Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 59197 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Darmoko
"ABSTRAK
Aspek gending dalam lakon/pertunjukan wayang kulit purwa cukup menarik untuk diteliti, karena di dalamnya dikandunq unsur instrumen dan vokal, yang merupakan perpaduan antara irama, alunan qamelan dengan sindhenan. gerongan, narasi dan komoangan.
Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini ialah: 1. baqaimanakah bentuk, penyajian, kedudukan dan funqsi gendhing dalam lakon/pertunjukan wayanq purwa.
Tujuan penelitian ini iaiah mengungkapkan makna gendhing dalam lakon/pertunjukan wayang kulit purwa secara wholleness(utuh). tinjauan ini memfokuskan pada penelitian qendhinq iringan wayanq kulit purwa klasik dan mengesampingkan Gendhing iringan Penqembangan.
Sedangkan bahan sebagai data penelitian bersumber pada teks-teks karya sastra tertulis dan lisan. Teks-teks karya sastra tertulis yang dimaksud adalah bentuk lakon wayang berupa pakem tuntunan pedalangan semalam suntuk (utuh), lenqkap beserta unsur-unsur yanq mendukung. Sedangkan sumber taks lisan terdiri atas pengamatan peneliti dalam menyaksikan pergelaran langsung dan juqa mendengarkan pita kaset rekaman baik rekaman yang sifatnya live maupun rekaman studlo.
Metode penelitian yanq diterapkan ialah metode analisis deskriptif, yaitu suatu metode yang berusaha untuk menquraikan obyek (teks karya sastra - lisan tertulis) seje1as-jelasnya dan sedalam-dalamnya, sehingga didapatkan makna yang utuh. Kesimpulan yanq dapat dipetik dari penelitian ini yaitu, bahwa:
1. Gendhing dalam lakon/pertunjukan wayang kulit purwa terdiri atas pelbagai bentuk komposisi, seperti: lancaran, ladrangan, ketawangan dan gendhing. Komposisi ini kemudian diramu sehingga menjadi padu dengan unsur-unsur yang lain, seperti: suluk, sindhenan, gerongan, dan komoangan.
2. Dalam lakon/pertunjukan wayang kulit purwa, gendhing disajikan berdasarkan aturan (konveksi) yang telah disepakati bersama di antara seniman, sehingga adegan-adegan di dalam pertunjukan wayang kulit purwa mempergunakan gendhing-gendhing iringan yang telah ditentukan bersama.
3. Gendhing merupakan salah satu unsur di dalam lakon/pertunjukan wayang kulit purwa yang sangat vital. Oleh karena itu unsur gendhing sangat diperlukan keberadaannya.
4. Fungsi gendhing dalam lakon/pertunjukan wayang kulit purwa disamping sebagai musik iringan juga turut serta dalam memberikan suasana, nuansa pergelaran wayang, sehingga gendhing juga ikut menjalin keterkaitan dengan unsur-unsur yang lain.
Menqinqat kesimpulan yang telah dipaparkan diatas, maka aspek gendhing dalam lakon/pertunjukan wayang purwa mempunyai pengaruh yang besar dan keberadaannya sangat diperlukan, karena dapat dibayangkan: sebuah pertunjukan wayang kulit purwa tanpa mempergunakan gendhing sebagai iringan, tentu di sana akan terasa hambar, "njomplang", dan tidak harmonis.
"
Fakultas Ilmu Pengatahuan Budaya Universitas Indonesia, 1997
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Darmoko
"ABSTRAK
Permasalahan utama yang dibahas dalam penelitian ini yaitu masalah mantra. Bagaimanakah bentuk/sifat, penggunaan/penyajian, fungsi dan kedudukan mantra dalam peertunjukkan wayang kulit purwa.
