Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 98592 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sigit Yudantoro
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2004
T39628
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Yudi Siswantoro
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2002
T39648
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zaherunaja
"Pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan termasuk di dalamnya pulau-pulau kecil merupakan alternatif yang tepat bagi pembangunan nasional selanjutnya, dan dapat menjadi salah satu tumpuan harapan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dimasa mendatang. Agar tidak mengulangi berbagai kekeliruan/kesalahan yang telah/pernah terjadi dalam pemanfaatan ruang di pulau-pulau besar yang kurang mengindahkan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup, maka dalam pemanfaatan sumberdaya alam di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil harus dilakukan secara terpadu dan bijaksana.
Pulau-pulau kecil yang secara fisik memiliki sumberdaya alam daratan (terestrial) sangat terbatas, tetapi sebaliknya memiliki sumberdaya kelautan yang melimpah, merupakan aset yang strategis untuk dikembangkan dengan basis kegiatan ekonomi pada pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa lingkungan (environmental services) kelautan. Dalam perkembangan selanjutnya akibat dari pertambahan jumlah penduduk, perluasan permukiman dan kegiatan industri, pariwisata dan transportasi laut, maka pulau-pulau kecil merupakan potensi yang perlu dikembangkan secara hati-hati. Pendekatan secara terpadu antara potensi darat, pantai dan laut serta aktivitas yang sesuai mutlak diperlukan untuk menghindarkan kerusakan lingkungan akibat mendapat tekanan berat karena eksploitasi sumberdaya alam yang tidak memperhatikan aspek pelestarian lingkungan. Atas dasar itu, maka pendekatan secara ekonami-ekologi dalam pembangunan pulau-pulau kecil yang berkelanjutan mutlak diperlukan.
Oleh karena itu, sangat penting kiranya adanya suatu perencanaan ruang wilayah pesisir dan pulau kecil yang baik dan benar, yaitu suatu perencanaan ruang yang program-programnya dapat diimplementasikan, dapat diterima oleh pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholders) dan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Masalah pokok dalam perencanaan tata ruang terletak pada metode penyusunan rencana tata ruang yang kemudian dapat berlanjut pada pemanfaatan dan pengendalian tata ruang itu sendiri.
Penyimpangan pemanfaatan ruang dari rencana tata ruang disebabkan oleh ketidaksesuaian dengan harapan pengguna lahan (stakeholders). Pemanfaatan ruang oleh berbagai pengguna lahan (stakeholders) yang berbeda kepentingan, dapat menyebabkan terjadinya konflik pemanfaatan ruang.
Salah satu pulau kecil yang mempunyai potensi kelautan yang cukup besar adalah Pulau Legundi yang terletak di Kabupaten Lampung Selatan, Propinsi Lampung. Secara geografis pulau tersebut terletak di Teluk Lampung yang mempunyai potensi perikanan dan pertanian yang cukup besar. Oleh karena itu pada akhir tahun 2001, Direktorat Tata Ruang Laut Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil, Direktorat Jenderal Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil, Departemen Kelautan dan Perikanan telah melakukan studi tentang Pengelolaan Kawasan Lingkungan Pesisir untuk Pelestarian Lingkungan Gugus Pulau Legundi. Sebagai kelanjutan dari studi tersebut dan agar dalam pengembangan Pulau Legundi yang berkelanjutan pada masa yang akan datang dapat tercapai, untuk itu perlu suatu analisis kebijakan yang dapat memberikan masukan (input) sebagai dasar/bahan pertimbangan bagi para pengambil keputusan dalam pemanfaatan ruang dan penetapan kawasan yang optimal dan proposional bagi berbagai pengguna lahan (stakeholders) yang berkepentingan dengan tidak mengesampingkan pentingnya pelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup.
Penelitian ini bertujuan untuk : a. Mengetahui persepsi para pelaku kepentingan berkaitan dengan penentuan prioritas penggunaan ruang/kegiatan; b. Mengevaluasi kesesuaian lahan dalam pemanfaatan ruang wilayah Pulau Legundi dan kemungkinan dampaknya terhadap lingkungan hidup; c. Menentukan prioritas penggunaan lahan dalam pemanfaatan ruang wilayah Pulau Legundi; dan d. Memberikan rekomendasi sebagai dasar pertimbangan pengambilan keputusan dalam penentuan kebijakan.
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif berupa studi kebijakan dengan pendekatan studi kasus dengan menggunakan pendekatan metode kuantitatif dan metode kualitatif. Untuk mengetahui persepsi/tingkat kepentingan dari para pelaku kepentingan (stakeholders) dalam penentuan prioritas kegiatan didekati dengan metode Proses Analisis Hirarkhi (PHA). Analisis spasial untuk mengevaluasi kesesuaian lahan didekati dengan menggunakan perangkat lunak Sistem Informasi Geografis (SIG) dengan aplikasi Arc-info dan Arc-View. Sedangkan untuk mengidentifikasi dampak lingkungan hidup yang telah dan akan terjadi didekati dengan melakukan kajian lingkungan. Selanjutnya dengan memanfaatkan hasil ketiga analisis tersebut dilakukan analisis kebijakan untuk menetapkan rekomendasi zonasi pemanfaatan ruang Pulau Legundi.
Pelaku yang mempunyai peranan penting dalam penentuan prioritas kegiatan yang akan dikembangkan di Pulau Legundi secara hirakhi adalah Pemerintah Daerah, masyarakat, Swasta dan LSM. Prioritas kegiatan yang dipilih para pelaku dalam Pengembangan Pulau Legundi secara hirarkhi perkebunan, perikanan, konservasi, permukiman, industri dan wisata.
