Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 143729 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Dance Yulian Flassy
"Provinsi Papua adalah salah satu provinsi yang amat tertinggal di bldang perekonomian dan pembangunan dibandingkan dengan provinsi - provinsi lain di Indonesia. Kondisi ini dialami sejak Papua berintegrasi dengan Indonesia pada tahun 1963, terlebih lagi pada masa arde baru kemarin yang menerapkan sistem sentralistik dalam pembangunannya. Padahal daerah ini termasuk daerah penyumbang tertinggi pada devisa negara terutama dari sektor pertambangan dan galian. Oleh sebab itu sebagian dari rakyat Papua merasa tidak puas dengan kondisi daerahnya dan mengangkat senjata melakukan perlawanan untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sehingga membuat kondisi perekonomian dan pembangunan di Papua sedikit terganggu dan semakin membuat rakyat Papua hidup tidak tenang dan miskin. Padahal kekayaan alamnya sungguh luar biasa banyaknya dan Jika dikelola dengan benar serta provinsi ini mendapat pembagian yang layak, maka rakyat Papua akan menlngkat kesejahteraannya.
Pemerintah menyadari kesalahan yang telah diperbuat selama ini kepada Provinsi Papua dan untuk menutupi kekecewaan sebagian besar rakyat Papua, maka pemerintah pusat menyetujui tuntutan rakyat Papua untuk mengurus diri dan kekayaan alam mereka sendirl lewat UU Nomor 21Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Otonomi Khusus adalah kewenangan yang diakui dan diberikan kepada Provinsi Papua untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi dan hak-hak dasar masyarakat Papua dengan tetap berada dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kewenangan ini berarti pula kewenangan untuk memberdayakan potensi sosial budaya dan perekonomlan masyarakat Papua, kecuali kewenangan di bidang politik, luar negeri, pertahanan keamanan, moneter dan fiskal, agama dan peradilan serta kewenangan tertentu dibidang yang lain yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Dengan menggunakan analisa Location Quotient ( LQ ) yang dlfokuskan pada tahun 2001 ( Tahun dimana UU Otonoml Khusus dimulal ), maka diperoleh kesimpulan bahwa sektor pertambangan dan
yimg diharapkan adalah ? Meningkatkan Standar Hidup masyarakat Papua dengan terciptanya Pendidikan dan Kesehatan yang murah, tepat dan bermutu".
Akhirnya, Pemerintah Provinsi Papua harus benar-benar memanfaatkan momentum otonomi khusus ini dengan mengacu pada hasil perhitungan LQ dan analisa kebijakan yang harus diambil berdasarkan pendekatan AHP. Tetapi juga jangan sampai meninggalkan kebutuhan-kebutuhan rill masyarakat Papua dengan menyesuaikannya pada sltuasi dan kondisi yang berkembang d! daerah Papua. Dan disarankan juga menyesuaikannya pada situasi dan kondisi yang berkembang di daerah Papua. Dan disarankan juga pemerintah Provinsi Papua bers!ap dlri dalam menghadapi era persaingan bebas terutama di wilayah Asia Pas!fik, dengan meningkatkan kualitas SDM dan standar hldup masyarakat Papua.
