Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5585 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"Naskah yang diberi judul Semar-Togog-Seh Subakir-Jayabaya-Ratu adil ini, terdiri dari dua pupuh: sinom 27 bait dan pangkur 31 bait (cuplikan gatra 1-2 lihat di bawah), antara lain berisi percakapan antara sang Hyang Semar disertai Togog dengan Seh Subakir, pendeta dari Ngerum. Semar mempertanyakan kepada Seh Subakir, mengapa lelembut-lelembut tanah Jawa yang merupakan keturunannya, mengungsi ke laut. Dijawab oleh Seh Subakir bahwa ia diutus oleh Kanjeng Sultan di Ngerum agar menempatkan manusia yang jumlahnya dua puluh ribu KK (rong leksa somah), agar bersawah di Pulau Jawa. Seh Subakir kemudian membeberkan sejarah Pulau Jawa dengan menyebutkan berturut-turut kerajaan yang ada di Jawa, yaitu Gilingwesi, Kerajaan Buda, Mendhangkawit, Alengka, Wiratha, Madura, Astina, Amarta, Malwa, Bojanagara, Galuh, Sindula, Medhangkamolan. Teks dilanjutkan dengan beberapa ramalan Jayabaya, dan tentang Ratu adil. Naskah salinan ini tidak diketahui penulis, penyalin maupun tempat penulisan dan penyalinannya. Menurut keterangan di h.ii, sebelum sampai ke tangan Pigeaud pada bulan Juli 1927, Kiliaan Charpentier memperoleh naskah ini dari Grobogan."
[Place of publication not identified]: [publisher not identified], [date of publication not identified]
PW.92-B 3.10
Naskah  Universitas Indonesia Library
cover
"Teks diawali dengan kisah Semar yang dihajar Abimanyu, karena mengolok-olok Prabu Kresna. Semar lari ke pondokannya, lalu membayar pondokan tersebut. Roh Semar segera melayang-layang ke Gunung Tidar. Di situ dia mengeluarkan kekuasaan sampai menggoyahkan kediaman para dewa di Suralaya. Bathara Guru lalu mengutus Bathara Brahma dan Bayu turun ke bumi. Mereka berdua masuk ke dalam api di pondokan Semar dan membakar negeri Dwarawati. Prabu Kresna sangat murka. Mereka berdua lalu berkata bahwa api tidak akan musnah, jika Semar tetap disia-siakan. Cerita dilanjutkan dengan kisah pencarian Raden Janaka oleh Semar. Setelah mengalami beberapa rintangan, akhirnya Semar menemukan Arjuna. Arjuna lalu menceritakan kepada Semar bahwa dia akan mencari wahyu keraton di tanah Jawa. Atas petunjuk Betari Durga, Arjuna pergi ke Suralaya mencari wahyu tersebut. Setibanya di sana, Arjuna dipermainkan oleh para dewa. Semar sangat marah lalu mengutuk dewa-dewa itu. Arjuna lalu disarankan oleh Semar untuk bertapa di gunung Kembang dengan nama Bagawan Arjuna Jelur, sedangkan Semar sendiri bertapa di gunung Kombang dengan nama Semar Kuning. Naskah merupakan jilid pertama dari seri dua jilid naskah FSUI, yaitu WY.61 dan WY.69. Disalin oleh Lagutama pada Sabtu Kliwon, 21 Mulud, Tahun Be, 1864 (15 Juli 1933) (h.34). Oleh staf Pigeaud, teks kemudian dibuatkan salinan aksara ketik pada September 1933, lihat FSUI/ WY.59, hal.1-24. Menurut keterangan pada bagian sampul, teks induk merupakan karya dari K. P. Kusumadilaga di Tejomaya. Keterangan referensi lihat : MSB/SW.26,W.16,50,97; Girardet/66535; Pigeaud 1968:299,III:381 ; SMP/Rp.264. [22,29]"
[Place of publication not identified]: [publisher not identified], [date of publication not identified]
WY.69 - K 14.01
Naskah  Universitas Indonesia Library
cover
"Teks ini memuat dua lakon wayang, yaitu Lampahan Semar Kuning (h.1-24) dan Lampahan Arjuna Jelur (h.24-46). Naskah merupakan alih aksara ketikan dari FSUI/WY.61 dan 69 (karya Lagutama). Kedua naskah tersebut diterima Pigeaud pada tanggal 10 Agustus 1933, sedangkan Lagutama menyalin dari naskah induk yang diterimanya dari K.P. Kusumadilaga, di Tejamaya. Penyalinan dikerjakan oleh staf Pigeaud pada bulan September 1933, sebanyak empat eksemplar. Keterangan referensi, lihat FSUI/WY.69; MSB/SW.50."
