan Sri Lanka jumlah infeksi HIV yang dilaporkan hanya berdasarkan pemeriksaan yang amat terbatas.
Di Indonesia sampai dengan 31 Mei 2000 telah dilaporkan sebanyak 1.257 kasus (HIV+AIDS) oleh Depkes, terdiri dari 934 HIV positif dan 323 kasus AIDS. Dari semua kasus HIV positif, persentase kasus infeksi pada orang Indonesia mencapai 73,7 persen. Berdasarkan faktor risiko penularan, lewat jalur heteroseksual ditemukan sebesar 69,9 persen HIV positif dan 57,9 persen kasus AIDS. Akibat kontak homo/biseksual ditemukan sebesar 4,4 persen HIV positif dan 25,4 persen kasus AIDS. Sedangkan berdasarkan sebaran usia, sebagian besar kasus HIV positif dan AIDS terjadi pada kelompok usia 15-49 tahun, dengan puncaknya pada kelompok usia 20-29 tahun untuk kasus HIV positif (lihat jumlah kasus HIV/AIDS di Indonesia dalam lampiran I).
Walaupun jumlah kasus HIV dan AIDS berkembang cepat pada tahun-tahun terakhir, namun jumlah kasus yang dilaporkan tersebut jauh di bawah perkiraan angka prevalensi yang sebenarnya. Hal tersebut disebabkan sistem surveilans nasional untuk HIV/AIDS belum dilaksanakan secara maksimal (Iskandar et al., 1996). Beberapa orang memperkirakan bahwa kasus HIV/AIDS di Indonesia jauh lebih dari yang dilaporkan. Misainya Linnan (Djoerban, 1999), memperkiakan bahwa kasus HIV/AIDS di Indonesia tahun 2000 sekitar 2.500.000 kasus, jika tidak dilakukan intervensi sedangkan dengan intervensi terdapat sekitar 500.000 kasus. Kasen et at., (Djoerban, 1999), mengestimasi jumlah yang terinfeksi HIV tahun 2000 sekitar 750.000 kasus jika tidak ada intervensi. Estimasi lainnya memperlihatkan bahwa pada tahun 1996 diperkirakan sudah terdapat 95.000 orang atau sekitar 93 orang per 100.000 orang dewasa yang hidup dengan HIV. (Dore et al., 1998).
Kasus AIDS di Indonesia yang dilaporkan masih dalam jumlah kecil dibandingkan negara Asia lainnya seperti Thailand. Rasio antara kasus AIDS yang dilaporkan dengan estimasi jumlah orang yang hidup dengan HIV di Indonesia pada tahun 1995/1997 cukup kecil yaitu hanya 0,1 persen (Dore et at., 1998). Faktor lain yang diperkirakan berkontribusi terhadap terbatasnya penyebaran HIV di Indonesia adalah karena Indonesia berupa kepulauan, tidak seperti Kamboja, Vietnam, dan Thailand, yang merupakan satu daratan yang mudah berhubungan satu sama lain (Dore et al., 1998). Faktor lainnya yang berperan adalah rendahnya kegiatan seks per penjaja seks komersial (PSK) per hari di Indonesia dibandingkan dengan Thailand dan Kamboja, yaitu sekitar 7-14 pelanggan per minggu untuk Philipina dan Indonesia dan sekitar 18-33 pelanggan per minggu untuk PSK di Thailand dan Kamboja (Chin et.al., 1998).
