Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 138840 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Bayu Hardiyudanto
"Tesis ini menggambarkan tentang Pemberitaan pers dalam sebuah kasus
konflik dapat berdampak kondusif maupun destruktif. Berdampak kondusif
apabila pemberitaan yang dihasilkan secara objektif mampu memberikan rasa
damai terkait dengan situasi yang ada. Sedangkan bersifat destruktif apabila
pemberitaannya malah dapat memicu atau memperbesar sebuah konflik. Untuk
pemberitaan yang dianggap bersifat destruktif, insan pers dapat dikenakan
pertanggungjawaban atau dijerat dengan tindak pidana pers (delik pers), baik
mengacu pada pasal-pasal KUHP dan UU No. 40 tahun 1999 tentang pers yang
saling melengkapi. Delik pers yang dapat digunakan terkait dengan pemberitaan
kasus konflik adalah delik penabur kebencian, delik agama, dan delik berita
bohong. Selain itu, dalam kedua perundang-undangan tersebut diatur juga pihakpihak
yang bertanggung jawab atas sebuah pemberitaan pers serta sanksi atau
hukuman pidana yang diterima. Perbedaan di antara kedua perundang-undangan
tersebut adalah dalam melihat pihak yang seharusnya bertanggung jawab atas
sebuah pemberitaan pers. apabila KUHP mengatur bahwa setiap insan pers (setiap
individu) dapat dikenakan pertanggungjawaban, maka dalam UU No. 40 tahun
1999 hanya pemimpin redaksi yang dapat dikenakan pertanggungjawaban. Dalam
penerapannya, ketiga delik pers tersebut dapat digunakan untuk menjerat insan
pers dalam beberapa contoh pemberitaan, khususnya terkait dengan kasus konflik
di Ambon dan Sampit.

Abstract
The thesis describes a Press Release in a conflict case which may have
conducive and destructive impacts. It will have conducive impacts if the news is
produced objectively and may result in peaceful feeling related to the existing
situation. On the other hand, it will be destructive if the news can even trigger or
magnify a conflict. For the news considered as destructive, the members of the
press may be charged to be accountable or indicted with press criminal acts (press
offense), referring to the articles of Penal Code and the Law No. 40 of the year
1999 on Press (those two laws mutually complement each other). The press
offenses which may be used related to the press release of a conflict case are the
hatred spread offense, religion offense, and untrue news offense. In addition, in
the two laws the parties accountable for a press release and the sanction or
criminal punishment sentenced are governed. The difference between those 2 laws
is in looking at the parties who should be responsible for a press release. The
Penal Code governs that every member of the press (each individual) may be
charged accountable, whereas in the Law No. 40 of the year 1999 only the head of
the editorial staff can be charged accountable. In its implementation, the three
press offenses can be used to indict the members of the press in several examples
of a press release, especially related to the conflict cases in Ambon and Sampit."
Universitas Indonesia, 2011
T29298
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Amir Syamsuddin
"Penyelesaian kasus pers dan kasus yang menyangkut pers di indonesia memiliki dua pilihan penting. Pilihan tersebut antara lain menyelesaikan kasus pers dan kasus yang menyangkut pers melalui pemberitaan atau yang disebut sebagai penyelesaian dengan Mekanisme Hak Jawab menurut UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers dan/atau Penyelesaian dengan penerapan ketentuan hukum pidana sebagaimana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Apabita ada pelanggaran ataupun kejahatan yang dilakukan dalam kegiatan pers dan diselesaikan melalui mekanisme Hak Jawab maka penyelesaian tersebut adalah penyelesaian dengan pemberitaan sedangkan penyeiesaian menurut KUHP adalah penyelesaian menurut ketentuan hukum publik yaitu bila ada tindakan pidana maka harus ada sanksinya bisa berupa hukuman kurungan atau denda.