"
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2003
T11975
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ramzy Sayuda Patria Hani Putra
"Provinsi Papua merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang diimplementasikan sebagai daerah otonom khusus. Otonomi Khusus yang diberikan didasari oleh adanya ketentuan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (Undang-Undang Otsus Papua). Lebih lanjut, salah satu mekanisme kewenangan yang diberikan adalah dalam penentuan pengisian jabatan anggota DPRP, kewenangan tersebut menetapkan frasa “diangkat” orang asli Papua sebagai anggota DPRP, dengan tujuan untuk melindungi hak-hak asli masyarakat Papua dan agar dipastikannya masyarakat asli Papua dapat ikut serta dalam penyelenggaraan pemerintahan provinsi Papua. Namun frasa tersebut dirasa memberikan dampak hilangnya hak konstitusional berupa kedudukan yang sama dalam pemerintahan, Oleh karena itu untuk mengetahui Kedudukan DPRP dalam NKRI diperlukan analisis terkait Putusan MK Nomor 4/PUU-XVIII/2020 terhadap Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Otsus Papua melalui Metode Penelitian Yuridis Normatif. Berdasarkan analisis dari putusan tersebut kedudukan Hukum Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) dalam NKRI telah sesuai dengan tujuan negara yaitu mensejahterakan rakyat dengan penyesuaian terhadap adat istiadat dan kebiasaan masing-masing wilayahnya. Akan tetapi pemerintah masih dirasa perlu untuk melakukan perumusan perundang perundangan yang merumuskan secara jelas kriteria orang asli papua yang “diangkat” sesuai dengan karakteristik sosial ekonomi serta karakteristik budaya masyarakat

Papua Province is one of the provinces in Indonesia which is implemented as a special autonomous region. The Special Autonomy granted is based on the provisions of Law Number 21 of 2001 concerning Special Autonomy for the Papua Province (Law on Special Autonomy for Papua). Furthermore, one of the mechanisms of authority given is in determining the filling of positions for members of the DPRP, this authority stipulates the phrase "appointed" native Papuans as members of the DPRP, with the aim of protecting the indigenous rights of the Papuan people and ensuring that indigenous Papuans can participate. in the administration of the Papuan provincial government. However, this phrase is felt to have an impact on the loss of constitutional rights in the form of an equal position in the government. Therefore, to find out the position of the DPRP in the Republic of Indonesia, an analysis is needed regarding the Constitutional Court Decision Number 4/PUU-XVIII/2020 against Article 6 paragraph (2) of the Special Autonomy Law for Papua. through Normative Juridical Research Methods.Based on the analysis of the decision, the legal position of the Papuan People's Representative Council (DPRP) in the Unitary State of the Republic of Indonesia is in accordance with the state's goal, namely the welfare of the people by adjusting to the customs and habits of each region. However, the government still feels the need to formulate legislation that clearly formulates the criteria for indigenous Papuans who are "appointed" in accordance with the socio-economic characteristics and cultural characteristics of the community."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
"This essay is a research on President SBY's policy on acceleration of development in the provinces of Papua and West Papua as stated in Presidential regulation No. 66/2011, which regulated the existence and function of the unit for acceleration of development in Papua and West Papua (UP4B), and its implementation and further follow-up. The qualitative method reveals in its conclusions that amid complex-problems the provinces facing, working contributions of UP4B has been seen in the both provinces, particularly by native Papuan in the last two years of its existence. This essay recommends that UP4B should be further supported, especially in its role in giving assistances and capacity building in helping the provinces in forming clean, transparent, and accountable governance."
POL 6:2 (2015)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"In the Unitary State Republic of Indonesia?s system of law that is hierarchical, Pancasila is the basic philosophy of Unitary State Republic of Indonesia as the source of law and regulation formulation and placed as fundamental norm, the source of positive law. After the amendment of the 1945 constitution, it appears distinct autonomy phenomenon based on Article 18B the 1945 Constitution. Political situation in the formulation of Law Number 21 of 2001 regarding Distinct autonomy for Papua Province was pragmatic where the understanding of distinct autonomy was not based on deliberation among options of value or norm that in line with the notation ideology, but it was only a tool to solve immediate state problem. "
330 ASCSM 30 (2015)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Anggarani Utami Dewi
"Pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang berkedudukan di daerah oleh pemerintah daerah mengalami perdebatan khususnya mengenai legalitas penyidikan peristiwa pelanggaran HAM yang berat di masa lalu oleh komisi ini. Tesis ini akan menjawab permasalahan mengenai implementasi KKR dalam era non transisional serta pengaturan mengenai pembentukan dan implementasi KKR yang berkedudukan di daerah. Penelitian menggunakan metode kualitatif dengan fokus pada studi kepustakaan, wawancara dengan para ahli, dan studi perbandingan pada KKR era non transisional di tujuh negara, yakni Korea Selatan, Brazil, Thailand, Maroko, Kanada, Amerika Serikat, dan Australia. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa enam dari tujuh negara tersebut membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi untuk mengungkapkan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang berat yang terjadi lebih dari lima tahun yang lalu, dan hanya Thailand yang membentuk KKR dalam dua bulan setelah berakhirnya konflik. Dari enam negara tersebut, seluruhnya telah mengeluarkan berbagai kebijakan reparasi, kompensasi, ataupun ganti rugi bagi korban sebelum dibentuknya KKR. Brazil, Kanada, dan Australia telah lama mencabut kebijakan yang diduga melanggar HAM. Seluruh negara selain Maroko telah memiliki peraturan yang melindungi privasi dan kerahasiaan warga negara pada saat KKR dibentuk. Pengungkapan kebenaran oleh KKR pada ketujuh negara tersebut difokuskan agar tercapai rekonsiliasi nasional. Di Indonesia, KKR Aceh dibentuk oleh Pemerintah Aceh sebagai mandat dari Perjanjian Helsinki dan Pasal 230 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh melalui Qanun Nomor 17 Tahun 2013 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh. Namun karena dibentuk dengan qanun yang setingkat dengan Peraturan Daerah, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh mengalami berbagai hambatan dalam proses penyelidikan peristiwa pelanggaran HAM seperti kesulitan dalam mengakses dokumen pemerintah atau memanggil pejabat pemerintah untuk dimintai keterangannya. Berbeda dengan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Korea Selatan dan Kanada, yakni meskipun Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi ada yang berkedudukan di daerah namun pembentukannya dilakukan oleh pemerintah pusat. Propinsi Papua saat ini juga sedang menyiapkan naskah pendukung penerbitan Peraturan Presiden tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Papua. Dalam rancangannya, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Papua akan mengungkapkan kebenaran mengenai peristiwa konflik yang melibatkan negara sejak integrasi Irian Jaya. Oleh karena pemerintah daerah telah menginisiasi pembentukan KKR di daerah, maka seharusnya pemerintah pusat dapat mempercepat penyusunan Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebagai panduan pemerintah daerah dalam menyusun peraturan mengenai KKR di wilayahnya.

The establishment of Truth and Reconciliation Commission (TRC) in regions by the regional government has experienced debate, especially regarding the legalitiy of investigating incidents indicate of gross human rights violations in the past. This thesis will analyst two issues regarding the implementation of TRCs in the non transitional era and establishment and implementation of TRCs in regional. The research used qualitative methods with focus on literature studies, interviews with experts, and comparative studies on seven countries (South Korea, Brazil, Thailand, Morocco, Canada, the United States, and Australia). The results of this study concluded that six of the seven countries formed a TRC to expose gross human rights violations that occurred more than five years before, and only Thailan formed a TRC within two months after the end of conflict. Of the six countries, all of them had issued various reparation, compensation or compensation policies for victims prior to the establishment of the TRC. Brazil, Canada and Australia have long since repealed policies that allegedly violated human rights. All countries other than Morocco already had regulations protecting the privacy and confidentiality of citizens when the TRC was formed. Revealing the truth by the TRC in the seven countries was focused on achieving national reconciliation. In Indonesia, the Aceh TRC was formed by the Government of Aceh as a mandate from the Helsinki Agreement and Article 230 of Law Number 11 of 2006 concerning the Governance of Aceh through Qanun Number 17 of 2013 concerning the Aceh Truth and Reconciliation Commission. However, because it was formed under a qanun that was at the same level as a regional regulation, the Aceh Truth and Reconciliation Commission experienced various obstacles in the process of investigating incidents of human rights violations such as difficulties in accessing government documents or summoning government officials for questioning. It is different from the Truth and Reconciliation Commissions in South Korea and Canada, that is, although there are Truth and Reconciliation Commissions based in the regions, their formation is carried out by the central government. The Province of Papua is also currently preparing a text supporting the issuance of a Presidential Regulation on the Truth and Reconciliation Commission in Papua. In its design, the Papua Truth and Reconciliation Commission will reveal the truth about the conflict events involving the state since the integration of Irian Jaya. Because the regional governments have initiated the formation of TRCs in the regions, the central government should be able to accelerate the drafting of the Truth and Reconciliation Commission Bill as a guide for local governments in drafting regulations regarding TRCs in their regions."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raharusun, Yohanis Anton
Jakarta: Konstitusi Press, 2009
959.8 YOH d
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Maryen, Jeremias
"Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi sektor-sektor ekonomi potensial untuk dikembangkan di Provinsi Papua, mengetahui kaitan antara pergeseran-pergeseran struktur perekonomian daerah Papua dengan laju pertumbuhan ekonomi daerah yang bersangkutan, serta membuat rekomendasi-rekomendasi yang berkenaan dengan temuan-temuan pada permasalahan diatas, guna pengembangan perekonomian Provinsi papua lebih lanjut.