[Place of publication not identified]: [publisher not identified], [date of publication not identified]
WY.59-B 33.01
Naskah  Universitas Indonesia Library
cover
Raden Ngabehi Kartaasmara
"Buku ini berisi mengenai simbol dari ketiga peraga wayang yaitu: Semar, nalagareng dan Petruk. Intinya adalah: asal mula di tanah Jawa ada tontonan wayang, bangsa Hindu menbuat cerita Mahabarata dan juga gambar wayang dan arcanya; masuknya cerita Mahabarata ke tanah Jawa; maksud kata Matswapati, Mangswapati; penggambaran tokoh Semar, Nalagareng dan Petruk."
Solo: Stoomdrukkerij De Bliksem, 1930
BKL.0194-CH 6
Buku Klasik  Universitas Indonesia Library
cover
"Naskah merupakan alih aksara ketikan dari MSB/W.70. Salinan lainnya dapat dilihat pada MSB/W.70a. Naskah ini diterima Pigeaud pada bulan Mei 1935. Pada h.16, dijumpai keterangan nama Lagutama. Tidak diketahui secara pasti apakah dia sebagai penulis teks induk atau sebagai penyalin teks ini. Keterangan selanjutnya, Hhat MSB/W.44,70, dan 70a. Naskah tidak dimikrofilm."
[Place of publication not identified]: [publisher not identified], [date of publication not identified]
WY.95-A 38.08
Naskah  Universitas Indonesia Library
cover
Tri Halimah Maulani Ade Nuryadin
"Lakon Jumenengan Prabu Kalithi merupakan cerita gubahan karya Sri Sultan Hamengkubawana ke-X yang dipetik dari wiracarita Arjuna Wiwaha. Lakon tersebut mengisahkan tokoh Arjuna dengan laku tapa brata yang sangat kuat hingga mengguncangkan kahyangan Jongringsalaka. Kesempurnaan laku tapa brata Arjuna menjadikannya layak untuk menerima Pusaka Kyai Pasopati dan mendapat gelar Prabu Kalithi. Dalam penelitian ini tahapan laku tapa brata Arjuna yang sempurna diuraikan dengan nilai-nilai religi jawa. Masalah utama penelitian ini adalah bagaimana kesempurnaan tapa brata Arjuna dengan pemahaman tapa menurut nilai-nilai religi jawa. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan metode kualitatif dan pendekatan sastra religi untuk menganalisis laku tapa brata Arjuna yang sempurna. Sumber data berasal dari dari rekaman Pentas Wayang Wong Jumenengan Prabu Kalithi yang dipersembahkan oleh KHP Kridhomardowo (Kawedanan Hageng Punakawan Kridomardowo, divisi kesenian dan pertunjukan di Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat). Pementasan dapat diakses melalui Kanal Youtube Kraton Jogja dengan judul “Pentas Wayang Wong Jumenengan Prabu Kalithi-Rangkaian Pameran Temporer Bojakrama”. Data tersebut diolah dengan menggunakan tinjauan pustaka dan menggunakan teknik mencatat. Hasil penelitian menunjukan bahwa Arjuna menjalankan laku tapa brata yang sempurna sesuai dengan nilai-nilai pada pemahaman religi jawa. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa laku tapa brata Arjuna sudah sempurna hingga dapat mencapai manunggaling kawula gusti.