Hasil analisis spasial menunjukkan bahwa kesesuaian lahan bagi penggunaan/pemanfaatan ruang yang memenuhi kriteria sangat sesuai hanya untuk kegiatan konservasi dan perkebunan. Ruang yang sangat sesuai untuk konservasi seluas 492,599 Ha, dan sangat sesuai untuk lahan perkebunan seluas 846,756 Ha. Sedangkan kesesuaian lahan untuk kegiatan lainnya yaitu permukiman, industri dan tambak hanya sampai kriteria sesuai.
Hasil overlay antara peta kesesuaian lahan kriteria sangat sesuai dengan peta kesesuaian lahan kriteria sesuai menunjukkan bahwa hanya kegiatan perkebunan dan konservasi saja yang sangat sesuai dalam memanfaatkan ruang Pulau Legundi. Pemanfaatan ruang Pulau Legundi untuk kegiatan pertanian/perkebunan, perikanan, permukiman dan industri diperkirakan telah dan akan menimbulkan dampak terhadap lingkungan berupa pencemaran air laut, gangguan terhadap biota perairan, pengaruh terhadap kegiatan perikanan, kerusakan fisik habitat meliputi kerusakan ekosistem mangrove dan kerusakan ekosistem terumbu karang, konflik sosial serta gangguan terhadap kesehatan masyarakat.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa zonasi pemanfaatan ruang Pulau Legundi yang optimal mengalokasikan ruang daratan untuk kawasan konservasi seluas 761,207 Ha (42,32 %) dan kawasan budidaya seluas 1037,693 Ha yang terdiri dari zona perkebunan/pertanian seluas 968,704 Ha (53,85 %) serta zona permukiman dan Industri seluas 68,916 Ha (3,83 %). Sedangkan pemanfaatan ruang perairan Pulau Legundi dialokasikan untuk zona budidaya mutiara seluas 207 Ha yang terletak di Selat Siuncal, zona konservasi laut pada ekosistem terumbu karang di perairan sebelah utara seluas 1.616 Ha, zona perikanan tangkap di sekitar ekosistem terumbu karang, zona perikanan budidaya di sekitar pantai utara Pulau Legundi maksimal sejauh 100 m dari garis pantai.

Policy Analysis of Small Island Space Utilization (Case Study in Legundi Island Region, South Lampung Regency, Lampung Province)The utilization of coastal area and ocean resources including Small Island is the right alternative for the following national development and it can be one of the centers of hopes to fulfill the society necessity in the future. In order not to repeat some mistakes ever occurred in space utilization of large islands by less paying attention to the conservation function and balance of living environment, utilization of natural resources in the coastal area and small islands should be done wisely and integrated.
The small islands, which physically have very restricted natural land resources (terrestrial), but on the other hand very abundant marine resources are strategic assets to be developed with basic economic activity on the utilization of natural resources and the marine environmental services. Due to increasing number of population, extension of settlement and industrial activities, tourism and sea transportation, small islands need to be developed carefully. An integrated approach of land, ocean and beach potential as well as appropriate activities are absolutely needed to avoid environmental damage caused by heavy pressure due to natural resources exploitation which do not pay attention to the environmental conservation aspects. Based on these, the economic - ecological approach in sustainable development of small islands is absolutely needed.
Therefore, it is very important to have a good spatial planning of coastal area and small islands that is a space planning with programs that can be implemented and accepted by stakeholders and able to improve the society's welfare. The main problem in space planning is the utilization and the restraint of the space itself. The divergence of the land use from space planning is caused by unsuitability with the stakeholders hopes. The spatial utilization by some stakeholders which have different interests can cause land use conflict.
One of the small islands that have a quite large ocean potential is Legundi Island located in South Lampung Regency, Lampung Province. The island is geographically located in Lampung Bay which has a vast fisheries and farming potential. Therefore, at the end of 2001 the Directorate of Coastal Spatial Planning, and Small Islands of the Directorate General of Coastal Areas and Small Islands of The Department of Marine Affairs and Fisheries have conducted a study on the management of the coastal areas for the environmental conservation of Legundi Islands group. As a follow-up study and in order to develop Legundi Island sustainable in the future, it therefore needs a policy analysis to provide input for the decision makers to determine space for optimal and proportional area for some stakeholders with taking into account the importance of the conservation and balance functions of living environment.
These research objectives are the following:
1. To know the perception of the stakeholders subjects of interest (government, entrepreneur, society and non government organization) related to the determining priorities of exploitation the area/activities.
2. To evaluate the suitability of the area in Legundi island land use and the possibility of the impacts on living environment.
3. To determine the priority of the spatial arrangement in Legundi island space utilization.
4. To provide recommendation to the government for a consideration in taking decision of the policy formulation.
The research uses a descriptive study in the form of policy analysis with an approach of using quantitative and qualitative method. These methods of analysis comprises the following steps (1) To know the perception or level of the importance from stakeholders in determining the priority activities approached by hierarchy analysis procces method is applied; (2) To know land suitability by using software of geographical information system (GIS) with Arc-info and Arc-view is applied; (3) To assess the impact on living environment is approached by environmental analysis. Next, by using the above mentioned three analysis results, policy analysis is conducted to determine the zoning recommendation of Legundi island space utilization.