Tindak Pidana yang sering terjadi daiam kegiatan pers adalah tindak pidana yang dalam KUHP disebut sebagai penghinaan. Kansep dan pengertian penghinaan diarur dalam Bob XVI Buku H KUHP, yang mengatur mengenai beberapa bentuk tindak pidana penghinaan seperti 'pencemaran (smaad)' vide Pasal 310 KUHP, 'fitnah (laster)' Pasal 311 KUHP, dan 'benghinaan sederhana' (eenvoudige helediging). Tindak Pidana Penghinaan (belediging) yang sangat erat kaitannya dengan pers adalah Delik pencemaran Pasal 310 KUHP yang unsur-unsurya terdiri dari unsur menyerang nama baik dan kehormatan; unsur kesengajaan; unsur di depan umum yang karenanya memiliki syarat publikasi. Selain pencemaran, ada detik fitnah (laster) Pasaf 311 KUHP. Seiain itu masih ada banyak tindak pidana penghinaan lainnya yang tersebar di dalam KUHP dan banyak pula tindak pidana yang bukan penghinaan tetapi berkaitan dengan berita bohong dan sebagainya.
Namun, tindak pidana penghinaan Pasa! 310 KUHP ini dihapus hukumannya apabila kegiatan pers tersebut diiakukan demi kepentingan umum, Kepentingan umum seperti apa yang dapat dijadikan alasan penghapus atas kejahatan penghinaan di atas adalah kepentingan umum yang memang diemban oleh pers dalam fungsi dan perannya. Unsur ?kepentingan umum" yang harus ditafsfrkan sebagai afasan penghapus pidana dalam Pasol 310 ayat (3) adalah unsur kepentingan umum yang berkaitan dengan kegiatan pers terutama pemberitaan yang sesuai dengan UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik (KEJ)/Kade Etik Wartawan indonesia (KEWI). Pemberitaan yang dapat menggunakan dalil 'kepentingan umum" sebagai a!asan penghapus pidana (strafuitsluitingsgrond) hanyalah pemberitaan pers yang memenuhi semua persyaratan yaitu kebenaran, kewajaran, kepantasan, kualitas (profesfonal), kejujuran, obyektivitas, ketidakberpihakan, keseimbangan, dan keterjangkauan. Dengan kriteria kepentingan umum Pasa! 310 KUHP yang mernenuhi semua persyararan di atas, maka sebuah pemberitaan pers jelas-jelas telah menjalankan fungsi dan perannya sebagai lembaga sosial dan ekonomi menurut aturan yang berlaku. Pemberitaan yang telah memenuhf semua persyaratan tersebut di atas merupakan penjelmaan dari penerapan prinsip-prinsip kernerdekaan pers yang bertanggung jawab.

The settlement of press cases and cases related to press in indonesia has two key choices. The choice, among other things, is to settle press cases and cases related to press by means of press news or called as Settlement through the Mechanism of Right to Respond pursuant to Law No. 40 of 1999 on Press and/or Settlement with the application of provisions of the criminal law as regulated in the Criminal Code. ln the event of violation or criminal act committed in press activities and it is settled through the mechanism of Right to Respond then such settlement is a settlement by means of press news, whereas the settlement pursuant to the Criminal Code is a settlement that is in accordance with the provisions of public law namely when a criminal act is committed then it must be subject to sanction either in the form of sentence to imprisonment or a fine.
A criminal act which frequently occurs in press activities is a criminal act which is in the Criminal Code referred to as humiliation. The concept and interpretation of humiliation is regulated in Chapter XV! Book ll of the Criminal Code which regulates on some forms of criminal act of humiliation such as ?aspersion (smaad)? vide Article 310 of the Criminal Code "calumny (laster)" Article 311 of the Criminal Code, and ?plain insult (eenvoudige be!ediging)". The criminal act of humiliation (belediging) which greatly relates to press is Offense of Aspersion as set forth in Article 310 ofthe Criminal Code of which elements consist of the element of attacking the good reputation and honor; the element of deliberateness; the element of before the public that makes it have a publication condition. ln addition to aspersion, there is an Offense of calumny (laster) of Article 311 of the Criminal Code. Besides, there are still other humiliation criminal acts set forth in the Criminal Code and there are also other criminal acts which are non-humiliation but being correlated with fake/ false news/ report and others.
