Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 20687 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Chufrin, Gennady
New Delhi: Vekas Publishing House, 1976
337.1 Chu e
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Centre for Strategic and International Studies, 1996
327.172 ROL
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Hosang, Lesly Gijsbert Christian
"Ilmu hubungan internasional memiliki tiga paradigma utama; realisme, liberalisme, dan kontruktivisme yang khas dalam memandang institusi. Tulisan ini akan melihat dan membandingkan bagaimana ketiga paradigma ini memandang ASEAN Political Security Community 2015. Pada akhirnya, dapat diketahui keunikan dan kelemahan masing-masing paradigma dalam memandang kerjasama keamanan di Asia Tenggara ini. Realisme memandang security dilemma sebagai faktor kunci munculnya kerjasama, sedangkan liberalisme memandang institusionalisme sebagai faktor determinan. Di sisi lain, konstruktivisme menakankan pada identitas kolektif yang terkonstruksi di antara negara-negara anggota APSC 2015.

International relations has three major paradigms: realism, liberalism, and constructivism that has distinct view on institution. This paper will compare how the three paradigms asses the ASEAN Political Security Community 2015. In the end, the uniqueness and weaknesses of each paradigm will be identified. Realism regards security dilemma as a key factor in the emergence of security cooperation, while liberalism sees institutionalism as a determinant factor. On the other hand, constructivism emphasizes on collective identity that is constructed among the member countries of APSC 2015."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2011
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Ramadhanny Evasari
"Fenomena regionalisme ekonomi yang berlangsung di kawasan Asia-Pasifik pasca berakhirnya Perang Dingin memiliki karakteristik yang unik dan berbeda dibandingkan dengan regionalisme ekonomi yang terjadi di kawasan lainnya. Karakteristik utama dari regionalisme ekonomi di kawasan Asia-Pasifik adalah prinsip open regionalism. Pemahaman lebih lanjut mengenai fenomena regionalisme ekonomi di kawasan Asia-Pasifik dan prinsip open regionalism dapat ditelaah melalui eksistensi Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC). APEC merupakan pelopor kerangka kerja sama ekonomi regional antarnegara di kawasan Asia-Pasifik yang berfokus pada agenda liberalisasi perekonomian regional. Penulisan tinjauan literatur ini bertujuan untuk meneliti eksistensi APEC dalam dinamika regionalisme ekonomi di kawasan Asia-Pasifik melalui metode kronologi.
Berdasarkan metode kronologi, penulisan tinjauan literatur ini membagi periodisasi perkembangan kajian literatur tentang APEC ke dalam tiga periode yang berbeda. Tiga periode perkembangan kajian literatur tentang APEC tersebut terbagi menjadi (1) Periode I (Formative Years, 1990-1994), (2) Periode II (Stagnation Years, 1995-2001), dan (3) Periode III (Adjustment Years, 2002-2009). Penulisan tinjauan literatur ini mengidentifikasi bahwa terdapat lima isu dominan yang berkaitan erat dengan eksistensi APEC dalam dinamika regionalisme ekonomi di kawasan Asia-Pasifik, antara lain isu kepemimpinan, isu pembentukan kerja sama, isu pembentukan institusi, isu integrasi regional, dan isu tata kelola regional. Penulisan tinjauan literatur ini juga mengamati bahwa dalam kondisi internasional dan regional Asia-Pasifik yang terkini, APEC mengalami peralihan fokus pada agenda kerja sama ekonomi regionalnya, yang pada awalnya berfokus pada agenda liberalisasi ekonomi regional menjadi agenda integrasi ekonomi regional.

The phenomenon of economic regionalism which occurs in the Asia-Pacific region after the end of the Cold War has unique and distinct characteristics compared to the economic regionalism that happens in other regions. The main characteristic of economic regionalism that takes place in the Asia-Pacific region is the principle of open regionalism. Further comprehension of the phenomenon of economic regionalism in the Asia-Pacific region and also the principle of open regionalism can be examined through the existence of the Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC). APEC is the pioneer of the framework of regional intergovernmental economic cooperation in the Asia-Pacific region which focuses on the agenda of regional economic liberalization. This literature review aims to examine the existence of APEC in the dynamics of economic regionalism in the Asia-Pacific region by applying the method of chronology.
