Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 1590 dokumen yang sesuai dengan query
cover
M. Karjadi
Bogor: Politeia, 1976
363.2 KAR p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
I Gede Mega Suparwitha
"Perubahan sosial memungkinkan terjadinya peningkatan mobilitas penduduk, intensitas interaksi sesama manusia dan perekonomian, yang secara umum berpengaruh pada keteraturan kehidupan masyarakat desa adat di Bali. Lebih dalam, perubahan sosial juga berpengaruh pada peningkatan intensitas dan ragam kegiatan sosial yang berimplikasi pada perubahan tugas dan fungsi pecalang yang ada di desa adat. Perubahan yang terjadi pada tugas dan fungsi pecalang menimbulkan polemik di masyarakat sehingga dipertanyakan eksistensi pecalang.
Perhatian utama tesis ini adalah tugas dan fungsi pecalang dan kaitannya dengan kepolisian, dengan fokus pada fungsi pecalang. Untuk mendapatkan gambaran yang jelas, penelitian dilakukan di Desa Meliling, Kecamatan Kerambitan, Kabupaten Tabanan, sebuah desa yang masyarakatnya agraris, yang sedang mengalami transisi menuju masyarakat industri. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan metode pengamatan terlibat serta wawancara dengan pedoman.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa telah terjadi perluasan tugas dan fungsi pecalang untuk mengimbangi peningkatan intensitas dan ragam kegiatan sosial, Kendatipun peraturan daerah menentukan bahwa pecalang merupakan satuan tugas tradisional yang bertugas mengamankan kegiatan yang berkaitan dengan adat dan agama di wilayah desa adat, di Desa Adat Meliling, pecalang juga melakukan tugas mengamankan kegiatan di luar kegiatan adat, agama, bahkan mengamankan kegiatan adat warganya sampai ke luar wilayah desa adat.
Pada hakikatnya pecalang dan kepolisian sama-sama pengemban fungsi kepolisian. Perbedaanya, pecalang pengemban fungsi kepolisian dalam konteks desa adat, sedangkan kepolisian dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia. Secara formal hubungan yang terjadi antara kepolisian dan pecalang adalah hubungan kelembagaan dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia, di mana pecalang berstatus pembantu kepolisian dalam mengemban fungsi kepolisian. Sejalan dengan itu, kepolisian berkewajiban membina pecalang. Secara informal hubungan pecalang dengan kepolisian dilihat dari hubungan individu yang ditentukan oleh kepribadian dan kemampuan pihak yang berhubungan yang kemudian melahirkan kesan terhadap pihak yang berhubungan ini mempengaruhi hubungan formalnya.
Daftar Kepustakaan : 40 Buku + 10 Dokumen"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2002
T7906
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Endang Sri Santi
"Latar Belakang
Indonesia sejak pemerintah Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto mulai mengambil alih tampuk kekuasaan negara, maka secara pasti telah menempatkan diri di barisan Negara sedang berkembang yang memberi prioritas pertama kepada pembangunan.1)
Pembangunan itu sendiri, sesungguhnya merupakan proses perubahan sosial yang direncanakan (planed) dan dikehendaki (intended), sehingga dalam penyelenggaraannya pembangunan tersebut dilaksanakan aecara bertahap dan berencana. Untuk, mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945, pembangunan bertujuan pula membentuk manusia Indonesia seutuhnya, seJahtera lahir dan batin.
Sebagai akibatnya, tak satupun bidang kehidupan masyarakat tidak tersentuh oleh roda pembangunan, hanya barang tentu ada perbedaan dalam kadar dan ukuran.
Behubungan hal tersebut, ada satu hal yang dapat ditarik dalam pengertian ini ialah bahwa kehidupan rnasyarakat desa ini terasa semakin kompleks yang diwarnai oleh berbagai perubahan di dalam masyarakat ini Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa "Indonesia kini berada di tengah-tengah perubahan social yang berlangsung secara sitimatis dalam arti direncanakan. Adapun juga ciri-ciri dalam perubahan tersebut, ia tidak menghilangkan ciri-ciri perubahan social pada umumnya".