Yet, criminal act of humiliation in Article 310 of the Criminal Code has its punishment eliminated when such press activity is performed for the sake of the public interest. What kind of public interest which may become the reason of eliminating the crime of humiliation as mentioned above is the public interest that is indeed performed by press in its function and role. The element of ?public interest? which must be construed as the reason of the criminal elimination in Article 310 paragraph (3) is the element of public interest relating to press activities especially the press which is in accordance with Law on Press and Journalistic Ethic Code (KEJ)lindonesian Journalists Ethic Code (KEWI). The press that may use the argumentation of ?public interest? as the reason of eliminating the criminal act (strafuitsluitingsgrond) is only the press news meeting all conditions namely truthfulness, fairness, appropriateness, quality (professional), honesty, objectivity, nonalignment, balance, and achievability. With the criteria of public interest of Article 310 of the Criminal Code which meets all of the aforesaid conditions, press news has obviously performed its function and role as a social and economic institution pursuant to the applicable rules. The press news which has met all aforesaid requirements is the realization of the application of independence principles of the accountable press.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008
D928
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
"Press freedom in Indonesia is not apart from its accountabilities for particular delicts as set forth in Press Act and Criminal Law currently revised in line with the development of era and Indonesian cultures. Accountability of the press for delicts including humiliation, slandering and pornography where such involved parties shall account for. Meanwhile legal aspects for such involved parties include editor, writer, publisher, printing agency and distributors, with more advantageous legal position compared to the ones of non-press delicts."
384 WACA 7:26 (2009)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Dedy Efrizal
"Setelah dibentuknya UU. No. 40 Tabun 1999 tentang Pers, pemberlakuan delik pers menurut KUHP terhadap pers ternyata tidak lagi disepakati oleh sebagian kalangan terutama pers, karena dianggap bertentangan dengan asas lex specialis derogar lex generalis. Untuk menelusuri persepsi lex specialis terhadap UU Pers tersebut, permasalahan yang penulis ajukan tertuju pada tiga hal, yaitu berkaitan dengan pengkonstruksian delik-delik terhadap pers menurut UU Pers yang dihubungkan dengan asas legalitas dan asas lex specialis derogal lex generalis, kemudian sistim pertanggung jawaban pidana pers yang hams dibangun, dan terakhir mengenai pertimbangan hukum yang diambil oleh hakim dalam menentukan hokum terhadap pers.
Untuk rnenjawab ketiga permasalahan tersebut, penelitian yang dilakukan menggunakan pendekatan metode penelitian normatif yuridis. Sedangkan mengenai bahan ataupun data yang digunakan dalam penulisan ini adalah data sekunder, berupa bahan hokum primer (peraturan perundang-undangan dan sebuah kasus pidana pers pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan), bahan hukum sekunder (literatur mengenai hukum pidana materiil dan hukum pers) dan bahan hukum tarsier (bibiliografi dan kamus). Untuk memperoleb data sekunder tersebut, alat pengumpul data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan dan studi dokumen (kasus). Dalam penyajian dan analisa data, hal itu dilakukan secara deskriptif kualitatif, artinya materi pembahasan yang dituangkan dalam penulisan ini akan dikonstruksikan kedalam suatu uraian analisa hukum.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, kesimpulan yang penulis peroleh terdiri atas tiga bagian. Pertama, konstruksi delik pets yang tercanturn dalam UU Pers ternyata tidak dimaksudkan untuk menghapuskan ataupun untuk menarik delik pers menurut KUHP kedalam UU Pers. Tetapi delik pers menurut UU Pers merupakan delik yang ditujukan pada perusahaan pets dan terbatas pada lima jenis delik pers. Sehingga delik pers menurut KUHP tetap berlaku bagi pers. Delik yang memang dapat dikatakan sebagai lex specialis terletak dalam gabungan pelanggaran norma, atau suatu pemberitaan pers itu baru dapat dituntut jika isinya secara keseluruhan melanggar norma agama, rasa kesusilaan dan asas praduga tidak bersalah.
