Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 184409 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ayernis Samah
Depok: Universitas Indonesia, 1991
S25349
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mohamad Nurhedi
"Salah satu masalah penegakan hukum yang mendapat sorotan begitu tajam dari masyarakat adalah masalah buruknya kinerja, kualitas, dan integritas aparat penegak hukum. Fungsi pengawasan sebagai faktor penting dalam menjaga dan meningkatkan kinerja penegak hukum dianggap lemah dan belum berjalan secara optimal. Hal tersebut mengakibatkan menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum. Lembaga kejaksaan sebagai salah satu pilar penegak hukum pun tidak luput dari permasalahan ini. Pada dasarnya, pengawasan terhadap jaksa dan kejaksaan sudah dilaksanakan baik secara internal maupun secara eksternal. Namun, masyarakat menilai bahwa pelaksanaan pengawasan yang dilaksanakan selama ini tidak membuahkan hasil yang memuaskan. Pengawasan secara internal yang dipimpin oleh Jaksa Agung Muda Pengawasan menghadapi berbagai permasalahan yang rumit dan kompleks. Pengawasan secara eksternal pun tidak dapat berpengaruh banyak. Perubahan sistem yang menyeluruh serta perubahan sikap budaya kerja Kejaksaan menjadi suatu keharusan. Pembaharuan pengawasan harus bertujuan agar pelaksaanaan tugas dan wewenang kejaksaan berjalan efektif, efisien sehingga mampu meningkatkan citra kejakssaan di mata publik. Dengan berdasar pada Pasal 38 Undang-Undang tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Presiden menetapkan Peraturan Presiden No. 18 tahun 2005 tentang Komisi Kejaksaan. Tugas dan wewenang Komisi Kejaksaan tidak saja melakukan pengawasan terhadap jaksa dan pegawai kejaksaan, tetapi juga melakukan pemantauan terhadap organisasi, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia kejaksaan. Begitu besar dan beratnya tugas dan wewenang Komisi Kejaksaan harus diimbangi dengan kualitas dan integritas anggotanya serta adanya kejelasan dalam tata cara mekanisme pengawasan. Sebagai lembaga baru, Komisi Kejaksaan memberikan harapan adanya perbaikan dan perubahan pada kejaksaan. Oleh karenanya, Komisi Kejaksaan harus segera melakukan langkah nyata dalam melakukan pembaharuan pengawasan terhadap kejaksaan serta kehadirannya dapat meningkatkan optimisme publik terhadap pembaharuan Kejaksaan secara keseluruhan."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sagala, Budiman B.
Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982
328.3 SAG t
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
"Pengajuan permohonan pembatalan putusan arbitrase
merupakan salah satu upaya hukum yang dapat dilakukan oleh
pihak yang keberatan terhadap suatu putusan arbitrase.
Pasal 70 Undang-Undang No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (selanjutnya disebut
dengan “UU Arbitrase”) mengatur bahwa terhadap putusan
arbitrase, para pihak dapat mengajukan permohonan
pembatalan putusan arbitrase apabila putusan arbitrase
tersebut diduga mengandung unsur-unsur surat atau dokumen
dinyatakan palsu atau setelah putusan diambil ditemukan
dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh
pihak lawan atau putusan diambil dari hasil tipu muslihat
yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan
sengketa. Namun, penjelasan dari Pasal 70 tersebut
mewajibkan pihak yang mengajukan permohonan pembatalan
untuk membuktikan alasan pembatalan dengan putusan
pengadilan. Jadi sifatnya bukan dugaan seperti yang
ditentukan dalam Pasal 70 itu sendiri. Jangka waktu
pengajuan permohonan pembatalan putusan arbitrase pun
terbatas hanya 30 hari sejak putusan didaftarkan di
Pengadilan Negeri. Dalam waktu 30 hari sejak putusan
arbitrase didaftarkan, bagi pihak yang ingin mengajukan
pembatalan putusan arbitrase harus menyertakan putusan
pengadilan yang membuktikan alasan yang digunakan dalam
mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase. Selain
itu, terdapat pro dan kontra dalam menafsirkan Pasal 70
tersebut. Ada beberapa ahli hukum yang berpendapat bahwa
alasan-alasan yang dikemukakan dalam Pasal 70 bersifat
limitatif namun ada pula yang berpendapat sebaliknya.
Alasan pembatalan putusan arbitrase di negara lain seperti
Malaysia, Inggris dan Jerman ternyata lebih bervariasi.
Tidak hanya alasan yang bersifat pidana seperti yang
tercantum dalam Pasal 70, namun terdapat alasan keperdataan
juga seperti ketidakcakapan para pihak di depan hukum.
