Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 151270 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
cover
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2000
S5912
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Insan Praditya Anugrah
"ABSTRAK
Tesis ini memperbandingkan pretorianisme militer dalam politik Negara, mengambil studi kasus Indonesia dan Myanmar. Dengan menggunakan teori pretorianisme Eric Nordlinger, tesis ini membandingkan kedua Negara tersebut melalui empat indikator penting dalam teori petorianisme Eric Nordlinger, diantaranya : a penghapusan dan pembatasan persaingan dan keterlibatan masyarakat dalam politik, b upaya mempertahankan kekuasaan oleh rezim militer secara terpusat, c pertumbuhan dan modernisasi ekonomi dan d kecenderungan mempertahankan status quo ekonomi dibandingkan mengupayakan ekonomi yang progresif.Melalui penelitian ini, ditemukan bahwa di Indonesia rezim Orde baru memiliki melakukan pembatasan persaingan dan keterlibatan dalam politik, sedangkan di Myanmar, rezim junta militer penghapuskan persaingan dan keterlibatan politik. Orde baru di Indonesia mengupayakan keberlangsungan kekuasaannya melalui mobilisasi politik, indoktrinasi di desa-desa, serta sensor atas media-media cara represif juga digunakan untuk meredam penentangan terhadap pemerintah , rezim junta militer di Myanmar mengupayakan indoktrinasi, kontrol serta pengawasan atas media-media namun cara represif lebih dominan. Orde Baru di Indonesia mengelola pertumbuhan ekonomi dan modernisasi dengan meliberalisasi perekonomian, investasi asing masuk membawa alih teknologi dan modernisasi di Indonesia, rezim junta militer Myanmar justru memberlakukan kebijakan ekonomi isolasionis yang melakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan serta membatasi masuknya modal asing. Orde Baru di Indonesia mengupayakan kebijakan-kebijakan ekonomi progresif di pedesaan, akan tetapi secara porsi justru Orde Baru cenderung menngkonsentrasikan kapital dan pembangunan di pusat ketimbang daerah-daerah. Rezim Junta Myanmar juga memberlakukan kebijakan progresif terhadap petani namun konsentrasi kapital tetap berada pada kelompok militer. Penelitian ini menemukan bahwa secara teoritik dalam aspek politik dibutuhkan indikator tambahan mengenai pelanggaran HAM serta dalam aspek ekonomi dibutuhkan tambahan indikator mengenai konglomerasi oleh militer, karena kedua hal tersebut sangat menonjol di kedua negara.

ABSTRACT
This thesis comparing military praetorianism in Indonesia rsquo s New Order Era and Myanmar rsquo s Military Junta using the theoretical explanation of Eric Nordlinger rsquo s Praetorianism. There are four important indicators that can help us to compare both countries such as a the abolition and limitation of competition and involvement in politics for civilians b the military regime efforts to maintain the continuity of the regime c economic development and modernization and d the intention of ruler praetorians to preserve the economic status quo rather than progressive economy.This paper found that Indonesia rsquo s New Order tend to limit competitions and involvement of civilians in the politics while Myanmar rsquo s military junta abolished the competition and involvement of civilian in the politics. Indonesia rsquo s New Order regime tend to maintain the continuity of the regime through political mobilization and indoctrination especially for villagers, and media control, aside of repressive way. Myanmar rsquo s military Junta also tend to maintain the power by indoctrination and control over media, but the repressive actions by military was more dominant. Indonesia rsquo s New Order maintaining economic development and modernization through economic liberalization, foreign investment brought technological transfer and modernization, meanwhile the Myanmar rsquo s military junta regime imposing isolationist economic policy and nationaliziation of foreign enterprises and limit the foreign investment inflow within the country. Indonesia rsquo s New Order regime attempt to achieve progressive policies such as building public facilities for villagers but there was still huge disparity between economy in the village and central region. The capital was centralized within the circle of Jendral Soeharto rsquo s cronies. Myanmar rsquo s military junta government also attempt to achieve progressive policies toward peasants and farmers in the village by building public facilities and credit special for peasants and farmers, but the overall capital in fact concentrated within the military. This thesis found that more indicator needed about human rights violation and groups conglomeration of military, as the two aspects are very significant within the two countries"
2018
T51612
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syarif Thoyib
"ABSTRAK
Suasana revolusi kemerdekaan 1945-1949 cukup efektif dalam proses pembentukan suatu etos pejuang di kalangan Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada saat itu. Dalam suasana kepejuangan tersebut, relatif tidak memungkinkan bagi tumbuhnya suatu dikhotomi yang secara tegas membagi fungsi militer dan nonmiliter. Yang ada justru kekaburan fungsi di antara keduanya, sehingga TNI sejak lahirnya sudah terbiasa dengan kancah kehidupan di mana fungsi hankam dan fungsi kekuatan sosial-politik berpadu sekaligus.
