Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 144355 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Syafri Hadi
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T37759
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sitanggang, Chandra Anggiat L.
"Pelanggaran HAM Berat Timor Timur yang terjadi dalam kurun waktu Januari-September 1999 pada saat pra dan pasca jajak pendapat menurut KPP HAM TIMTIM, berdasarkan fakta dokumen, keterangan dan kesaksian, dari berbagai pihak, pelanggaran tersebut tak hanya merupakan tindakan yang dapat digolongkan sebagai pelanggaran berat Hak Asasi Manusia atau gross violation of human rights yang menjadi tanggung jawab negara (states responsibilities), namun dapat dipastikan, seluruh pelanggaran berat HAM tersebut dapat digolongkan sebagai universal jurisdiction. Yaitu mencakup pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran dan pemindahan paksa serta lain-lain tindakan tidak manusiawi, terhadap penduduk sipil, ini adalah pelanggaran berat atas hak hidup (the rights to life), hak atas intregrasi jasmani (the rights to personal integrity), hak akan kebebasan (the rights to liberty), hak akan kebebasan bergerak dan bermukim (the rights of movement and to residence), serta hak milik (the rights to property).
Pemerintah atas desakan internasional akhirnya mengadakan persidangan terhadap pelaku melalui Pengadilan HAM Ad Hoc TIMTIM di Jakarta. Seperti yang sudah diperkirakan bahwa akan terjadi kekecewaan dalam vonis pengadilan tersebut. Hal ini sudah terlihat dari kerancuan definisi-definisi mengenai pelaku pelanggar HAM, tindakan pidana dan tanggung jawab komando dalam pasal-pasal di UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM serta ketidakmampuan para penegak hukum dalam membuktikan dakwaan yang dimaksudkan. Dunia Internasional kecewa terhadap vonis yang telah dikeluarkan dan melalui Komisi Ahli PBB direkomendasikan agar dilakukan pengadilan ulang atau dilakukan pengadilan tribunal. Untuk itu Indonesia harus menyikapi secara serius hal-hal tersebut dan sesegera mungkin mengubah cara pandang pespektif HAM sesuai dengan Hukum Internasional dan melaksanakan perbaikan-perbaikan terhadap perundangundangannya sehingga tidak terulang kembali pelanggaran HAM yang serupa. Dan hendaknya di kawasan Asia Tenggara di bentuk Pengadilan HAM agar HAM dapat ditegakkan, karena pada hakekatnya Penegakan HAM adalah tugas negara dan jika negara gagal melakukannya maka negara yang harus diadili sebagai bentuk tanggung jawab di dunia internasional melalui pengadilan yang tidak dibentuk oleh negara yang bersangkutan tapi merupakan pengadilan yang sesuai dengan standar internasional."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T16509
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Y. Riyana Anggraeni
"Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Salah satu hak asasi tersebut adalah "hak untuk tidak dituntut berdasarkan hukum yang berlaku surut" atau lebih dikenal dengan "asas legalitas". Akan tetapi, bila menyangkut pelaku pelanggaran HAM yang berat yang terjadi di masa lalu, sangatlah tidak adil bila para pelakunya dapat terbebas dari kejahatan yang dilakukannya dengan berlindung dibalik asas legalitas. Pelanggaran hak asasi manusia yang berat merupakan "extra ordinary crimes" dan berdampak secara luas, baik di tingkat nasional maupun internasional.
Bahwa pelanggaran HAM berat telah diakui sebagai prinsip umum hukum internasional sebagai salah satu kejahatan yang paling keji. Sejarah telah mencatat bahwa para pelaku kejahatan perang pada Perang Dunia ke II, telah dituntut melalui Mahkamah Internasional untuk mengadili para pelaku kejahatan HAM berat masa lalu. Mahkamah ini merupakan tonggak sejarah dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu yang menyimpangi asas legalitas, yaitu "asas retroaktif". Dengan asas retroaktif, hukum dapat diberlakukan surut. Penyimpangan ini bukanlah merupakan pelanggaran HAM, akan tetapi penyimpangan ini dilakukan karena justru untuk melindungi hak asasi manusia juga, yaitu hak asasi para korban, yang dilaksanakan dengan adanya berbagai persyaratan dan adanya suatu keadaan yang darurat sifatnya. Ketentuan mengenai asas legalitas dan asas retroaktif dapat ditemukan dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T16623
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Satya Arinanto
Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia, 2008
323.4 SAT r
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Tri Suciati
"ABSTRAK
Keberadaan Pengadilan HAM ad hoc di Indonesia menjadi sebuah harapan baru bagi para korban dan keluarganya yang tengah menanti keadilan atas kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu. Akan tetapi, sejauh ini pengadilan ini dinilai kurang memberikan kepuasan atau bahkan gagal dalam memenuhi tututan keadilan. Di sisi lain, munculnya hybrid courts dalam tatanan hukum pidana internasional diharapkan mampu mengakhiri praktek impunitas dan menjadi alternatif baru ketika negara dianggap tidak mau atau tidak mampu unwilling or unable menyelesaikan kasus-kasus kejahatan internasional yang terjadi di wilayahnya. Skripsi ini membahas mengenai komparasi mekanisme pendirian pengadilan HAM ad hoc di Indonesia dan hybrid courts didirikan, yang mana sama-sama merupakan pengadilan ad hoc untuk kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu. Penelitian yang dilakukan dalam skripsi ini menggunakan pendekatan yuridis normatif, dengan sumber data sekunder berupa studi kepustakaan melalui buku-buku dan jurnal ilmiah, serta menggunakan sumber bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan dan instrumen-instrumen hukum internasional. Hasil analisis menunjukkan bahwa dalam proses pendirian Pengadilan HAM ad hoc di Indonesia, terdapat unsur campur tangan DPR sebagai lembaga politik yang banyak memunculkan perdebatan tentang kewenangan DPR yang seolah-olah turut menentukan ada atau tidaknya pelanggaran HAM dalam suatu kasus. Di sisi lain, hybrid courts memiliki model-model tertentu dalam pendiriannya yang tak lepas dari campur tangan organisasi internasional. Akan tetapi, bagaimanapun model maupun mekanisme dalam pembentukan suatu pengadilan untuk kasus-kasus pelanggaran HAM, diperlukanlah kehendak dan kerjasama dari negara yang bersangkutan. Bagi Indonesia pun, segala kekurangan dalam mekanisme pendirian Pengadilan HAM ad hoc tersebut bukanlah suatu penghalang dan seharusnya menjadi dorongan kuat bagi pembuat kebijakan untuk mengembangkan mekanisme dan memperbaiki loopholes dalam instrumen hukum yang telah ada, sehingga Indonesia mampu menjadi negara berdaulat yang dapat menyelesaikan permasalahan-permasalahan penegakan HAM dalam negerinya.