Sebagian besar transmisi HIV di dunia saat ini melalui hubungan heteroseksual. Di Asia infeksi HIV muncul dan bergerak cepat pada kelompok umum dari kelompok yang beresiko seksual tinggi terinfeksi HIV. Kunci dari kecepatan penyebaran HIV kepada kelompok umum terjadi melalui perilaku seksual dan adanya kofaktor seperti PMS yang dapat mempercepat transmisi HIV (Way et al., 1999). Selain itu, prevalensi HIV juga ditentukan oleh faktor penting lainnya, yaitu besarnya proporsi pria dewasa yang secara teratur mengunjungi penjaja seks komersial di daerah tersebut (Dore et al., 1998)."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2000
T1408
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Belum banyak penelitian empiris yang menghubungkan perilaku seksual seseorang dengan perspektifnya memandang dunia (atau: pandangan dunia), meskipun kajian-kajian spekulatif yang berkenaan dengan hal tersebut telah banyak terdapat dalam literatur. Penelitian ini melakukan pengukuran empiris terhadap pandangan dunia partisipan dengan Worldview Analysis Scale dan perilaku seksual partisipan dengan Garos Sexual Behavior Inventory. Partisipan penelitian terdiri atas 200 orang (52% laki-laki, 48 perempuan; Rerata usia 24.23 tahun; Simpangan baku usia 1.92 tahun), yang dijaring dengan teknik penyampelan convenience insidental di Jabodetabek, Bandung dan Surabaya. Hasil penelitian menunjukkan adanya korelasi antara pandangan dunia komunalisme dengan ketidaknyamanan seksual (r = 0.239, p < 0.01) dan pandangan duia realisme terukur dengan ketidaknyamanan seksual (r = -0.187, p < 0.01)."
AJMS 4:1 (2013)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Simamora, Rudi Sansun
"Penelitian ini dilakukan untuk melihat hubungan pengetahuan safe sex dengan sikap terhadap safe sex di kalangan para pelaut.
Pengetahuan (knowledge) merupakan salah satu pembentuk dari sikap (attitude), juga membentuk subyektif norms dan percieved behavioral control. Ketiga hal tersebut kemudian membentuk kecenderungan atau intensitas perilaku seseorang dan kemudian terbentuklah perilaku yang diekspresikan kekehidupan, (Ajzen, 2005). Oleh sebab itu, jika dapat mengetahui kognisi dan perasaan seseorang terhadap obyek sikap tertentu, kita akan tahu pula kecenderungan perilakunya. Kita dapat meramalkan perilaku dari sikap.
Berdasarkan wawancara informal yang dilakukan penulis pada beberapa orang, masalah-masalah yang muncul diantaranya adalah adaptasi dengan lingkungan baru, lingkungan tempat, kebutuhan biologis seperti seks, dan lain sebagainya. Penyaluran kebutuhan biologis (seks) merupakan bahasan yang ingin diteliti oleh penulis. Penyebabnya, penyaluran kebutuhan tersebut dapat menimbulkan masalah baru. Masalah yang berbahaya adalah penularan penyakit menular seksual (PMS).
Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan jumlah sampel penelitian sebanyak 41 orang pelaut. Penelitian ini menggunakan alat ukur pengetahuan safe sex dan sikap terhadap safe sex yang dibuat oleh penulis sendiri berdasarkan konstrak dari teori-teori yang mendukung.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan tentang safe sex mempunyai hubungan yang sangat kuat (r sebesar 0,876) dengan sikap terhadap safe sex pada pelaut pria PT. X."
2007
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fanggidae, Erdhy
"Reformasi pada tahun 1998 memunculkan kebebasan bagi media massa di Indonesia dalam menjalankan praktek media, ditandai dengan munculnya fenomena di mana sensualitas dan seksualitas dalam berbagai bentuk yang hampir selalu ada. Banyak pihak kemudian yang memprihatinkan hal ini, meminta agar kalangan media massa merespon apa yang disebut dengan keprihatinan dan tuntutan masyarakat terhadap maraknya pornografi. Tercetus rencana pembentukan Undang-Undang Anti Pomografi dan Pornoaksi. Komite Penyiaran Indonesia (KPI) berjanji akan menetapkan sebuah standar penyiaran dan pemerintah juga mempersiapkan empat rancangan peraturan pemerintah (RPP) berkenaan dengan bidang penyiaran.
Wacana regulasi tentang pomografi sebenarnya baik, namun pertanyaan mengenai realitas pornografi menurut perspektif apa dan siapa yang sebaiknya digunakan dalam penyusunan dan implementasi regulasi terkait, serta faktor-faktor apa saja yang nantinya perlu mendapat penekanan dalam regulasi itu, harus dijawab terlebih dahulu. Sebabnya, realitas dibentuk dan dikonstruksi, berwajah ganda/jamak, setiap orang bisa mempunyai konstruksi yang berbeda-beda atas suatu realitas. Setiap orang yang mempunyai pengalaman, preferensi, pendidikan tertentu dan lingkungan pergaulan atau sosial tertentu akan menafsirkan realitas sosial itu dengan konstruksinya masing-masing.
