Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 1819 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mortensen, Kurt W.
Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2011
153.9 MOR p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Galuh Hardaningsih
"Latar belakang: Lupus eritematosus sistemik LES) merupakan kelainan autoimun sistemik kronik yang dapat melibatkan susunan saraf pusat sehingga terjadi gangguan neurokognitif yang memengaruhi tingkat kecerdasan intelektual. Berbagai marker biologis terkait penyakit LES dapat memegaruhi fungsi neurokognitif.
Tujuan: Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui tingkat kecerdasan intelektual anak dengan LES dan faktor-faktor yang memengaruhinya.
Metode: Studi potong lintang terhadap 62 anak usia 7-18 tahun dengan LES. Pemilihan subyek secara consecutive sampling mulai September-Desember 2019. Tingkat kecerdasan intelektual ditetapkan dengan Weschler Intelligence Scale for Children (WISC)-IV melalui penilaian Intelligence Quotient (IQ). Analisa korelasi lama sakit, derajat aktivitas penyakit, dosis kumulatif kortikosteroid, Indeks Massa Tubuh (IMT) dan kadar hemoglobin terhadap IQ dilakukan uji korelasi Spearman. Analisa bivariat marker autoantibodi antiphospholipid syndrome (APS) terhadap IQ dilakukan dengan uji Chi Square.
Hasil: Prevalens subjek dengan IQ di bawah rata-rata (IQ<90) sebesar 73%. Nilai rerata IQ verbal, IQ performa dan IQ total pada anak dengan LES secara berurutan adalah 85,02 ; 84,37 dan 83,11. Hasil korelasi lama sakit, derajat aktivitas penyakit, dosis kumulatif kortikosteroid, IMT dan kadar hemoglobin terhadap IQ total secara berurutan r=-0,029; r=-0,063; r=0,03; r=0,014; r=0,108 dengan P>0,05). Proporsi marker autoantibodi APS terhadap IQ verbal, IQ performa dan IQ total dibawah rata-rata dibandingkan rata-rata tidak berbeda bermakna secara berurutan p=0.18; p=0,57; dan p=0.854.
Kesimpulan: Rerata IQ verbal, IQ performa dan IQ total pada anak dengan LES di bawah nilai normal. Lama sakit, derajat aktivitas penyakit, dosis kumulatif kortikosteroid, marker autoantibodi APS, IMT dan kadar hemoglobin pada LES tidak memengaruhi tingkat kecerdasan intelektual.

Background: Systemic lupus erythematosus (SLE) is a chronic systemic autoimmune disorder that can involve central nervous system resulting in neurocognitive disorder that affect the level of intellectual intelligence. Various biological markers associated with LES can influence neurocognitive function. Objective: This study was conducted to determine the level of intellectual intelligence of children with LES and the factors that influence it. Method: A cross-sectional study was conducted on 62 children aged 7-18 years with SLE by consecutive sampling from September to December 2019. The level of intellectual intelligence was determined by the Weschler Intelligence Scale for Children (WISC)-IV with an Intelligence Quotient (IQ) level. Correlation of duration, disease activity, cumulative dose of steroid, body mass index (BMI) and hemoglobin level to IQ was analyzed by Spearman test. Bivariate analysis autoantibody markers of antiphospholipid syndrome (APS) on IQ was performed with Chi Square test. Result: The prevalence of IQ below average (IQ < 90) was 73%. Mean value of verbal, performance and full IQ were 85.02 ; 84.37 and 83.11,respectively. The correlation results of duration, disease activity, cumulative dose of steroid, BMI and hemoglobin level werent statistically significant to full IQ respectively (r =-0,029; r=-0,063; r=0.03; r=0.014; r=0.108 with p>0.05). The proportion of autoantibody markers of APS to verbal, performance and full IQ below average compared to average didt significantly difference (p=0.18; p=0.57; p=0.854, respectively). Conslusion: Average of verbal, performance and full IQ in children with SLE is below normal level. Neither duration and activity of disease, cumulative dose of steroid, autoantibody markers of APS, BMI nor hemoglobin level are correlated to intellectual intelligence in children with SLE"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Widya Nuryana
"Di era pasar bebas, suatu wilayah dihadapkan pada tantangan untuk tidak hanya swasembada namun juga dapat berkiprah dalam perdagangan internasional. Jawa tengah merupakan wilayah strategis di Pulau Jawa, penting untuk diketahui sektor penggerak perekonomian wilayah Jawa Tengah yang tidak hanya unggul namun juga mempunyai kemampuan untuk ekspor serta sebaran wilayah basis nya. Informasi mengenai variasi spasial sektor kunci tradable, dapat menjadi pertimbangan bagi pemerintah dan investor untuk melakukan perencanaan wilayah serta investasi.
Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk menganalisis variasi spasial wilayah basis dari sektor tradable kunci perekonomian Tahun 2008 dengan tahun 2013 provinsi Jawa tengah serta hubungannya dengan faktor fisik dan nonfisik wilayah. Penelitian dilakukan dengan melihat sektor kunci perekonomian dari hasil analisis semi LQ tahun 2008 dan tahun 2013. Analisis Semi LQ digunakan untuk menganalisis sektor tradable yang mempunyai keterkaitan paling besar. Sektor migas tidak diikutsertakan dalam analisis.
Hasil analisis menunjukkan bahwa sektor Industri Pengolahan merupakan sektor kunci perekonomian di Jawa Tengah, pada kedua periode. Analisis LQ memperlihatkan bahwa terdapat 10 wilayah basis Industri Pengolahan di Jawa Tengah, yaitu terdiri dari Kabupaten/kota di sekitar jalur pantura dan serta Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Sukoharjo di bagian tengah baik pada periode 2008 maupun 2013. Hal ini menunjukkan bahwa secara spasiotemporal sektor industri pengolahan merupakan sektor kunci perekonomian di Jawa Tengah. Analisis hubungan dengan faktor fisik dan non fisik menunjukkan bahwa sebaran wilayah basis terkait dengan Upah minimum regional dan PDRB wilayah.

In a free trade era, a region is faced with a great challenge of not only being self sufficient but also it is expected the region would be able to take part in international trade activity. In this context, Central Java is a strategic area in Java Island and it is important to know the key tradable sectors of economic capacity of the region concerned. Information on such spatial variations of the tradable key sectors can be a consideration for regional government and investors to undertake regional planning and investment priority.
This study aims to analyze the spatial variation of the base region for the key tradable sector of the economy for 2008 2013 as well as its relationship with the physical and non physical factors. The Methods employed consist of Semi Input Output SIO Location Quotient models LQ.
The outcomes show that, first, there are 10 areas of Processing Industry base in Central Java, spreading out mostly along the North part second, spasiotemporally industrial processing sector Is the key sector for the economy in Central Java third, considering physical and non physical factors, One can see that the distribution of the base area is related closely to the regional minimum wages and GRDP
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2017
T48370
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Agnes Lasmono
"Latar Belakang: Kemampuan empati dan sistemisasi sudah berkembang sejak masa kanak. Kedua kemampuan tersebut berkaitan dengan fungsi sosial serta pencapaian akademik pada anak, dapat dinilai menggunakan kuesioner Empathy Quotient (EQ) dan Systemizing Quotient (SQ). Dorongan untuk berempati dan sistemisasi selanjutnya dapat dijelaskan sebagai tipe otak, yang dibagi menjadi lima kelompok berdasarkan perbedaan antara nilai EQ dan SQ terstandarisasi dari orang tersebut. Salah satu gangguan psikiatrik yang banyak ditemui pada layanan kesehatan jiwa anak dan remaja adalah GPPH. Adanya GPPH dapat berdampak pada fungsi sosial dan akademis anak. Penelitian ini dibuat untuk mengetahui perbedaan tipe otak berdasarkan EQ dan SQ pada anak sekolah dasar (SD) dengan dan tanpa GPPH.
Metode: Penelitian ini merupakan studi observasional dengan desain potong lintang. Sampel sebanyak 122 orang tua dan anak diambil dari Poli Jiwa Anak dan Remaja Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dan dari sekolah dasar di Jakarta. Pengambilan data dilakukan melalui pengisian kuesioner Empathy and Systemizing Quotient for Children (EQ-/SQ-C) versi Bahasa Indonesia. Tipe otak dikelompokkan berdasarkan persentil dari nilai D, yaitu perbedaan antara EQ dan SQ terstandarisasi.
