Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 122073 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Universitas Indonesia, 1985
S21652
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Djoko Prakoso
Yogyakarta: Liberty, 1988
365 DJO h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Lamintang, P.A.F., 1926-
Bandung: Armico, 1984
345.598 LAM h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Lamintang, P.A.F., 1926-
Jakarta: Sinar Grafika, 2012
345.598 LAM h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Dedyng Wibiyanto Atabay
"Hukum di suatu negara adalah diperuntukkan untuk melindungi warga negaranya dari segala ketidaknyamanan dan untuk mewujudkan kesejahteraan bagi warga negaranya. Pembangunan nasional yang dilaksanakan bangsa Indonesia dalam rangka mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh tumpah darah Indonesia dan membentuk manusia seutuhnya baik materiil maupun spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Pelaksanaan pembangunan nasional menjadi terganggu dengan semakin merajalelanya korupsi yang terjadi di seluruh lapisan masyarakat dalam segala bidang yang lambat laun telah menggerogoti hasil-hasil pembangunan yang telah dicapai karena korupsi telah banyak menyebabkan kerugian keuangan dan perkonomian negara.
Untuk memberikan kejeraan terhadap pelaku korupsi telah ditetapkan pidana penjara yang sangat berat meskipun kurang mempunyai dampak yang menggembirakan. Di samping pidana penjara yang berat pelaku korupsi juga dikenakan pidana tambahan pembayaran uang pengganti. Namun demikian pidana tambahan pembayaran uang pengganti dalam pelaksanaannya masih jauh dari yang diharapkan untuk pengembalian kerugian kerugian keuangan dan perekonomian negara akibat tindak pidana korupsi. Hal tersebut membuat penulis tertarik untuk mengambil peramasalahan pokok dalam penelitian ini yaitu: "Bagaimana pidana tambahan pembayaran uang pengganti dapat mengembalikan kerugian keuangan dan perekonomian negara akibat tindak pidana korupsi."
Konsep pidana tambahan pembayaran uang pengganti adalah untuk membalas terpidana agar tidak menikmati hasil kejahatannya dan negara dapat memperoleh kembali kerugian yang diderita. Dalam perkembanganya kemudian uang pengganti juga muncul sebagai upaya perlindungan bagi korban kejahatan. Dalam pemidanaan agar dapat memenuhi tujuan pemidanaan yang telah ditetapkan maka dalam pelaksanaannya perlu mengacu pada konsep/ide pidana tersebut (pembayaran uang pengganti).
Pengaturan pidana tambahan pembayaran uang pengganti sering terjadi kontradiktif sehingga perlu dilakukan sinkronisasi agar tidak saling overlapping. Dan untuk menjamin keberadaan asset terpidana sejak ditetapkan sebagai tersangka agar tidak dipindahtangankan kepada pihak lain serta untuk membayaran uang pengganti maka perlu dibuat payung hukum yang menjaminnya.
Sikap seorang penyidik, penuntut umum dan hakim dalam menangani perkara korupsi masih jauh dari harapan di mama masing-masing aparat penegak hukum dalam bekerja hanya terfokus pada tugas dan wewenangnya sendiri tanpa melihat tujuan pemidanaan secara keseluruhan. Akibat hal ini, pada akhirnya menyebabkan tidak dapat dieksekusinya harta benda pelaku tindak pidana korupsi. Untuk mengatasi perlu dilakukan dengan mengoptimalkan upaya penyitaan, meningkatkan profesionalisme aparat penegak hukum, dan melakukan kerja sama yang baik apakah antar aparat penegak hukum, institusi, maupun dengan negara lain.
Dan untuk mengoptimalkan pemberantasan tindak pidana korupsi dan khususnya untuk mengembalikan kerugian keuangan negara perlu dipikirkan untuk membentuk lembaga khusus untuk memburu dan mengurus aset negara dalam perkara korupsi serta segera mempersiapkan format kerja sama internasional dalam pemberantasan korupsi dan pencarian asset terpidana khususnya."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T15546
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Dirjen Administrasi Hukum Umum Departemen Hukum dan HAM, 2006
R 364 IND
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
Meliala, Adrianus Eliasta, 1966-
"Dilema antara guilt (rasa bersalah) dan shameful (rasa malu) sudah lama menjadi topik menarik di bidang psikologi sosial. Dilema tersebut antara lain muncul dalam pembahasan mengenai kontrol sosial, perilaku sendiri, nilai moral individual, tingkat standar moral, pengaruh lintas budaya serta dalam situasi pendidikan. Diperkirakan pula, salah satu yang lebih berperanan, entah itu aspek guilt atau aspek shameful, akan mempengaruhi pada cara bagaimana memodifikasi perilaku seseorang.