The play of Jumenengan Prabu Kalithi is a story composed by Sri Sultan Hamengkubawana X taken from the legendary Arjuna Wiwaha. The play tells the story of the character Arjuna with the practice of tapa which is so strong that it shakes the Jongringsalaka heaven. The perfection of Arjuna's tapa brata practice made him rewarded with Kyai Pasopati Heritage and receive the title of King Kalithi. In this study the stages of Arjuna's perfect tapa brata practice are described with Javanese religious values. The main problem of this research is how the perfection of Arjuna's asceticism with the understanding of tapaaccording to Javanese religious values. This research is a descriptive study using qualitative methods and a religious literature approach to analyze Arjuna's perfect tapa brata practice. The source of this study comes from the recording of the play of Jumenengan Prabu Kalithi presented by KHP Kridhomardowo (Kawedanan Hageng Punakawan Kridomardowo, arts and performance division at the Ngayogyakarta Hadiningrat Palace). The performance can be accessed via the Kraton Jogja Youtube Channel with the title "Puppet Performance of Wong Jumenengan Prabu Kalithi-Bojakrama Temporary Exhibition Series". The data is processed using a literature review and using note-taking techniques. The results of the study showed that Arjuna carried out a perfect tapa brata practice in accordance with the values ​​of Javanese religious understanding. Thus, it can be concluded that Arjuna's tapa brata practice is perfect so that it can achieve manunggaling kawula gusti."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia;, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
"Teks ini merupakan saduran dari episode wayang purwa, menceritakan keberhasilan Prabu Dipayana menguasai ilmu jayan kawijayan yang diberikan Bagawan Sambu. Prabu Dipayana kemudian bergelar Darmasarana. Keterangan dalam teks menyebutkan bahwa naskah ini disusun oleh R.Ng. Citrasantana di Mangkunagaran, Surakarta, sekitar 1910. Pigeaud memperoleh naskah ini dari M. Sinu Mundisura pada bulan Agustus 1939. Daftar pupuh sebagai berikut: 1) dhandhanggula; 2) durma; 3) sinom; 4) asmarandana; 5) kinanthi; 6) pucung; 7) mijil; 8) asmarandana; 9) gambuh; 10) sinom; 11) pangkur; 12) dhandhanggula; 13) kinanthi; 14) mijil; 15) sinom; 16) dhandhanggula; 17) gambuh; 18) asmarandana; 19) megatruh; 20) kinanthi; 21) sinom; 22) pangkur; 23) durma; 24) mijil; 25) dhandhanggula; 26) asmarandana; 27) durma; 28) pangkur."