Pembangunan. menciptakan berbagai masalah yang kontradiktif antara berbagai keadaan yang baik dan buruk, untung dan rugi. Pembangunan dan perubahan social adalah dua gejala yang saling berkaitan, setiap pembangunan baik yang bersifat. (teknologi) maupun rohani. (mental) diharapkan akan membawa perubahan? perubahan social seperti yang diharapkan. Dengan pembangunan akan menimbulkan perubahan-perubahan seperti yang kita alami sekarang ini. Masalah keamanan dan ketertiban sebagai salah satu sasaran pembangunan itu sendiri ternyata merupakan satu masalah yang paling pelik yang dihadapi oleh seluruh lapisan masyarakat, karena masalah ini merupakan hal yang esensial bagi adanya suatu masyarakat.
Hukum bisa dilihat sebagai perlengkapan masyarakat untuk menciptakan ketertiban dan keteraturan di situ. Oleh karena itu Ia bekerja dengan cara memberikan petunjuk tentang tingkah laku dan karena itu pula ia berupa norma.3)
Sebagai norma maka hukum itu mengikatkan diri pada masyarakat sebagai tempat bekerjanya hukum itu. Sebagai norma hukum berarti hukum itu harus memperhatikan kebutuhan dan kepentingan-kepentingan anggota-anggota masyarakat serta memberikan pelayanan kepadanya. Dalam rangka proses memberikan perhatian terhadap penciptaan keadilan dalam masyarakat serta memberikan pelayanan terhadap kepentingan-kepentingan masyarakat hukum tidak selalu memberikan keputusannya dengan segera, ia membutuhkan waktu menimbang-nimbang yang bisa makan waktu lama.
Guna mengatasi masalah-masalah tersebut diperlukan suatu sarana untuk dapat menyelaraskan antara kehidupan masyarakat di situ pihak, dengan permasalahan-permasalahan yang timbul sebagai dampak pembangunan di lain pihak. Hukum dalam arti kehadiran dan penegakannya, merupakan salah satu bidang dalam kehidupan masyarakat, hukum terasa mutlak peranannya. la senantiasa dibutuhkan. lebih-lebih dalam masyarakat yang sedang mengalami perubahan, seperti halnya masyarakat Indonesia."
1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Karjadi
Bogor: Politeia, 1963
363.2 KAR p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Benny Iskandar
"Kebijakan Pemerintah mengenai otonomi daerah yang diundangkan dalam Undang Undang No. 22 tahun 1999, berdampak pada bergulirnya isu Putera Daerah. Dalam rangka efisiensi dan efektivitas tugas Polri, beberapa konsep dalam rangka pemberdayaan potensi masyarakat telah dikembangkan, diantaranya merekrut putera daerah untuk dididik sebagai anggota Polri. Konsep ini dikenal sebagai local boy for local job.
Fungsi polisi adalah memelihara keteraturan dan ketertiban masyarakat, sehingga polisi diharapkan untuk senantiasa berinteraksi dengan warga masyarakat yang dilayaninya. Penelitian ini ingin menunjukkan corak kegiatan yang dilaksanakan oleh Polisi Putera Daerah pada satuan fungsi Samapta Polres Metro Jakarta Selatan. Sehingga diharapkan dari penelitian ini dapat memberikan masukan yang berarti bagi pembinaan kwalitas sumber daya anggota Polri.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif atau etnografi, ditujukan pada anggota Bintara Remaja Polisi Putera Daerah Jakarta yang bertugas pada Satuan Fungsi Samapta Polres Metro Jakarta Selatan. Yang ditempatkan pada unit Patroli Kota sebanyak 15 orang, Kompi Pengendalian Massa sebanyak 42 orang dan Penjagaan Markas sebanyak 13 orang.
Yang dapat disimpulkan dari tesis ini adalah : Keberadaan Polisi Putera Daerah yang bertugas pada Satuan Fungsi Samapta Polres Metro Jakarta Selatan cocok dengan warga komuniti masyarakat yang dilayaninya melalui simbol-simbol kebudayaan yang dapat dengan mudah dimengerti. Polisi Putera Daerah dalam hal ini berfungsi menjembatani kepentingan kepolisian dengan warga masyarakat yang dilayaninya dengan menerapkan bahasa yang komunikatif dan simbol-simbol kebudayaan yang cocok untuk saling berkomunikasi."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2004
T11977
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wik Djatmika
"Tesis ini merupakan deskripsi hasil penelitian yang dilakukan pada kesatuan polisi kewilayahan terbawah, yang terpencil, dalam organisasi kepolisian wilayah Jakarta. Tepatnya Pos Polisi Pulau Kelapa, wilayah Kepolisian Sektor Metropolitan Kepulauan Seribu, dengan etika sebagai kajiannya.