Hasil: Tipe otak yang paling banyak ditemui pada anak tanpa GPPH adalah empathy (37,7%), sedangkan pada kelompok anak dengan GPPH adalah systemizing (39,34%). Dari hasil analisis, didapatkan perbedaan bermakna pada nilai D kedua kelompok (p=0,021). Studi ini juga mendapati perbedaan bermakna pada rerata EQ (p=0,000) dan rerata SQ (p=0,042) antara kedua kelompok.
Simpulan: Terdapat kecenderungan tipe otak sistemisasi pada anak SD dengan GPPH, serta terdapat perbedaan bermakna pada rerata EQ dan SQ antara kedua kelompok.

Background: Empathy and systemizing abilities have developed since childhood. These abilities are related to social and academic achievements in children, can be assessed by using the Empathy Quotient (EQ) and Systemizing Quotient (SQ) questionnaires. The drive to emphatize and systemize can further be described as brain type, which is divided into five groups based on the difference of the individual’s standardized EQ and SQ scores. One of psychiatric disorders commonly found in child and adolescent mental health services is ADHD. ADHD may have an impact on social and academic function in children. This study was conducted to determine the difference of brain type based on EQ and SQ in elementary school children with and without ADHD.
Methods: This is an observational study with cross-sectional study design. Sample of 122 parents and children were included from Child and Adolescent Mental Health Outpatient Clinic in Cipto Mangunkusumo General Hospital, and elementary school in Jakarta. The data were taken using Empathy and Systemizing Quotient for Children (EQ-/SQ-C) questionnaire in Bahasa Indonesia. The brain types were classified according to percentile of D score, which is the difference between standardized EQ and SQ.
Results: The most common brain type found in children without ADHD was empathy (37.7%), while in children with ADHD was systemizing (39.34%). From the analysis, there was significant difference in D score between both groups (p=0.021). Significant difference was also found in mean EQ score (p=0.000) and mean SQ score (p=0.042) between both groups.
Conclusion: There was tendency toward systemizing brain types in elementary school children with ADHD. There were also significant differences in mean EQ and SQ score between both groups.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
cover
"Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis : a) kecerdasan emosional , kepercayaan diri da produktivitas kegiatan penelitian dosen STT YBSI Tasikmalaya, (b) pengaruh dimensi-dimensi dalam kecerdasan emosional terhadap produktivitas kegiatan penelitian dosen STT YBSI Tasikmalaya ."
330 JMM 6:2 (2013)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Rachmat Taufiq
"Setiap orang selalu menginginkan sukses dalam kehidupannya. Dalam mencapai sukses seseorang selalu dihadapkan dengan hambatan dan kesulitan. Hal ini juga terjadi dalam pendidikan di perguruan tinggi, dimana indikasi sukses mahasiswa dilihat dari prestasi akademiknya. Sebagai Fakultas Psikologi pertama di Indonesia dan paling diminati, mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (UI) memiliki kesulitan tersendiri dalam menjalani pendidikannya, seperti perbedaan sifat pendidikan di SLTA-perguruan tinggi yang mencakup kurikulum, disiplin, hubungan dosen-mahasiswa, masalah hubungan sosial, ekonomi dan pemilihan bidang studi-jurusan (Gunarsa & Gunarsa, 2004).
Adversity quotient (AQ) adalah kemampuan seseorang dalam bereaksi terhadap kesulitan yang dihadapinya (Stoltz, 1997). Berdasarkan AQ seseorang dapat digolongkan sebagai quitter, camper, dan climber. Seseorang yang memiliki AQ tinggi (climber) akan bereaksi dengan tepat dan dapat mengatasi kesulitan yang dihadapinya. Sebaliknya, orang yang memiliki skor AQ rendah (quitter) tidak bereaksi dengan baik dalam mengatasi kesulitan yang dihadapinya. Dweck (dalam Stoltz, 1997) berpendapat bahwa laki-laki memiliki AQ lebih tinggi dari perempuan. Pendapat Dweck ternyata berbeda dengan kondisi di Fakultas Psikologi UI. Prestasi yang menjadi indikasi suksesnya mahasiswa lebih banyak diperoleh oleh mahasiswi. Bintari (2000) berpendapat perempuan memiliki AQ yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki pada mahasiswa Fakultas Psikologi UI. Pada penelitiannya Bintari (2000) mengakui bahwa sampel yang ditelitinya tidak representatif berdasarkan perbandingan jenis kelamin sampel dan pengambilan sampel hanya dari satu angkatan tertentu. Permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah ?Apakah ada perbedaan AQ berdasarkan jenis kelamin pada mahasiswa Fakultas Psikologi UI?