Data yang digunakan adalah data sekunder PDRB Provinsi Papua dan PDB Nasional periode tahun 1.999-2003 atas dasar harga konstan 1993 tanpa migas, yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik dan BP3D Provinsi Papua. Alat analisis yang digunakan adalah Location Quotient (LQ) dan Shift-Share Kiasik.
Temuan penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan Analisis Location Quotient, selama periode penelitian terdapat satu sektor ekonomi yang setiap tahunnya dapat dikategorikan sebagai sektor basis secara konsisten, yaitu : sektor pertambangan dan pengggalian yang didukung oleh sub sektor pertambangan tanpa migas. Sementara sektor pertanian yang walaupun baru masuk kategori basis pada tiga tahun terakhir, yang didukung secara konsisten oleh sub sektor kehutanan, dan sub sektor perikanan mulai tahun 2001-2003.
Deegan menggunakan Analisis Shift-Share Kiasis, selama periode penelitian terjadi perubahan secara absolut PDRB nyata Provinsi Papua.
Secara sektoral komponen Pertumbuhan Nasional (Nu) berpengaruh positif terhadap perubahan PDRB nyata, komponen Bauran Industri (My) berpengaruh positif terhadap perubahan PDRB nyata, namun demikian terdapat tiga sektor ekonomi yang memberikan pengaruh negatif, yaitu sektor pertanian, sektor jasajasa, serta sektor perdagangan, hotel dan restoran. Sementara itu komponen Keunggulan Kompetitif (CO secara sektoral berpengaruh negatif terhadap perubahan PDRB nyata, dimana terdapat tiga dari Sembilan sektor ekonomi yang memberikan pengaruh negative terbesar, diantaranya adalah : sektor pertambangan dan penggalian, sektor industri pengolahan, serta sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan.
Kemudian dengan alat analisis yang sama, disusun daftar prioritas sektor-sektor potensial yang dapat dikembangkan di Provinsi Papua yang memiliki pertumbuhan yang lebih cepat dan daya saing yang lebih tinggi dibandingkan dengan sektor yang sama di Nasional.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T18408
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Edy Purnomo
"Provinsi Papua dan Papua Barat memperoleh kewenangan otonomi khusus melalui UU No. 21 Tahun 2001. Kewenangan otonomi khusus lebih luas dibandingkan otonomi daerah, bertujuan mengurangi kesenjangan Provinsi Papua dan Papua Barat. Dalam rangka otonomi khusus, Pemerintah memberikan penerimaan khusus yang digunakan dalam empat bidang yaitu pendidikan, kesehatan, infrastruktur dan pemberdayaan ekonomi masyarakat dengan prioritas pada bidang pendidikan. Penelitian ini bersifat kualitatif dan kuantitatif, menggunakan metode analisa data berupa Cost Effectiveness Analysis serta menggunakan tehnik pemetaan hambatan untuk menjelaskan mengenai penyebab ketidakefektifan. Untuk menjelaskan pengaruh anggaran dana otsus terhadap tingkat pendidikan digunakan regresi dilakukan mengetahui pengaruh dana otsus terhadap tingkat pendidikan berupa angka melek huruf dan lama rata-rata sekolah. Sampai dengan tahun 2013, diperoleh hasil bahwa kebijakan pemberian dana dalam rangka otonomi khusus tidak efektif dalam meningkatkan pendidikan di Provinsi Papua dan Papua Barat. Hal ini disebabkan oleh sejumlah permasalahan berupa permasalahan dibidang keuangan maupun permasalahan dibidang pendidikan.

The provinces of Papua and West Papua has a special autonomy by Law No 21 of 2001 Special autonomy authority greather than local autonomy aimed to reduce the gap the provinces of Papua and West Papua By special autonomy Government gave a special reception that used for four areas education health infrastructure and people economic empowerment with priority in education This research is a qualitative and quantitative study use data analysis method of Cost Effectiveness Analysis and also use mapping barriers technique to explained the causes of the ineffectiveness The use of quantitative approaches such as regression is performed to know the influence of special autonomy fund to the level of education in the form of long literacy rate and average school Until 2013 showed that the policy grants in the framework of special autonomy is not effective in improving education in Provinces of Papua and West Papua It is caused by a number of issues such as the problems in the financial sector and the problems in education."
Depok: Universitas Indonesia Fakultas Ekonomi Bisnis, 2016
T45484
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>