Sejalan dengan pandangan realitas menurut paradigma konstruktivisme, bahwa realitas adalah hasil dari konstruksi mental, bersifat sosial dan tergantung pada orang yang memahaminya, penelitian kualitatif dengan paradigma konstruktivisme ini berusaha untuk melihat bagaimana kalangan perempuan informan penelitian ini melakukan penerimaan dan juga pemaknaan terhadap realitas praktek media massa yang membahas seksualitas dari sensualitas. Selanjutnya penelitian dengan metode fenomenologi ini juga berusaha mengetahui realitas mengenai isu pornografi di media massa Indonesia menurut para informan, mengenai sejauh mana praktek media massa dengan bahasan seksualitas dan seksualitas tersebut bisa dikategorikan sebagai pornografi dalam pemaknaan mereka.
Menggunakan tiga kategori pemetaan dalam kerangka Audience Reception Theory.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa audiens melakukan pemaknaan sendiri ketika melakukan konsumsi media massa. Dalam realitas bahasan seksualitas, para informan penelitian ini tidak keberatan dan mendukung adanya bahasan seksualitas di media massa. Penelitian ini juga memperlihatkan bagaimana ada perbedaan dalam pemaknaan pornografi dan juga realitasnya dalam praktek media massa di Indonesia sendiri. Temuan lainnya adalah bahwa laki-laki dianggap sebagai bagian masyarakat yang paling rentan terhadap dampak dari pomografi.
Dikaitkan dengan pengaruh latar audiens ketika melakukan pemaknaan, penelitian ini menghasilkan temuan bahwa pemaknaan para informan tidak bergantung kepada latar belakang lingkungan tempat tinggal dan mobilitas mereka dan bahwa faktor agama jarang digunakan untuk memaknai isu pomografi di media massa.
Implikasi teori dari penelitian ini adalah bahwa audiens memang mempunyai pemaknaan sendiri ketika mereka berhadapan dengan praktek media massa. Secara metodologis, dengan memperhatikan keterbatasan dari penelitian ini, di mana para informannya adalah hanya mereka yang menepakan perempuan lajang pekerja profesional yang berkantor di Jalan Jenderal Sudirman Jakarta, akan sangat menarik jika di kemudian hari bisa dilakukan sebuah eksplorasi bahasan yang sama.terhadap variabel-variabel yang lebih beragam dalam skala penelitian yang lebih luas secara kuantitatif menggunakan metode survey."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13692
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wiwiek Yuniarti
"ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh psychological capital terhadap kesiapan
individu untuk berubah. Desain penelitian action research dengan responden sebanyak 72
karyawan. Alat ukur adalah adaptasi The Readiness for Change Scale (Hanpachern, 1997) dan
Psychological Capital Questionnare (Luthans dkk, 2007). Hasil perhitungan uji regresi linear
menunjukkan nilai R2=0,349 (p<0.05) yang berarti psychological capital mempengaruhi
kesiapan karyawan untuk berubah sebesar 34,9%. Intervensi berupa pelatihan efikasi diri dan
resiliensi dirancang untuk meningkatkan psychological capital dan kesiapan individu untuk
berubah.
Hasil perhitungan efek intervensi menunjukkan signifikansi perbedaan sebelum dan
sesudah intervensi pada psychological capital dan kesiapan untuk berubah dengan uji wilcoxon;
diperoleh nilai Z untuk psychological capital sebesar -1,83 (p>0,05) dan untuk kesiapan untuk
berubah sebesar -1,46 (p>0,05). Hal ini berarti tidak terdapat peningkatan skor secara signifikan
pada psychological capital dan kesiapan untuk berubah setelah diberikan intervensi berupa
pelatihan efikasi diri dan resiliensi. Dengan demikian, pelatihan efikasi diri dan resiliensi belum
mampu meningkatkan psychological capital dan kesiapan individu untuk berubah pada peserta
pelatihan.