Tujuan pokok penelitian ini ialah untuk mendapatkan pengertian yang utuh tentang mantra dalam pertunjukan wayang kulit purwa. Melalui analisis bentuk/sifat. Penggunaan/penyajian. Fungsi dan kedudukan mantra dalam pertunjukan wayang kulit purwa diharapkan didapatkan pengetian yang sifatnya wholleness.
Untuk meneliti unsur mantra dalam pertujukan wayang kulit purwa saya menggunakan wayang kulit purwa saya menggunakan metode analisa abstraksi. Sedangkan pendekatan yang saya gunakan ialah pendekatan intrinsik, menitikberatkan pada segala sesuatu yang terdapat di dalam karya sastra itu sendiri."
Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1995
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Darmoko
Fakultas Ilmu Pengatahuan Budaya Universitas Indonesia, 1992
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Darmoko
"Skripsi ini bertujuan meneliti dan membicarakan mengenai wahyu dalam Lakon Wayang Kulit Purwa melalui telaah tentang 6 unsur wahyu, yaitu: 1. pemberi wahyu; 2. penerima wahyu; 3. proses pemberian wahyu; 4. proses penerimaan wahyu; 5. wujud wahyu dan, 6. misi wahyu. Sedangkan untuk mempertajam pengertian Wahyu Dalam Lakon Wayang Kulit Purwa diadakan perbandingan secara sederhana dengan pengertian Wahyu Dalam Agama dan Kepercayaen Terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Metode penulisan yang penulis terapkan untuk menerangkan Wahyu Dalam Lakon Wayang Kulit Purwa ialah metode deskriptif, yaitu suatu metode yang berusaha untuk menguraikan (melukiskan) secara jelas suatu karya sastra. Sedangkan pendekatan yang penulis pergunakan i_alah pendekatan intrinsik, yaitu suatu pendekatan yang berusaha untuk menjelaskan teks karya sastra dari dalam karya sastra itu sendiri. Setelah penulis mengadakan analisis teks karya sastra, yaitu 6 lakon Wahyu Dalam Lakon Wayang Kulit Purwa dengan metode deskriptif dan pendekatan intrinsik, maka dalam rangka mempertajam pengertian wahyu penulis membandingkan secara sederhana antara wahyu dalam lakon wayang kulit purwa dengan wah_yu dalam agama dan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, yang diperbandingkan juga keenam unsur wahyu tersebut di atas. Hasil analisis (telaah) Wahyu Dalam Lakon Wayang Kulit Purwa membuktikan, bahwa wahyu mengandung konsep-_konsep Ketuhanan, konsep-konsep budaya spiritual yang selanjutnya dapat kiranya dipergunakan sebagai bahan renungan untuk menjalankan hidup di dunia nyata. Wahyu dalam lakon wayang kulit purwa yaitu anuge_rah Sang Hyang Wisese yang diberikan oleh dewa kepada ksatria utama melalui proses ujian berat, yang diterimanya dengan sarana _laku_ di tempat yang sunyi dan suci berupa sukma, ajaran maupun cahaya untuk keperluan penyempurnaan hidup/dharma, dengan mengusahakan keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan dunia. Jika diperbandingkan dengan pandangan-pandangan wahyu dalam agama dan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, wahyu dalam lakon wayang kulit purwa pada dasarny memperlihatkan suatu kesamaan, yaitu dalam keenam unsur wahyu: pemberi wahyu, penerima wahyu, proses pemberian wahyu, proses penerimaan wahyu, wujud wahyu dan mi_si wahyu. Hanya saja dalam hal pemberi wahyu dilukiskannya dengan istilah yang berlainan, namun pada hakekatnya adalah sama yaitu bahwa wahyu diberikan oleh Tuhan Yang Maha kuasa. Dalam lakon wayang kulit purwa dipakai isti_lah Sang Hyang Wisesa (dewa), dalam agama Islam dan Nasrani dipakai istilah Tuhan (Allah), dalam Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dipakai istilah Tuhan atau Allah. Kemudian dalam