Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 164166 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Mohammad Anggidigdo
"Kojaksaan adalah lembaga pemerintah pelaksanan kekuasaan negara di bidang penuntutan, sedangkan kewenangan penyidikan dimiliki oleh sub slotem kepolisian. Hal inilah yang diamanatkankan dan dicita-citakan oleh Undang-Undang Momor Tahun 1981 (KUHAP). Dalam Praktek sehari-hari kejaksaan tidak hanya melaksanakan kekuasaan negara dibidang penuntutan, tetapi juga melaksanakan kekuasaan negara dibidang penyidikan tindak pidana tertentu, Ikutnya kejaksaan dalam bidang penyidikan tentunya mempunyal alasan yang kuat sehingga lembaga ini masih diberi kewenangan melakukan penyidikan hingga saat ini.
Fenelitian bertujuan untuk mengetahui apa saja problematika yang dialami oleh kejakeaan dalam hal penyidikan, mengetahui dasar mempertahankan kewenangan penyidikan kejaksaan tetap dan mengetahui pengaruh masuknya sub sisten kejaksaan pada tahap penyidikan dalam hubungannya dengan keterpaduan sistem peradilan pidana. Metode pendekatan yang digunakan adalah yuridis normatif yang didasarkan pada sumber data sekunder berupa peraturan peraturan hukum, keputusan pengadilan, teori bukun dan pendapat para sarjana hukum terkenal. Data yang diperoleh dari kepustakaan dan data yang diperoleh dari lapangan spabila telah terkumpul kemudian dilakukan analisis dengan menggunakan metode normatif kualitatif. Rormatif karena penelitian ini bertitik tolak dari peraturan perundang-undangan yang ada sebagai norma hukum positif, sedangkan diperoleh Kemudian kualitatif dimaksudkan data yang disusun secara sistematis untuk selanjutnya dianalisis secara kualitatif guna mencari kejolasan masalah yang akan dibahas.
Berdasarkan analisis kualitatif diketahui bahwa masuknya kejaksaan dalam bidang penyidikan sebenarnya telah menyalahi sistem peradilan pidana seperti yang diamanatkan oleh KUKAP (UU No. 8/1981), tetapi hal itu dimaklumi karena penyidikan tindak pindana tertentu yang dilakukan penyidik kepolisian masih kurang sedangkan intensitas yang dilakukan penyidik kejaksaan lebih banyak dan cepat. Berlakunya DU Korupsi yang baru (UU 31/1999 jo 20/2001), adanya Putusan Pengadilan yang menolak kewenangan penyidikan oleh kojaksaan dan terbentuknya Komisi Pemberantas Korupsi (UU No. 30/2002) tidak menghilangkan kewenangan kejaksaan untuk tetap bisa melakukan penyidikan tindak pidana tertentu. karena kejaksaan masih mempunyai dasar hukum yang tersebar dalan berbagai undang-undang tertulis, dukungan rakyat melalui OPR/KPR serta prosentase putusan pengadilan yang menerima penyidikan kejaksaan lebih banyak daripada yang menolak. Untuk lebih meningkatkan suasana yang kondusif dalam bidang penyidikan perlu diciptakan kerjasana yang harmonia dengan lembaga penyidik tindak pidana tertento
baik penyidik kepolisian maupun penyidik KPTPK. Guna menghapus keraguan apakah lembaga kejaksaan Disa melakukan penyidikan tindak pidana tertentu atac tidak, disarankan agar kewenangan penyidikan tersebut dipertegas dalam KUMAP, RUU Kejaksaan dan BUU Sisten Peradilan Pidana yang akan datang."