Bahkan ketertiban umum dapat digunakan sebagai alasan
pengajuan permohonan pembatalan putusan arbitrase"
Universitas Indonesia, 2007
S22311
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bayu Surianingrat
Bandung: Yayasan Beringin Korpri Depdagri, 1976
352 Sur w
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia, 2006
342.05 ANA
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Universitas Indonesia, 2001
S24463
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Derry Gusman
"Komisi Kejaksaan sebagai lembaga pengawas eksternal Kejaksaan dibentuk untuk meningkatkan kualitas dan kinerja lembaga Kejaksaan. Kinerja lembaga Kejaksaan yang dinilai masyarakat belum optimal menjadi dasar pembentukan lembaga ini sehingga di dalam Undang-udang No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan RI pada Pasal 38 dimungkinkan adanya sebuah komisi yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas dan kinerja lembaga kejaksaan. Sebagai tindak lanjut dari Pasal tersebut maka Presiden mengeluarkan Peraturan Presiden No. 18 tahun 2011 tentang Komisi Kejaksaan sebagai payung hukum melaksanakan tugas dan wewenangnnya. Namun di dalam PerPres ini tidak mengatur secara tegas bagaimana mekanisme tugas pengawasan dan pelaksanaan kewenangan Komisi Kejaksaan. Selain itu didalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya Komisi Kejaksaan mengalami hambatan-hambatan. Bagaimana Komisi Kejaksaan mengatasi hambatan-hambatan dan memaksimalkan kewenangan yang diberikan untuk mencapai tujuan dibentuknya lembaga ini.

Komisi Kejaksaan as an external supervisory institution for the Atourney General Office, formed to improve the the quality and performance of the Atourney General Office. Performance of the public prosecutor has not been assessed to be optimal basis for the establishment of this institution so that in the Act (Undang-undang No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan RI) about the Attorney General on Article 38 made possible the existence of a commission that aims for improve the quality and performance of prosecutor's institutes. As a follow-up of the article the President issued Presidential Regulation or "PerPres No. 18 tahun 2011 tentang Komisi Kejaksaan RI" on the Commission as an legal protection to perform Komisi Kejaksaan ini their duties and responsibilities. But in this regulation does not expressly regulate how the mechanisms of supervision task and how to actuate the authority. In addition the implementation of the duties and responsibilities of commission experienced barriers. How does the Commission overcome barriers and maximize the authority given to achieve the aim of the institute."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S43462
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Sitinjak, Robert Parlindungan
"Konsensus nasional Political Will dari DPR untuk penyelenggaran negara yang bersih dan bebas dari korupsi kolusi dan nepotisme, telah diundangkan melalui TAP XI/MPR/1998 tanggal 13 Nopember 1998 dan diatur lebih lanjut dengan UU No. 28/1999 tanggal 19 Mei 1999 dan UU No. 31/1999 tanggal 16 Agustus tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, menggantikan UU No. 3/1971 yang lama. Hal ini merupakan babak baru dalam sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia dengan memanfaatkan momentum era reformasi.
Upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi (anti corruption strategy) secara sistematis di Indonesia_ telah sejak lama dilakukan, karena dirasakan korupsi sudah sangat membahayakan pembangunan. yaitu sejak tahun 1957 mulai dengan peraturan penguasa militer, penguasa perang pusat, TPK, Komisi 4, Opstib, sampai era reformasi dengan dibentuknya Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) pada tanggal 13 Oktober 1999 dan Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) pada tanggal 23 Mei 2000.
Kejaksaan Agung sebagai lembaga penuntutan satu-satunya di Indonesia (legal monopoly) mempunyai tanggung-jawab moral dan hukum untuk berjuang memberantas korupsi dan menegakkan supremasi hukum yang responsif dengan rasa keadilan masyarakat. Tuntutan dan harapan masyarakat sangat besar diletakkan di pundak Kejaksaan Agung, untuk mengusut tuntas dugaan adanya korupsi yang merugikan keuangan negara, dan mulai mengadili kasus-kasus korupsi besar, dan yang menarik perhatian masyarakat (catchs some big fishes) seperti Kasus Soeharto mantan Presiden RI berkuasa 32 tahun, yang mulai disidangkan tanggal 31-8-2000.
Kinerja Kejaksaan Agung dalam pemberantasan korupsi selama 5 tahun (1993/1994 s/d 1997/1998) pada tahap penyelidikan penyelesaiannya hanya 40% (34 kasus) dan sisa tunggakan 60% (50 kasus), tahap penyidikan penyelesaiannya hanya 38% (9 kasus) dan sisa tunggakan 62% (15 kasus), dan tahap penuntutan untuk seluruh Indonesia tingkat penyelesaiannya hanya 19% (115 kasus) dan sisa tunggakan 81% (479 kasus). Rata-rata sisa tunggakan kasus sekitar 60%-81%.