ABSTRACT
This study aims to determine the effect of psychological capital to the individual readiness for
change. The design of this study is action research study by number of study participants as
many as 72 employees. Measuring instruments used is a measure of adaptation The Readiness
for Change Scale (Hanpachern, 1997) and Psychological Capital Questionnare (Luthans et al,
2007). The result of calculations using linear regression showed R2=0,349 (p<0.05), which
means psychological capital affects individual readiness for change at 34,9%. Therefore, the
intervention made in the study was design to increase psychological capital training and
individual readiness for change. The intervention is self-efficacy and resiliency training.
Intervention effects was measured by comparing the pre-test and post-test measurements.
The
result of test of significance differences in the calculation of pre-test and post-test psychological
capital and individual readiness for change using a wilcoxon signed ranks test. The Z value
obtained for psychological capital is -1,83 (p>0,05) and the value of individual readiness for
change is -1,46 (p>0,05). This means there is no significantly scores increased in psychological
capital and individual readiness for change after the intervention. The result of this analysis
indicate that a given intervention can not improve psychological capital and individual readiness
for change."
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2013
T35635
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yudhistira Adi Wicaksana
"Perawat yang baik salah satunya ditandai dengan memiliki tingkat perilaku sukarela yang tinggi, yaitu Organizational Citizenship Behavior (OCB). Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran mengenai hubungan antara psychological capital (PsyCap) dan organizational citizenship behavior(OCB) pada perawat. PsyCap (Luthans et al., 2007) merupakan keadaan perkembangan psikologis yang positif pada individu dengan karakteristik: memiliki self-efficacy, optimism, hope, dan dan resiliency. OCB (Organ, 1988) suatu tingkah laku individu yang sukarela, tidak secara langsung atau eksplisit diakui oleh sistem imbalan formal, namun dapat berpengaruh pada berjalannya fungsi organisasi yang efektif dan efisien. Pengukuran PsyCap menggunakan alat ukur adaptasi dri Psychological Capital Questionnaire (Luthans, Youssef, & Avolio, 2007) sedangkan pengukuran OCB menggunakan alat ukur Organizational Citizenship BehaviorScale (Podsakoff et al., 1990) yang telah diadaptasi oleh Khalid et al. (2009). Partisipan berjumlah 150 perawat dari rumah sakit X. Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat hubungan positif yang signifikan antara komponen-komponen PsyCap dan OCB pada perawat (r = 0,513; p = 0,000, signifikan pada L.o.S 0,05). Artinya, semakin tinggi komponen-komponen PsyCap yang dimiliki seseorang, maka semakin tinggi OCB yang ia rasakan. Selain itu, komponen PsyCap yang memiliki korelasi parsial signifikan paling besar pada OCB adalah self-efficacy. Dengan demikian, untuk dapat meningkatkan self-efficacy para perawat, pihak rumah sakit dapat membantu para perawat untuk menetapkan tujuan, cara-cara mencapai tujuan dan menghadapi berbagai tantangan dalam pekerjaan mereka melalui pertemuan rutin setiap bulannya.

A good nurse will show a high level of voluntary behavior, which is Organizational Citizenship Behavior (OCB). This research was conducted to find the correlation between psychological capital (PsyCap) and organizational citizenship behavior (OCB) among nurses. PsyCap (Luthans et al., 2007) is an individual’s positive psychological state of development and is characterized by: self-efficacy, optimism, hope, resiliency. OCB (Organ, 1988) represents individual behavior that is discretionary, not directly or explicitly recognized by the formal reward system, and in aggregate promotes the efficient and effective functioning of the organization. PsyCap was measured using a modification instrument named Psychological Capital Questionnaire (Luthans, Youssef, & Avolio, 2007) and OCB was measured using a modification instrument named Organizational Citizenship Behavior Scale (Podsakoff et al., 1990) that had been modified by Khalid et al. (2009). The participants of this research are 150 nurses who work at X hospital. The main results of this research show that PsyCap components positively correlated significantly with OCB (r = 0,513; p = 0,000, significant at L.o.S 0,05). That is, the higher PsyCap components of one’s own, the higher OCB they felt. Furthermore, the biggest partial correlation component of PsyCap toward OCB was self-efficacy. Therefore, in order to increase self-efficacy, the hospital can help their nurses to make their goal setting, ways to accomplish their goals, dan how to overcome the obstacles in their works through the monthly meeting."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2012
S45508
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>