Yang ingin ditunjukkan dan diketengahkan adalah kegiatan polisi secara eksplisit maupun implisit dimana para anggota polisi dalam memerankan tugasnya dan mencerminkan etika kepolisian dalam hubungannya dengan masyarakat setempat, utamanya tentang tugas yang dilakukan, kehidupannya, pertanggung jawabannya dan tanggapan masyarakat, yang kemudian menghasilkan pengalaman-pengalaman atau konvensai-konvensi. Yang dapat diartikan sebagal suatu sikap etika kepolisian.
Metodologi difocuskan pada pengamatan fikiran-fikiran, peilaku dan pertanggung jawaban anggota polisi setempat serta Iingkungan kehidupan dan budaya masyarakat yang dilayani dan dilindungi serta pengambilan keputusannya untuk melakukan tindakan-tindakan kepolisiannya.
Etika kepolisian telah cukup lama dihadirkan dalam peri kehidupan kepolisisan, berupa pedoman hidup dan pedoman karya, yaitu : Tribrata dan Catur Prasatya. Dikemudian had kedua pedoman tersebut diangkat sebagai kode etik, dan selanjutnya memiliki kekuatan normatif karena dinyatakan dalam undang-undang (kepolisian, 1997).
Permasalahan yang timbul dan perlu dicari jawabannya adalah : Bagaimana peran kode etik sebagai upaya untuk memantapkan profesi. Pembahasan dengan mengacu pada beberapa teori, satu diantaranya pendapat Donald C. Witham yaitu bahwa : Kode etik merupakan salah seta karakeristik sebagai kriteria suatu profesi".

This paper comes from the descriptive research conducted in the lowest hierarchy of the police departement in the the very remote island in the north of Jakarta, the capital city, To be precise, the location is in the office of Pulau Kelapa Police Unit of the Sector of Kepulauan Seribu Metropolitan Police.
The focuses of the research are to portray the activities of members of police departement carrying out their duties to serve and protect the society and to frame the responds of the public as the customer of the services. The relationships of the two can be used to draw, although still in the very general picture, the ethical foundation of the police duties and functions.
Police ethics have been long preserve, eventhough not in the formal way, as a way of life and work guidance of the police force : Tribrata and Catur Prasatya. The code of ethics, later, has been formalized under government act. The significant of ethical codes has been recognized in the effetive performance of police duties.
The enduring question is, however : How the ethical codes can be used to strengthen the professionalism of police force. The discussion in this paper tightly refers to several theories and concepts. One in the leading opinion is that of Donald C. Wham who states that 'codes of ethics is one of the characteristic of professionalism criteria'.
"
Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adil Fakhri Hanif
"Karya tulis ini memaparkan mengenai reaksi non formal masyarakat terhadap penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh anggota Polri. Pada dasarnya, karya tulis ini bergerak dari pendapat masyarakat yang melihat terjadinya penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh anggota Polri. Bentuk pendapat ini dalam arti lain disebutkan sebagai persepsi masyarakat atau cara pandang masyarakat terhadap sebuah objek yaitu penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh anggota Polri. Karya tulis ini juga menggambarkan bagaimana reaksi non formal ini akan berperan dalam masyarakat sebagai sebuah kontrol sosial berdasarkan pada teori kontrol soosial Ivan F. Nye dalam meminimalisir terjadinya penyalahgunaan wewenang. Kontrol sosial yang dibangun dalam masyarakat seharusnya bisa berperan untuk pemangku kebijakan dalam mengambil kebijakan.
This article describe about the public non formal reaction have against the abuse of authority by Indonesian National Police. Basically this article start from the public idea that sees abuse of authority by Indonesian National Police. The thesis laid its foundation on a public opinion which sees the occurrence of deviance and abuse of authority conducted by Indonesia National Police 39 s personnel. This assumption can also be seen as public 39 s perception or point of view regarding an object , which is an abuse of authority by Indonesia National Police 39 s personnel. The author tries to describe how this non formal reaction acts as a social control in society, based on Social Control Theory by Albert J. Reiss and Ivan F. Nye in order to minimize the occurrence of authority abuse. The social control, which is developed inside the society should be adequate to act as stakeholder in the realm of policy making."