Pendapat para ahli tentang sebab-sebab terjadinya korupsi dan hambatan pemberantasan korupsi, dijadikan sasaran analisis yang mendasari perumusan strategi pemberantasan korupsi (anti corruption strategy) selanjutnya. Strategi secara sistematis itu diharapkan dapat mengendalikan faktor-faktor penyebab korupsi tersebut.
Bertolak dari kenyataan tersebut diatas, maka penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kebijakan pemberantasan korupsi oleh Kejaksaan Agung, sejauh mana tingkat efektifitas Kejaksaan Agung dalam pemberantasan korupsi di Indonesia, (apakah telah memberikan hasil/akibat yang maksimal, taxis dari pertimbangan efisiensi) dan berupaya untuk dapat memberikan strategi alternatif/prioritas yang dapat meningkatkan efektifitas pemberantasan korupsi (anti corruption strategy).
Hasil penelitian penulis ini menunjukkan, bahwa Kejaksaan Agung berada pada kondisi di dua lingkungan yaitu lingkungan internal dan eksternal. Hal mana telah memberikan pengaruh terhadap kinerjanya. Pengaruh sebagai faktor pendukung dan faktor penghambat bisa berasal dari internal maupun eksternal. Yang berasal dari faktor internal berupa faktor kekuatan (strength) dan kelemahan (weakness), dan yang berasal dari faktor eksternal berupa faktor peluang (opportunity) dan ancaman (threat). Pendekatan analisis SWOT berupaya untuk merumuskan strategi yang sesuai (best solution) untuk diterapkan dalam upaya mencapai sasaran dan goal yang diinginkan. Ada beberapa strategi alternatif yang dirumuskan, namun berdasarkan urgensi penanganannyalskala prioritas kepentingannya, maka direkomendasikan untuk memakai strategi WO untuk strategi jangka pendek dan strategi SO untuk strategi jangka panjang.
Dari hasil perumusan alternatif strategi SWOT tersebut dengan pendekatan ternyata untuk sasaran strategi kebijakan prioritas jangka pendek adalah memanfaatkan TGPTPK (Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi) (0.408), memperbaiki sarana prasarana/penggajian/fas. kesejahteraan SDM kejaksaan (0,239), melakukan pengawasan intensif terhadap moralitas, etika profesi/sikap perilaku terhadap SDM kejaksaan (0,130), mengusulkan independensi kejaksaan/ (Independent Prosecution System) (0,116), dan memperbaiki/reorientasi sistem manajemen pembinaan (rekrutmen, promosi dan penempatan) SDM kejaksaan yang profesional dan rasional (0,106). Untuk sasaran strategi kebijakan prioritas jangka panjang adalah memanfaatkan lembaga ICAC (Independent Commission Anti Corruption)/ Komisi Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KGPTPK) (0,415), menetapkan target penyidikan dan penuntutan (0,366) dan mengusulkan independensi kejaksaan/(Independent Prosecution System) (0,219).
Dalam penelitian ini, ternyata dalam strategi jangka pendek maupun strategi jangka panjang memiliki sensitifitas yang sangat kecil. Artinya, walaupun terjadi perubahan dalam urutan prioritas, temyata urutan prioritas faktor endogen (strategi kebijakan) tidak mengalami perubahan, hanya perubahan dalam bobot prioritasnya.
Strategi Kebijakan periode jangka pendek dan jangka panjang yang dominan adalah dengan memanfaatkan keberadaan TGPTPK dan lembaga baru ICAC (Independent Commission Anti Corruption)IKGPTPK, sehingga diharapkan tercapainya peningkatan efektifitas strategi pemberantasan korupsi (anti corruption strategy) di Indonesia. Untuk ICAC, disarankan agar konsistensi terhadap sifat komisi yang harus independenlmandiri kepas dari carnpur tangan pemerintah, melibatkan peranan LSM/masyarakat dalam penanganan pemberantasan korupsi di Indonesia. Disarankan, ICAC mempunyai kewenangan terbatas hanya pada tahap penyelidikan dan penyidikan korupsi saja, sedangkan tahap penuntutan tetap sebagai wewenang Kejaksaan Agung. Perlu dirumuskan sinkronisasi susunan perundang-undangannya, agar tidak tumpang-tindih atau menabrak tata tertib hukum positif yang sudah ada."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2000
T7939
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>