The agents who have important role in determining priority activities to be developed in Legundi Island are hierarchically the local government, society, interpreneur and the non government organization. The priority activities selected by the agents in developing Legundi Island hierarchically are plantation, fisheries, conservation, settlement, industrial and tourism.
The result of spatial analysis shows that the suitability of land in land use which fulfill the criteria of "very suitable? is only for conservation and plantation activities. The most suitable space for conservation is 492.599 Ha, for plantation 846.756 Ha. While the suitable space for other activities are settlement, industry and fishpond.
The overlay result between ?very suitable and suitable" map category shows that only plantation and conservation are very suitable to be exploited at the Legundi Island.
The Legundi Island land use for farming/plantation, fisheries, settlement and industry is estimated to have an important impact to the environment, such as, sea water pollution, disturbance of the aquatic animal, the influence to the fisheries activities, the physical damage of habitat covering mangrove ecosystem, coral reef damage, social conflict and the disturbance of the society's health.
This research concludes that the space utilization Zone of Legundi Island optimally allocates 761.207 Ha (42.32%) for land space conservation, and 1.037.693 Ha for cultivation area. For cultivation area are designated 968.704 Ha (53.85%) for plantation /farming zone and 68.916 Ha (3.83%) for settlement and industrial zone. While the aquatic space utilization of Legundi island the amount of 207 Ha is allocated for pearl cultivation which is located in Siuncal Strait, 1.616 Ha for the marine conservation zone on the coral reef ecosystem in the northern waters. The fisheries catch zone in coral reef ecosystem, cultivated fisheries zone is in northern beach of Legundi island is designated 100 m maximum from the shoreline.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2003
T11040
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Veriady
"Kegiatan penambangan timah telah memberikan konstribusi yang begitu besar dalam pengembangan perekonomian di P. Bangka. Namun pada sisi lain telah terjadi pencemaran dan kerusakan lingkungan pada areal lahan pasca tambang dan lingkungan sekitamya. Maraknya kegiatan Tambang Inkonvensional (TI) semakin memperparah kerusakan lingkungan yang terjadi.
PT. Timah Tbk adalah salah satu dari 2 perusahaan besar yang melakukan penambangan timah di Pulau Bangka. Sebelum tahun 1998, reklamasi lahan yang dilakukan oleh PT. Timah Tbk dapat berjalan. Namun kebijakan reklamasi tersebut dihentikan, dengan alasan akan dirambah/dibongkar TI kembali. Data PT. Timah Tbk menyebutkan sampai saat ini sekitar 5700 ha lahan pasca tambang belum direklamasi. Jumlah ini belum mempertimbangkan pencemaran yang berakibat pada lingkungan sekitar dan juga kerusakan akibat TI.
Melihat kecenderungan kerusakan lahan yang akan terus meningkat baik dari besaran maupun kualitasnya, maka penulis mencoba memberikan kontribusi solusi melalui penelitian ?Studi Pemanfaatan Lathan Pasca Tambang Timah" dengan studi kasus PT. Timah Tbk di Pulau Bangka. Penelitian ini bertujuan: a) Mendapatkan informasi aman tidaknya lahan pasca tambang timah untuk pertanian pangan dan budidaya perikanan. b) Mendapatkan gambaran mengenai persepsi dan keinginan masyarakat untuk pemanfaatan lahan pasca tambang timah.
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah a) Lahan pasca tambang berupa hamparan tailing dan kolong tidak aman untuk budidaya tanaman pangan dan budidaya perikanan darat; b)Persepsi masyarakat luas mengenai pemanfaatan lahan pasca tambang timah keliru.
Metode penelitian adalah menggunakan metode ex post facto dan metode survai. Metode ex post facto dipergunakan untuk melihat dan menampilkan data penelitian relevan yang telah dilakukan sebelumnya. Analisis yang diterapkan peneliti mencakup dua pendekatan yang satu sama lain saling melengkapi untuk menangkap dan menganalisis fakta-fakta sebab-akibat penambangan timah, fakta-fakta sosial ekonomi masyarakat yang berkaitan dengan kegiatan penambangan timah, yakni pendekatan empiris obyektif dan pendekatan empiris subyektif. Dalam pendekatan empiris subyektif, data yang dikumpulkan dan dianalisis adalah data hasil konstruksi ethic peneliti (pemahaman fenomena dan fakta-fakta biofisik dan sosial-ekonomi menurut pandangan peneliti). Sementara dalam pendekatan empiris subyektif data yang dikumpulkan dan dianalisis adalah data menurut konstruksi emit yang diteliti (pemahaman fenomena dan fakta-fakta biofisik dan sosial-ekonomi menurut pandangan orang yang diteliti}.
Untuk metode survay penulis melakukan analisis kandungan toksikologi dan mineral radioaktif contoh tanah/ tailing serta analisis logam-logam berat air kolong dari lokasi penambangan pada laboratorium. Hasil analisis ini kemudian dibandingkan dengan baku mutu untuk semua aspek diatas dan mendiskusikan hasil analisis tersebut dengan para pakar.