2017
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
M. Karjadi
Bogor: Politea, 1979
363.22 KAR p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Hanan Prakoso
"Skripsi ini membahas Kewenangan Diskresi Kepolisian Dalam Menjalankan Tugas dan Fungsinya Sebagai Aparatur Penegak Hukum di Indonesia. Dalam melaksanakannya tugasnya Kepolisian mempunyai Kewenangan Diskresi untuk membantu melaksanakan tugasnya sebagai Aparatur Penegak Hukum di Indonesia.
Skripsi ini mengambil lokasi penelitian di Polda Metro Jaya. Permasalahannya bagaimana Penggunaan Asas Diskresi Kepolisian dalam menjalankan tugasnya sebagai Aparat Penegak Hukum, bagaimana tata cara, syarat dan tanggungjawab hukum dalam pelaksanaan Kewenangan Diskresi oleh Kepolisian. Penulis menggunakan metode penelitian yuridis normatif, dengan menggunakan data sekunder. Penelitian ini menyimpulkan bahwa Dalam Penggunaan Asas Diskresi Kepolisian dalam menjalankan tugasnya sebagai Aparat Penegak Hukum harus mengikuti syarat-syarat yang telah diatur baik dalam Peraturan Perundang-Undangan ataupun Peraturan Internal dari Instansi Kepolisian itu sendiri.
Penulis juga mendapat kesimpulan bahwa tata cara, syarat dan tanggungjawab hukum dalam pelaksanaan Kewenangan Diskresi oleh Kepolisian harus memenuhi asas legalitas, yaitu baik pengaturan Internal Kepolisian maupun Pengaturan Pengaturan dari Instansi lain yang berhubungan dengan kasus yang bersangkutan atau sesuai dengan fakta di lapangan, dan dalam kasus ini dikarenakan berhubungan dengan Anak yang berkonflik dengan Hukum maka berikut adalah pengaturan diluar dari Pengaturan Internal Kepolisian dan Undang-Undang."
Depok: Universitas Indonesia, 2016
S64646
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andries Hermanto
"Seiring dengan perubahan paradigma Polri untuk lebih dekat dan mengabdi kepada kepentingan masyarakat, maka Polri melakukan reformasi baik di bidang struktural maupun instrumental serta kultural. Berdasarkan pasal 13, Undang-Undang No.2/2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Polri mempunyai tugas pokok: (a) memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; (b) menegakkan hukum; dan (c) melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat. Tugas pokok Polri tersebut dijabarkan menjadi tugas-tugas kepolisian yang tercantum dalam pasal 14 pada Undang-Undang yang sama.
Secara universal, Polisi mempunyai dua tugas utama yaitu: memelihara keamanan ketertiban masyarakat, dan menegakkan hukum. Selain itu Polisi dalam melaksanakan tugasnya harus memiliki sifat yang berorientasi pada "melayani dan melindungi" masyarakat. Sehingga tugas pokok Polri untuk "melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat" sebagaimana tercantum dalam butir (c) pasal 13 Undang-Undang No.2/2002, sebenarnya merupakan roh dan jiwa serta karakter Polisi yang harus menjadi budaya dalam setiap pelaksanaan tugas pokok dan tugas-tugas Polri.
Tugas pokok dan tugas-tugas Polri tersebut dilaksanakan oleh Polisi-Polisi yang berada mulai pada tingkat Mabes Polri, Polda, Polwil/Polwiltabes/Poltabes, Polres, Polsek, hingga Pos Polisi. Pos Polisi merupakan kesatuan kepolisian terkecil kepanjangan dari Polsek yang mempunyai peranan sangat penting dan terdepan dalam melaksanakan peran Polri, khususnya dalam rangka memelihara Kamtibmas di wilayah kerjanya.
Masalah penelitian yang penulis kemukakan adalah tentang pelaksanaan tugas pokok dan tugas-tugas Polri pada Pos Polisi, studi kasus di Polsek Metro Gambir-Polres Metro Jakarta Pusat-Polda Metropolitan Jakarta Raya. Fokus penelitian adalah tentang kegiatan polisi yang bertugas pada Pos-pos Polisi di wilayah Polsek Metro Gambir dalam melaksanakan tugas pokok dan tugas-tugas Polri di wilayah kerjan.