[Place of publication not identified]: [publisher not identified], [date of publication not identified]
PW.13-NR 385
Naskah  Universitas Indonesia Library
cover
"Menurut daftar naskah koleksi FSUI, naskah SJ.163 ini berjudul Babad tanah jawi (begint Watugunung), namun judul ini tidak sesuai dengan yang terdapat pada punggung naskah yaitu serat pakem ringgit purwa. Isi teks ternyata juga tentang cerita wayang. Oleh karena itu, penyunting membuat judul baru yang sesuai dengan judul pada punggung naskah dan isi teks. Kemungkinan judul lagi adalah Serat Kandha. Bagian awal naskah ini tidak bisa dibaca karena kerusakan pada lembar halaman naskah. Teks berisi kisah Resi Gana yang enggan menikah. Kisah Prabu Watugunung dari Gilingwesi. Kisah Dewi Sri dengan Dasamuka. Kisah Arjunasasrabahu. Kisah Subali dan Sugriwa. Cerita Pandudewanata dari Astina. Kisah Dewa Wisnu dengan Boma. Kisah tentang kelahiran Gatotkaca dan pertarungannya dengan Brajamusti. Beberapa episode cerita tentang Arjuna. Diakhiri dengan kisah putra dari Patih Suwenda yang menikah dengan seorang putri dari Cempa. Daftar pupuh: (1) ..., ... ; (2) pangkur; (3) dhandhanggula; (4) asmarandana; (5) durma; (6) dhandhanggula; (7) sinom; (8) durma; (9) dhandhanggula; (10) durma; (11) asmarandana; (12) dhandhanggula; (13) mijil; (14) asmarandana; (15) wirangrong; (16) pangkur; (17) sinom; (18) dhandhanggula; (19) durma; (20) pangkur; (21) durma; (22) sinom; (23) asmarandana; (24) kinanthi; (25) sinom; (26) pangkur; (27) maskumambang; (28) asmarandana; (29) mijil; (30) megatruh; (31) dhandhanggula; (32) sinom; (33) pangkur; (34) durma; (35) dhandhanggula; (36) sinom; (37) durma; (38) sinom; (39) durma; (40) asmarandana; (41) sinom; (42) dhandhanggula; (43) pangkur; (44) kinanthi; (45) asmarandana; (46) kinanthi; (47) dhandhanggula; (48) wirangrong; (49) sinom; (50) asmarandana; (51) mijil; (52) durma; (53) pangkur; (54) sinom; (55) dhandhanggula; (56) mijil; (57) pangkur; (58) kinanthi; (59) durma; (60) sinom; (61) dhandhanggula; (62) sinom; (63) asmarandana; (64) pangkur; (65) durma; (66) sinom; (67) dhandhanggula; (68) pangkur; (69) wirangrong; (70) asmarandana; (71) durma; (72) pangkur; (73) mijil; (74) asmarandana; (75) dhandhanggula; (76) durma; (77) kinanthi; (78) pangkur; (79) durma; (80) dhandhanggula; (81) asmarandana; (82) sinom; (83) asmarandana; (84) pangkur; (85) durma; (86) mijil; (87) asmarandana; (88) sinom; (89) pangkur; (90) sinom; (91) dhandhanggula; (92) durma; (93) asmarandana; (94) pangkur; (95) durma; (96) asmarandana; (97) sinom; (98) dhandhanggula; (99) pangkur; (100) durma; (101) dhandhanggula; (102) sinom; (103) mijil; (104) durma; (105) kinanthi; (106) pangkur; (107) dhandhanggula; (108) asmarandana; (109) durma; (110) pangkur; (111) dhandhanggula; (112) durma; (113) sinom; (114) pangkur; (115) kinanthi; (116) dhandhanggula; (117) asmarandana; (118) sinom; (119) durma; (120) dhandhanggula; (121) pangkur; (122) sinom; (123) pangkur; (124) girisa; (125) maskumambang; (126) kinanthi; (127) durma; (128) dhandhanggula; (129) asmarandana; (130) dhandhanggula; (131) durma; (132) asmarandana; (133) mijil; (134) dhandhanggula; (135) asmarandana; (136) pangkur; (137) durma; (138) dhandhanggula; (139) sinom; (140) pangkur; (141) durma; (142) dhandhanggula; (143) durma; (144) pangkur; (145) durma; (146) pangkur; (147) dhandhanggula; (148) durma; (149) dhandhanggula; (150) pangkur; (151) durma; (152) pangkur; (153) durma; (154) kinanthi; (155) durma; (156) asmarandana; (157) pangkur; (158) durma; (159) kinanthi; (160) dhandhanggula; (161) asmarandana; (162) sinom; (163) pangkur; (164) dhandhanggula; (165) durma; (166) dhandhanggula; (167) mijil; (168) durma."
