Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 76787 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nila Auriga
"Filsafat modern yang menjadikan suatu universalitas sebagai suatu kebenaran. Eksistensialisme hadir sebagai suatu reaksi atas ketidakpuasan terhadap terbelenggunya manusia di dalam suatu universalitas. Gabriel Marcel sebagai tokoh eksistensialis religius melihat bahwa kebebasan seorang individu dalam bertindak merupakan suatu bentuk eksistensi, yang mana sebagai individu yang bereksistensi kita berhak bebas dalam arti bukan bebas untuk melarikan diri terhadap problem yang tidak bisa kita atasi, tetapi mencoba merenungi dan mengahayati sebagai bentuk eksistensi diri.

Modern philosophy transform universality as a truth. Existentialism existed as a reaction to unsatifaction of human's entrapment within a universality. Gabriel Marcel, in his position as a religious existentialist, saw a person's freedom to act as a form of existentialism, which as existing person, we have a right to freedom, not in terms of freedom to escape problem we cannot handle, but to reflect and appreciate as a form of self-existentialism. "
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2011
S214
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rosihan Fahmi
"Istilah 'Self' dalam filsafat Barat Modern menunjukkan sebagai identitas yang melekat pada diri seseorang. Konsepsi tentang 'Self' berbeda-beda sesuai dengan pendekatan yang digunakan masing-masing filsuf dalam memaknainya. Namun secara umum dapat dikatakan, perdebatan tentang konsepsi 'Self' dalam Filsafat Barat Modern, mengarah kepada autentisitas esensialis dan eksistensialis.
Ketika dikaitkan masalah konsepsi 'Self' dalam filsafat Barat Modern dengan wacana Orientalisme "Timur" dan "Barat" yang dirumuskan oleh Edward W. Said, dalam bukunya Orientalisme, bisa jadi stereotype-stereotype seperti, rasional, beradab, dan dewasa, diciptakan "Barat" tentang keberadaannya atau identitasnya merujuk pada salah satu atau beberapa gagasan konsepsi filosofis tentang 'Self' apakah itu bersifat deteministik, anti-deterministik, atau mungkin pragmatisme. Karena, konsepsi 'Self' dalam filsafat Barat Modern secara umum, memungkinkan adanya pembenaran akan eksploitasi terhadap sesuatu yang berada diluar seperti benda-benda, alam semesta, dan bahkan manusia yang dilainkan sebagai objek.
Konstruksi identitas yang dibangun "Barat" atas "Timur" oleh Edward W. Said, berhasil dikupas menjadi sebuah persoalan yang sebelumnya dianggap tidak ada dan ditiadakan yaitu persoalan kekuasaan imperialistik yang dibingkai oleh corak kebudayaan yang orientalistik. Secara epistemologis, Edward W. Said berhasil membongkar, menyikap, menelanjangi kebusukan kultural yang diklaim secara ilmiah oleh kekuasaan koloni. Sementara itu, ditingkat ontologi Edward W. Said berhasil membongkar, menyibak, dan menelanjangi pula penyebab akhir kekuasaan imperialistik yang dibingkai oleh nilai-nilai kemanusiaan, yaitu sifat-sifat yang secara menyeluruh dan mendasar adalah antikemanusiaan itu sendiri.