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan menggunakan alat ukur adaptasi berupa kuesioner dengan skala sikap. Subyek penelitian berjumlah 170 orang mahasiswa Fakultas Psikologi UI program reguler dan ekstensi dari semester awal hingga akhir (69 laki-laki dan 101 perempuan). Hasil uji validitas dan reliabilitas alat ukur adalah 0,8835 dengan koefisien alpha cronbach. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan t test untuk membandingkan mean kedua kelompok jenis kelamin.
Hasil analisis penelitian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan skor AQ yang signifikan berdasarkan jenis kelamin pada mahasiswa Fakultas Psikologi UI (t = -0,009, sig.= 0,993). Hasil penelitian ini tidak mendukung penelitian dari Dweck (dalam Stoltz, 1997) maupun Bintari (2000). Skor rata-rata AQ mahasiswa Fakultas Psikologi UI adalah 272,38 yang berarti termasuk dalam kategori sedang (camper), sesuai dengan hasil penelitian Bintari (2000).

Every person basically is eager to reach ever the success in life. On the other hand, the difficulties and obstacles may have to be faced by the people every single step of their time. This phenomenon also happen in the field of college, where the academic achievement required. Faculty of psychology University of Indonesia, as the first faculty in Indonesia has been searched by many college students. There for they have to struggle along their education with the difference aspect of educational nature when they were in high school?university curriculum, disciplinary, the relation between lecturer and college students, social relationship, economic factors and the selection of majority field study (Gunarsa & Gunarsa, 2004).
According to Stolz (1997) AQ is the capability to react for certain difficulty. There are three categories of AQ: quitter, camper, and climber. Someone who has a high AQ considers to be able to adapt well (climber). Conversely a lower AQ considers as quitter, incapable of adapting the difficulty. The research of Dweck (in Stoltz, 1997) resumed that males have a higher AQ than females. The result confirmed quite different from the fact in the Psychology Faculty of University of Indonesia. The academic achievement indicates this fact from mostly female college student. More over, Bintari?s research (2000) was acquired that female college students have a higher AQ than the males. Bintari (2000) admitted the sample of her research wasn?t representative. The sample required only on specific sex which is females and in the same year of educational level. The problem of this research ?is there a difference of AQ based on sex to college students in faculty of psychology University of Indonesia?
This research used quantitative approach. The questionnaire was adopted by likert scale. The subjects contained of 170 college students from the faculty of psychology (69 males and 101 females). Reliability and validity 0.8835 coeficient cronbach alpha.The data elicited from t test to compare mean score of both sex.
Finally, the result showed that there are no differences score of AQ significantly based on sex to college students Faculty of Psychology University of Indonesia (t = -0,009, sig.= 0,993). It doesn?t support the Dweck?s research and Bintari as well. Mean score of the college students faculty of psychology University of Indonesia 272,38. It means that they are in middle category (camper) and the Bintari?s research (2000) fits in this result.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2007
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Dedi Tanto
"ABSTRAK
