Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 28023 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Kahn, Joel S. author
London: SAGE Publications, 1995
306.446 KAH c
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Kahn, Joel S.
Jakarta: Institute of Nation Development Studies, 2016
306.090 4 KAH c
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
McRobbie, Angela
London: Routledge, 1996
149.97 MCR p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Collins, Jim
New York: Routledge, 1989
700.904 COL u
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Adorno, Theodor W.
London: Routledge, 1991
306 ADO c
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Roseldo, Renato
London: Routledge, 1993
306 ROS c
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Herdis Herdiansyah
"Kegagalan modernitas memberikan kehidupan yang lebih baik kepada kehidupan manusia dipakai sebagai momentum kebangkitan era baru, era posmodernis. Pergeseran pola-pola konsumsi dan berubahnya tanda menyebabkan hubungan manusia dengan manusia yang lain ditandai dengan perubahan yang revolusioner. Perubahan ini terkait dengan perkemtangan lime pengetahuan dan teknologi. Seksualitas sebagai satu medium hubungan manusia dalam posmodemisme dilakukan dengan keragaman wacana, irnpressif dan bahkan dianggap melanggar tabu yang telah dibakukan. Tabu seksualitas ini adalah prinsip esensialisme yang beranggapan bahwa kodrat biologis manusia menyebabkan orientasi individu ditentukan oleh organ biologisnya. Laki-laki hanya boleh berhubungan dengan perempuan dalam satu ikatan resmi (heteroseksual-monogami). Penelitian ini mempergunakan metodologi analisis deskriptif, komparasi dan (khusus pada bab IV) dengan metode dekonstruksi.
Grand-narrative dalam seksualitas terbentuk lewat etika Victorian, dimana seksualitas dibungkam dan diarahkan harrya untuk beribadah dan bekerja keras (puritanisme). Pemahaman Victorianisme bermula dari doktrin kepercayaan Gereja pada abad pertengahan dimana doktrin Gereja beranggapan bahwa tubuh dan seksualitas adalah sesuatu yang kotor. Doktrin ini beranggapan tubuh dan seksualitas harus diarahkan sedemikian rupa untuk penyatuan diri dengan Tuhan. Grand-narrative seksualitas juga terbangun dengan negasi the others Sarterian. Hubungan dengan yang lain (the others) adalah musuh bagi subjek. Kondisinya saling mengobjekan dengan yang lain. Melampaui grand-narrative dari seksualitas, -sebagai fondasi teoritis- seksualitas posmodernis terbangun melalui klasifikasi Freudian, yakni libido menjadi penggerak dalam kehidupan seseorang. Pemahaman Freudian mengharuskan ego sesuai dengan realitas, tapi bagi Lacan justru ego dibawah kendali realitas. Realitas hasrat ini berbentuk pada pencarian dari libido dalam pelbagai aktivitas kehidupan. Kenikmatan tubuh juga senantiasa bisa bergeser menjadi kenikmatan literal yang bersifat subversif. Marquis de Sade dan Sacher van-Mashoc berusaha untuk melawan moralitas dari modernitas berupa pengekengan dan pengendalian rnenjadi satu bentuk kejahatan sampai batasan yang ekstrim, salah satunya berupa kejahatan atas tubuh melalui teks. Senada dengan Sade dan Mashoc, Battaile beranggapan bahwa tabu dianggap sebagai penghalang dari kehidupan. Untuk mendapatkan kenikmatan maka tabu harus dilanggar dimana tabu ini adalah pengetatan dari sistem sosial.
