Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 125218 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Abdul Rachman Uddin
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1989
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nasry Noor
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1986
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simamora, Angga Bastian
"Salah satu asas dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah Pengadilan mengadili menurut hukum dengan menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah. Asas yang juga dikenal sebagai asas presumption of innocence ini adalah paham yang menyatakan bahwa seorang tidak dapat dinyatakan bersalah sebelum pengadilan memutus bahwa terdakwa tersebut memang bersalah.
Berkaitan dengan asas tersebut; KUHAP juga menjamin adanya asas perlindungan terhadap tersangka dari tindakan penyidik yang sewenang-wenang dalam menjalankan upaya paksa; secara khusus masalah penangkapan. Dalam kaitannya dengan hal tersebut maka dibentuklah suatu lembaga yang dinamakan PRAPERADILAN. Praperadilan harus memastikan bahwa penangkapan yang dilakukan sudah sesuai dengan syarat dan tata cara penangkapan yang diatur didalam KUHAP. Ketentuan Pasal 1 butir 20 dan Pasal 17 KUHAP memberikan gambaran bahwa penangkapan yang dilakukan terhadap tersangka suatu tindak pidana tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang oleh penyidik. Skripsi ini akan membahas mengenai ketentuan syarat dan tata cara penangkapan, proses pemeriksaan praperadilan terhadap syarat dan tata cara penangkapan tersebut, serta penerapannya di dalam sebuah putusan praperadilan.
Metode penelitian yang digunakan adalah studi kepustakaan yang bersifat yuridis normatif yakni penelitian kepustakaan yang mengaitkan permasalahan dengan norma-norma hukum yang berlaku di Indonesia. Setelah dilakukan penelitian dapat diketahui bahwa ketentuan mengenai syarat penangkapan belum dirumuskan secara tegas oleh KUHAP dan menimbulkan ketidakpastian hukum. Proses pemeriksaan praperadilan cenderung menggunakan mekanisme keperdataan yang sangat rigid secara formil namun kurang dalam mencari kebenaran materiil. Implikasi proses pemeriksaan yang demikian terlihat juga pada putusan praperadilan yang lebih banyak menekankan pertimbangannya pada ketentuan-ketentuan yang bersifat formil."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008
S22412
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Darwan Prinst
Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993
345.072 DAR p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Rihal Amel Aulia Haqi
"Tindak pidana Korupsi merupakan kejahatan luar biasa yang telah memiskinkan bangsa Indonesia secara keseluruhan dan sistematik. Dalam rangka memberantas tindak pidana korupsi secara serius, maka pada tahun 1999 dibuatlah Undang-undang No. 31 Tahun 1999 yang menggantikan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Namun dalam perkembangannya, pemberantasan tindak pidana korupsi tersebut tidak bisa dilaksanakan secara optimal akibat adanya penghentian penyidikan atau penuntutan yang dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum pada Kejaksaan Agung Republik Indonesia. Atas penghentian penyidikan atau penuntutan tindak pidana korupsi, masyarakat maupun Lembaga Swadaya Masyarat (LSM)/Organisasi Masyarakat (OrMas) melakukan protes dengan mengajukan permohonan praperadilan ke Pengadilan Negeri untuk membatalkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) ataupun Surat Keputusan Penghentian Penuntutan (SKPP) yang diterbitkan oleh penyidik ataupun penuntut umum tersebut. Namun pada kenyataannya, masyarakat maupun LSM/OrMas yang menamakan dirinya sebagai "pihak ketiga yang berkepentingan", mengalami banyak hambatan dalam mengajukan permohonan praperadilan ke Pengadilan Negeri. Hal ini karena kedudukan mereka sebagai "pihak ketiga yang berkepentingan" tidak secara jelas diatur dalam KUHAP maupun Undang-undang Tentang Pemberantasan Tidak Pidana Korupsi. Tidak adanya pengaturan secara jelas mengenai "pihak ketiga yang berkepentingan" menyebabkan banyak interpretasi yang saling bersebrangan dikalangan ahli hukum di seluruh Indonesia. Pada akhirnya, hal tersebut menimbulkan keanekaragaman putusan praperadilan pada Pengadilan Negeri, yaitu menerima ataupun menolak permohonan praperadilan yang diajukan oleh masyarakat maupun LSM/OrMas sebagai "pihak ketiga yang berkepentingan". Skripsi ini akan mengulas mengenai legal standing "pihak ketiga yang berkepentingan" dalam permohonan praperadilan tindak pidana korupsi, baik menurut teori maupun penerapannya dalam praktik peradilan di Indonesia, serta hendak menganalisis Putusan Praperadilan pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam perkara penghentian penyidikan kasus korupsi Texmaco, penghentian penuntutan H.M. Soeharto dan penghentian penyidikan Sjamsul Nursalim."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008
S22399
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Loebby Loqman
Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional. Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, 2000
345 LOE a
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Andi Hamzah
Bandung: Alumni, 2016
345.05 AND s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Lilik Mulyadi, 1961-, author
"Indonesian criminal procedural law with special reference to indictment, special plea, and judge decisions.
"
Bandung: Citra Aditya Bakti, 2012
345.05 LIL h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Budi Gutami
"Bab I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 telah ditegaskan mengenai tujuan necara kita sebagai berikut :
"Untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilen sosial".
Disamping itu dalam penjelasan Undang-undang Dasar'45 ditetapkan pula mengenai sistem pemerintahan negara kita berdasarkan atas hukum dan tidak berdasarkan kekuasaan belaka. Penjelasan ini menunjukkan bahwa Indonesia menjujung tinggi supremasi hukum yang bertujuan mewujudksn kesejahteraan umum agar teruujud masyarakat adil dan makmur.