Latar Belakang : Progresifitas sepsis menjadi syok sepsis yang berakhir pada mortalitas dalam waktu singkat, karena terjadi hipoperfusi jaringan. Hipoperfusi jaringan pada pasien sepsis dapat mengakibatkan metabolisme anaerobik. Petanda metabolisme anaerobik diketahui melalui rasio perbedaan antara selisih tekanan parsial karbon dioksida vena sentral ndash; arterial terhadap selisih kandungan oksigen arterial ndash; vena sentral, dan merupakan alternatif perwakilan dari Respiratory Quotient RQ . Oleh karena itu, peneliti mengevaluasi hubungan antara nilai RQ dengan mortalitas pasien sepsis dan membandingkan hubungan antara nilai ScvO2 dengan mortalitas pasien sepsis.Metode : Penelitian ini adalah penelitian klinis dengan metode uji klinis cross sectional propesktif yang dilakukan di ruang rawat intensif terhadap hubungan nilai RQ dengan mortalitas pasien sepsis, serta membandingkan dengan hubungan antara nilai ScvO2 dengan mortalitas pasien sepsis. Peneliti melakukan pemeriksaan analisa gas darah arteri dan analisa gas darah vena sentral, yang diukur secara bersamaan pada saat pasien masuk T0 dan 6 jam T6 pasca resusitasi. Hubungan antara nilai RQ dan nilai ScvO2 dengan kematian dianalisa dengan menggunakan uji chi-kuadrat.Hasil : Sebanyak 47 pasien sepsis dilakukan pemeriksaan analisa gas darah arteri dan analisa gas darah vena sentral pada saat pasien masuk T0 dan 6 jam T6 pasca resusitasi. Pasien sepsis dengan nilai RQ tinggi ge; 1,6 pada saat awal masuk berhubungan dengan mortalitas pasien sepsis P= 0,001 . Pasien sepsis dengan nilai ScvO2 tinggi ScvO2 ge; 75 pada saat awal masuk mempunyai hubungan dengan terjadinya mortalitas pasien sepsis P = 0,001 . Pasien sepsis dengan nilai RQ tinggi ge; 1,6 pada saat 6 jam T6 pasca resusitasi berhubungan dengan mortalitas pasien sepsis P = 0,001 . Pasien sepsis dengan nilai ScvO2 tinggi ScvO2 ge; 75 pada saat 6 jam T6 pasca resusitasi tidak berhubungan dengan terjadinya mortalitas pasien sepsis P = 0,102 . Pasien sepsis yang mempunyai konsistensi dalam tingginya nilai RQ ge; 1,6 baik awal masuk dan pasca resusitasi mempunyai hubungan dengan terjadinya mortalitas pasien tersebut P = 0,001 .Kesimpulan : Pasien sepsis dengan nilai RQ yang tinggi ge; 1,6 baik pada saat awal T0 dan 6 jam T6 pasca resusitasi mempunyai hubungan dengan mortalitas pasien sepsis. Nilai RQ dapat digunakan sebagai salah satu prediktor terjadinya mortalitas pasien sepsis. ABSTRACT
Background Sepsis progressively becomes septic shock that ends in mortality within a short time, due to tissue hypoperfusion. Tissue hypoperfusion in septic patients may results in anaerobic metabolism. Anaerobic metabolism markers are known by the ratio of the difference between the venous to arterial CO2 difference arterial central venous O2 difference ratio P v a CO2 C a v O2 or Respiratory Quotient RQ . Therefore, we evaluated the relationship between the RQ value with the mortality of the sepsis patient, the relationship between the ScvO2 value with the mortality of the sepsis patient and compared these two relationships.Methods This was a clinical study with a cross sectional propective clinical trial method, which conducted in intensive care unit ICU department. The investigators performed an arterial blood gas analysis and central venous blood gas analysis, measured simultaneously at the time of admission T0 and 6 hours T6 post resuscitation. In this study, the relationship between RQ value with mortality of sepsis patients compared to the relationship between ScvO2 with mortality of sepsis patients, which was analyzed by using chi square test.Results A total of 47 sepsis patients performed arterial blood gas analysis and central venous blood gas analysis at admission T0 and 6 hours T6 post resuscitation. Sepsis patients with a high RQ score ge 1.6 at admission T0 were associated with sepsis patient mortality P 0.001 . Sepsis patients with a high ScvO2 score ScvO2 ge 75 at admission T0 were associated with sepsis patient mortality P 0.001 . Sepsis patients with a high RQ score ge 1.6 at 6 hours T6 post resuscitation were associated with sepsis patient mortality P 0.001 . Sepsis patients with high ScvO2 score ScvO2 ge 75 at 6 h T6 post resuscitation were not associated with sepsis patient mortality P 0.102 . Sepsis patients with consistency in high RQ ge 1.6 values both early admission and post resuscitation have been associated with the patient 39 s mortality P 0.001 .Conclussion Sepsis patients with a high RQ value ge 1.6 at both the initial T0 and 6 hours T6 post resuscitation sites were associated with sepsis patient mortality. RQ values can be used as one of the predictors of sepsis patient mortality. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>