Teoritisasi yang dipakai dalam penelitian ini memakai analisa Butler, dimana tidak ada identitas asali selain proses pengulangan demi pengulangan. Proses pengulangan adalah imitasi tanpa henti sehingga tidak ada koherensi organ genital dengan preferensi seksual. Dari analisa Foucault, seksualitas merupakan arena kompleks relasi kekuasaan, pengetahuan dan kenikmatan, Seksualitas diatur dan diarahkan untuk membentuk individu yang patuh. Bagi Foucault, apapun peraturan dan tabu yang dipakai, seksualitas akan selalu mencari jalan keluar "penyimpangan" dari aturan yang dilakukan. Dari analisa Foucault, seksualitas tidak bisa dibatasi dan diatur dalam keketatan peraturan dan larangan. Teoritisasi terakhir memakai Baudrillard. BaudrilIard melihat seksualitas posmodernis kini tergantikan menjadi kenikmatan imajinasi dan bergesernya tubuh menjadi mesin, Perkembangan ilmu pengetahuan yang semakin cepat menyebabkan logika hasrat dan politik bujuk rayu menggeser kenikmatan ragawi menjadi proses konsumsi kenikmatan tanpa henti, yang kemudian dikenal dengan zaman post-seksualitas.
Refleksi kritis dan dekonstruksi seksualitas posmodernis dalam wacana seksualitas kontemporer memberikan peluang yang sarna untuk kalangan marginal (feminis sampai minoritas seksual/homoseksualitas) dalam menentukan batasan kenikmatan, rangsangan dan Cara memperoleh kenikmatannya sendiri. Begitupula dengan pornografi yang menjadi salah satu probiematika masyarakat. Ketika memang tidak ada dehumanisasi, eksploitasi objek dan dilakukan lengan kesadaran objek sebagai pilihan dari kebebasannnya, maka pornografi adalah satu perbuatan legal dan patut dihormati, Tapi ketika terjadi eksploitasi dan dehumanisasi maka delik pidana mutlak dikenakan dengan sanksi yang berat bagi pelaku (produser).
Penelitian ini akhirnya menghasilkan kesimpulan bahwa seksualitas posmodernis yang konsep-konsep filosofisnya salah satunya terbangun dengan plularitas wacana, denaturalisasi, dan polimorfisme hasrat (disamping fondasi teoritis pada bab 11) adalah berupa keharusan untuk memberikan penghormatan atas aktivitas-aktivitas seksualitas di luar esensialisme (heteroseksual-monogami). Sebagai bentuk kesadaran dan kebebasan, seksualitas posmodernis akan selalu mencari bentuk pelepasan hasrat. Dengan kondisi ini, maka normalisasi, pengawasan yang membatasi, pengaturan yang ketat justru akan membuat aktivitas seksualitas masyarakat posmodernis semakin beragam, ekspresif, dan subversif Pengakomodiran dan penghormatan aktivitas-aktivitas di luar essensiaiisme mutlak untuk dilakukan, Seksualitas posmodernis juga tidak akan menimbulkan satu kondisi kacau berupa penjungkir balikan nilai-nilai yang selama ini diyakini, tetapi maiah menimbulkan sate kohesi sosial yang positif karena ditopang oleh penghormatan dan pengafirmasian wacana seksualitas diluar apa yang satu individu lakukan. Satu kondisi dimana wacana seksualitas ini sebatas tidak terjadinya satu eksploitasi dan dehumanisasi pihak yang lain."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2006
T17377
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adysa Tiffany Wibowo
"ABSTRAK
Artikel ini membahas mengenai konsumsi tumbler Starbucks yang menjadi salah satu indikasi berlangsungnya pengokohan budaya konsumer pada masyarakat. Hal ini berkaitan dengan adanya hegemonic brandscape yang dijalankan oleh Starbucks dalam membentuk citra merek yang kuat pada Starbucks itu sendiri. Selain itu, terjadi proses pemaknaan yang dilakukan individu terhadap pengonsumsian tumbler Starbucks yang kemudian diadopsi menjadi gaya hidup. Studi-studi sebelumnya melihat citra merek sebagai faktor pendorong pada loyalitas konsumen dalam melakukan perilaku konsumsi dalam perspektif ilmu marketing. Oleh karena itu, tulisan ini berusaha mencoba mengkaji dengan menggunakan pandangan sosiologis, yakni perspektif budaya konsumer. Argumen yang dihasilkan oleh studi ini, yaitu pengonsumsian tumbler Starbucks tersebut terjadi karena adanya penanaman makna dan simbol yang dilakukan oleh Starbucks terhadap masyarakat. Selain itu, individu memaknai tumbler Starbucks-nya sebagai alat untuk mengekspresikan diri, menunjukkan identitas, dan meningkatkan status sosialnya. Artikel ini menggunakan pendekatan kualitatif