Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 118098 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jamilus
"Gugatan Class Actions pertama kali hanya dikenal dalam sistem hukum Anglo Saxon sejak abad ke 18, dan kemudian bekembang penerapannya di negaranegara common law lainnya, di Indonesia pemahaman konsep ini masih tergolong baru. Namun disisi lain terdapat keinginan yang sangat besar dari masyarakat untuk menggunakan prosedur ini dalam kasus-kasus publik.
Gugatan Class Actions merupakan salah satu prosedur pengajuan perkara perdata ke pengadilan, dengan jumlah pihak yang banyak dan dirasakan lebih efektif dan efisien jika dibandingkan dengan prosedur lainnya.
Class Actions mulai masuk dalam sistem hukum kita melalui UU No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, dan UU No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi, serta UU No. 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan.
Hasil penelitiannya, menunjukkan bahwa dari beberapa kasus yang diajukan ke Pengadilan semuanya telah memenuhi persyaratan gugatan perwakilan kelompok Namun demikian khusus mengenai mekanisme/prosedur sertifikasi dan Pemberitahuan/notifikasi yang ditetapkan oleh hakim kepada anggota kelas untuk keluar atau masuk anggota kelas melalui mas media atau langsung kepada anggota kelas sebelum keluarnya PERMA No.l/ 2002, ternyata tidak dilakukan, dan ketentuan ini baru dilakukan setelah adanya PERMA No.l/ 2002. Adapun tuntutantuntutan yang diajukan penggugat terhadap tergugat pada umumya tuntutan ganti rugi,baik materiil maupun immaterial, disamping itu juga ada tuntutan pencabutan izin dan tuntutan pemulihan, namun tuntutan tersebut belum dapat direalisasikan, karena semua putusan hakim yang telah berkekuatan hukum yang tetap tidak ada yang dimenangkan oleh para penggugat.
Dalam pelaksanaan pengajuan gugatan Class Actions telah terjadi kesimpangsiuran pemahaman dikalangan penggugat, karena ada beberapa kasus gugatan yang diajukan penggugat ke Pengadilan (seperti masalah HAM dan Hukum Administrasi Negara) di luar sengketa Lingkungan, Konsumen, dan Kehutanan Sedangkan kehadiran PERMA No. 1/2002, menjamin agar peradilan yang lebih sederhana,cepat dan biaya ringan dibandingkan dengan prosedur gugatan kumulasi. Dan PERMA tersebut substansinya masih sumir, dan perlu dilanjutkan sosialisaasi/memberikan pemahaman tentang isu prosedural dalam penerapan Class Actions bagi para Hakim, dan Pengacara serta masyarakat. Dan disarankan kepada pemerintah dan DPR untuk memasukan materi Class Actions ke dalam RUU Acara Perdata."
Depok: Universitas Indonesia, 2003
T37700
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwiana Anugrahwati
Depok: Universitas Indonesia, 2004
T36642
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simalango, Miliatewr
"Dalam hukum positif Indonesia, gugatan class action baru diakui sejak tahun 1997 melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Setelah undang-undang ini, tercatat ada 3 (tiga) Undang- Undang yang secara eksplisit mengakui mengenai gugatan class action yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi, dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Saat ini penerapan penggunaan mekanisme gugatan class action baru diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002. Dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2002 diatur bahwa wakil kelas tidak memerlukan surat kuasa dari anggota kelompok dalam mengajukan gugatan di pengadilan. Ketentuan ini pada umumnya menjadi salah satu peluang bagi tergugat untuk mengajukan keberatan terhadap penggunaan mekanisme gugatan class action, dengan alasan dalam hukum acara perdata yaitu HIR yang kedudukannya setingkat undang-undang ditentukan bahwa untuk bertindak di pengadilan mewakili orang/pihak lain, maka harus ada surat kuasa khusus dari pihak yang diwakilinya. Dalam gugatan class action yang diajukan oleh korban tabrakan kereta api di Brebes tanggal 25 Desember 2001, pengadilan dengan tegas telah mengakui kedudukan para penggugat selaku wakil kelas dan telah mengadili perkara dengan menggunakan mekanisme gugatan class action.