Konsepsi 'Self' dan identitas manusia yang selama ini dianggap netral, terjadi dengan sendirinya, dan universal berhadapan dengan fakta yang dikemukakan Said. Maka 'Self', tidak bisa tidak harus dipahami, dalam konsepsi hibriditas dan autentisitas. Kesadaran akan kemungkinan terjadinya fundamentalisme kebudayaan inilah yang menjadikan kritik Said hanya sebagai gerbang bagi peninjauan ulang konsepsi 'Self' bagi manusia. Dalam upaya meredefinisi identitas, aspek autentisitas dan hibriditas menjadi rumusan yang tidak bisa dihindari, baik bagi "Timur" dan "Barat". Namun disisi lain, Said sendiri tidak melakukan perumusan atau menceritakan upaya Timur dalam merumuskan identitasnya. Dengan kata lain, Said seperti menyetujui bahwa Timur memang tak memiliki kemampuan untuk merumuskan atau menceritakan diri selain melalui suara orientalis dan kritikus- orientalis seperti Said."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2005
T15363
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wadjiz Anwar
Bandung: Alumni, 1979
100 WAD n
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Nurul Arrifa
"Dalam dunia modern, manusia cenderung melihat segala sesuatunya hanya berdasarkan fungsi semata bahkan memandang manusia sendiri sebagai kumpulan fungsi. Gabriel Marcel, seorang filsuf Perancis yang berbicara mengenai keberadaan manusia berpendapat bahwa cinta kasih dapat membuat manusia keluar dari kumpulan fungsi tersebut dan memandang secara keseluruhan sehingga menjadi manusia yang ada. Pandangan Marcel ini menjadi alat untuk menganalisis seorang tokoh di dalam film yang berjudul 50 First Dates dengan menjadikan tokoh tersebut, Henry Roth, sebagai representasi manusia yang bereksistensi melalui cinta kasih di dalam sebuah relasi intersubjektivitas.

In the modern world, human tends to see everything is based only on the function even seeing human itself as a crowd of function. Gabriel Marcel, a French Philosopher who talked about the human existence had an opinion that love can make human gets out from that crowd of function and sees as a whole-being for becoming a human who exists. This view of Marcel becomes a tool to analyze a character in the film which has a title 50 First Dates by making that character, Henry Roth, as a representative from the human who exists through love in an intersubjectivity relation."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2013
S47056
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ignatius I. Susilo
"Penemuan sejati hukanlah penemuan 'tempat-tempat' baru melainkan mlihat dengan cara Baru". Adapun tujuan penelitian thesis ini adalah memperoleh suatu perspektif baru dari pengertian subjektivitas, suatu pengertian Ontologis yang rnempertanyakan `Ada'(Being, Das Sein) pada umumnya dan khususnya `Ada manusia' sebagai subjek yang mempertanyakannya. Suatu pertanyaan mengenai `Ada itu sendiri', dan bukan mengenai apa yang Ada dan cara mengetahuinya sebagaimana dibahas dalam Epistemologi.
Disini dibedakan antara `Ada' (Being, Sein) dan `ada' (being, Seiendes). Pertartyaan mengenai `Ada' (a question about Being) yang menurut Heidegger telah lama dilupakan dalam kancah pemikiran Filsafat Barat (Sein-vergessenheit) justru telah menjadi pusat kajian filsafat Timur yang secara mendalam dilakukan oleh Nagarjuna seorang tokoh filsafat Mahayana dalam Buddhisme.
Dengan mempelajari dan membandingkan kedua tokoh ini diharapkan akan diperoleh suatu pengertian dan cara pandang bare akan arti subjektivitas. Bagi kedua filsuf tersebut pengertian yang benar mengenai Aku-subjek sebagai Dasein atau Atta akan dapat mengatasi perbedaan ontologis antara Ada dan ada., karena semuanya berpulang pada diri subjek itu sendiri sebagai penentu dan penguasa hidupnya dan demikian juga dunia tempatnya berada.
Metode penelitian kami dasarkan terutama pada dua buku utama tokoh tersebut yailu Sein and Zeit (Being and Time) dari Heidegger dan `Mulamadhyamakakarika' (Foundation Stanzas of the Middle Way) dari Nagarjuna baik sumber primer maupun sekundemya.
Adapun metode yang kami gunakan adalah Hermeneutika-Fenomenologi yang menekankan bahwa pemahaman bukan pertama-tama bagaimana subjek memahami objek sebagaimana dalam epistemologi melainkan memahami cara beradanya subjek secara ontologis. Bagi Heidegger hermeneutika merupakan analisis fundamental keberadaan manusia.