dan metode wawancara mendalam agar dapat menggali lebih jauh alasan individu mengonsumsi tumbler Starbucks tersebut.Artikel ini membahas mengenai konsumsi tumbler Starbucks yang menjadi salah satu indikasi berlangsungnya pengokohan budaya konsumer pada masyarakat. Hal ini berkaitan dengan adanya hegemonic brandscape yang dijalankan oleh Starbucks dalam membentuk citra merek yang kuat pada Starbucks itu sendiri. Selain itu, terjadi proses pemaknaan yang dilakukan individu terhadap pengonsumsian tumbler Starbucks yang kemudian diadopsi menjadi gaya hidup. Studi-studi sebelumnya melihat citra merek sebagai faktor pendorong pada loyalitas konsumen dalam melakukan perilaku konsumsi dalam perspektif ilmu marketing. Oleh karena itu, tulisan ini berusaha mencoba mengkaji dengan menggunakan pandangan sosiologis, yakni perspektif budaya konsumer. Argumen yang dihasilkan oleh studi ini, yaitu pengonsumsian tumbler Starbucks tersebut terjadi karena adanya penanaman makna dan simbol yang dilakukan oleh Starbucks terhadap masyarakat. Selain itu, individu memaknai tumbler Starbucks-nya sebagai alat untuk mengekspresikan diri, menunjukkan identitas, dan meningkatkan status sosialnya. Artikel ini menggunakan pendekatan kualitatif dan metode wawancara mendalam agar dapat menggali lebih jauh alasan individu mengonsumsi tumbler Starbucks tersebut.

ABSTRACT
This article discusses about the consumption of Starbucks tumbler which is one of indication of the consumer culture. This is caused by Starbucks hegemonic brandscape that shapes a brand image on Starbucks itself. Furthermore, there is a process of meaning that individuals do which is adopted into a lifestyle. Previous studies view brand image as a driving factor in consumer loyalty in conducting consumption behavior by the marketing science perspective. Therefore, this paper seeks to examine the issue using the sociological perspective, namely the perspective of consumer culture. This study has generated two arguments, first, the Starbucks tumbler consumption occurs due to the meaning and symbols made by Starbucks to the public. Second, the individual interpreted his Starbucks tumbler as a means of expressing himself, showing his identity, and improving his social status. This article uses a qualitative approach and an in depth interview method in order to explore further the reasons why individuals consuming the Starbucks tumbler. "
2017
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Ary Yunian Putri
"Culture shock merupakan suatu kondisi dimana seseorang mengalami adanya rasa ketidaknyamanan atas apa yang dilakukannya saat berada di lingkungan yang baru atau berbeda secara signifikan dengan lingkungan asalnya, sehingga membuat seseorang sulit untuk beradaptasi. Ketidaknyamanan ini dapat mencakup perbedaan dalam norma sosial, nilai budaya, dan perilaku yang berlaku di lingkungan baru. Individu yang mengalami culture shock seringkali mengalami kesulitan dalam beradaptasi, karena mereka merasa tidak familiar dengan aturan dan norma yang berlaku. Teman sebaya tidak hanya dapat memberikan kenyamanan emosional, tetapi juga menyediakan sumber daya yang mendukung proses adaptasi individu di lingkungan yang baru dan jauh dari lingkungan keluarganya. Dukungan sosial ini mencakup pertukaran informasi, pengalaman, dan pemahaman bersama yang dapat membantu individu untuk mengatasi tantangan culture shock dan mempercepat proses adaptasi mereka. Saat ini pemerintah memberikan kesempatan untuk para mahasiswa yang ingin merasakan belajar di luar negeri melalui program barunya yaitu IISMA (Indonesian International Student Mobility Award). Program IISMA sudah berjalan selama 2 tahun sejak 2021. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara dukungan sosial teman sebaya dengan culture shock pada mahasiswa yang mengikuti program belajar di luar negeri, secara spesifik pada penelitian ini ialah program IISMA (Indonesian International Student Mobility Award). Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif dengan jenis survey. Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian adalah stratified random sampling. Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis univariat dan bivariat dengan menggunakan tabel silang dan uji korelasi Kendall’s tau b serta uji validatitas dan reliabilitas. Penelitian ini dilakukan dari bulan Mei sampai Desember 2023 kepada 74 mahasiwa Universitas Indonesia yang telah menyelesaikan program IISMA (Indonesian International Student Mobility Award) batch 1 maupun batch 2. Hasil penelitian melalui uji korelasi Kendall’s tau-b menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif yang signifikan antara dukungan sosial teman sebaya terhadap tingkat culture shock dengan nilai koefisien korelasi sebesar -0,237 dan p-value 0,037. Hasil tersebut menunjukkan bahwa hubungan yang dihasilkan rendah, tetapi hubungan antara keduanya negative yang berarti semakin tinggi tingkat dukungan sosial teman sebaya yang dimiliki, maka akan semakin rendah tingkat culture shock yang dialami. Terdapat beberapa saran yaitu mahasiswa IISMA perlu persiapan akademis dan aktif berpartisipasi dalam kehidupan sosial lokal untuk mengatasi culture shock. Kemudian, pengembangan mata kuliah Tingkah Laku Manusia dan Lingkungan Sosial dapat diperkaya dengan program adaptasi, metode pengajaran interaktif, dan sumber daya online, serta kolaborasi dengan lembaga dukungan mahasiswa. Terakhir, penelitian menunjukkan hubungan signifikan antara dukungan sosial teman sebaya dan culture shock, menyarankan penelitian lanjutan untuk eksplorasi program dukungan inovatif.

Culture shock is a condition in which an individual experiences discomfort in response to their actions in a new environment significantly different from their original one, making it challenging for them to adapt. This discomfort may encompass differences in social norms, cultural values, and behaviors prevailing in the new environment. Individuals undergoing culture shock often face difficulties in adapting because they feel unfamiliar with the rules and norms in place. Peers can provide not only emotional comfort but also resources that support the individual's adaptation process in a new environment far from their family setting. This social support includes the exchange of information, experiences, and shared understanding that can help individuals overcome culture shock challenges and expedite their adaptation process. Currently, the government offers opportunities for students who want to experience studying abroad through its new program called the Indonesian International Student Mobility Award (IISMA). The IISMA program has been running for two years since 2021. This research aims to determine the relationship between peer social support and culture shock in students participating in study abroad programs, specifically focusing on the IISMA program. The research employs a quantitative approach with a survey type. The sampling technique used is stratified random sampling. The analysis techniques include univariate and bivariate analyses using cross-tabulation tables and Kendall's tau-b correlation test, as well as validity and reliability tests. The study was conducted from May to December 2023 on 74 students from the University of Indonesia who have completed the IISMA program batches 1 and 2. The results of the Kendall's tau-b correlation test show a significant negative relationship between peer social support and the level of culture shock, with a correlation coefficient of -0.237 and a p-value of 0.037. This result indicates a low relationship, but the negative correlation suggests that the higher the level of peer social support, the lower the level of experienced culture shock. There are several recommendations, namely that IISMA students need academic preparation and active participation in local social life to overcome culture shock. Furthermore, the development of the Human Behavior and Social Environment course can be enriched with adaptation programs, interactive teaching methods, online resources, and collaboration with student support institutions. Finally, research indicates a significant relationship between peer social support and culture shock, suggesting further research to explore innovative support programs."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yoo, Myeong-jong
Seoul: Discovery Media, [date of publication not identified]
KOR 306.461 YOO i
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>