Tetapi selepas perang kemerdekaan itu selesai, pengalaman berharga kalangan TNI selama perang kemerdekaan tersebut tidak bisa dijadikan sebagai sumber legitimasi baginya untuk terjun dalam bidang politik seterusnya. Keinginan dari para politisi sipil untuk menegakkan secara tegas sistem demokrasi liberal bagi negara Indonesia (sejak RIS pada 1949) membawa akibat terhadap kebijaksa_naan ketentaraan yang ada. Hal ini berarti hilangnya kesempatan bagi TNI untuk terjun dalam kancah politik, sebab sistem Liberal menghendaki adanya suatu supremasi sipil atas militer, di mana kedudukan militer tidak lebih hanyalah sebagai alat negara. Kondisi demikian meskipun menimbulkan rasa ketidakpuasan bagi sebagian kalangan TNI, tetapi banyak pula didukung oleh sebagian para perwiranya, terutama yang berasal dari unsur KNIL.
Dalam realisasinya, sistem tersebut di atas tidak berjalan seacara mulus. Konflik antar perwira militer dengan kalangan politisi sipil (partai-partai politik) sering muncul ke permukaan. Rasa kecurigaan di antara keduanya sering menjadi penyebab konflik-konflik tersebut, di mana manuver-manuver politik yang sering dilakukan oleh kalangan politisi sipil dianggap sebagai intervensi yang melewati batas hak istimewa dan wewenang intern militer. Tekanan-tekanan yang dianggap merugikan TNI tersebut ternyata semakin menumbuhkan semangat korps di antara mereka, termasuk para perwira yang sebelumnya menerima sistem supremasi sipil. Keberanian dari kalangan TNI untuk mulai mengutarakan kepentingan dan keinginan politiknya mulai muncul perlahan ke permukaan.
Sementara itu di kalangan intern politisi sipil sendiri justru semakin terjebak dalam polarisasi yang tajam. Dengan membawa ideologi partainya masing-masing, mereka bersaing keras dan saling bertikai dalam upayanya menancapkan pengaruh dalam kehidupan kenegaraan. Pemerin_tahan tidak pernah bertahan lama dan terus berganti-ganti, sehingga penyelenggaraan roda pemerintahan tidak berjalan efektif dan menuju kepada krisis. Dampak akhirnya adalah timbulnya krisis legitimasi bagi pemerintahan partai_-partai itu sendiri. Hal ini mengakibatkan di beberapa daerah wilayah Indonesia, muncul ungkapan-ungkapan ketidakpuasan yang menjurus kepada regionalisme untuk memisahkan diri dari pemerintahan pusat.
Dalam suasana yang semakin khaos, dimana eksistensi negara Republik Indonesia sedang dipertaruhkan inilah akhirnya muncul kebijakan untuk mempermaklumkan keadaan darurat perang bagi seluruh wilayah RI pada tahun 1957. Momentum inilah yang menjadi peluang bagi militer untuk mulai menancapkan diri terjun dalam bidang politik. Undang-undang Keadaan Darurat (Bahaya) telah menjadi semacam charta politik yang memberikan legitimasi bagi TNI untuk terjun mengemban fungsi kekuatan hankam dan sosial politik sekaligus. Selama berlangsungnya rasa keadaan darurat perang tersebut (1957-1563), TNI telah berhasil memanfaatkan kesempatan sehingga tercipta basis-basis yang kuat, yang nemungkinkan kesinambungannya untuk tetap berdwifungsi dalam sistem kenegaraan Republik Indonesia hingga saat ini.