hal penerima wahyu pada hakekatnya adalah sama, yaitu manusia yang benar-benar dikehendaki dalam arti terpilih oleh Tuhan Yang Maha Kuasa untuk me_nyempurnakan hidup/dharma/amal. Sedangkan dalam hal pro_ses pemberian wahyu, masing-masing pandangan itu memberikan gambaran, bahwa wahyu diberikan secara langsung den tidak langsung yang disertai pula dengan ujian yang ber_asal dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Selanjutnya dalam hal proses penerimaan wahyu pada hakekatnya adalah sama, ya_itu bahwa wahyu diterima aleh manusia yang dikehendaki oleh Tuhan Yang Maha Kuasa dengan melaksanakan laku (bersamadi, bertapa, tarak brata) dan wahyu diterimanya di tempat yang sunyi dan suci (pada ruang dan waktu tertentu). Dalam hal wujud wahyu pandangan-pandangan itu melukiskannya dengan 3 macam wujud yaitu sukma, ajaran dan cahaya, yang masing-masing wujud tersebut apabila di cari hakekatnya akan sama, ialah sesuatu yang mempunyai daya lebih terhadap penerimanya dan memberikan _kekuatan_ kepadanya. Kemudian dalam hal misi wahyu masing-masing pandangan pada hakekatnya adalah sama, yaitu meningkatkan dan menyempurnakan hidup/dharma/amal, dengan mengusahakan keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan dunia."
Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1988
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Munawar Holil
"ABSTRAK
Kepulauan Seribu adalah sa1ah satu kecamatan yang termasuk wilayah Jakarta Utara. Kecamatan yang terdiri dari gugusan 106 pulau ini 1etaknya berdekatan dengan Jakarta dan beberapa kota lain yang merupakan pendukung budaya Betawi. Hai ini memunculkan masa1ah yang menarik untuk diteliti. Salah satunya mengenai "Keberadaan Seni Pertunjukan Rakyat"-nya.
Seni pertunjukan rakyat yang dite1iti ada1ah 1enong. Kapan mu1ai muncu1nya; bagaimana perkembangan dan posisinya da1am konteks pertumbuhan dan perkembangan seni pertunjukan rakyat di sana; ada1ah masa1ah-masa1ah yang menjadi pokok perhatian pene1itian ini.
Pene1itian ini masih bersifat awa1. 01eh karena itu, tujuan pene1it1an pun dibatasi untuk menyajikan gambaran seiayang pandang mengenai pertumbuhan, perkembangan, dan posisi lenong yang hidup dan berkembang di Kepulauan Seribu sampai dengan waktu pene11tian lapangan d11aksanakan, April 1994.
Metode yang digunakan dalam pene1itian ini ada1ah metode deskriptif. Teknik pengambilan data di1akukan dengan teknik wawancara dan observasi 1apangan.
Dari pene1itian yang di1akukan, d1pero1eh gambaran bahwa seni teater rakyat di Kepu1auan Seribu mulai berkembang sejak 1940-an. Genre-nya berubah dari tunil, sandiwara, kemudian menjadi 1enong. Lenong mencapai "masa keemasannya" sekitar 1970-1975-an. Pada masa itu frekuensi perge1aran Ienong kerap sekali. Tetapi sejak 1980-an, Tenong semakin jarang ditampi1kan. Posisi 1enong semakin "terpuruk" dengan kehadiran grup-grup orkes dangdut dan pemutaran fi1m (1ayar tancap). Bila keadaan seperti sekarang ini dibiarkan terus, tidak mustahil pada masa-masa mendatang kita tidak akan dapat menyaksikan lagi kehadiran seni lenong di Kepu1auan Seribu."
Fakultas Ilmu Pengatahuan Budaya Universitas Indonesia, 1995
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Darmoko
"ABSTRAK
Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini yaitu, bagaimanakah bentuk dan isi, penggunaan dan penyajian, fungsi
dan peranan, serta kedudukan narasi dalam lakon/pertunjukan wayang kulit purwa. Sedangkan tujuan penelitian ini yaitu mengu-
pas narasi agar mendapatkan makna yang utuh mengenai narasi dalam lakon/pertunjukan wayang kulit purwa.