Masyarakat sejahtera yang adil dan makmur ingin diwujudkan oleh pendiri negara kita dangan cara antara lain melalui jalur hukum. Hukum dipakai sebagai sarana untuk pengaturan masyarakat agar tujuan negara kita tercapai.
Pembentukan hukum itu sendiri merupakan suatu proses yang tidak singkat dan memerlukan pemikiran yang luas serta mendalam, disamping itu membutuhkan biaya yang mahal.
Hukum dalam tulisan ini yang dimaksud adalah peraturan tertulis yang dibuat oleh penguasa pusat maupun daerah yang sah. Dengan demikian maka peraturan tertulis yang oleh penguasa pusat yang sah dapet disebut dengan Undang-undang dan peraturan tertulis yang dibuat oleh penguasa daerah yang sah disebut dengan Perda (Peraturan Daerah).
Pengingat proses pembentukan baik Undang-undang mau pun Perda yang tidak singkat, memerlukan pemikiran yang luas serta mendalam, disamping membutuhkan biaya yang mahal tersebut maka merupakan dorongan bagi setiap pembentuk Undang-undang maupun Perda agar mempunyai informasi yang luas mengenai masyarakat serta peraturan itu sendiri.
Karena pada dasarnya setiap peraturan itu bekerjanya di dalam masyarakat melalui orang dan bukan bekerja dalam ruang yang hampa udara, sedangkan masyarakat atau kelompok orang merupakan subjek nilai dan mempunyai kepentingan-kepentingan yang menyangkut baik pribadi, kelompok maupun.golongannya.
Oleh karena itu apabila penguasa negara kita baik yang di Pusat maupun di Daerah telah sepakat bahwa dengan pembentukan Undang-Undang maupun Perda merupakan suatu usaha yang sadar agar masyarakat dapat dipengaruhi bergerak kearah yang dikehendakinya maka penting sebagai patokan untuk diperhatikan mengenai empat prinsip yang dikemukakan oleh Sudarto yaitu :
1. Pembentuk Undang-undang harus mempunyai pengetahuan yang cukup tentang senyatanya.
2. Pembentuk Undang-Undang harus mengetahui sistem nilai yang berlaku dalam, masyarakat yang berhubungan dengan keadaan itu, dengan cara-cara yang dilakukan dan dengan tujuan-tujuan yang hendak dicapai agar hal-hal ini tepat diperhitungkan dan agar dapat dihormati.
3. Pembentuk Undang-undang harus mengetahui hipotesa yang menjadi dasar Undang-undang yang bersangkutan dengan perkataan lain mempunyai pengetahuan tentang hubungan kausal antara sarana (Undang-undang dan misalnya sanksi yang ada didalamnya) dan tujuan-tujuan yang hendak dicapai.
4. Pembetuk Undang-undang menguji hipotesis ini dengan perkataan lain melakukan penelitian tentang effek dari Undang-undang itu termasuk effek sampingan yang tidak diharapkannya.
Keempat prisip tersebut diatas yang harus mendapat perhatian bagi pembentuk Undang-undang baik yang di Pusat maupun di Daerah, mengingat Indonesia merupakan negara yang sedang berkembang dengan masyarakat yang benar-benar polyvalent artinya bahwa masyarakat Indonesia berlaku sistem nilai yang berbeda untuk seluruh penduduk di negara ini.
Begitu pula dengan keadaan geoorafi Indonesia yang terdiri atas pulau-pulau menyababkan sifat kebhinekaan atau sifat heterogen sehingga menyulitkan pembentuk Undang-undang kerena pada dasarnya sifat Undang-undang itu umum dan harus dapat berlaku sama terhadap semua warga negara akan tetapi dengan adanya perbedaan sistem nilai tersebut menyebabkan persepsi terhadap suatu Undang-undang kemungkinan tidak sama, sehingga pembentuk Undang-undang harus dapat menghindari adanya deskrepensi (ketidaksesuaian) antara pandangan yang diwujudkan denoan kata-kata dalam Undang-undang serta pandangan yang hidup dalam mesyerakat. Keadaan ini harus disadari dan diperhitungkan sebelum Undang-undang terwujud.
Adanya sifat heterogen dan perbedaan sistem nilai yang hidup dalam masyarakat tersebut maka gaya bahasa yang digunakan oleh pembentuk Undang-undang baik di Pusat maupun di Daerah hendaknya mendapat perhatian khusus seperti yang dikemukakan oleh Sudarto sebaoai berikut :
1) Gaya bahasanya singkat dan sederhana, kalimat muluk-muluk hanyalah membingungkan belaka.
2) Istilah-istilah yang digtnakan sedapatnya harus absolut dan tidak relatif, sehingga memberi sedikit kemungkinan untuk perbedaan pandangan.
3) Undang-undang harus membatasi diri pada hal-hal yang nyata dan menghindarkan kiasan-kiasan dan hal - hal hipotetis.
4) Undang-undang tidak boleh.jlimet, sebab ia diperuntukkan orang-orang yang daya tangkapnya biasa, ia harus bisa dipahami oleh orang pada umumnya.
5) la tidak boleh mengaburkan masalah pokoknya denoan adanya pengecualian, pembatasan, atau perubahan kecuali apabila hal memang benar-benar diperlukan.
6) la tidak boleh terlalu banyak memberi alasan, adalah berbahaya untuk memberi alasan-alasan yang..."
Depok: Universitas Indonesia, 1990
T1959
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amir Martosedono
Semarang: Dahara Prize, 1994
345.072 AMI p (1)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>