Based on the application of the method of chronology, this literature review divides the periodization of the evolution of a series of relevant literature about APEC into three different periods. The periodization is divided into (1) Period I (Formative Years, 1990-1994), (2) Period II (Stagnation Years, 1995-2001), and (3) Period III (Adjustment Years, 2002-2009). This literature review identified that there are five dominant issues which are closely related to the existence of APEC in the dynamics of economic regionalism in the Asia-Pacific region, as follows: leadership, cooperation building, institution building, regional integration, and regional governance. This literature review also observed that, in the context of current international and regional circumstances that happens in the Asia-Pacific region, APEC has been experiencing a transition of its focus from the agenda of regional economic liberalization regional economic integration.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2016
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
M. Mardani Arrahman
"Collective Security Treaty Organization (CSTO) merupakan sebuah pengaturan keamanan regional di kawasan Asia Tengah. Keberadaan CSTO diharapkan bisa menciptakan stabilitas maupun perdamaian bagi negara-negara anggotanya. Terdapat tiga paradigma utama dalam Ilmu Hubungan Internasional yaitu realisme, liberalisme dan konstruktivisme. Masing-masing paradigma memiliki pandangan yang berbeda terhadap suatu institusi pengaturan keamanan regional. Realisme dengan teori collective defense melihat suatu institusi pengaturan keamanan akan membentuk suatu aliansi militer sebagai bentuk pertahanan diri terhadap ancaman. Liberalisme dengan teori collective security melihat sebuah institusi pengaturan keamanan sebagai institusi yang dapat menjaga negara-negara anggotanya untuk tidak berkonfrontasi antara satu dengan yang lain. Konstruktivisme dengan teori security community memiliki pandangan bahwa suatu institusi pengaturan keamanan bisa membuat negara-negara anggotanya untuk tidak melakukan tindakan koersif dalam penangan konflik maupun reaksi terhadap ancaman. Karya tulis ini akan menganalisa karakteristik CSTO sebagai organisasi keamanan di kawasan Asia Tengah melalui tiga teori tersebut."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1970
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Joo, Seung-ho
"Synopsis
'Kwak and Joo have assembled some of the top Korea scholars to produce an excellent book that is rich in historical and contemporary analysis and delves into both the domestic and international complexities of Northeast Asia and the North Korea problem. The many thought-provoking policy recommendations contained in these pages will give all who read this book much to ponder.' Terence Roehrig, U.S. Naval War College, USA "
Farnham: Ashgate Publishing Ltd, 2014
355.031 JOO n
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Keisha Marsha Tuffahati
"Tulisan ini akan mencoba memahami bagaimana istilah human security dipahami dalam konteks studi keamanan internasional dari 3 sudut pandang: human security sebagai Hak Asasi Manusia, human security sebagai freedom from fear, dan human security sebagai freedom from want. Human security sebagai Hak Asasi Manusia menekankan pada pentingnya diseminasi norma HAM yang diwujudkan dalam bentuk agenda human security serta peran berbagai aktor dalam upaya diseminasi norma tersebut. Human security sebagai freedom from fear menekankan perlindungan terhadap manusia dari situasi konflik serta justifikasi terhadap intervensi kemanusiaan. Sedangkan human security sebagai freedom from want menekankan perlindungan terhadap martabat dan pemberdayaan manusia melalui program pembangunan. Analisis juga meliputi bagaimana kontribusi human security bagi studi keamanan serta penjajaran perbedaan kedua konsep tersebut.
Tulisan ini berargumen bahwa human security memperkaya khasanah kajian keamanan internasional dengan memperluas agenda keamanan dan pengadopsian agenda normatif. Selain itu, tulisan ini menyimpulkan bahwa meskipun diklaim sebagai perusak koherensi intelektual kajian keamanan, konsep human security tetap relevan dalam studi keamanan internasional karena konsep tersebut berorientasi pada pembuatan kebijakan. Pada praktiknya, konsep human security digunakan sebagai jargon dalam mempromosikan agenda keamanan dan pembangunan oleh institusi internasional seperti PBB serta negara middle power seperti Kanada dan Jepang.

