Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 200514 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Alisa Ardiyati
"Lembaga Keagenan merupakan sebuah lembaga baru dalam Sistem Hukum Indonesia, sebagai sebuah lembaga baru tidaklah tertutup kemungkinan lembaga ini memiliki kekurangan baik dari segi pengaturan maupun pelaksanaannya. Oleh sebab itu adalah baiknya bila dilakukan perbandingan dengan sistem hukum negara lain yang sudah lebih dahulu mengenal lembaga keagenan, demi memperkaya khasanah pengetahuan tentang lembaga keagenan dalam Sistem Hukum Indonesia. Adapun hasil dari perbandingan yang ada diperoleh hasil bahwa lembaga keagenan di Indonesia dan di Australia memiliki banyak kesamaan dan beberapa perbedaan. Kesamaan yang ada disebabkan oleh faktor sosiologis, dimana adanya hubungan yang erat dari bangsa-bangsa yang ada dalam hubungan perdagangan memungkinkan bagi bangsa yang satu untuk mengadopsi lembaga hukum dari bangsa yang lain. Faktor filosofis, dimana manusia selalu membutuhkan bantuan orang lain dalam upaya memenuhi kebutuhan hidupnya, dalam hal keagenan ini, lembaga keagenan adalah sebuah lembaga yang menjadi kehausan logis dalam rangka memenuhi kebutuhan sosial manusia. Sementara perbedaan yang ada disebabkan karena dalam pengadopsian lembaga keagenan di Indonesia ada sedikit banyak hal-hal yang disesuaikan dengan ketentuan hukum yang telah ada. Namun dalam upaya penyesuaian ini justru timbul banyak masalah, yang antara lain menjadi penyebab dari banyaknya perkara yang macet di banyak pengadilan negeri."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2001
S20445
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Ketut Oka Setiawan
Jakarta: Ind-Hill, 1995
346.07 KET l
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Natasya Happy Putri Permata Hapsari
"Skripsi ini membahas mengenai perbandingan konsep mengenai perjanjian keagenan yang ada di Indonesia, Inggris, dan Prancis. Landasan penelitian ini adalah dibutuhkannya pengaturan khusus mengenai perjanjian keagenan di Indonesia untuk memberikan perlindungan lebih bagi pihak prinsipal dan agen. Dengan demikian, rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah konsep perjanjian keagenan di Indonesia saat ini, konsep perjanjian keagenan di Inggris dan Prancis, dan apa saja hal-hal yang perlu diatur mengenai perjanjian keagenan di Indonesia pada masa yang akan datang. Penelitian ini merupakan doktrinal. Belum diaturnya perjanjian keagenan di Indonesia secara khusus membuat para pihak dalam perjanjian keagenan yang diputus perjanjiannya secara sepihak mengalami kerugian. Penelitian ini menemukan bahwa terlepas dari adanya asas kebebasan berkontrak dan dengan adanya asas iktikad baik dalam hukum perdata di Indonesia, maka diperlukan pengaturan khusus mengenai perjanjian keagenan untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan lebih bagi para pihak yang mengatur mengenai hak dan kewajiban para pihak, jangka waktu minimal pemberitahuan penghentian perjanjian keagenan, alasan-alasan yang bisa digunakan untuk menghentikan perjanjian keagenan, good-will sebagai ganti rugi pemutusan perjanjian keagenan secara sepihak.

This thesis discusses the comparison of the concept of agency agreements in Indonesia, England and France. The foundation of this research is the need for special arrangements regarding agency agreements in Indonesia to provide more protection for principals and agents. Thus, the formulation of the problem raised in this research is the current concept of agency agreements in Indonesia, the concept of agency agreements in England and France, and what matters need to be regulated regarding agency agreements in Indonesia in the future. This research is doctrinal. The lack of specific regulation of agency agreements in Indonesia has made the parties to agency agreements that are terminated unilaterally suffer losses. This research finds that despite the existence of the principle of freedom of contract and the existence of the principle of good faith in Indonesian civil law, it is necessary to regulate specifically the agency agreement to provide legal certainty and more protection for the parties which regulates the rights and obligations of the parties, the minimum period of notification of termination of the agency agreement, the reasons that can be used to terminate the agency agreement, good-will as compensation for unilateral termination of the agency agreement."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Maya I.