Ruang lingkup dalam penelitian ini adatah mencakup Pos Polisi dilihat dari perspektif organisasi dan manajemen yang meliputi tentang sumberdaya manusia, metode kerja, sarana dan prasarana, anggaran, dan interaksi sosiai antara Polisi dengan masyarakat, serta hubungan kerja dengan Babinkamtibmas.
Tujuan penelitian yang penulis lakukan adalah untuk mengetahui sampai sejauhmana pelaksanaan tugas pokok dan tugas-tugas Polri pada Pos Polisi di wilayah Polsek Metro Gambir. Di samping itu, studi ini juga bertujuan untuk menggali dan menemukan segala bentuk kekurangan yang selanjutnya mampu memberikan masukan guna memperbaiki serta memberdayakan Pos Polisi agar lebih efektif dan efesien dalam melaksanakan tugasnya.
Mengacu pada permasalahan tersebut di atas, maka dalam hal ini peneliti menentukan hipotesa kerja, yaitu: "Pelaksanaan tugas pokok dan tugas-tugas Polri pada Pos Polisi belum dapat dilaksanakan secara optimal sebagaimana diharapkan masyarakat. Hal ini dikarenakan oleh sangat terbatasnya sumberdaya yang tersedia sebagai unsur penting dalam organisasi guna mendukung terlaksananya operasionalisasi Pos Polisi. Selain itu, buruknya manajemen organisasi juga menjadi faktor penyebab kurang berdayanya Pos Polisi dalam menjalankan fungsi kepolisian yang diembannya."
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan pendekatan etnografi. Metode utama dalam penelitian kualitatif adalah metode etnografi, yaitu suatu metode penelitian dengan dasar untuk mendapatkan pemahaman (verstehen), dengan cara mengamati gejala-gejala yang terwujud dalam kehidupan sehari-hari dari obyek yang diteliti. Peneliti mendapatkan data primer dengan cara melakukan pengamatan terlibat dan melakukan wawancara terhadap sasaran penelitian. Selanjutnya, data maupun bahan-bahan keterangan yang sudah dikumpulkan dalam penelitian ini, diproses menggunakan konsep Trianggulasi, yaitu dengan cara memadukan, mengolah, serta menganalisa antara teori, data, dan fakta yang ada.
Berdasarkan Surat Keputusan Kapolda Metropolitan Jakarta Raya, No. Pol.: Skep/521/XII/2004 tanggal 1 Desember 2004 tentang Petunjuk Administrasi Pengembangan Pos Polisi di Polsek-polsek Jajaran Polda Metropolitan Jakarta Raya dan Jabaran Tugas Pos Polisi, hasil penelitian mengatakan bahwa anggota Polri yang bertugas di Pos Polisi masih belum menunjukkan kinerja seperti yang diharapkan oleh masyarakat. Mereka masih bekerja dengan prinsip yang minimalis. Sarana dan prasarana yang tersedia di Pospol masih sangat terbatas, bahkan untuk alat tulis dan kantor saja, Polisi yang bertugas di sana harus mengusahakannya sendiri. Tidak ada anggaran khusus dari Polri untuk biaya operasionalisasi Pospol, sehingga petugas di Pospol tidak dapat melaksanakan tugasnya secara optimal. Rendahnya tingkat kesejahteraan anggota Pospol mengakibatkan mereka masih mencari penghasilan tambahan dan mengharapkan imbalan dari masyarakat yang dilayaninya.
Pospol mengemban tugas-tugas Polisi secara umum atau menjalankan fungsi Sabhara. Sejak adanya program pemberdayaan Pospol di jajaran Polda Metropolitan Jakarta Raya, Pospol juga dibebani tugas untuk melakukan kunjungan atau sambang ke masyarakat untuk menjalin hubungan kemitraan dengan warga masyarakat. Jabatan Kapospol yang semula dijabat oleh Polisi berpangkat Bintara Tinggi berubah dijabat oleh Perwira Pertama. Namun demikian, karena keterbatasan jumlah Perwira, sampai sekarang masih ada Kapospol yang dijabat oleh Bintara Tinggi. Jumlah anggota Pospol yang semula hanya tiga orang, sekarang bertambah menjadi rata-rata sembilan personil. Berkaitan dengan program ini, kedudukan Babinkamtibmas diletakkan dibawah koordinasi Kapospol. Sehingga tugas-tugas pembinaan masyarakat dilakukan oleh Pospol dan Babinkamtibmas. Masalahnya, wilayah kerja Pospol di wilayah Polsek Metro Gambir tidak ada yang sama dengan wilayah kerja Kelurahan, sedangkan Babinkamtibmas mempunyai wilayah kerja yang identik dengan wilayah kerja Kelurahan.