Kedua, sistim pertanggung jawaban pers merupakan bentuk pertanggung jawaban korporasi. Dalam pertanggung jawaban pidananya, korporasi akan diwakili oleh penanggung jawab bidang redaksi dan bidang usaha. Sedangkan untuk pertanggung jawaban personal, konstruksinya ditempuh berdasarkan asas penyertaan dalam KUHP. Ketiga, dalam menentukan hukum terhadap pers, ternyata UU Pers memang turut dijadikan dasar pertimbangan hakim dalam menentukan hukum terhadap pers. Khususnya dalam hal norma delik dan pertanggung jawaban pers. Dalam putusannya, ternyata haldm tetap menerapkan delik pers menurut KUHP, karena unsur deliknya telah terpenuhi."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
T19191
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Sadono S. Y.
1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Departemen Penerangan RI, 1999
R 345 IND k
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
Universitas Indonesia, 1985
S21603
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Neneng Rahmadini
"Dalam melaksanakan profesinya, seorang wartawan perlu mendapatkan perlindungan hukum. Hal ini karena kebebasan pers penting demi tegaknya negara hukum yang demokratis, bahwa press as a fourth estate. Mengingat sejarah Indonesia sebagai negara bekas jajahan dimana hukum yang digunakan masih merupakan warisan hukum kolonial Belanda yang memang ditujukan untuk meredam segala bentuk pergerakan perjuangan kemerdekaan kaum nasionalis, maka dianutlah kriminalisasi pers. Hal ini tetap terus dipertahankan setelah Indonesia merdeka, hanya rezim yang melakukannya berbeda. Pers terus berada dibawah cengkeraman kekuasan pemerintah yang mempertahankan status quonya. Kebebasan pers pun masih jauh dari kenyataan.
Paradigma kebebasan pers di Indonesia baru mulai berubah seiring era Reformasi, dimana terbit UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers dihapuskan aturan mengenai izin terbit pers atau SIUPP sehingga tidak mungkin ada lagi pers yang dibreidel. Khusus mengenai penyelesaian permasalahan berkaitan dengan pers, dalam UU tersebut diaturlah penggunaan Hak Jawab, Hak Koreksi, dan Mediasi melalui Dewan Pers. UU Pers ini mempunyai ketentuan pidana, walau disisi lain tak ditutup kemungkinan penggunaan pasal-pasal KUHP. Hal inilah yang kemudian menimbulkan persoalan, dimana ternyata dalam prakteknya kemudian banyak permasalahan-permasalahan berkaitan dengan pers diselesaikan dengan jalur hukum pidana, tanpa menempuh jalur-jalur yang telah tersebut dalam UU Pers itu. Timbul perdebatan apakah UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers tersebut lex specialis atau tidak sehingga dapat/tidak digunakan mengecualikan pasal-pasal KUHP. Hal ini memicu resistensi kalangan pers yang kemudian memperjuangkan untuk diakuinya UU Pers sebagai lex specialis dan dipergunakannya jalur-jalur selain hukum pidana dalam menyelesaikan permasalahanpermasalahan berkaitan dengan pers. Dimana hukum pidana dalam perkara pers haruslah diletakkan sebagai ultimum remedium atau tuntutan yang lebih ekstrim lagi untuk mendekriminalisasi pasal-pasal KUHP terhadap pers. Hal ini selain mengikuti perkembangan dunia internasional yang telah lama menghindari penyelesaian permasalahan pers melalui jalur pidana, juga bahwa dalam konteks karya jurnalistik sebenarnya tidak ada suatu kebenaran mutlak. Selain itu bukankah kebebasan pers sebagai bagian dari kebebasan berbicara, mengemukakan pendapat dan berekspresi seharusnya dilindungi oleh negara? Disinilah kemudian timbul pertanyaan besar, apakah perjuangan masyarakat pers tersebut memang mungkin untuk dilakukan? Bagaimana hal tersebut bila dikaji dari sudut pandang akademis? Hal-hal itulah yang coba dijawab dalam tesis ini."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T15569
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Oemar Seno Adji
Jakarta: Erlangga, 1977
343.598 OEM p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>