Metode penelitian yang digunakan yaitu metode dan teknik analisis struktural, yaitu metode yang bertujuan membongkar dgn memaparkan secermat, seteliti, semenditel dan sedalam mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua anasir dan aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh. Analisis struktura1 bukanlah penjumlahan anasir-anasir itu, misalnya cukup didaftarkan semua kasus aliterasi, asonansi, rima akhir, rima dalam, inversi sintaktik, metafor dan metonimi segala macam peristilahan yang muluk-muluk dengan apa_saja yang secara formal dapat diperhatikan pada sabuah sajak atau dalam hal romanpun tidak cukup semacam enumerasi gejala-gejala yang berhubungan dangan aspek waktu, aspek ruang, pernatakan, point of view, sorot balik dan apa saja. (A, Teew, 1984: 135-136). Dalam menganalisis masalah ini diperlukan pendekatan intrinsik, yaitu pendekatan karya sastra yang bnrtitik tnlak dari dalam, batiniah, sifat dasar atau bagian dasar karya sastra itu sendiri. Menurut Panuti Sudjiman intrinnik berarti: 1. dari dalam, batiniah; 2. merupakan sifat :tau bagian dasar. (19B4: 35). Bahan yang diangkat dalam penelitian ialah dua sumber karya
sastra lakon wayang kulit purwa, pertama berbentuk drama dan yang kedua berbentuk tembang hal ini agar dapat diperbandingkan secara sederhana antara narasi yang terdapat dalam drama dan yang da1am bentuk tembang.
Kesimpulan akhir yang dapat dipntik dalam panelitian ini ialah: l. Bentuk narasi dalam lakon/pertunjukan uayang kulit purwa berupa prosa berirama, berbahasa Jawa Baru (klasik) dan kadang-kadang masih bercampur dengan bahasa sansekerta maupun bahasa Jawa Kuno; 2. Narasi dalam lakon/pertunjukan wayang kulit purwa berisi pemaparan, pelukisan dan penggambaran mengenai situasi dan kondisi adegan yang ditampilkan, baik tokohnya, situasi hatinnya, situasi Iingkungannya dan sebaga1nya; 3. Penggunaan dan penyajian narasi dalam lakon/pertunjukan wayang kulit purwa biasanya diucapkan berirama (prosa berirama), sangat memperhatikan nuansa nada dan irama gamelan (tinggi rendah nada) dan setelah diadakan jejer pada adugan tertentu; 4. Fungsi danperanan narasi dalam lakon/pertunjukan wayang kulit purwa ialah untuk melukiskan situasi dan kondisi adegan yang telah, sedang dan/atau akan terjadi. Sedangkan fungsi secara keseluruhan
struktur dalam Iakon ialah menjalin ketarpautan dan keterpaduan dalam membentuk alur/plot; menjelaskan/menerangkan kepada masyarakat penikmat mengenai suatu _peristiwa; 5. Kedudukan narasi dalam lakon/pertunjukan wayang kulit purwa sangat penting dan menentukan, mengingat fungsinya yang demikian besar itu. Betapahambarnya suatu partunjukan wayang apabila tidak ditopang dengan
narasi. Narasi turut mempnrmudah menerangkan cerita didalamnya."
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya , 1995
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Darmoko
"ABSTRAK
Aspek suluk dalam lakon/pertunjukan wayang purwa belum mendapatkan perhatian khusus oleh para sarjana yang mendalami dan menekuni dalam hal wayang. Dalam penelitian ini permasalahn utama yang perlu diangkat adalah: 1. bagaimana bentuk suluk dalam 1akon/pertunjukan wayang purwa; 2. bagaimana penggunaan su1uk da1am lakon/petunjukan wayang purwa; 3. bagaimana kedudu­kan suluk dalam lakon/pertunjukan wayang purwa; dan 4. bagaimana fungsi suluk dalam lakon/pertunjukan wayang purwa.