"Keagenan tunggal adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak yang saling berhubungan dai ani bidang pemasaran barang industri tertentu; d i mana pihak yang satu, merupakan pemilik dari barang tersebut, yaitu pihak agen tunggal, bertindak sebagai perantara yang barang industri pihak prinsipal kepada pihak ke tiga. yaitu pihak prinsipal, sedangkan pihak yang lain, memasar kan Di dalam hubungan ini dapat timbul masalah, apabila para pihak tunduk atau menganut sistem hukum yang berbeda; dimana pihak prinsipal tunduk di bawah hukumnya sehari-hari yaitu sedangkan pihak agen tunggal tunduk di bawah timbul berkisar hukum luar negeri/asing, hukum Indonesia. Pada umumnya masalah yang sekitar masai ah hukum yang akan berlaku dalam perjanjian perjanjian oleh para pihak, kewajiban pihak agen tunggal yang dirugikan perse1 i sihan/sengketa yang kemudian hari. Di tersebut, masalah pemutusan untuk memberi ganti rugi kepada dan jiuga masalah mengenai penyelesaian mungkin timbul di antara para pihak di Indonesia sudah ada peraturan yang mengatur mengenai perjanjian keagenan tunggal, tetap terdapat perselisihan, peraturan meskipun demikian tidak jarang dalam praktek Oleh karena itu yang ada lebih digalakkan berlakunya, perlulah ki ranya agar para pihak dapat melaksanakan Per janjian keagenan tunggal dengan baik sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1989
S25645
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
Annisa Dian Hardiyanti
"Perjanjian franchise berperan penting dalam sistem franchise karena sistem franchise didasarkan pada suatu perjanjian sebagai pedoman pelaksanaan. Di Indonesia, mengenai franchise diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 42 tahun 2007 tentang Waralaba dan Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 53/M-DAG/PER/8/2012 tentang Penyelenggaraan Waralaba. Sementara itu, di Australia, franchise diatur dalam Competition and Consumer Industry Codes ndash; Franchising Regulation 2014 Select Legislative Instrument No. 168, 2014 yang dikenal sebagai "Franchising Code of Conduct". Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif, penelitian perbandingan hukum ini menunjukkan bahwa selain terdapat perbedaan dalam pengaturan hukum mengenai perjanjian franchise yang berlaku di Indonesia dan Australia, juga terdapat persamaan.

Franchise agreement has a vital role in the franchise system, because the franchise system based on an agreement as implementation guidance. In Indonesia, franchise is regulated in Government Regulation No. 42 year 2007 on Franchise and Regulation of the Minister of Trade of The Republic of Indonesia Number 53 M DAG PER 8 2012 on Franchising. Meanwhile, in Australia, franchise is regulated in Competition and Consumer Industry Codes ndash Franchising Regulation 2014 Select Legislative Instrument No. 168, 2014 also known as ldquo lsquo Franchising Code of Conduct rdquo . This research is jurisdistic normative research, this legal comparative research shows that other than the difference in the regulation about franchise in Indonesia and Australia, it also has the similarity.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
S68141
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zefanya Christian
"Dalam perkembangan ekonomi di dunia, teknologi finansial menjadi salah satu bagian yang mengalami kemajuan pesat. Equity crowdfunding sendiri merupakan salah satu bagian teknologi finansial dengan metode pengumpuan dana untuk mengembangkan usaha dengan reward berupa saham bagi para peserta yang ikut menghimpun dana. Indonesia dan Australia adalah negara yang telah menerapkan aturan mengenai equity crowdfunding. Di Indonesia di atur oleh Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 37 tahun 2018 dan di Australia di atur oleh Corporate Amendment (Crowd-Sourced Funding) Act 2017 dan Corporate Amendment (Crowd-Sourced Funding for propritary company) Act 2018. Dalam pengaturannya terdapat perbedaan dan persamaan dari equity crowdfunding di Indonesia dan Australia.