Hasil penelitian memperlihatkan 1) Lahan pasca tambang adalah sebagai berikut: a) hasil Uji Toxicity Caracteristic Leacing Prosedure (TCLP), kadar logam berat yaitu seng (Zn) dan ternbaga (Cu) dilokasi Eks TS Openpit Pemali (Usia >40 th) dan Iogam berat sang (Zn) dilokasi lahan percobaan pada contoh melebihi baku mutu yang ditetapkan; b) Hasil uji radioaktif contoh menunjukkan adanya unsur 228Th, 228Ra, 226Ra dan 40K yang harus diwaspadai efek jangka panjangnya jika masuk rantai makanan. Meskipun demikian kandungan maupun radiasinya masih dibawah ambang yang dipersyaratkan balk oleh Bapeten maupun BATAN; c); kadar logam berat (Pb, Fe, Mn, Zn dan Cd) diatas nilai ambang batas maksimum untuk budidaya ikan. Logam berat akan terakumulasi dalam tubuh ikan dan masuk dalam tubuh manusia melalui rantai makanan; dan 2) Masyarakat mempunyal keinginan untuk memanfaatkan fahan pasca tambang menjadi lahan yang produktif seperti untuk lahan perkebunan kelapa sawit, karet dan kelapa.
Kesimpulan penelitian ini adalah;
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan pada bab sebelumnya penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Lahan pasca tambang timah tidak begitu saja dimanfaatkan untuk budidaya tanaman pangan dan budidaya perikanan darat.
2. Masyarakat memiliki persepsi yang harus dikoreksi mengenai pemanfaatan lahan pasca tambang timah, karena tidak memiliki informasi yang jelas tentang dampak mengkonsumsi hasil produk pangan atau ikan dari pemanfaatan lahan pasca tambang.
Saran hasil penelitian ini adalah; 1) Sebelum dapat diperlihatkan tidak berdampak pada konsumen, untuk pemanfaatan lahan pasca tambang timah sebaiknya bukan untuk tanaman makanan. Tanaman yang disarankan adalah bemilai ekonomis seperti kayu putih, hutan akasia, karet rakyat, jarak pagar dan nilam. Untuk dapat memanfaatkan lahan pasta tambang timah memerlukan perlakuan teliti dan mempertimbangkan dampak negatif jangka panjang; dan 2) Untuk menjamin terlaksananya reklamasi pasca tambang yang berkesinambungan diperlukan komitmen semua pihak yang terkait yaitu : PT. Timah Tbk, Pemerintah Daerah, Masyarakat dan Pengusaha TL Komitmen dibangun melalui kerjasama pelaksanaan reklamasi yang melibatkan semua pihak dimaksud.

Tin mining activity has given such a large contribution in economy development in Bangka Island. In the other side, however, has been pollution and environment damage occurred in land post-mining and the vicinity. Amidst a great deal of Unconventional Mining activity progressively worsens environment destruction occurred.
PT. Timah Tbk is one of two big companies that operate tin mining. Before year of 1998, land reclamation which is carried out by PT. Timah Tbk can run well. But the reclamation policy is ceased on account of it will be further went/dismantled by Unconventional Mining over. Data of PT. Timah Tbk told us up to now there are about 5700 hectares of land after that has not been reclaimed yet. This amount is not considering pollution that resulted in environment around and also damage due to unconventional mining.
If we seen the trend of land damage that will increasingly, both of its quality and value, therefore writer tries to give a contribution in solution through research "Study n Lands Utilization Tin Post-Mining" with case study at the PT. Timah Tbk in Bangka Island. This research aiming to: a) Inspect the data on what land tin post-mining secure for agriculture lands food and fishery cultivation. b) Perceive perception and society's intention for land utilization tin post-mining.
Hypothesis that will be put in the research is a) Land post-mining is a tailing rug of insecure underneath for consumed farming agriculture land and fishery. B) Society's perception about land utilization tin post-mining are wrong.
Research method is using ex post facto method and experimental method. Ex post facto method is used to see and open out the relevant research data that has been conducted before. Analysis is applied by researcher covering two approaches complement one to another to capture and analyze facts, cause and effect relationship of tin mining, society socioeconomic facts in relating to tin mining activity, namely empirical objective approach and empirical subjective approach. In empirical objective approach, the collected and analyzed data is construction result data of researcher ethics (phenomenal comprehension and biophysical facts and socioeconomic by researcher's view). While in empirical subjective approach, the collected and analyzed data is data by emics construction examined (phenomenal comprehension and biophysics facts and socioeconomic by the examined person's view.)
While in experimental method, writer conducts analysis toxicology of uterus and radioactive definition, for example land/ tailing as well as heavy metals analysis of underneath water from quarry location to laboratories. And then these analysis results are compared with rigid quality for all aspects above and discuss analysis result mentioned to the experts.
The research result attests 1) Lands tin post-mining are a) TCLP Test, heavy metal content i.e. zinc (Zn) and copper (Cu) in Ex TS Openpit Pemali location (Age > 40 year old) and zinc heavy metal (Zn) in experiment land location in model over the stated rigid quality; b) Result of radioactive test, model shown that the presence of Th, Ra elements. Ra and K that should be wary are long term effect if entered into content of foodstuff chain. Nevertheless, both in their content and radiation are still below the threshold to be required either by Bapeten or BATAN; c); heavy metal content (Pb, Fe, Mn, Zn and Cd) above the maximum threshold value to fishery cultivation. Heavy metal will be accumulated in fish body and entered into human body through foodstuff chain; and 2) Society has intention to make use of lands after mining become productive lands such as for the land only.
This research conclusion is:
1. Land tin post-mining aren't utilized to food plant cultivation and fishery cultivation
2. Society have perception must be correction on land utilization tin post-mining, society doesn't know and don't have a clear information about the impact to consume food production crops or fish from land utilization post-mining.