Studi ini menelaah mengenai kecenderungan di sekolah-sekolah menengah umum dalam memodifikasi perilaku siswa yang telah menampilkan perilaku atau tindakan yang dianggap sebagai salah, jahat, tidak tertib atau menyimpang dari norma sosial yang ada. Apakah kalangan guru di sekolah-sekolah tersebut menampilkan kecenderungan mengeksploitasi penghukuman (punishment) atau melakukan tindakan penciptaan rasa malu (shaming) siswa dikaitkan dengan apa yang sudah dilakukan siswa tersebut?
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa metode penghukuman ternyata merupakan satu-satunya cara memodifikasi perilaku yang diterapkan. Dan, temuan lain, diyakini bahwa dengan diberikan hukuman itulah lalu kemudian muncul rasa malu. Temuan ini nampaknya bersesuaian dengan karakter masyarakat Indonesia perihal beroperasinya guilt dan shameful.

Such dilemma between guilt and shameful has been an interesting topic in the field of social psychology since few times ago. That dilemma persists when discussing social control, self-control, individual moral values, moral standard, cross-cultural influence as well as education-related setting. It is predicted, the one which is more influential, whether guilt aspect or shameful aspect, will one way or another influence the way somebody?s behavior can be modified.
This study investigates such tendency which prevails in public schools especially performed by pupils when treating their student?s misconduct. Research question forwarded is whether they exploit punishment or to create shaming feeling towards students who have made nuisances in school.
The result shows method of punishment has been the only way of modifying behavior which is regarded deviant. Other finding, it is believed that, having given such punishment, shameful feeling will follow. This finding is in association with the character of Indonesian society toward the way guilt and shamefull operate."
Depok: Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 2004
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Junger-Tas, J.,
Arnhem: Gouda Quint , 1993
365 JUN a
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Nurmawan Hari Wismono
"Peranan penerimaan negara dari sektor perpajakan dari waktu ke waktu semakin menempati peranan yang sangat penting untuk membiayai pengeluaran Negara. Untuk menjamin penerimaan Negara dari sektor perpajakan tersebut diperlukan suatu tindakan penagihan oleh Fiskus. Tindakan penagihan tersebut dapat melalui suatu alat paksa, yang salah satunya adalah Penyanderaan terhadap diri Wajib Pajak yang beritikad tidak baik dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya. Pelaksanaan Penyanderaan tersebut menimbulkan permasalahan yang diperdebatkan mengenai kemungkinan terlanggarnya Hak Asasi Manusia Wajib Pajak yang di Sandera, dan kewenangan dari Fiskus sebagai pelaksana dari Penyanderaan. Penyanderaan walaupun merupakan tindakan perampasan kemerdekaan yang memungkinkan dipandang sebagai tindakan pelanggaran Hak Asasi Manusia namun hal tersebut dalam lingkup Hukum Pajak dapat dibenarkan. Pembenaran tindakan Penyanderaan dalam hukum pajak karena pelaksanaan Penyanderaan tersebut untuk melindungi kepentingan negara yang didalamnya terdapat Hak Asasi Manusia seluruh Warga Negara. Pelaksanaan Penyanderaan juga diatur melalui suatu peraturan perundang-undangan. Fiskus pun sebagai pelaksana dari Penyanderaan tersebut memiliki kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang Pajak yang bersifat lex specialis untuk melakukan Penyanderaan atas dasar kekuatan Surat Paksa yang memiliki kekuatan eksekutorial. Penyanderaan merupakan alat paksa yang harus dilaksanakan secara selektif, hati-hati, dan efektif sehingga merupakan alat paksa terakhir yang diambil Fiskus untuk menjamin penerimaan Negara. Tujuan utama dari dilaksanakannya Penyanderaan bukan sebagai hukuman namun agar Wajib Pajak segera membayar pajak terutangnya sehingga memang bukan kuantitasnya yang diutamakan dalam Pelaksanaan Penyanderaan namun kualitasnya berupa deterent effect yang diharapkan. Diharapkan dengan adanya Penyanderaan tersebut Wajib Pajak dapat segera membayar pajak teruangnya dengan segera, sehingga terwujud kesadararan Wajib Pajak akan kewajiban perpajakannya."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T16518
