Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 140895 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Universitas Indonesia, 1990
S21886
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Amir Syamsuddin
"Penyelesaian kasus pers dan kasus yang menyangkut pers di indonesia memiliki dua pilihan penting. Pilihan tersebut antara lain menyelesaikan kasus pers dan kasus yang menyangkut pers melalui pemberitaan atau yang disebut sebagai penyelesaian dengan Mekanisme Hak Jawab menurut UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers dan/atau Penyelesaian dengan penerapan ketentuan hukum pidana sebagaimana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Apabita ada pelanggaran ataupun kejahatan yang dilakukan dalam kegiatan pers dan diselesaikan melalui mekanisme Hak Jawab maka penyelesaian tersebut adalah penyelesaian dengan pemberitaan sedangkan penyeiesaian menurut KUHP adalah penyelesaian menurut ketentuan hukum publik yaitu bila ada tindakan pidana maka harus ada sanksinya bisa berupa hukuman kurungan atau denda.
Tindak Pidana yang sering terjadi daiam kegiatan pers adalah tindak pidana yang dalam KUHP disebut sebagai penghinaan. Kansep dan pengertian penghinaan diarur dalam Bob XVI Buku H KUHP, yang mengatur mengenai beberapa bentuk tindak pidana penghinaan seperti 'pencemaran (smaad)' vide Pasal 310 KUHP, 'fitnah (laster)' Pasal 311 KUHP, dan 'benghinaan sederhana' (eenvoudige helediging). Tindak Pidana Penghinaan (belediging) yang sangat erat kaitannya dengan pers adalah Delik pencemaran Pasal 310 KUHP yang unsur-unsurya terdiri dari unsur menyerang nama baik dan kehormatan; unsur kesengajaan; unsur di depan umum yang karenanya memiliki syarat publikasi. Selain pencemaran, ada detik fitnah (laster) Pasaf 311 KUHP. Seiain itu masih ada banyak tindak pidana penghinaan lainnya yang tersebar di dalam KUHP dan banyak pula tindak pidana yang bukan penghinaan tetapi berkaitan dengan berita bohong dan sebagainya.
Namun, tindak pidana penghinaan Pasa! 310 KUHP ini dihapus hukumannya apabila kegiatan pers tersebut diiakukan demi kepentingan umum, Kepentingan umum seperti apa yang dapat dijadikan alasan penghapus atas kejahatan penghinaan di atas adalah kepentingan umum yang memang diemban oleh pers dalam fungsi dan perannya. Unsur ?kepentingan umum" yang harus ditafsfrkan sebagai afasan penghapus pidana dalam Pasol 310 ayat (3) adalah unsur kepentingan umum yang berkaitan dengan kegiatan pers terutama pemberitaan yang sesuai dengan UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik (KEJ)/Kade Etik Wartawan indonesia (KEWI). Pemberitaan yang dapat menggunakan dalil 'kepentingan umum" sebagai a!asan penghapus pidana (strafuitsluitingsgrond) hanyalah pemberitaan pers yang memenuhi semua persyaratan yaitu kebenaran, kewajaran, kepantasan, kualitas (profesfonal), kejujuran, obyektivitas, ketidakberpihakan, keseimbangan, dan keterjangkauan. Dengan kriteria kepentingan umum Pasa! 310 KUHP yang mernenuhi semua persyararan di atas, maka sebuah pemberitaan pers jelas-jelas telah menjalankan fungsi dan perannya sebagai lembaga sosial dan ekonomi menurut aturan yang berlaku. Pemberitaan yang telah memenuhf semua persyaratan tersebut di atas merupakan penjelmaan dari penerapan prinsip-prinsip kernerdekaan pers yang bertanggung jawab.

The settlement of press cases and cases related to press in indonesia has two key choices. The choice, among other things, is to settle press cases and cases related to press by means of press news or called as Settlement through the Mechanism of Right to Respond pursuant to Law No. 40 of 1999 on Press and/or Settlement with the application of provisions of the criminal law as regulated in the Criminal Code. ln the event of violation or criminal act committed in press activities and it is settled through the mechanism of Right to Respond then such settlement is a settlement by means of press news, whereas the settlement pursuant to the Criminal Code is a settlement that is in accordance with the provisions of public law namely when a criminal act is committed then it must be subject to sanction either in the form of sentence to imprisonment or a fine.
A criminal act which frequently occurs in press activities is a criminal act which is in the Criminal Code referred to as humiliation. The concept and interpretation of humiliation is regulated in Chapter XV! Book ll of the Criminal Code which regulates on some forms of criminal act of humiliation such as ?aspersion (smaad)? vide Article 310 of the Criminal Code "calumny (laster)" Article 311 of the Criminal Code, and ?plain insult (eenvoudige be!ediging)". The criminal act of humiliation (belediging) which greatly relates to press is Offense of Aspersion as set forth in Article 310 ofthe Criminal Code of which elements consist of the element of attacking the good reputation and honor; the element of deliberateness; the element of before the public that makes it have a publication condition. ln addition to aspersion, there is an Offense of calumny (laster) of Article 311 of the Criminal Code. Besides, there are still other humiliation criminal acts set forth in the Criminal Code and there are also other criminal acts which are non-humiliation but being correlated with fake/ false news/ report and others.