Sedangkan tujuan penelitian ini ialah mengupas atau mengana­lisis suluk dalam lakon/pertunjukan wayang purwa agar didapatkan makna yang utuh dan menyeluruh (wholeness).
Metode penelitian yang dipergunakan yaitu metode dan teknik analisis struktural, yaitu metode yang bertujuan membongkar dan memaparkan secermat, seteliti, semenditel, dan sedalam mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua anasir dan aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna yang menyeluruh. Analisis struktural bukanlah penjumlahan anasir-anasir itu, misalnya tidak cukup didaftarkan semua kasus aliterasi, asonansi, rima akhir, rima dalam, inversi sintaktik, metafor dan metonimi dengan segala macam peristilahan yang muluk-muluk dengan apa saja yang secara formal dapat diperhatikan pada sebuah sajak atau dalam hal romanpun tidak cukup semacam enumerasi gejala-gejala yang berhubungan dengan aspek waktu, aspek ruang, perwatakan, point of view, sorot balik dan apa saja. (Teew, 1984: 135-136)
Dalam menganalisis aspek suluk dalam lakon/pertunjukan wayang purwa ini diperlukan pendekatan intrinsik, yaitu pendekatan yang bertitik tolak dari dalam, batiniah, sifat dasar atau bagian dasar karya sastra itu sendiri. Menurut Panuti Sudjiman intrinsik berarti: 1. dari dalam, batiniah; 2. merupakan sifat atau bagian dasar. (1984:35). Bahan yang diangkat dalam penelitian ini ialah Diktat Sulukan Ringgit Purwa Cengkok Mangkunagaran, yang dihimpun oleh Ki Ng. Suyatno WS, seorang pamong PDMN di Surakarta tahun 1986:
Kesimpulan akhir yang didapatkan adalah bahwa:
1. Bentuk suluk dalam lakon/pertunjukan wayang purwa merupakan susunan bahasa Jawa Kuno dan Jawa Klasik (Baru) berbentuk tembang gedhe maupun macapat.
2. Penggunaan suluk dalam lakon/pertunjukan wayang purwa ialah setelah suatu iringan gending pada adegan tertentu suwuk (berhenti). Suluk tersebut berupa pathetan, ada-ada, dan sendhon.
3. Kedudukan suluk dalam lakon/pertunjukan wayang purwa amatlah penting, karena suatu adegan dalam pakeliran wayang purwa sangat memerlukan suasana batin yang sesuai. Dalam keseluruhan struktur dalam lakon/pertunjukan wayang purwa, suluk dipandang sebagai unsur yang turut mendukung terjalinnya kaitan suatu peristiwa satu dengan yang lainnya (berikutnya).
4. Fungsi suluk dalam lakon/pertunjukan wayang purwa adalah untuk melukiskan dan menggambarkan atau memberikan suasana tertentu pada suatu adegan tertentu pula. Suasana tersebut adalagh agung, khidmat, marah (sereng), "tergesa-gesa", semangat, sedih, dan haru.