This paper aims to seek how human security is understood from 3 standpoints human security as human rights, human security as freedom from fear, and human security as freedom from want. Human security as human rights emphasizes dissemination of human rights norms manifested in the form of human security agenda and the role of various actors in the dissemination of the norms. Human Security as freedom from fear emphasizes protection of the people in conflict situations and justification towards humanitarian intervention agenda. Meanwhile, human security as freedom from want emphasizes the protection of human dignity and human empowerment through development program. It also highlights the contribution of human security to security studies as well as juxtaposition of the two concepts.
This paper argues that human security has enriched the repertoire of security studies by expanding the scope of security and adopting normative agenda. This paper concludes that although human security is claimed to be damaging to intellectual coherence of security studies, the concept itself remains relevant in international security studies due to its policy orientedness. In practice, human security is used as a jargon in promoting security and development agenda by international insitutions such as the United Nations as well as middle power countries such as Canada and Japan.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2017
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Rifqi Daneswara
"Kerja sama keamanan Eropa mengalami perkembangan terbaru dengan aktivasi Permanent Structured Cooperation tahun 2017 oleh Uni Eropa. Aktivasi PESCO dilakukan pada waktu yang unik setelah United Kingdom memilih untuk keluar dari Uni Eropa melalui referendum di tahun 2016. Skripsi ini berusaha mencari tahu mengapa Uni Eropa mengaktivasi PESCO di tahun 2017. Tulisan ini menggunakan teori legitimasi yang ditulis oleh Tallberg dan Zurn dengan melihat legitimasi institusi berdasarkan fitur-fitur yang dimiliki institusi yaitu otoritas, prosedur dan performa. Teori tersebut digunakan karena terdapat permasalahan legitimasi yang dihadapi oleh Uni Eropa ketika PESCO diaktifkan. Menggunakan teori legitimasi, tulisan menemukan bahwa aktivasi PESCO dilakukan sebagai salah satu upaya Uni Eropa untuk melanjutkan integrasi sekaligus meningkatkan legitimasi yang dimiliki oleh institusi. Berdasarkan fitur otoritas, di dalam PESCO Uni Eropa memiliki otoritas yang rendah bila dibandingkan dengan bentuk kerja sama di bidang lainnya seperti Euro Area sebagai upaya mengurangi defisit legitimasi Uni Eropa. Sementara itu, berdasarkan fitur prosedur, pengambilan keputusan yang ada di dalam PESCO berpusat dalam Dewan Uni Eropa memiliki tujuan meningkatkan legitimasi di mata pemerintah negara anggota. Terakhir, berdasarkan fitur Performa, PESCO dibentuk untuk meningkatkan kapabilitas keamanan Uni Eropa dan legitimasi di mata audiens, namun lambatnya penyelesaian proyek menghalangi peningkatan legitimasi di fitur ini. Berdasarkan ketiga fitur tersebut, ditemukan bahwa PESCO dibentuk berdasarkan permasalahan legitimasi yang melanda Uni Eropa yaitu tingginya defisit legitimasi yang dihadapi, rendahnya kepercayaan dari negara anggota serta ketidakmampuan Uni Eropa untuk menyelesaikan masalah keamanan di lingkungan mereka. Dengan mengatasi ketiga hal tersebut, diharapkan aktivasi PESCO dapat meningkatkan legitimasi yang sebelumnya mengalami penurunan diakibatkan berbagai krisis.