[Place of publication not identified]: [publisher not identified], [date of publication not identified]
SJ.163-NR 399
Naskah  Universitas Indonesia Library
cover
"Naskah berisi teks Sajarah Dalem dan Serat Kancil. Cara penulisan naskah ini dari dua sisi, sisi pertama berisi teks Sajarah Dalem berbentuk tembang macapat, tetapi di sana-sini diseling dengan prosa. Kemudian diteruskan dengan Serat Kancil. Naskah berisi pula petikan Serat Menak dan tatacara mengadu ayam, diteruskan dengan doa untuk menyembuhkan sakit gigi. Naskah ini diperoleh Pigeaud di Surakarta pada bulan Februari 1929 dan telah dibuatkan ringkasannya oleh Mandrasastra pada bulan Januari 1933. Daftar pupuh: (1) -; (2) dhandhanggula; (3) sinom; (4) asmarandana; (5) kinanthi; (6) mijil; (7) pangkur; (8) gambuh; (9) megatruh; (10) durma; (11) pucung; (12) sinom; (13) sinom; (14) sinom; (15) asmarandana; (16) asmarandana; (17) pucung; (18) dhandhanggula; (19) kinanthi; (20) dhandhanggula; (21) dhandhanggula; (22) gambuh. [DONGENG KANCIL] (23) pangkur; (24) pucung; (25) sinom; (26) gambuh; (27) dhandhanggula; (28) pucung; (29) pangkur; (30) sinom; (31) asmarandana; (32) pangkur; (33) dhandhanggula; (34) dhandhanggula; (35) sinom."
[Place of publication not identified]: [publisher not identified], [date of publication not identified]
SJ.137-NR 47
Naskah  Universitas Indonesia Library
cover
"Naskah ini tampaknya merupakan saduran dari cerita wayang gedhog dengan mengambil tokoh utama Raden Gandakusuma dari negara Bandaralim. Dalam teks naskah ini, kisah diawali dengan uraian tentang raja Bandaralim, Senapati Bandaralim yang mempunyai empat putra dari ibu yang berbeda-beda, yaitu: 1. Raja Sujalma, yang menjadi raja di Surandhil, ibunya dari Bragedat; 2. Raden Gandakusuma, ibunya dari Ngesam; 3. Menak Tekiyur, yang menjadi raja di Jong Biraji dan bergelar Prabu Jaka, tidak disebutkan asal ibunya; dan 4. Raden Surati, ibunya berasal dari Wandhanpura. Teks diakhiri dengan pengunduran diri Senapati Bandaralim, yang kemudian menyerahkan tahta kerajaan kepada Raden Gandakusuma dan diberi gelar sang Prabu Panitisurya. Tidak diketahui data penulisan maupun penyalinan naskah ini, namun menurut keterangan yang terdapat di h.ii naskah dibeli Pigeaud dari Wandaya pada tanggal 24 Mei 1938 di Yogyakarta. Naskah lain yang berisi cerita Gandakusuma dapat diperiksa pada FSUJ/SJ. 195-199; juga dapat dibaca pada MSB/SW.5, 6a-b, 45b, L.63, W.54, dan P.145. Lihat juga Pigeaud 1970:238 dan Pratelan I: 103. Daftar pupuh: (1) asmarandana; (2) dhandhanggula; (3) durma; (4) asmarandana; (5) sinom; (6) kinanthi; (7) durma; (8) asmarandana; (9) mijil; (10) durma; (11) pucung; (12) dhandhanggula; (13) maskumambang; (14) sinom; (15) pangkur; (16) asmarandana; (17) durma; (18) pangkur; (19) sinom; (20) durma; (21) dhandhanggula; (22) sinom; (23) kinanthi; (24) pangkur; (25) maskumambang; (26) asmarandana; (27) gambuh; (28) sinom; (29) asmarandana; (30) pucung; (31) pangkur; (32) sinom; (33) dhandhanggula; (34) durma; (35) asmarandana; (36) pangkur; (37) durma; (38) dhandhanggula."
[Place of publication not identified]: [publisher not identified], [date of publication not identified]
SJ.194-NR 324
Naskah  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>