In Indonesia's positive law, class action lawsuits have only been recognized since 1997 through Law Number 23 of 1997 concerning Environmental Management. After this law, there are 3 (three) laws that explicitly recognize class action lawsuits, namely Law No. 8/1999 on Consumer Protection, Law No. 18/1999 on Construction Services, and Law No. Number 41 of 1999 concerning Forestry. Currently, the application of the use of a class action lawsuit mechanism is only regulated in Supreme Court Regulation Number 1 of 2002. In PERMA Number 1 of 2002 it is regulated that class representatives do not require a power of attorney from group members to file a lawsuit in court. This provision is generally an opportunity for the defendant to file an objection to the use of the class action lawsuit mechanism, on the grounds that in civil procedural law, namely HIR whose position is at the level of the law, it is determined that to act in court on behalf of another person/party, a letter must be issued. special power of attorney from the party he represents. In the class action lawsuit filed by the victims of the train crash in Brebes on December 25, 2001, the court has firmly acknowledged the position of the plaintiffs as class representatives and has tried the case using a class action lawsuit mechanism."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2008
T25700
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
"Ada beberapa perundang-undangan yang memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengajukan permohonan gugatan perwakilan antara lain UU no. 23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup, UU no 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen.."
JHB 22 : 3 (2003)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Anita
Depok: Universitas Indonesia, 2004
S23773
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Matondang, Riris C.
"Pengaturan dibidang perundang-undangan yang mengatur Hak Milik Intelektual atau Hak atas Kekayaan Intelektual dalam jangka waktu yang relatif singkat telah banyak perubahannya. Hal ini terjadi terutama setelah ditandatanganinya Persetujuan Putaran Uruguay di Marakesh, Maroko pada tahun 1994. Semenjak itu Indonesia sebagall salah satu penandatangan persetujuan tersebut segera meratifikasinya dalam sebuah undang-undang, yaitu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia). Dengan meratifikasi Paket Persetujuan Uruguay tersebut, maka konsekuensinya Indonesia harus berusaha menegakkan prinsip-prinsip pokok yang dikandung dalam GATT tersebut termasuk didalamnya TRIPS yaitu Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights. Untuk itu Indonesia telah mengakomodasi ketentuan TRIPs dalam perundang-undangan di bidang Hak Kekayaan Intelektual yakni dengan melakukan perubahan pada Undang-Undang Hak Cipta, Merek maupun Hak Paten. Di bidang paten, Pemerintah Indonesia antara lain telah mengakomodasi ketentuan dalam Pasal 31 Persetujuan TRIPs yang merupakan pengecualian terhadap perlindungan paten ke dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten yakni dengan mengatur ketentuan tentang Pelaksanaau Paten oleh Pemerintah dalam Pasal 99 sampai dengan Pasal 103. Ketentuan tersebut antara lain bertujuan untuk memberikan perlindungan kesehatan bagi masyarakat serta akses terhadap obat-obatan. Pemerintah Indonesia telah menerapkan Pelaksanaan Paten oleh Pemerintah tersebut untuk memproduksi obat-obatan Anti Retroviral untuk mengatasi penyakit HIV/AIDS yang telah mengakibatkan banyak penderita meninggal dunia serta meningkatnya dengan pesat jumlah penderita HIV/AIDS di Indonesia."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T16610
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mega Aisyah Septiandara
"ABSTRAK
Gugatan Perwakilan Kelompok adalah salah satu hak gugat untuk menyelesaikan sengketa lingkungan di Indonesia, sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Nomor 32 Tahun 2009. Gugatan Perwakilan Kelompok di Indonesia memiliki mekanisme penentuan anggota kelompok yaitu Pernyataan Keluar, yang nantinya berimbas pada proses pendistribusian ganti rugi setelah gugatan dikabulkan. Berdasarkan hubungan tersebut, Penulis mencoba mengkaji masalah yang ada di Indonesia, baik dalam peraturan maupun pelaksanaannya. Kemudian dilakukan perbandingan dengan negara lain yang telah menerapkan Gugatan Perwakilan Kelompok sejak lama. Penelitian ini bersifat yuridis normatif, melalui wawancara kepada narasumber dan studi dokumen untuk dapat memberikan gambaran terhadap permasalahan yang diteliti.

ABSTRAK
Class Actions is one of the legal standing stipulated in Law of Environmental Protection and Management No. 32 of 2009 to settle environmental disputes. Class Actions in Indonesia has opt out mechanism to determine its members, which in turn affects the process of settlement distribution after the verdict. Based on that connection, the Author tries to analyze the problems in Indonesia, in its regulations as well as the implementation. Then a comparison is made with other countries which has implemented Class Actions for longer period. This research is juridical normative, conducted through interview with a source and document study to depict the problems researched therein."
2017
S69138
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>