Skripsi ini pun di tulis untuk menjawab dua pertanyaan.  Yang pertama yaitu apa saja regulasi dan syarat dari equity crowdfunding di Indonesia dan Australia dan yang kedua yaitu apa saja persamaan dan perbedaan dari regulasi dan syarat serta cara kerja dari equity crowdfunding di Indonesia dan Australia. Dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif, skripsi ini menunjukan aturan dan syarat equity crowdfunding di Indonesia dan Australia serta perbedaan dan peramaan dari aturan dan syarat serta cara kerja equity crowdfunding di Indonesia dan Australia.
Dari penelitian ini ditemukan bahwa terdapat persamaan dalam cara kerja equity crowdfunding di Indonesia dan Australia dan perbedaan terletak pada syarat untuk menjadi investor, operator, penerbit saham. Australia mempunyai peraturan yang lebih terbuka terhadap investor sehingga membuat angka pertumbuhan equity crowdfunding cukup tinggi. Saran diberikan kepada Otoritas Jasa Keuangan untuk membuat peraturan yang lebih terbuka terhadap investor untuk meningkatkan angka pertumbuhan equity crowdfunding di Indonesa.
In the world economic development, financial technology is one part that is experiencing rapid progress. Equity crowdfunding itself is one of financial technology with methods of raising funds to develop businesses with rewards in the form of shares for participants who participate in raising funds. Indonesia and Australia are among the countries that have implemented rules regarding equity crowdfunding. In Indonesia it is regulated by Financial Services Authority Regulation Number 37 of 2018 and in Australia it is regulated by the Corporate Amendment (Crowd-Sourced Funding) Act 2017 and the Corporate Amendment (Crowd-Sourced Funding for proprietary company) Act 2018. In its regulation there are differences and similarities from equity crowdfunding in Indonesia and Australia.
This thesis was written to answer two questions. The first question is what are the regulations and requirements of equity crowdfunding in Indonesia and Australia and the second  one is what are the similarities and differences of the regulations and terms and ways of working for equity crowdfunding in Indonesia and Australia. Using normative legal research methods, this thesis shows the equity crowdfunding rules and conditions in Indonesia and Australia as well as the differences and similarities of the rules and conditions and the workings of equity crowdfunding in Indonesia and Australia.
From this study it was found that there are similarities in business operation of equity crowdfunding in Indonesia and Australia and the differences lies in the requirements to become an investor, intermediaries, and issuer. Australia has more open regulations on investors, so the equity crowdfunding growth rate is quite high. Suggestions are given to the Financial Services Authority to make regulations more open to investors to increase equity crowdfunding growth rates in Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kenny Regina
"ABSTRACT
Skripsi ini membahas mengenai pengaturan pengendalian terhadap Perseroan Terbatas. Pengendalian tidak secara jelas diatur dalam hukum Indonesia, terbukti dengan tersebarnya pengaturan mengenai pengendalian dalam berbagai tingkat norma hukum yang tidak menunjukkan adanya keselarasan satu sama lain. Sedangkan negara-negara dengan tingkat corporate governance yang tinggi telah mengatur pengendalian terhadap Perseroan Terbatas secara komprehensif dan jelas, seperti Belanda, Australia, dan Singapura. Berdasarkan hal tersebut, peneliti mengajukan pokok permasalahan, yaitu: 1. Bagaimana pengaturan pengendalian terhadap Perseroan Terbatas di Indonesia, Belanda, Australia dan Singapura? 2. Bagaimana perbandingan terhadap implementasi pengaturan pengendalian terhadap Perseroan Terbatas di Indonesia, Belanda, Australia dan Singapura? Pada akhirnya, peneliti memperoleh kesimpulan bahwa pengaturan pengendalian terhadap Perseroan Terbatas di Indonesia masih tidak konsisten, dan negara Belanda, Australia dan Singapura sudah memiliki pengaturan pengendalian terhadap Perseroan Terbatas yang jelas. Saran atas penulisan skripsi ini adalah agar pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pengharmonisasian Perundang-Undangan dapat melakukan harmonisasi atas pengaturan pengendalian terhadap Perseroan Terbatas di Indonesia. Bentuk penelitian ini bersifat yuridis normatif dengan tipologi penelitian deskriptif.

