Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 89957 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jessica Jasmin
"Perbuatan melawan hukum (PMH) yang dilakukan seseorang selalu menuntut adanya pertanggungjawaban atas kerugian yang diderita pihak lain. Perbuatan melawan hukum menimbulkan perikatan diantara para pihak yaitu pelaku perbuatan melawan hukum mempunyai kewajiban untuk membayar ganti kerugian yang ditimbulkan karena kesalahannya dan bagi pihak yang dirugikan mempunyai hak untuk menuntut ganti rugi. Masalah ganti rugi sebagai akibat dari perbuatan melawan hukum, dalam KUHPerdata tidak diatur secara sempurna. Pasal 1365 KUHPerdata menentukan kewajiban pelaku perbuatan melawan hukum untuk membayar ganti rugi namun tidak ada pengaturan lebih lanjut mengenai ganti kerugian tersebut. Undang-undang pun tidak menentukan besarnya ganti rugi karena perbuatan melawan hukum maka dari itu yang berwenang untuk menentukan besar ganti rugi adalah hakim. Pertanggungjawaban atas kerugian tersebut bertujuan untuk mengembalikan suatu keadaan pada kondisi awal sebelum perbuatan melawan hukum itu terjadi. Setiap perbuatan melawan hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, maka orang yang terbukti bersalah berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata wajib mengganti kerugian tersebut. Persoalannya bagaimana pertanggungjawaban seseorang terhadap kerugian akibat PMH yang telah dilakukan, sejauh mana Hakim dapat menentukan besar kerugian materil dan immaterial yang telah diderita oleh korban PMH. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kepustakaan, selain itu penulisan ini juga menganalisa kasus yang terkait dengan pertanggungjawaban atas kerugian yang telah diderita oleh korban PMH sesuai penerapan Pasal 1365 KUHPerdata. Dalam kasus Hakim mempunyai wewenang menilai sejauh mana kerugian tersebut mempengaruhi keadaan pihak korban dan Hakim mempunyai kewenangan dalam menentukan ganti rugi sewajarnya yang harus dibayar oleh pelaku PMH. Mengenai pedoman bagi Hakim dalam menentukan besar ganti rugi yang adil bagi kedua belah pihak belum memiliki peraturan yang spesifik, sehingga Hakim harus dapat menetapkan berapa jumlah sepantasnya yang harus dibayar dan hal ini tidak sudah seharusnya tidak melanggar Pasal 178 (3) HIR (ex aequo et bono)."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008
S22362
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
M.A. Moegni Djojodirdjo
Jakarta: Pradnya Paramita, 1982
346 MOE p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Rosa Agustina
"Comparison between civil law and tort law in the procedural system of criminal justice in Indonesia."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
345.05 ROS p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
"Perkembangan jasa angkutan udara dewasa ini telah
mencapai tingkat kecanggihan yang sangat tinggi. sehingga
membuat posisi perusahaan jasa angkutan udara secara
ekonomi lebih kuat dibandingkan dengan pengguna jasa
angkutan udara. Karena itu perlindungan secara hukum bagi
pengguna jasa angkutan udara sudah tidak dapat ditawartawar
lagi.Untuk melindungan pengguna jasa angkutan udara
dari suatu kegiatan yang sangat berbahaya yang dapat
mengancam keselamatan orang lain meskipun dilakukan dengan
penuh kehati-hatian diberlakukannya prinsip tanggung jawab
mutlak yang berarti bahwa pengguna jasa angkutan udara
tidak perlu membuktikan ada atau tidak adanya unsur
kesalahan dari perusahaan jasa angkutan udara. Di samping
itu juga, apabila terjadi kecelakaan yang dilakukan oleh
perusahaan jasa angkutan udara, pengguna jasa angkutan
udara dapat mengajukan tuntutan wanprestasi maupun
perbuatan melawan hukum kepada perusahaan jasa angkutan
udara. Untuk mengajukan tuntutan wanprestasi kepada
perusahaan jasa angkutan udara kita perlu mengetahui ruang
lingkup hukum perjanjian baik yang diatur dalam KUH perdata
maupun dalam Undang-Undang Nomor 15 tahun 1992 tentang
Penerbangan. Dimana dalam Pasal 41 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 15 tahun 1992 disebutkan bahwa ”tiket penumpang atau
tiket bagasi merupakan tanda bukti telah disepakati
perjanjian pengangkutan dan pembayaran biaya angkutan”.
Sedangkan untuk mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum
disamping menggunakan Pasal 1365 KUH Perdata, penggugat
juga dapat menggunakan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 15 tahun 1992 yang menyebutkan bahwa ”Perusahaan
angkutan udara yang melakukan kegiatan udara niaga
bertanggung jawab atas kematian atau lukanya penumpang yang
diangkut”. Dengan demikian tanggung jawab Perusahaan Jasa
angkutan penerbangan dalam perspektif Hukum Perdata dapat
dikatagorikan kedalam tanggung jawab jasa angkutan
penerbangan berdasarkan wanprestasi dan berdasarkan
perbuatan melawan hukum. Untuk mengetahui teori tersebut
maka kasus antara Suciwati (isteri Alm Munir) dengan PT
Garuda Indonesia akan memberikan gambaran apakah antara
teori dengan praktek bersesuaian atau tidak."
[Universitas Indonesia, ], 2007
S22319
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
Munir Fuady
Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002
346 MUN p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Munir Fuady
Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005
346 MUN p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Munir Fuady
Bandung: Citra Aditya Bakti, 2010
346 MUN p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Hening Hapsari Setyorini
"Seorang dokter dapat dikatakan telah melakukan malapraktek medik, yaitu apabila dalam menjalankan profesinya dokter tersebut berbuat lalai sehingga menyimpang dari standar profesi medis. Adapun standar profesi medis ini ditentukan berdasarkan pendidikan, keterampilan, pengalaman dan fasilitas atau sarana-sarana yang tersedia. Malapraktek medik dapat digolongkan menjadi suatu perbuatan melanggar hukum. Pasien atau keluarga pasien yang menjadi korban malapraktek medik dapat melakukan tuntutan hukum berdasarkan perbuatan melanggar hukum. Dalam tuntutannya pasien dapat meminta ganti kerugian yang dapat berupa uang. Ganti kerugian yang dapat dituntut ada dua macam, yaitu kerugian materiil dan kerugian immateriil. Kerugian materiil adalah kerugian yang nyata-nyata dapat dinilai dengan uang, sedangkan kerugian immateriil adalah kerugian yang tidak dapat dinilai dengan uang, seperti rasa malu, rasa sakit, rasa sedih dan kehilangan kesenangan hidup. Permintaan ganti rugi ini harus diperinci satu persatu dan pasien tersebut harus dapat membuktikan kerugian yang dideritanya. Seringkali pasien menuntut jumlah ganti rugi immateriil yang sangat besar, maka dalam hal ini Undang-Undang membatasi penuntutan ganti kerugian yang sewenang-wenang dari orang yang dirugikan. Mengenai besarnya ganti kerugian ini adalah menjadi kewenangan hakim untuk menentukan berapa jumlah yang pantas berdasarkan rasa keadilan."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2001
S20974
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>