"
1990
S12664
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dominikus Heru Prasongko
"Saya tertarik untuk menulis skripsi mengenai sankin koti ini, karena beberapa alasan, diantaranya; pertama secara pribadi saya tertarik pada bidang sejarah khususnya sejarah politik Jepang, dan sankin kotai adalah sebuah contoh mengenai kebijakan politik jepang pada masa lalu, kedua, sankin kotai, menurut saya mempunyai keistimewaan khusus yang sangat menarik bagi saya, baik dalam sejarah, proses, fungsi, dan bahkan kehancurannya, secara lebih jelas dapat dibaca pada skripsi saya. Alasan yang ketiga adalah sankin kotai sebagai sebuah sistem politik berfungsi dengan sangat bagus, dan sukses sesuai dengan apa yang menjadi tujuannya, namun sankin kotai dipandang dari sudut moral adalah tidak sukses. Adanya kontradiksi inilah yang membuat sankin kotai unik sekaligus menarik bagi saya untuk diteliti dan ditulis. Dalam skripsi ini akan ditulis mengenai bagian pertama, pendahuluan, termasuk di dalamnya; latar belakang, permasalahan, tujuan penulisan, ruang lingkup, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bagian kedua, struktur pemerintahan Tokugawa termasuk di dalamnya"
2000
S13720
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
A. Tahier
"Pendahuluan
Perjalanan sejarah Dwifungsi ABRI sejak tahun 1945 hingga sekarang sudah cukup panjang, kiranya sudah saatnya untuk diteliti secara ilmiah; terutama yang menyangkut beberapa hal pokok dari Dwifungsi ABRI tersebut, yaitu antara lain. Apakah benar Dwifungsi ABRI tersebut merupakan ciri khas ABRI, atau juga berlaku di negara-negara lain ?. Apakah benar Dwifungsi ABRI tersebut sesuai dengan tuntutan suatu Angkatan Bersenjata bagi Republik Indonesia yang berlandaskan Ideologi Pancasila ? Dengan kata lain, apakah Dwifungsi ABRI merupakan salah satu bentuk pelaksanaan atau pelestarian nilai-nilai Pancasila/UUD 1945 yang cocok bagi Republik Indonesia ? Apakah Dwifungsi ABRI tersebut sesuai bagi ABRI di masa mendatang ?
Pertanyaan-pertanyaan pokok tersebut tentunya sangat menggugah untuk mencari jawab atau duduk perkaranya; apalagi mengenai hal ini terdapat berbagai pendapat yang hidup dalam masyarakat kita. Mengenai pendapat tentang Dwi fungsi ABRI pada dasarnya dapat dibagi dalam beberapa kelompok. Pihak ABRI sesuai dengan doktrinnya, menganggap Dwifungsi adalah kepribadiannya. Para pengamat melihat Dwifungsi ABRI adalah hal yang wajar, tetapi ada pihak lain yang menganggap perlu pembatasan, bahkan tidak relevan sama sekali tetapi secara yuridis formal diakui misalnya dalam UU No. 20 tahun 1982. Dengan latar belakang tersebut penulis memilih judul tulisan ini, yaitu : Perkembangan pelaksanaan Dwifungsi ABRI dalam rangka melestarikan Pancasila.
Hipotesis. Berdasarkan pengamatan penulis terhadap perkembangan kehidupan kenegaraan di Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 peranan Dwifungsi ABRI yang cukup menojol ternyata makin meningkatkan Ketahanan Nasional. Hipotesis yang dapat dikemukakan ialah bahwa peranan Dwifungsi ABRI (terutama di bidang sosial politik) berarti merupakan salah satu upaya ABRI dalam rangka melestarikan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
Maksud dan tujuan penulisan, Pertama, dengan latar belakang dan hipotesis singkat di. atas, maka maksud yang hendak dicapai ialah ingin memberikan sumbangan pengkajian ilmiah mengenai Dwifungsi ABRI dengan sudut pandang yang bersifat multi disiplin, melihat
Dwifungsi ABRI sepanjang sejarahnya (dengan titik berat pengkajian pada masa Orde Baru), sehingga jelas terbukti atau tidaknya posisi Dwifungsi ABRI tersebut dalam rangka pelestarian Pancasila. Pandangan multi disiplin yang dimaksud dicakup dalam rangka Ketahanan Nasional dengan tidak melupakan juga tinjauan teoritis mengenai hubungan sipil-militer di berbagai negara sebagai bahan anding agar jelas kedudukan Dwifungsi ABRI tersebut. Kedua, tujuan dari penulisan ini ialah untuk membuktikan apakah hipotesis yang dikemukakan terdahulu dapat dibuktikan kebenarannya atau tidak terbukti sama sekali. Dengan demikian penulis dapat menyumbangkan beberapa pemikiran lebih lanjut agar Dwifungsi ABRI tersebut makin dapat memberikan arti yang lebih besar bagi upaya melestarikan Pancasila di masa-masa yang akan datang.
"
1988
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Rusli Karim
Jakarta Haji Masagung 1989,
355 K 38 p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>