Penelitian kami menunjukkan adanya persamaan yang menyatakan bahwa konsep ?kekosongan? (Emptiness, Nichtes, Sunyata) sebagai Jalan-Tengah (Middle-Way, Madhyamika) adalah prasyarat bagi subjektivitas dalam merealisasikan kebebasannya untuk menjadi Dasein yang otentik melalui tindakan-tindakan konkrit dalam kesehariannya disini dan saat ini sebagaimana dikatakan Heidegger"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2008
T24416
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ronardo Safendo
"Sejarah filsafat dipenuhi dengan berbagai peristiwa yang melatarbelakangi bagaimana filsafat itu berkembang dan menjadi sebuah bidang yang terdiri dari bentukan segala aspek kehidupan seperti kebudayaan dan lingkup sosial yang sedang beriangsung. Filsafat dengan metodenya yang kritis dan reflektif dapat menjadi panduan dalam menemukan sebuah jalan keluar permasalahan. Namun sebuah jawaban yang diberikan filsafat tidak lagi menjadi sesuatu yang selalu mutlak, atau bukan sebuah warisan pemikiran atas permasalahan yang digunakan secara universal dan selamanya, bukan sebuah ketaatan buts terhadap kebenaran (semu).
Sebagaimana manusia, kebudayaan dan kehidupan sosial yang selalu mengalami perubahan yang terus menerus serta senantiasa dinamis, maka filsafat pun sebagai bagian dari kehidupan manusia harus senantiasa mengikuti tuntutan sosial sebagai wujud konkret dari akal budi manusia dalam menciptakan kehidupan sosial yang lebih baik. Filsafat tidak lagi berada dalam menara gading yang hanya berfungsi sebagai panoptikon untuk mengawasi manusia, melainkan bagaimana filsafat harus turun dan lebih menyentuh kehidupan konkret dalam lingkup sosial yang nyata dan majemuk. Kita tidak dapat membuat sebuah garis besar haluan bagi manusia untuk menemukan kebenaran yang satu, yang baik dan yang benar untuk berlaku bagi seluruh manusia tanpa adanya unsur kritis dan reflektif dari filsafat yang sangat penting namun sering dilupakan demi mengejar sebuah ambisi pencapaian kebenaran yang justru bersifat sementara.
Sebagaimana kita ketahui sebuah kebenaran akan selalu memiliki kaitan dengan unsur kuasa dan kepentingan, sehingga tidak bisa kita terapkan secara membabi buta tanpa daya kritis. Dengan melihat situasi yang majemuk dan plural, maka diperlukan semangat emansipasi dan penghargaan terhadap suara-suara yang selama ini tidak didengar. Oleh karena itu dekonstruksi Derrida melanjuti semangat filsafat yang kritis dan reflektif dari kemapanan filsafat yang dianggap sudah berhenti dan mencapai kepenuhan dalam menjawab permasalahan. Derrida mendekonstruksi tradisi filsafat barat seperti fonologisme dan strukturalisme. Wujud konkret dekonstruksi sendiri lebih menonjolkan sisi etis dan politis di dalam kehidupan sosial, dengan selalu memurnikan dan mewujudkan kehidupan yang lebih baik. Di dalam dekonstruksi tidak ada sebuah pencapaian kebenaran yang mutlak dalam menciptakan kehidupan yang lebih baik, melainkan akan selalu mengawali proses pemurnian dan terbuka bagi segala peluang dan yang lain."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2006
S16086
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Zaitun
"Kondisi alami manusia secara Naturalistik menunjukan adanya satu mekanisme tertentu yang berbeda-beda. Hal ini berpengaruh pada potensi, preferensi dan sikap dari manusia itu sendiri. Perbedaan yang sifatnya lami tertenam dalam diri manusia ini tidak bisa dihiraukan begitu saja. Terlebih jika menyangkut hal aktivitas dari manusia itu sendiri. Dalam pendidikan, praktek yang berpotensi atau bahkan menyeragamkan manusia tidak bisa dilakukan. Karena pendidikan harus membuka ruang lebar pada kebebasan manusia agar bisa tumbuh sesuai dengan mekanisme yang membentuk dirinya.

The Human Nature in Naturalistic view shows that every single man has his structure mechanism; it was different in each people. It leads to different potency, preference, and the behavior of the man. The differences was natural innate to human and can not be ignored, especially if it is related to the human activity. In the term of Education, the practice of education which potentially does the same thing without seeing the natural condition of human can not be done. Because, education must give the place of freedom for its participant so that they can be growth as its mechanism."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2010
S16034
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ven, Cornelis van de
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991
720 VEN r
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>