ABSTRACT
The focus of this thesis is about stipulation of control of limited liability company in Indonesian law. There is no clear provision about control in Indonesia, proven by the diversity of provisions regarding to control in various legal norms, that does not align with each other. On the other hand, in some countries with high corporate governance score, such as Netherlands, Australia and Sinapore, control of limited liability company is stipulated comprehensively. Based on these conditions, the author formulated and discussed the following problems: 1. How is the regulation of control of limited liability company in Indonesia, Netherlands, Australia and Singapore? 2. How is the comparison of implementation of control of limited liability company in Indonesia, Netherlands, Australia and Singapore? Eventually, stipulation of control of limited liability company is not consistent, and the Netherlands, Australia and Singapore already have clear provisions regarding to company control. This thesis recommend the authority to harmonize the provisions of control of limited liability company in Indonesia. This research uses the normative juridical approach with a descriptive typology."
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Kalingga Hermawan
"Kebutuhan manusia yang begitu banyak sering kali tidak dapat dipenuhi dengan dana yang ia miliki sehingga manusia memerlukan suatu lembaga yang memberikan fasilitas yang bertujuan untuk memberikan dana penunjang untuk memenuhi kebutuhannya, yakni lembaga jaminan. Dalam pelaksanaannya, setiap lembaga jaminan mengatur tata cara eksekusi nya masing-masing. Hukum Indonesia yang mengenal dua lembaga jaminan yakni lembaga jaminan gadai dan fidusia, mengatur bahwa pelaksanaan eksekusi terhadap benda jaminan khususnya benda bergerak dapat dilakukan melalui lembaga parate executie yang dilakukan tanpa melibatkan proses peradilan dan rieel executie yang dilakukan melalui proses peradilan. Disini diketahui bahwa dalam pelaksanaan eksekusi benda jaminan, negara Indonesia masih melibatkan badan peradilan. Hal tersebut berbeda dengan negara Australia yang pelaksanaan eksekusi benda jaminannya tidak melibatkan badan peradilan. Di negara Australia, hak jaminan benda bergerak yang bernaung dalam satu lembaga yakni lembaga Personal Property Securities, mengatur bahwa terkait pelaksanaan eksekusi nya, para pihak dalam perjanjian penjaminan mengemban hak dan kewajibannya masing-masing berdasarkan Personal Property Securities Act 2009. Sehingga, pelaksanaannya tidak perlu melibatkan badan peradilan. Adanya perbedaan ketentuan tersebut, menjadi dasar penulis untuk melakukan perbandingan terkait pengaturan pelaksanaan eksekusi jaminan benda bergerak antara kedua negara. Dengan itu, dalam skripsi ini akan dibahas mengenai persamaan dan perbedaan pelaksanaan eksekusi lembaga jaminan benda bergerak di Indonesia dan Australia berikut dengan penjelasan umum terkait hukum jaminan yang berlaku di kedua negara. 

Human need often can not be fulfilled because of the limited amount of funds they have, therefore humans need an institution that provides facilities that aim to provide supporting funds to meet their needs, such as security institution.  In practice, every security institution regulates the procedure of its own execution. Indonesia security law, provides two types of security in personal property which is pawn and fiduciary guarantee, both types of security regulate that the execution of collateral can be enforce through parate executie and rieel executie. Enforcing collateral through parate executie does not requaries the court act , while the implementation of rieel executie is involving the court decision. Thus, it is known that the execution of collateral in Indonesian still involves the court act. In the other side, execution of personal property in Australia security law does not involve the court. In Australia, security interest in personal property regulated under one institusion, namely Personal Property Securities. Under the Personal Property Securities, execution of personal property can be enforced by the parties in the security agreement by complying the rights and obligations regulated under Personal Property Securities Act 2009. As a result, the execution of collateral in Australia security law does not requires the court act. The difference in these provisions becomes the basis for the author to make a comparisons related to the execution of personal property between the two countries. Therefore, this thesis will discuss the similarities and differences in the execution of personal property security in Indonesia and Australia along with general explanation related to the security law in both countries. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia , 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>