ABSTRACT
The existence of ad hoc human rights court in Indonesia granted a new expectation for the victims and the families who are still hoping for justice upon gross violation of human rights happened in the past. So far, the court is considered to give less satisfactory or even it is considered failed in fulfilling the demands of justice. On the other hand, hybrid courts emerged in the order of transitional justice with a high expectation to eradicate impunity and such a new alternative when a state is considered to be unwilling or unable to bring the perpetrator of international crimes to justice. This thesis analyzes the comparison on the establishment of an ad hoc human rights court in Indonesia and hybrid courts. The research conducted in this thesis is using a juridical normative approach with secondary data in the form of literature study books and journals , and primary legal materials in the form national regulations and international legal instruments. The results of the analysis showed that in the process of establishing an ad hoc Human Rights Court in Indonesia, there is an element of interference from the House of Representatives DPR as a political institution that raises the debate about the authority of the House of Representatives DPR which seems to contribute in determining whether or not human rights violations committed in a case. On the other hand, hybrid courts have certain models in its establishment that cannot be separated from the interference of international organizations. However, regardless of the model or mechanism in the establishment of a court for cases of human rights violations, the will and cooperation of the concerned state are extremely required. For Indonesia, any shortcomings in the mechanism of the establishment of the ad hoc Human Rights Court shall not be a barrier and must be a strong impetus for decisions makers to develop mechanisms and fix the loopholes in the existing legal instruments, thus Indonesia can become a sovereign state that can solve its own enforcement human rights issues."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Asyifa Mastura
"

Penuntasan pelanggaran HAM berat masa lalu bagi masyarakat Aceh begitu penting untuk segera dirumuskan dan dilaksanakan. Kepentingan tersebut tidak hanya untuk menjawab hak korban yang mengalami pelanggaran HAM berat ataupun mengadili pelakunya, namun penting untuk menata kembali masa depan masyarakat Aceh. Penelitian ini disusun sebagai penelitian normatif, dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan, konseptual, sejarah dan perbandingan.  Dengan melihat perspektif sejarah, pengetahuan atau teori yang sudah ada mengenai pelaksanaan kebijakan Penuntasan kasus pelanggaran HAM berat di Provinsi Aceh, hingga saat ini tidak ada kemajuan apapun dalam penaganan kasus pelanggaran HAM di Aceh. Dianulirnya Undang-Undang KKR Tahun 2004 dan penundaan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, membuat Qanun No. 17 Tahun 2013 tentang KKR Aceh tidak jelas keberadaanya. Keberadaan KKR Aceh, hendaknya menjadi solusi dari kekerasan yang panjang sekaligus jalan hukum demi menegakkan keadilan, dimana setiap permasalahan yang dihadapi harus dicarikan solusi bijak, bukan malah menunda-nunda untuk diselesaikan. Presiden sebagai Kepala Negara seharusnya memberikan akan kejelasan terhadap batas waktu Penuntasan pelanggaran Hak Asasi Manusia pada masa lalu agar terciptanya kepastian hukum bagi para korban pelanggaran HAM berat itu.