European security cooperation underwent the latest development by the activation of Permanent Structured Cooperation (PESCO) in 2017 by the European Union. The PESCO activation was carried out in a unique time after the United Kingdom chose to leave the European Union through a referendum in 2016. This study seeks to find out why the European Union activated PESCO in 2017 and adopted the theory of legitimacy written by Tallberg and Zurn by looking at the legitimacy of the institutions based on the features of the institution, namely authority, procedure, and performance. Such theory was used because there were legitimacy problems faced by the European Union at the time when PESCO was activated. Using the theory of legitimacy, this study found that PESCO activation is carried out as one of the European Union's efforts to continue the integration while at the same time increasing the legitimacy of the institution. Based on the feature of the authority in PESCO, the European Union has low authority compared with forms of cooperation in other fields, as an effort to reduce the EU's legitimacy deficit. Meanwhile, based on the features of the procedure, the decision-making in PESCO is centered on the Council of the European Union with the aim of increasing legitimacy for its member state governments. Lastly, based on the feature of the performance, PESCO was activated to increase the EU security capabilities and legitimacy for the audience, however, the slow pace of project completion prevented the increase of legitimacy in this feature. Based on these three features, it was found that PESCO was formed on legitimacy problems that plagued the European Union, namely the high deficit of legitimacy, low trust from the member countries and the European Union's inability to resolve security problems in their environment. By overcoming those three things, it is hoped that PESCO activation may increase the legitimacy which has previously decreased due to various crises."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mandaluyong City: Asian Development Bank, 2020
337.1 FUT
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Abdul Haris
"Kerjasama keamanan Jepang dengan Uni Eropa (UE) yang telah berlangsung cukup lama, dinilai masih sangat minim dan terbatas. Namun, di masa pemerintahan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe terjadi perkembangan yang cukup signifikan. Ditandai dengan kerjasama keamanan kedua pihak yang terlibat dalam misi kontra pembajakan di Somalia dan pembuatan Perjanjian Kerjasama Strategis (Strategic Partnership Agreement, SPA) sebagai kerangka kerja yang mengikat dan berkekuatan hukum, menimbulkan optimisme Jepang-UE terhadap semakin eratnya kerjasama keamanan kedua belah pihak di masa yang akan datang. Pertanyaan dalam penelitian adalah: Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi Jepang di masa pemerintahan Perdana Menteri Shinzo Abe dalam melakukan kerjasama keamanannya dengan UE?. Penelitian ini menggunakan konsep dan teori adaptive foreign policy James N. Rosenau. Analisis dalam penelitian ini menemukan bahwa Jepang dalam melakukan kerjasama keamanannya dengan UE di masa pemerintahan Abe, dipengaruhi oleh perubahan yang terjadi di lingkungan internal dan eksternalnya. Faktor internalnya adalah kepemimpinan dari Shinzo Abe sebagai Perdana Menteri dan reformasi kebijakan pertahanan dan keamanan yang menginginkan Jepang lebih proaktif berkontribusi untuk perdamaian. Sedangkan faktor eksternalnya adalah terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden AS dengan kebijakan-kebijakannya dan perkembangan dari peran UE sebagai aktor keamanan global. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif melalui studi pustaka dan dokumen. Data bersumber dari pemerintah dan pernyataan yang diterbitkan dan jurnal, buku dan situs internet.

Japanese security cooperation with the European Union (EU) that has been going on for quite a long time, but still considered very minimal and limited. However, during the reign of Japanese Prime Minister Shinzo Abe there was a significant development. Marked by the security cooperation of the two parties involved in the counter-piracy mission in Somalia and the creation of a Strategic Partnership Agreement (SPA) as a binding and legally enforceable framework, it has raised optimism between Japan and the EU in the increasingly tight cooperation between the two parties which will come. The questions in the study are: What factors influence Japan during the reign of Prime Minister Shinzo Abe in conducting security cooperation with the EU? This research uses James N. Rosenau's adaptive foreign policy concept and theory. The analysis in this study found that Japan in carrying out its security cooperation with the EU in Abe's reign, was influenced by changes that occurred in its internal and external environment. Its internal factor is the leadership of Shinzo Abe as Prime Minister and defense and security policy reforms who want Japan to be more proactive in contributing to peace. While the external factor is the election of Donald Trump as US President with his policies and the development of the EU's role as a global security actor. This study uses qualitative methods through literature and document studies. Data sourced from the government and published statements and journals, books and internet sites."
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2019
T51685
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>