Suggestion of research result is 1) Before can shown land utilization tin post-mining haven't effect for consumer, its can be carried out for agriculture plant and plantation, not for consumption. Suggested plants have economic value as acacia forest, rubber, and others. The examined treatment on land tin post-mining and consider the negative-long term effect; and 2) To guarantee the implementation of reclamation post-mining is sustainable required commitment all related parties specifically PT. Timah Tbk, Local Government, Public and Entrepreneur of Unconventional Mining. Commitment is built through cooperation of reclamation implementation involving all parties intended.
"
2007
T20783
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aulia Azhar Abdurachman
"Seiring dengan berjalannya waktu dan berkembangnya teknologi industri, Kabupaten Karawang yang dulunya adalah sebagai daerah pertanian yang merupakan penghasil beras terbesar di pulau jawa, sebagian besar lahannya digunakan untuk bercocok tanam padi perlahan-lahan berubah menjadi daerah terbangun. Peneletian ini bertujuan untuk mengetahui diimana dan penyebab Perubahan Penggunaan lahan Pertanian menjadi daerah terbangun pada tahun 1984 dan 2008 serta pengaruh terhadap swasembada beras di Kabupaten Karawang dengan menggunakan Metode analisis deskriptif, super imposed peta, dan uji data statistik Multiple Regressi sehingga terlihat bahwa Perubahan Penggunaan lahan pertanian menjadi daerah terbangun yang tinggi pada Kabupaten Karawang secara umum terjadi pada Kecamatan yang mengalami pertambahan kepadatan penduduk yang tinggi, penurunan rata-rata pendapatan petani dan prosentase lahan terbangun yang direncanakan oleh RTRW yang tinggi. Perubahan lahan pertanian menjadi daerah terbangun memberikan dampak pada Kabupaten Karawang dalam memenuhi Swasembada beras kedua di Kabupaten Karawang. Secara Umum Kabupaten Karawang masih dapat melakukan Swasembada beras, namun terjadi penurunan surplus beras di setiap Kecamatan di Kabupaten Karawang."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2010
S27849
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Hanifah Nabila Romadhona
"Peningkatan jumlah penduduk di Kabupaten Bogor diimbangi dengan kebutuhan akan pangan dan peningkatan tempat tinggal, sehingga diperlukan keseimbangan antara ketersediaan lahan dan kebutuhan lahan dengan ditinjau daya dukung lingkungan. Penelitian ini dilakukan untuk dianalisis status daya dukung lingkungan berbasis neraca lahan tahun 2010 dan 2020 di Kabupaten Bogor, serta dianalisis kondisi daya dukung lingkungan berbasis neraca lahan antara tahun 2010 dan 2020 di Kabupaten Bogor. Metode yang digunakan adalah deskriptif kuantitatif dengan hasil perhitungan dideskripsikan sehingga status daya dukung lingkungan terjelaskan. Data – data yang diperlukan adalah jumlah penduduk, jumlah produksi komoditas pertanian, perkebunan, perikanan, dan harga komoditas pada tahun 2010 dan 2020. Status daya dukung lingkungan berbasis neraca lahan didapatkan dengan perbandingan ketersediaan lahan dan kebutuhan lahan. Pada tahun 2010, hasil ketersediaan lahan didapatkan seluas 225.561 ha, sedangkan kebutuhan lahan adalah 713.289 ha, sehingga didapatkan status defisit. Pada tahun 2020, hasil ketersediaan lahan adalah 124.721 ha, sedangkan kebutuhan lahan seluas 868.495 ha, sehingga didapatkan status defisit. Kondisi daya dukung lingkungan berbasis neraca lahan pada tahun 2010 dan 2020 yang ditinjau dari penurunan luas lahan pertanian sebanyak 56,73% atau 231.762 ha. Hal tersebut dikarenakan peralihan fungsi lahan yang disebabkan penurunan jumlah produksi sehingga lahan sawah petani disewakan atau dijual ke investor.

The increase of population in Bogor Regency is balanced with the need for food and an increase in housing, so a balance is needed between land availability and land needs in terms of environmental carrying capacity. This research was conducted to analyze the status of the environmental carrying capacity based on the land balance in 2010 and 2020 in Bogor Regency, and to analyze the condition of the environmental carrying capacity based on the land balance between 2010 and 2020 in Bogor Regency. The method used is descriptive quantitative with the calculation results are described so that the status of the carrying capacity of the environment is explained. The data needed are population, total production of agricultural commodities, plantations, fisheries, and commodity prices in 2010 and 2020. The status of environmental carrying capacity based on land balance is obtained by comparing land availability and land demand. In 2010, the result of land availability was 225,561 ha, while the land requirement was 713,289 ha, so that the deficit status was obtained. In 2020, the result of land availability is 124,721 ha, while the land requirement is 868,495 ha, so that the deficit status is obtained. The condition of the environmental carrying capacity based on the land balance in 2010 and 2020 in terms of a decrease in the area of agricultural land was 56.73% or 231,762 ha. This is due to the shift in land function caused by a decrease in the amount of production so that farmers' rice fields are rented out or sold to investors."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kamrus Angkuna
"Perubahan pemanfaatan lahan di perkotaan yang ditunjukkan dengan semakin meningkatnya lahan-lahan yang digunakan untuk kegiatan perindustrian dan permukiman telah membawa dampak terhadap perubahan rona lingkungan yang mengarah pada degradasi iingkungan. Salah satu tujuan penataan ruang (UU No. 24 /1992 tentang Penataan Ruang) adalah mewujudkan perlindungan fungsi ruang dan mencegah serta menanggulangi dampak negatif terhadap lingkungan.