Masih kurang memadainya rasio anggota Polri terhadap jumlah penduduk di Indonesia, sangat mempengaruhi kualitas pelayanan kepolisian kepada masyarakat. Dalam rangka mengatasi kendala keterbatasan kuantitas anggota Polri tersebut, strategi penerapan program kemitraan antara Polisi dengan masyarakat merupakan solusi yang terbaik. Berkaitan dengan itu, kegiatan pemolisian komuniti sangat perlu ditingkatkan, yaitu melalui pemberdayaan Pospol dan Babinkamtibmas yang merupakan ujung tombak dalam pelaksanaan tugas-tugas pembinaan kamtibmas.
Untuk meningkatkan kinerja Pospol dan Babinkamtibmas, perlu dilakukan perubahan terhadap Keputusan Kapolri No. Pol.: Kep/54/X/2002 tanggal 17 Oktober 2002. Yaitu, lebih terperinci dalam menjelaskan tentang organisasi dan tugas pokok Pospol, termasuk penetapan wilayah Pospol yang sama dengan Kelurahan dan penyediaan anggaran operasionalnya. Begitu juga mengenai perlunya diadakan kembali jabatan Kanit Binmas di Polsek yang melakukan tugas pengendalian terhadap Babinkamtibmas. Selain itu, perlu pengaturan yang jelas tentang hubungan tata Cara kerja antara Pospol dengan Babinkamtibmas dan sebaliknya, dalam melaksanakan tugas-tugas pembinaan kamtibmas. Sehingga harus ada perumusan kembali terhadap tugas pokok Babinkamtibmas yang tercantum dalam Petunjuk Pelaksanaan No. Pol. Juklak/10/III/1992 dan Buku Petunjuk Lapangan No. Pol. Bujuklap/17/VII/1997 tentang Bintara Polsek Pembina Kamtibmas di Desa/Kelurahan. Selanjutnya, untuk meningkatkan efektivitas kerja Pospol dan Babinkamtibmas, sebaiknya minimal terdapat 12 (dua belas) personil yang bertugas pada Pospol dan terdapat 2 (dua) Babinkamtibmas di setiap Kelurahan.

Along with the change of the Indonesian National Police (INP) paradigm in order to be closer and serve the interests of its society, therefore INP has conducted some reforms in its structure and instrument as well as its culture. According to Article 13 of Law No. 2, 2002 regarding the Indonesian National Police, there are three main tasks of INP as follows: (a) maintaining security and public order; (b) enforcing the laws: and (c) protecting and serving the society. Such main tasks are spelled out into the tasks of police and stated in Article 14 of the same law.
Universally, INP has two main tasks: to maintain security and public order and to enforce the laws. Besides, in conducting its tasks INP is oriented to "protecting and serving people". Hence, the main tasks of INP to protect and to serve people as stated in subtitle (c) of Article 13 of Law No. 2, 2002 above, are actually the spirit and the soul as well as the character of the police that must become the culture in every implementation of the main tasks of INP.
The INP Headquarters, Police Regions, Police Districts/Police Cities, Police Resorts, Police Sectors and Police Posts implement such main tasks of INP. Police Posts is the smallest unit of INP in Police Sectors. However, they have the most important roles in performing the roles of INP, especially in maintaining the security and public order in each region.
The problem of the research is about the implementation of the main tasks of INP in Police Posts. This is a case study conducted in Gambir Metropolitan Police Sector-Central Jakarta Metropolitan Police Resort-Jakarta Metropolitan Police Region. The focus of the research is the activities of police personnel who are posted in police posts belonging to Gambir Metropolitan Police Sector. The scope of the research is the organizational perspective and management comprising the men, structures and infrastructures (material), budget (money), working method, and social interactions between the police and the society as well as the working relationship with Babinkamtibmas (a non-commissioned officer who has the duty to guide people in maintaining the security and public order). The aims of the research are to find out how far is the implementation of the main tasks and operational tasks of INP in Police Posts belonging to Gambir Metropolitan Police Sector. Besides, the study aims at finding out all disadvantages of such activities in order to give input that can be used in improving and empowering the Police Posts in conducting their tasks more effectively and efficiently.