Universitas Indonesia, 2004
T36180
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sanusi Husein
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1987
T36429
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jimly Asshiddiqie, 1956-
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1988
T36423
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rantawan Djanim
Jakarta: Universitas Indonesia, 1997
T36424
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Joyo Supeno
"Secara universal pada dekade ini penghargaan dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia semakin tinggi, namun pada ruang lingkup yang kecil (sistem peradilan pidana) masih terdapat pihak yang belum diperhatikan kedudukan dan peranannya, yaitu korban tindak pidana kejahatan. Korban tindak pidana kejahatan konvensional
pada hakekatnya mempunyai hak dan kewajiban dalam sistem peradilan pidana, sebagaimana yang dirumuskan secara
konstitusional dalam Pasal 27 Undang Undang Dasar 1945,
secara idiologis tercermin dalam nilai-nilai dari sila-sila Pancasila dan secara moral terumuskan dalam Declaration of Human Rights, Declaration o f Basic Principles o f J u s t i c e for Yictims o f Crime and Abuse o f Power dan I n t e r n a t i o n a l Covenant on Civil and Political Rights. Namun secara yuridis-formal kedudukan dan peranan korban tindak pidana kejahatan masih belum diperhatikan secara optimal, bahkan para ilmuwan Hukum Pidana dan Kriminologi secara
sinis mengatakan, bahwa korban tindak pidana kejahatan merupakan pihak yang terlupakan. Perundang-undangan pidana Indonesia (KUHP dan KUHAP) lebih banyak mengatur kepentingan hukum tersangka/terdakwa dan fungsionalisasi tanggungjawab aparat peradilan pidana. Kedudukan dan peranan korban tindak pidana kejahatan dalam sistem peradilan pidana hanya sebagai pelapor/pengadu dan saksi. Kepentingan hukumnya sebagai pihak yang dirugikan (pencari keadilan) hanya terumuskan dalam Pasal 14 c KUHP dan Pasal 98 ayat (1) KUHAP, itu pun tidak pernah terealisasi. Ada suatu kondisioning yang berpengaruh terhadap kondisi korban tindak pidana kejahatan, yaitu pertama, perundang-undangan yang belum jelas dan tegas, meskipun ada indikasi diperhatikannya korban tindak pidana kejahatan dalam Konsep Rancangan KUHP 1987/1988, namun masih perlu dilakukan reorientasi, reevaluasi dan reformasi
terhadap hukum formil (KUHAP). Kedua, belum optimalnya realisasi tanggung jawab hukum dan moral aparat peradilan pidana terhadap upaya pemulihan penderitaan korban tindak pidana kejahatan. Ketiga, masih rendahnya partisipasi masyarakat, baik secara individu maupun secara kolektif. Akibatnya dengan kondisi tersebut diperlukan pembaharuan hukum melalui kebijakan hukum pidana yang berorientasi pada nilai-nilai kemanusiaan dengan tidak meninggalkan
nilai-nilai hukum dan keadilan."
Jakarta: Universitas Indonesia, 1993
T36430
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Nyoman Darmawan
"Pencucian uang merupakan suatu kejahatan yang dapat
merugikan kepentingan masyarakat, dan dapat mengakibatkan ketidak stabilan perekonomian suatu negara dan secara ekonomis tidak bermanfaat bagi negara. Dalam proses pencucian uang selalu ada keterkaitannya dengan penyedia jasa keuangan terutama perbankan. Keterlibatan perbankan dalam proses pencucian uang disebabkan kemudahan proses untuk mengelola hasil kejahatan dalam berbagai kegiatan usaha bank, sehingga Bank Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/10/PBI/2001,yang telah dirubah dengan Peraturan nomor 3/23/PBI/2001, serta perubahan kedua dengan nomo 5/21/PBI/2003, tentang penerapan Prinsip Mengenal Nasabah. Perlawanan terhadap kegiatan pencucian uang, setelah ditetapkan berbagai undang-undang anti pencucian uang dibeberapa negara. Di Indonesia untuk mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang telah diberlakukan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 yang telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003, Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Instrumen lainnya yang merupakan rezim anti pencucian uang di Indonesia adalah dengan dibentuknya lembaga Pusat Pelaporan Dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), pembentukan lembaga tersebut sebagai amanat dari Pasal 18, Undang- Undang Nomor 15 Tahun 2002, yang telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003, Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. PPATK sebagai mana dimaksud diatas merupakan lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya, bertanggung jawab kepada Presiden. Dan oleh karena itu, dalam rangka melaksanakan kewenangan tersebut telah dikeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2003, Tentang Tata Cara Pelaksanaan Kewenangan Pusat Pelaporan Dan Analisis Transaksi Keuangan. Pusat Pelaporan Dan Analisis Transaksi Keuangan mempunyai tugas; mengumpulkan, menyimpan, menganalisa, mengevaluasi informasi yang diperoleh sesuai dengan undang-undang nomor 15 Tahun 2002 sebagai mana telah dirubah dengan undang-undang nomor 25 Tahun 2003, Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Dalam melaksanakan tugas tersebut PPATK mempunyai wewenang antara lain; meminta dan menerima laporan dari penyedia jasa keuangan. Pelaksanaan tugas dan wewenangnya tersebut diatas tidaklah mudah, banyak kendala yang dihadapi oleh PPATK dalam pelaksanaannya dilapangan baik secara Internal maupun secara external dari lembaga tersebut. Untuk mendapatkan informasi dan data yang akurat penulisan tesis ini menggunakan penelitian hukum normatif dengan pengumpulan data sekunder dilakukan sebagai pedoman dan landasan teori melalui bahan kepustakaan. Dan pengumpulan data Primer dilakukan dengan penelitian lapangan pada Lembaga PPATK dan Bank Umum serta Bank Perkreditan Rakyat."