Kota Sungai Raya merupakan ibukota Kecamaian Sungai Raya Kabupaten Pontianak, secara administratif terdiri dari 3 (tiga) desa, yaitu: Desa Sungai Raya, Desa Arang Limbung dan Desa Kuala Dua. Luas Kota Sungai Raya sekitar 7.011,7 Ha. Kota Sungai Raya perbatasan langsung dengan Kota Pontianak (ibukota Propinsi Kalimantan Barat). Sepanjang Kota Sungai Raya dibatasi oleh Sungai Kapuas. Kota Sungai Raya merupakan kota industri. Industri dan permukiman penduduk lebih banyak terdapat di sepanjang Sungai Kapuas ruas Kota Sungai Raya.

Land use change in the city, which shows more increasing for area that functions as industrial and housing uses that, already occupy and give impact on the environmental quality. This means environmental degradation ocurred. One of the purposes for spatial planning, is staled law number 24/1992 concerning spatial management in realizing the spatial functions and avoid the adverse effect to environment.
Sungai Raya City as the capital Sungai Raya District, Pontlanak Regency, administratively consists of three villages, namely: Sungai Raya Village, Arang Limbung village and Kuala Dua Village. The area Sungai Raya City is about 7011,7 hectares. Sungai Raya City ls directly neighbourhood or near by Pontianak City (the capital of West Kallmantan Province). Sungai Raya City along Kapuas river. Sungai Raya City ls an industrial city. Industries and housing areas are located along Kapuas river as a part of Sungai Raya City."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T10850
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nuki Aditya Pratama
"Lahan merupakan suatu ruang yang digunakan oleh semua makhluk hidup di muka bumi sebagai tempat tinggal dan selalu berubah seiring berjalannya waktu. Dengan percepatan urbanisasi, pengaruh dari aktivitas manusia dalam tutupan lahan sangat besar. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perubahan tutupan lahan dan memprediksi perubahan tutupan lahan di Kabupaten Badung tahun 2033. Data Landsat 7 ETM+ dan 8 OLI-TIRS digunakan untuk memetakan sebaran tutupan lahan tahun 2004, 2013 dan 2019. Kemudian menggunakan metode Cellular Automata Markov Chain untuk menentukan prediksi perubahan tutupan lahan tahun 2033. Hasil penelitian menunjukkan bahwa prediksi penigkatan luas permukiman adalah sebesar 1307,71 hektare, sedangkan lahan bukan pertanian menurun sebesar 1908,86 hektare. Perubahan berpusat pada dataran rendah dengan lereng landai (umunya pesisir) dan akan semakin meluas ke dataran yang lebih tinggi dengan lereng yang sedikit curam (kaki gunung).

Land is defined as a space that is used by all living things on earth’s surface as a place to live which frequently changes with time. The fast-paced urbanization occurrence affected the existing land use and caused it to change more significantly. The objective of the study is to analyze the land cover changes in Badung Regency in 2004 - 2019 and to predict future changes in 2033. Landsat 7 ETM+ and 8 OLI-TIRS data is used to visualize land cover distribution in 2004, 2013 and 2019. Cellular Automata Markov Chain method is used to determine the prediction of land cover change in 2033. Result shows that settlements are predicted to be increasing by 1307,71 hektare, while non-agricultural land is predicted to be decreasing by 1908,86 hektare. The changes mainly occur in lower flatland (coastal area) and later expends to higher slope land (hillside area)."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suporaharjo
"Obyek sengketa tanah antara komunitas Ketajek dengan Perusahaan Daerah Perkebunan (PDP) Jember adalah bekas hak Erfpach Verponding No. 2712 dan Verponding No. 2713 dikenal dengan nama kebun Ketajik I dan II atas nama NV Land Bow My Oud Djember (LMOD) leas keseluruhan 477,87 ha yang berakhir haknya tanggal 29 Juli 1967, terletak di desa Pakis dan desa Suci kecamatan Panti, kabupaten Jember, Propinsi Jawa Timur.
Sengketa tanah Ketajek mulai mencuat ketika pada tahun 1972 pemerintah daerah kabupaten Jember yang dipimpin Bupati Abdul Hadi yang juga sebagai komisaris PDP jember mulai berencana mengambil alih Kebun Ketajek I dan 11 yang telah digarap warga Ketajek sejak tahun 1950-an.
Proses pengambilalihan oleh PDP Jember atas tanah kebun Ketajek I dan II yang telah didistribusikan kepada warga Ketajek melalui kebijakan land reform pada tahun 1964 ini akhirnya menimbulkan konflik yang berlarut-larut hingga saat ini. Mengapa konflik sosial atas tanah Ketajek terus bertahan cukup lama dan bagaimana pilihan strategi penyelesaian konflik yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa serta para pihak yang terlibat dalam pusaran konflik tersebut coba dipahami lebih mendalam melalui penelitian ini.
Tujuan penelitian ini adalah:
1) Menelusuri dan memetakan sejarah dan sumber penyebab konflik;
2) Menemukenali faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya eskalasi konflik;
3) Mendalami proses-proses pilihan dan akibat dari strategi manajemen/penyelesaian konflik yang digunakan para pihak yang berkonflik; dan
4) Memberikan rekomendasi perbaikan atas cara-cara penyelesaian konflik antara masyarakat Ketajek dan PDP Jember yang selama ini dilakukan.