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yunan Arifin
"Efektivitas dan efisiensi pemungutan pajak dapat diukur dengan ukuran tax ratio dan tax coverage ratio. Tax ratio adalah suatu ukuran atau perbandingan pajak yang dapat dipungut dari suatu negara dibandingkan dengan Gross Domestic Product (GDP)-nya, sementara tax coverage ratio adalah suatu perbandingan antara pajak yang berhasil dihimpun dibandingkan dengan pajak yang seharusnya dipungut. Dilihat dari kedua rasio di atas Indonesia mempunyai angka tax ratio yang sangat rendah dibandingkan negara-negara lain, bahkan dibandingkan dengan negara-negara se-kawasan ASEAN–pun Indonesia mempunyai tax ratio berkisar 14% – 13%, sementara negara-negara lain mempunyai tax ratio di atas 20%, dan tax coverage ratio berkisar 66,33% sementara negara lain di atas 85%. Sebagai perbandingan angka tax ratio negara Jepang 18,6% Amerika Serikat 19,8%, Swedia 54,2%, Inggris 39,3%, Korea Selata 16,7%, India 16,9%, sementara negara-negara ASEAN yaitu Thailand 15,8%, Malaysia 36,6 %, Singapura 21,4%, Brunei 18,8% dan Filiphina 16,3%. Untuk memperbaiki dan meningkatkan sitem perpajakan di Indonesia telah diupayakan perubahan-perubahan dalam peraturan perpajakan diantaranya disahkannya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Undang-undang No. 19 tahun 2000 atas perubahan Undang-undang No. 19/1997 dan UU No 16/2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. Usaha mengejar sasaran penerimaan pajak yang dilakukan dengan cara intensifikasi dan eksensifikasi akan lebih baik apabila didukung oleh sarana dan prasarana yuridis yang memadai, salah satunya adalah dengan tindakan penyanderaan. Berbeda dengan tindak pidana fiskal yang dikenakan terhadap penanggung pajak yang telah lalai/sengaja melakukan perbuatan melawan hukum, tindakan penyanderaan adalah upaya pemerintah (fiskus) untuk menahan (sandera) karena penanggung pajak tidak membayar utang pajaknya. Skripsi ini akan membahas efektivitas penyanderaan sebagai salah satu sarana untuk mencapai tujuan peningkatan pendapatan pemerintah dari sektor pajak; serta kelemahan-kelemahan ketentuan perpajakan yang berkaitan dengan penyanderaan yang dapat menghambat tujuan dimaksud. Skripsi ini menggunakan penelitian kualitatif dengan desain deskriptif.

Effectiveness and efficiency of tax collection can be measured by tax ratio and tax coverage ratio. Tax ratio is a tax measurement in which tax collectable of a state community compare to its Gross Domestic Product, however tax coverage ratio is a ratio between a number of tax collected compared to a number of tax that should be collected. From those ratio views point Indonesia has a lower tax ratio compared with other neighboring countries, even if it is compared with neighboring ASEAN countries Indonesia has the lowest tax ratio ranging from 13% to 14%. Meanwhile other countries have a tax ratio over 20% and tax coverage ratio ranging from 66.33 to 85%. As comparison tax ratio of Japan approximately 18,6% United States of America 19,8%, Sweden 54,2%, England 39,3%, South Korea 16,7%, India 16,9%, However ASEAN countries have various tax ratio Thailand 15,8%, Malaysia 36,6 %, Singapore 21,4%, Brunei 18,8% piliphin16,3%. In order to enhance tax collection system, Indonesia has revised tax laws and regulations such as Law No. 28/2007 concerning General Rule and Procedure; Law No. 19/2000 revision of Law No 19/1997 and Law No 16/2000 concerning Compulsion Letter of Tax Collection. An effort to attain a tax collection target is conducted by means of intensification and extensivness. However it can be better if supported by proper legal infrastructure such as corporal detention (gijzeling). Unlike treatment subject to Tax Criminal who purposely acts against the tax law, A corporal detention is a government efforts to detain a tax debtor/ tax guarantor who failed to fulfill tax liabilities. The discourse will explore effectiveness of a corporal detention as a means of enhancing government income from tax sector and explore the weakness of law and regulation related to corporal detention which potentially obstructs such objective."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
S25459
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>