Depok: Universitas Indonesia, 2004
T36295
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tri Susanti
"Sistem pidana denda pada hakikatnya mencakup keseluruhan perundang-undangan yang mengatur bagaimana pidana denda itu ditegakkan atau dioperasionalkan atau difungsikan secara konkret sehingga seseorang dijatuhi pidana (denda). Sistem pidana denda erat kaitannya dengan pemberian kewenangan atau kebebasan kepada jaksa dan hakim untuk mengoperasionalkan pidana denda. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kendala yang ditemui dalam penerapan pidana denda terhadap tindak pidana yang melanggar KUHP dan Undang-Undang Pidana Khusus yang ancaman pidana dendanya dirumuskan secara alternatif maupun gabungan (alternatifkumulatif), kemudian mengkaitkannya dengan Rancangan KUHP. Pendekatan yang digunakan menitikberatkan pada penelitian yuridis normatif yang ditunjang dengan penelitian lapangan. Sumber data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Pembahasan dalam tulisan ini bertitik tolak pada penerapan pidana denda di dalam KUHP dan Undang - Undang Pidana Khusus guna mengetahui kendala dalam upaya penerapan pidana denda saat ini kemudian dikaitkan dengan Rancangan KUHP untuk menemukan pemecahan terhadap kendala tersebut sehingga sistem pidana denda di dalam KUHP mendatang benar-benar dapat diterapkan secara optimal.
Hasil penelitian menunjukkan kebijakan pidana denda di dalam KUHP sudah ketinggalan jaman serta tidak memberi kebebasan kepada hakim untuk menetapkan batas waktu pembayaran denda dan cara pelaksanaan pidana denda. Sedangkan terhadap ancaman pidana denda pada Undang-Undang di luar KUHP meskipun jumlah ancaman pidana denda relatif tinggi tetapi jaksa maupun hakim cenderung untuk menuntut maupun menjatuhkan putusan berupa pidana penjara dikarenakan minimnya pengaturan mengenai pelaksanaan pidana denda. Dengan demikian dalam rangka optimalisasi penerapan pidana denda yang akan datang diperlukan pengaturan teknis pelaksanaan pidana denda yang jelas dan tegas. Untuk itu, dalam rangka reorientasi dan reformulasi sistem pidana denda di dalam KUHP yang akan datang perlu adanya kriteria/ukuran/standar sebagai dasar pengambilan kebijakan yang berupa tujuan pemidanaan dan pedoman pemidanaan. Adanya tujuan dan pedoman pemidanaan diharapkan mampu mengefektifkan pidana denda dalam penyelesaian tindak pidana.

The system of criminal fines in fact covers the entirety of the legislation that governs how criminal fines were upheld or operationalized or functioned concretely so someone sentenced to criminal (fines). The system of criminal fines are intimately connected with the awarding authority or freedom to prosecutors and judges to operationalize the criminal fines. This research aims to find out the obstacles encountered in the application of criminal penalties against criminal acts in violation of the criminal code and the Special Criminal legislation the criminal threat formulated late fee or alternately merge (alternative-cumulative), then correlate it with the draft criminal code. The approach used focuses on research that is supported with the juridical normative research field. Data sources used are primary data and secondary data. The discussion in this paper is the starting point on the application of criminal penalties in the criminal code and the Special Criminal legislation in order to know the constraints in a bid application of criminal fines currently then associated with the draft of the criminal code in order to find solutions to these barriers so that the system of criminal fines in criminal code this coming actually could be implemented optimally.