Pendekatan yang dilakukan untuk penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Pendekatan ini dipilih karena dianggap sesuai dengan tujuan penelitian ini, yaitu memahami fenomena peristiwa terjadinya konflik dan kaitannya terhadap keberadaan berbagai pihak, baik yang pro maupun kontra dengan penyelesaian konflik atas tanah antara komunitas Ketajek dan PDP Jember. Dari kelompok yang pro dan kontra coba dilakukan wawancara dan pemahamam secara mendalam atas usulan penyelesaian yang seharusnya dilakukan atas sengketa tanah Ketajek ini. Berbagai pendapat dari wawancara dengan informan dan penelusuran dokumen atas cara intervensi untuk menyelesaikan konflik ini kemudian direview dan di analisis kekuatan dan kekurangannya dengan cara membandingkan pengalaman di tempat lain atau kasus-kasus yang sudah pernah terjadi.
Dalam penelitian ini konflik dilihat sebagai suatu bentuk interaksi yang dapat membangun, mengintegrasikan dan meneruskan struktur dalam masyarakat. Konflik coba dipahami dari sisi positif dan sisi negatif. Konflik seharusnya dihadapi dan dikelola karena konflik dapat dipahami dari para pihak yang terlibat, sumber penyebab, tahapan perkembanganya, faktor-faktor yang mempengaruhi eskalasi dan kemungkinan mekanisme intervensinya.
Temuan penting dari hasil penelitian ini antara lain: adanya lima cara penyelesaian yang diusulkan para pihak yang berkepentingan, yaitu:
1) Pemberian tali asih/ganti rugi;
2) Membawa kasus sengketa ke pengadilan (peradilan umum);
3) Menempuh jalur hukum non pengadilan atau jalur politik;
4) Musyawarah; dan
5) Membangun kemitraan antara PDP dan warga Ketajek.
Pilihan terhadap tali asih/ganti dan membawa kasus ke lembaga pengadilan merupakan pilihan utama dari Pemerintah kabupaten/PDP Jember. Sementara pihak komunitas Ketajek lebih menyukai pendekatan jalur hukum non pengadilan atau politik dan musyawarah.
Dari hasil analisis terhadap kegagalan beberapa pilihan strategi penyelesaian yang telah ditempuh menunjukkan bahwa keputusan pilihan jalan keluar dilakukan secara sepihak oleh yang berpower kuat dan tidak mengatasi sumber penyebabnya, rendahnya keahlian para mediator/fasilitator, lemahnya anal isa atas problem bersama, dialog antara para pihak yang bersengketa sering bersifat konfrontatif, berbagai proses yang dilakukan lebih bersifat permusuhan dari pada kolaboratif, terjadinya polarisasi dalam berbagai kelompok dari komunitas Ketajek, terjadinya rivalitas antara para pihak yang berkepentingan mendampingin komunitas, tidak ada kemauan politik dari pimpinan/elit yang berada di pemda/PDP, DPRD untuk berbagi power/kegiatan manfaat kepada komunitas lokal atas aset sumberaya alam yang ada.
Kesimpulan yang dapat diambil dari beberapa cara penyelesaian yang telah ditempuh seperti pemberian tali asih/ganti rugi, musyawarah dan membawa kasus ke peradilan umum telah gagal menyelesaikan sengketa tanah Ketajek, karena cara-cara tersebut tidak membawa kepada kesepakatan secara bulat yang didukung oleh semuat pihak yang terlibat dan memuaskan kepentingan seluruh pihak.
Sedangkan dari sisi kebijakan pemerintah daerah kabupaten Jember, dapat disimpulkan bahwa pemda tidak memiliki infrastruktur baik dari segi kelembagaan maupun sumberdaya manusia untuk melaksanakan penyelesaian konflik secara non litigasi atau alternative dispute resolution (ADR). Niatan untuk menyelesaikan konflik secara ADR hanya ada dalam teks saja, dalam prakteknya tidak ada kebijakannya.
Oleh karena itu, dengan melihat berbagai usulan dari para pihak yang berkepentingan dengan sengketa tanah Ketajek, maka direkomendasikan kepada pemda dan DPRD kabupaten Jember untuk mempertimbangkan strategi kolaborasi untuk menyelesaikan sengketa tanah Ketajek.
Dalam melaksanakan strategi kolaborasi para pihak yang bersengketa harus mempunyai kemauan untuk merubah penyelesaian konflik dari pendekatan permusuhan ke pendekatan yang bukan bersifat permusuhan (nonadiersarial approach). Karena dalam proses kolaborasi perlu keterbukaan, kesadaran adanya saling ketergantungan, menghormati perbedaan, membutuhkan partisipasi aktif para pihak yang berkonflik, membutuhkan jalan keluar dan penetapan hubungan yang disepakati bersama dan kesadaran bahwa kolaborasi adalah suatu proses bukan resep.
Ada empat desain umum untuk kolaborasi yang harus mendapatkan perhatian seksama para pihak yang berkonflik, yaitu yang berkaitan dengan upaya-upaya bersama menemukan pilihan yang tepat atas:
1) Perencanaan yang apresiatif;
2) Strategi kolektif;
3) Dialog; dan
4) Menegosiasikan penyelesaian.
Agar dapat membangun desain kolaborasi yang konstruktif dan mendapatkan komitmen dari para pihak yang bersengketa maka harus ada kejelasan tahapan yang dapat dijadikan panduan bersama. Tahapan ini paling tidak terdiri dari, tahap pertama, kejelasan dalam menetapkan problem; tahap kedua, kejelasan dalam menetapkan arah kolaborasi; dan tahap ketiga, kejelasan dalam menetapkan pelaksanaannya.