 

 


The resolution of past gross human rights violations for the Acehnese people is so important to be formulated and implemented immediately. The importance is not only to answer the rights of victims who experience gross human rights violations or try the perpetrators, but it is important to reorganize the future of the Acehnese people. It is a normative study, using a legal, conceptual, historical, and comparison approach. By looking at the existing historical, knowledge or theoretical perspectives on the implementation of the policy of resolving cases of the gross human rights violations in Aceh Province, until now there has been no progress in handling cases of human rights violations in Aceh. The annulment of the 2004 The Truth and Reconciliation Commission (KKR) Law and the postponement of the establishment of the Truth and Reconciliation Commission make the existence of Qanun (Islamic Bylaw) No. 17 of 2013 concerning KKR Aceh is not clear. The existence of the Aceh KKR should be a solution to long violence as well as a legal way to uphold justice, where every problem faced must be found a wise solution rather than delaying it to be resolved. The President as Head of State should provide clarity on the deadline for completing violations of human rights in the past in order to create legal certainty for victims of gross violations.

"
2019
T52676
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Saragih, Erbindo
Depok: Universitas Indonesia, 1984
S21776
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sinaga, Witra Evelin Maduma
"
KKR dengan fokusnya pada masa lalu, dapat memberi kontribusi pada
berbagai mekanisme yang sedang bekerja memperbaiki kinerja perlindungan
HAM di Indonesia pada saat ini, dengan memberi perspektif sejarah, pencerahan
tentang pola, dan rekomendasi-rekomendasi untuk kasus-kasus yang patut
ditangani, maupun rekomendasi untuk reformasi institusi, mengungkap kebenaran
atas praktik penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran hak asasi manusia di
masa lalu. Karena itu, sebuah KKR akan sangat membantu Indonesia, dimana
terdapat beberapa kasus pelanggaran HAM berat yang belum terselesaikan hanya
melalui Pengadilan HAM, karena mekanisme KKR yang dapat menyelidiki semua
kasus-kasus atau sejumlah besar kasus yang ada secara komprehensif dan tidak
dibatasi kepada penanganan sejumlah kecil kasus saja. Sebuah komisi bisa
mencapai tujuannya yaitu dengan mematahkan siklus pembalasan dendam dan
kebencian antara pihak-pihak yang dahulunya bermusuhan, dan berusaha
menumbuhkan rekonsiliasi antara pihak-pihak bertentangan yang merasa bahwa
mereka masih memiliki kebencian atau kecemasan, atau juga sejarah pembalasan
dendam, sehingga rekonsiliasi nasional yang diharapkan dapat terwujud. Jika
masa lalu tidak diselesaikan, maka bangsa ini juga tak akan pernah belajar, dari
kesalahan yang pernah diperbuatnya saat lampau, untuk kemudian berupaya tidak
mengulanginya kembali di masa yang akan datang.

ABSTRACT
Nowadays, TRC by its focus on the past, contribute to various mechanisms those
improve the performance of Human Rights protection in Indonesia. The
contribution did by giving a historical perspective, enlightening the pattern, and
recommending the cases those should be handled. Moreover, they are also giving
recommendations for institutional reforms, revealing the truth of the abuses of
power and violation of Human Rights in the past. Therefore, TRC help us to
resolve cases those are not handled by Human Rights Tribunal, because TRC’s
mechanisms investigate all the cases including large numbers of existing cases in
a comprehensive way and not to be limited only by handling small cases. A
commission can reach their goals by breaking the cycle of revenge and hatred
between the previously warring parties, and trying to recon ciliate between the
conflicting parties who still have a feeling of resentments and fears, or even
historical revenge. So the National reconciliation those have been expected would
come to be realized. If we didn’t solve the cases in the past, then we would never
been learned from mistakes those ever done and we will not ever reiterate it again
in the future."
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T35851
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>