Demikian abstrak penelitian saya dengan judul "Aspek Suluk dalam Lakon/Pertunjukan Wayang Purwa". "
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, 1996
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Rustiyanti
"ABSTRAK
Pertunjukan tari adakalanya dibawakan oleh penari tunggal atau penari kelompok. Tari tunggal dilakukan oleh seorang penari memerankan seorang karakter atau tokoh. Bentuk tariannya berdiri sendiri dan tidak ada kaitannya dengan penampilan tari sebelumnya. Pertunjukan penari tunggal dituntut untuk tampil matang dan terampil, kemampuan virtuositas karena fokus perhatian yang terpusat pada satu orang saja, tentu saja berbeda dengan penari kelompok yang dituntut kerampakkan baik dalam garak (bentuk gerak) maupun garik (rasa gerak). Sifat tari tunggal menjadikan seseorang sebagai subjek sekaligus objek tarian yang dibawakannya. Adapun tari kelompok merupakan bentuk karya tari yang memerlukan kerja sama antarpe- nari, karena diperagakan lebih dari satu penari. Gerak penari satu dan penari lain saling berkaitan dan tidak dapat berdiri sendiri. Keseragaman untuk mencapai keindahan bentuk tari kelompok bukan hal yang mudah. Adapun hasil penelitian ini, dalam penyajian tari kelompok tando tabalah (identitas pribadi) harus lebur ditinggalkan dan ditanggalkan egoisme masing-masing pribadi penari."
Denpasar: Pusat Penerbitan LP2MPP Institut Seni Indonesia Denpasar, 2017
300 MUDRA 32:2 (2017)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Amir Rochkyatmo
"ABSTRAK
Wayang Klithik atau masyarakat Jawa Timur menyebutnya Wayang Krucil adalah salah satu jenis wayang yang dapat dikatakan tinggal sisa. Hidupnya telah diambang senja dan dalam kondisi merana.
Pengertian sisa atau hidup merana bukan bermakna tinggal satu-satunya atau tersia-sia, akan tetapi diakibatkan oleh berbagai sebab, kemajuan teknologi elektronik di bidang seni rekreasi banyak memberikan banyak pilihan dan ada yang menganggapnya lebih atraktif dan ongkosnya murah. Selain itu jenis wayang yang lain pun, seperti wayang purwa dirasakan lebih populer terhadap minat masyarakat peminat. Dampaknya kehidupan wayang klithik makin terdesak ke pinggir. Peminat jarang, panggilan tanggapan kian berkurang. Kelanjutannya seniman pendukung dan dalang hidup mengawang.
Penelitian ini bermaksud menguak perhatian peminat seni tradisional untuk menggugah minat, membangkitkan semangat dan memacu hasrat untuk meminati kembali kesenian ini. Beberapa grup wayang klithik masih ada meski jumlahnya tidak sampai puluhan, dalang dan panjaknya masih tersedia, wayang dan peralatannya juga masih ada, namun permintaan atau panggilan pentas makin menyusut. Untuk itu perlu ada penelusuran lebih lanjut sebab musabab makin surutnya perhatian.
Metode yang dipergunakan adalah metode pengumpulan data, khususnya data pustaka, dilengkapi dengan data yang dikumpulkan dari lapangan saat berlangsungnya pergelaran.
Hasil penelitian merupakan paparan atas kondisi kesenian bersangkutan yang dapat memberikan masukan guna ;
1. Mengenal kembali jenis kesenian tersebut.
2. Penanganan pembinaan dari instansi terkait secara berkelanjutan
Dengan masukan tersebut mudah-mudahan dapat diatur upaya pembinaan demi kelestarian kehidupan wayang klithik.
"
Fakultas Ilmu Pengatahuan Budaya Universitas Indonesia, 1994
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Balok Safarudin
"ABSTRAK
Wayang topeng Malangan mempunyai banyak lakon yang mengandung kearifan lokal. Salah satu kearifan lokal tersebut terdapat dalam lakon Adege Kadiri yang dipertunjukkan dalam acara Gebyak Topeng Senin Legian. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana bentuk kearifan lokal dalam lakon Adege Kadiri. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap kearifan lokal yang ada di dalam lakon Adege Kadiri. Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analitis. Teori kearifan lokal digunakan untuk membedah kearifan lokal yang ada di dalam lakon Adege Kadiri. Simpulan penelitian ini mengungkapkan bahwa lakon Adege Kadiri mengandung kearifan lokal yang dapat dijadikan tuntunan atau ajaran."
Jayapura: Kibas Cenderawasih, 2018
400 JIKK 15:1 (2018)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>