Yet, criminal act of humiliation in Article 310 of the Criminal Code has its punishment eliminated when such press activity is performed for the sake of the public interest. What kind of public interest which may become the reason of eliminating the crime of humiliation as mentioned above is the public interest that is indeed performed by press in its function and role. The element of ?public interest? which must be construed as the reason of the criminal elimination in Article 310 paragraph (3) is the element of public interest relating to press activities especially the press which is in accordance with Law on Press and Journalistic Ethic Code (KEJ)lindonesian Journalists Ethic Code (KEWI). The press that may use the argumentation of ?public interest? as the reason of eliminating the criminal act (strafuitsluitingsgrond) is only the press news meeting all conditions namely truthfulness, fairness, appropriateness, quality (professional), honesty, objectivity, nonalignment, balance, and achievability. With the criteria of public interest of Article 310 of the Criminal Code which meets all of the aforesaid conditions, press news has obviously performed its function and role as a social and economic institution pursuant to the applicable rules. The press news which has met all aforesaid requirements is the realization of the application of independence principles of the accountable press.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008
D928
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Tan, Tik Poen
Yogyakarta: Liberty, 1982
364.665 98 BAM a (1)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
M. Junjunan Nugraha
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1996
S22983
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Ada lima faktor utama yang mempengaruhi masuknya investor ke suatu negara, yaitu stabilitas politik, kepastian hukum, konsistensi kebijakan regulasi, dan pajak. Undang-undang penanaman modal No. 25 Tahun 2007 dibuat untuk manarik investor. untuk memberikan kepastian hukum, UU PM tersebut harus segera diketahui oleh aturan pelaksanaannya...."
JHB 26 : 4 (2007)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Universitas Indonesia, 1984
S21586
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andi Zainal Abidin, 1926-
Jakarta : Yarsif Watampone, 2010
345.598 ABI p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Deddy Yuliansyah Rasyid
"Dalam menjalankan fungsi dan tugasnya Profesi dokter selalu berhubungan dengan nyawa dan tubuh manusia. Hal ini menyebabkan seorang dokter dalam menjalankan tugasnya memiliki resiko yang sangat besar. Dokter adalah juga seorang manusia yang seringkali di dalam usahanya untuk menyembuhkan pasien tidak terlepas dari kegagalankegagalan. Kegagalan tersebut kadangkala mengakibatkan seorang pasien yang ditanganinya menjadi cacat ataupun meninggal dunia. Kegagalan tersebut dapat menyebabkan seorang dokter dianggap menerapkan tindakan medis yang kurang tepat atau melakukan kesalahan.
Akibat dari kegagalan seorang dokter dalam mengupayakan dan menyembuhkan seorang pasien karena kesalahan atau kelalaiannya dalam tindakan medis, sehingga mengakibatkan pasien menjadi terluka atau meninggal dunia, dapat menimbulkan tudingan kepada pihak dokter bahwa telah terjadi tindakan atau perbuatan malpraktik. Dalam tataran seperti inilah timbul tuntutan agar perbuatan seorang dokter yang mengakibatkan kematian atau luka berat terhadap pasien karena kesalahan atau kelalaiannya tersebut dapat dipertanggungjawabkan secara pidana.
Untuk dapat mengkategorikan sebuah perbuatan malpraktik masuk sebagai sebuah tindak pidana menurut hukum pidana di Indonesia tidaklah mudah. Hal ini dikarenakan hukum positif yang ada di Indonesia pada saat ini belum mengatur mengenai malpraktik itu sendiri. Tidak ada batasan-batasan yang jelas bagaimanakah suatu perbuatan (atau tidak berbuat) seorang dokter adalah merupakan tindakan yang sewajarnya ataukah dapat dikategorikan sebagai malpraktik, sehingga dapat dikenakan tuntutan pidana.
Untuk mengkaitkan malpraktik dokter dengan hukum positif yang berlaku pada saat ini, dapat dikonstruksikan dari pertanggungjawaban pidana unsur kelalaian yang terdapat didalamnya. Kelalaian disini tidak dapat disamakan dengan tindak pidana karena kelalaian biasa, karena menyangkut pekerjaan seorang dokter sebagai profesi. Tolak ukurnya adalah tidak terpenuhinya standar dan prosedur profesi medis yang ada. Apabila tindakan/upaya medis yang dilakukan dokter tidak memenuhi standar atau prosedur medis dan berakibat luka atau matinya pasien, perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai malpraktek dan dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana. Akan tetapi bila standard dan prosedur medis telah dipenuhi, akan tetapi tetap terjadi akibat buruk (luka/coati) pada pasien, perbuatan tersebut bukan malpraktik, tetapi merupakan resiko medis, dan tidak dapat dikenakan tuntutan pidana.
Penyelesaian perkara malpraktik yang dilakukan oleh penegak hukum, mengalami hambatan-hambatan terutama dari ketiadaan perangkat hukum yang mengatur tentang malpraktik dokter secara pasti dan terperinci, kurangnya pemahaman mengenai seluk beluk teknis kedokteran dari para aparat penegak hukum, serta kesulitan untuk mendapatkan keterangan dari saksi ahli yang dapat mendukung sangkaan ataupun dakwaan mereka."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T14515
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rohana Frieta
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1988
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>