Referring to the problem above, the writer decides that the working hypothesis is "The implementation of the main tasks and operational tasks of 1NP in Police Posts has been optimally conducted as expected by the society due to the limited resources available as the important element in organization in order to support the implementation of the operation of Police Posts. Besides, the bad management of the organization is one of the causes of the weaknesses of Police Posts in conducting the police functions."
The researcher employs the qualitative method with ethnographic approach. The main method in qualitative research is the ethnographic method. It is a research method that can get comprehension (verstehen), by observing the phenomenon in daily life from the object researched. The researcher obtains the primary data by conducting involved observation or passive participation and interview with informants. Then, such data and other explanation are collected and processed using Triangle Concept, that is, by combining, processing and analyzing theories, data and the available facts.
According to the Decree of the Chief of Jakarta Metropolitan Police, No. Pol.: Skep/521/XII/2004, dated December 1st, 2004 regarding the Guidance of Administration of Police Post Development among Police Sectors in Jakarta Metropolitan Police and Job Description of Police Post and based on the result of the research, the researcher finds out that the police personnel posted in Police Posts have not showed the expected performance by the society. They still work with minimal principle. The structure and infrastructure in that Police Posts are still limited. They have to even look for the utensils by themselves. There is no special budget for police operations so that the police personnel in that Police Posts cannot do their tasks optimally. Besides, they still look for side income and hope something from the people they serve and protect.
Police Posts carry out general police duties or Sabhara functions. Since the program of police Posts empowerment has been conducted in Jakarta Metropolitan Police Region, Police Posts also carry out the duties to visit the community in order to work out a closer relationship with them. A high non-commissioned officer firstly occupies the position of the chief of Police Posts, but it is now occupied by a first police officer. However, due to the limitation of the number of police officers, until now some of the positions are still occupied by high non-commissioned officers, The number of personnel of a Police Post used to be three police officers. Now, every Police Posts has nine police officers. Related to this program, the position of Babinkamtibmas is placed under the coordination of the chief of a Police Post. This causes the tasks of guiding people are done by Police Posts and Babinkamtibmas. A Police Posts has some problems in doing the tasks because the working area of a Police Posts is not the same with the working are of a political district (Kelurahan), meanwhile the area of a Babinkamtibmas is identical with the working area of the political district.
The insufficient ratio of police personnel to the number of Indonesian people they serve absolutely influences the quality of police service to the people. In order to overcome the obstacles of the limitation of such personnel, the strategy of the application of partnership program between police and community is the best solution. Regarding the case, the activity of policing community needs to be improved, through the empowerment of Police Posts and Babinkamtibmas as the first line institutions in implementing the duties of guiding the security and public order.
In improving the performance of Police Posts and Babinkamtibmas, the writer recommend that the decree of INP Chief, No. Pol.: Kep 154/X/2002 dated 17 October 2002 regarding INP Organization and its Job Description is necessary to be reviewed and revised. The decree should give further explanation of the organization and main duties of a Police Post, including the establishment that Police Post working area is identical with a political district working area as well as its operational budget. The writer also recommends reactivating the position of Chief of Community Police Unit in a Police Sector whose duty to control Babinkamtibmas. In addition, it needs to have a clear regulation on the working relationship between Police Posts and Babinkamtibmas or vice versa in conducting the main duties of guiding security and public order. Therefore, it is necessary to reform the main duties of Babinkamtibmas stated in the Guidance of Implementation No. Pol.: Juklak/10/III/1992 and the Book of Guidance of Implementation on the Field, No. Pol.: Bujuklap/17/VII/1997, regarding Babinkamtibmas in Villages or Political Districts. Moreover, in improving the effectiveness of duty of Police Post and Babinkamtibmas, the writer suggests that the number of a Police Post personnel is at least 12 (twelve) officers and the number of Babinkamtibmas for each political district is 2 (two) personnel or officers.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2005
T15153
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>