Untuk mendukung keberhasilan strategi kolaborasi, juga peran dukungan pemerintah daerah kabupaten jember merupakan faktor penting. Tanpa kemauan yang kuat dari pihak pemda untuk mendukungnya maka mustahil tahapan proses kolaborasi tersebut dapat dijalankan. Oleh karena itu, kemauan politik dari pemda tidak cukup hanya dicantumkan dalam teks POLDAS tapi harus diwujudkan dalam praktek, yaitu dengan cara menyediakan sumberdaya manusia yang terlatih sebagai fasilitator/mediator andal dan dukungan membangun kelembagaannya.
Review Strategies For The Resolution Of Social Land Conflicts: A Case Study Of Ketajek Community Vs. Jember Estate Company, In Kecamatan Panti, Kabupaten Jember East Java Province The land disputed by Ketajek community and Jember estate company (PDP) used to belong to the rights of Erfpach Verponding No. 2712 and No. 2713. They are known as Ketajek Estate I and If, on behalf of NV. Land Bow My Oud Djmber (WOD), with the overall area of 477.87 hectares located in Pakis and Suci villages, kecamatan Panti, Kabupaten Jember, East Java. The rights ended on 29 July 1967.
The land conflict broke out in 1972 when the local government under Bupati Abdul Hadi, who was also one of PDP's board of directors, planned to take over Ketajek Estate I and II which had long been cultivated by Ketajek local people since 1950s.
Ketajek I and II having been distributed since 1964 by means of land reform policy, the take-over has caused an intractable conflict-up to now. This research tries to explore how the social conflict of Ketajek land remains unresolved, and what kinds of conflict resolution strategies have been adopted by the conflicting parties as well as those involved in the turbulence of conflict. So, the objectives of this research are:
1) To dig up and map the history and sources of conflict;
2) To identify the factors influencing the conflict escalation;
3) To observe the process of selection and the result of conflict management/resolution strategy applied by the conflicting parties; and
4) To provide a recommendation of how to improve the existing conflict resolution methods between Ketajek community and PDP Jember.
The research made use of qualitative approach. This approach best-matched with the objectives of the research, i.e. to understand conflict fenomena in connexion with the presence of multi parties, both those in favor and those against the resolution of the land conflict between Ketajek community and PDP Jember. For the pros and cons, interviews were given to get a deep understanding of what opinions they have about the resolution proposed for Ketajek land conflict. Ideas obtained from the interviews with informants and data from scrutinizing the documents about intervention methods for this conflict were collected to be reviewed and analyzed to get the strength and weaknesses by comparing with experience from other sites or with the preceding cases.
In this research, conflict was seen as a form of interaction that can develop, integrate, and continue the structures within a society. It is understood from both positive and negative perspectives because conflict should be faced and managed as it can be understood from the perspectives of the parties involved, from the very cause, from the stages of development, from the factors influencing the escalation and from the possibilities of intervention mechanisms The important findings of the research are, among others, five methods of resolution proposed by interest parties, i.e.:
1) Providing a compensation;
2) Bringing the case to the court;
3) Taking an extra-court law (nonlitigation) orpolitical action;
4) Building dialog/negotiation; and
5) Building a partnership between PDP and Ketajek local people. The local governmentiPDP jember prefers options 1 and 2, whereas Ketajek community prefers points 3 and 4.
From the analysis of the above failure, it was found that: the options were made unilaterally by the power-ed party, and it failed to hit the source of the problems, the facilitators/mediators were unskilled, the analysis of the shared problems was poor, dialogs between conflicting parties were frequently confrontational, the processes were more confrontational than collaborative, groups of Ketajek community were polarized, there was a rivalry between interest parties that went with the community, there was a lack of political will from elites in the local government/PDP, DPRD to share power/activities/benefit with the local community over the natural resources.
The conclusion is that the five resolutions failed to lead to an agreement supported by all parties and failed to satisfy all. From the perspective of Jember local government's policy, it can be concluded that the local government did not have adequate infrastructures, either in the form of institutions or human resources to enact a no litigation conflict resolution or alternative dispute resolution (ADR). To manifest the ADR was all in theory; in practice, none of the policies used it.
Considering the ideas proposed by interest parties in the Ketajek Iand conflict, therefore, it is recommended to the local government and DPRD Jember to think over collaborative strategies to resolve Ketajek land conflict.
In plying the collaborative strategies, the conflicting parties must have a will to shift from adversarial approaches to no adversarial ones since the collaborative processes need openness, respect for difference, the awareness of interdependency, active participation of the conflicting parties, way out and agreed relationship, and the awareness that collaboration is a process, not a recipe.
There are four general designs for collaboration to be noted carefully by the conflicting parties related to joint efforts to make the smart choice of
1) Appreciative planning;
2) Collective strategy;
3) Dialog; and
4) Negotiation of resolution.
In order to be able to build a constructive design for collaboration that all conflicting parties are committed to, there must be clear stages for a common guideline, The stages should at least comprise first stage, a clear problem statement; second stage, a clear direction of collaboration; and third stage, a clear operation.
To support a successful collaborative strategy, the support from Jember local government is an important factor. Without a strong will from the local government to sustain it, it is impossible for the collaborative processes to be operated. Therefore, the political will of the local government should not only be typed on POLDAS text, but should also be realized in practice, by providing skilled human resources for the best facilitators/mediators and giving support or developing the institution.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T11544
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>