The results showed the criminal policy on fines in the criminal code are outdated and do not give freedom to the judge to set a deadline for payment of the fine and the way the implementation of criminal fines. While the threat of fines in criminal law outside the criminal code even though the number of criminal threats of fines is relatively high but the Prosecutor and judges tend to demand as well as dropping the verdict of imprisonment due to the lack of arrangements on the implementation of criminal fines. Thus in order to optimize the application of criminal fines coming necessary technical arrangements implementing criminal fines are clear and unequivocal. To that end, in order to reorient and criminal fines in reformulating my system in the criminal code that would come to existence of criteria/size/standard as the basis for policy making purposes in the form of punishment and punishment guidelines. The objectives and guidelines of punishment expected to streamline criminal fines in solving the crime.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T30698
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
R. Soenarto Soerodibroto
Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001,
R 345.05 Soe k
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
Defid Tri Rizky
"Sistem pembalikan beban pembuktian sebagaimana yang diatur dalam undang-undang tindak pidana korupsi merupakan suatu penyimpangan tentang sistem pembebanan pembuktian sebagaimana yang telah diatur dalam KUHAP dan sistem pembalikan beban pembuktian ini belum dapat dilaksanakan secara optimal oleh penegak hukum.
Dalam penulisan tesis ini terdapat tiga permasalahan yang dikaji yaitu : bagaimana pengaturan tentang sistem pembalikan beban pembuktian tindak pidana korupsi menurut ketentuan yang berlaku di Indonesia dan apakah yang menjadi hambatan dan kendala dalam penerapan sistem pembalikan beban pembuktian pada tindak pidana korupsi serta bagaimana seharusnya pengaturan sistem pembalikan beban pembuktian dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi agar dapat diterapkan secara optimal.
Penelitian ini menggunakan metodologi penelitian yuridis normatif dan dalam pengolahan dan analisis data penelitian ini menggunakan metode yang bersifat kualitatif deskriptif dengan menguraikan persoalan dan fakta-fakta secara tertulis dari bahan kepustakaan dan akan dianalisa yang pada akhirnya akan ditarik sebuah kesimpulan dan didukung oleh penelitian lapangan sebagai penunjang.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem pembalikan beban pembuktian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 12 B ayat (1) huruf a, Pasal 37 A dan Pasal 38 B Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi belum pernah diterapkan dalam penanganan tindak pidana korupsi dikarenakan terdapatnya kesalahan rumusan norma pembalikan beban pembuktian sebagaimana yang termuat dalam Pasal 12 B sehingga rumusan tersebut meniadakan norma pembalikan beban pembuktian. Kemudian masih terdapatnya perbedaan persepsi antara penegak hukum terkait dengan konsep pembalikan beban pembuktian dan makna terhadap harta benda terdakwa yang belum didakwakan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 38 B. Tidak adanya aturan yang jelas tentang proses beracara dalam penerapan sistem pembalikan beban pembuktian membuat penegak hukum raguragu untuk menerapkan sistem ini. Oleh karena itu disarankan agar pembentuk undang-undang tindak pidana korupsi segera merevisi norma pembalikan beban pembuktian sebagaimana yang termuat UU No. 20 tahun 2001 serta mengatur secara jelas mengenai petunjuk teknis/operasional dalam penerapan sistem pembalikan beban pembuktian tersebut.

The reversal of the burden of proof system as stipulated in Law No. 31 of 1999 Jo Act No. 20 of 2001 on corruption is a deviation of the loading system of proof as set out in the Code of Criminal Procedure (KUHAP) and the burden of proof reversal system has yet to be implemented optimally by law enforcement.
In writing this thesis there are three issues that were examined are: how to setup a reversal of the burden of proof on the system of corruption according to the provisions in force in Indonesia and what are the barriers and obstacles in the application of the reversal of the burden of proof in corruption cases as well as How should the reversal of burden of proof system arrangement within the Criminal law can be applied to Corruption optimally.
This research uses the juridical normative and research methodologies in the processing and analysis of data using a method that is both qualitative descriptive with outlines the issues and facts, in writing, from the material library and will be analyzed that will ultimately be drawn a conclusion with supported by research field as an ancillary.
The results showed that the reversal of the burden of proof system as set forth in of Article 12 B paragraph (1) letter a, Article 37 A and Article 38B of Law No. 20 of 2001 on amendment of Law No. 31 of 1999 on the Eradication of Corruption has never been applied in the handling of corruption due to the presence of error norm formulation as the reversal of the burden of proof as contained in Article 12 B so that the formulation of the norm eliminate the reversal of the burden of proof. Later still the presence of differences in perception between law enforcement related to the reversal of the burden of proof concept and meaning to the defendant's property that has not been charged as provided in Article 38 B. The absences of clear rules on proceedings in the application of the reversal of the burden of proof create hesitant for law enforcement agencies to implement this system. It is therefore recommended that the legislators of corruption revise the norms of reversal of the burden of proof which contained on Law No. 20 of 2001 and set a clear technical guidelines / operational in the application of the reversal of the burden of proof.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T30695
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>