Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 121986 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sarumpaet, Cornelius G. C. R.
Depok: Universitas Indonesia, 1993
S33456
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Feny Brillianti
"Kabupaten Kediri sebagai salah satu penghasil padi dan palawija terbesar di Propinsi Jawa Timur telah berhasil swasembada beras. Tercapainya swasembada beras ini tentu tidak lepas dari usaha dan kerja keras para petani. Namun jika dibandingkan luas tanah sawah dengan jumlah petani Yang ada di Kàbupaten Kediri, rata-rata petani di Kabupaten tersebut tergolong petani gurem. Sehubungan dengan hal tersebut, masalah yang akan dibahas adalah : Daerah mana yang taraf hidup petaninya mencapai cukup dan miskin sekali dan faktor-faktor yang mempengaruhinya ?
Dari hasil analisis dapat disimpulkan bahwa:
- Taraf hidup petani di Kabupaten Kediri berada pada golongan miskin sekali sampai dengan cukup. Daerah yang taraf hidup petaninya miskin sekali terdapat di Kecamatan Kras, Mojo, Ngancar Plosoklaten dan Puncu. Sedangkan daerah yang taraf hidup petaninya mencapai cukup terdapat di Kecamatan Gampengrejo, Kunjang, Fagu, Papar dan Pleinahan.
- Ada pengaruh antara faktor pengairan, jumlah pemakaian pupuk, frekwensi kunjungan penyuluhan, lereng dan ketinggian terhadap taraf hidup petani. Dan kontribusi yang diberikan oleh kelima faktor tersebut sebesar 84 %.
- Dari kelima faktor yang mempengaruhi taraf hidup petani di Kabupaten Kedini, ternyata faktor yang paling berpengaruh adalah faktor pengairan ( r = 0,83 ), dimana semakin padat pengairan pada tanah sawah, taraf hidup petani cenderung semakin cukup."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1991
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rustanti Rachmi
1990
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muharsjah
"Kabupaten Dati II Serang mempunyai luas sawah 63339.32 ha atau 33,56%
dari luas wilayah kabupaten dengan tingkat kesuburan tanah relatif dari sedang
sampai baik. Keadaan ini ditunjang dengan posisinya yang dekat dengan lbu Kota
Negara sehingga dapat memudahkan pemasaran hasil - hasil pertanian baik di
wilayah sendiri maupun ke luar wilayah Kabupaten Dati II Serang. Namun jika
dibandingkan luas tanah sawah dengan jumlah petani yang memiliki tanah sawah di
Kabupaten Dati II Serang, rata- rata petani di kabupaten tersebut tergolong petani
gurem.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka permasalahan yang dikemukakan
sebagaiberikut:
1. Bagaimanakah taraf hidup petani di Kabupaten Serang ?
2. Apakah faktor pengairan, frekwensi kunjungan penyuluhan dan keadaan fisik
mempengaruhi taraf hidup petani ?
Batasan - batasan dalam penulisan ini adalah :
- Taraf hidup petani adalah tingkat kemampuan petani untuk dapat memenuhi
kebutuhan hidup minimum dari penghasilannya mengolah tanah sawah.
- Petani adalah orang yang mata pencaharian utamanya bekerja dengan cara
menanam atau memelihara tanaman pangan di sawah ( padi dan palawija) dengan
sebagian atau seluruh hasilnya untuk dijual atau memperoleh pendapatan atau
keuntungan atas resiko sendiri dan bukan sebagai buruh atau kuasa usaha
(BPS). Dalam penulisan penelitian ini yang dimaksud petani adalah khusus
hanyalah petani pemilik, petani penggarap dan buruh tani tidak dimasukkan ke
dalam tulisan ini.
Sawah adalah tanah yang berpematang,sering digenangi air, dengan tujuan
utama ditanami padi dan atau bergiliran dengan palawija.
Untuk mengetahui tingkatan taraf hidup petani ini di hitung berdasarkan
pendapatan per kapita per tahun dari keluarga petani yang dinyat akan dengan
jumlah setara dengan beras,yaitu I. A
K =
X. r
Taraf K = taraf hidup rumah tangga petani
I = pendapatan bersih petani tanah sawah (rp/ha/th)
A = luas rata - rata tanah sawah setiap rumah tangga petani (ha)
r = rata - rata jumlah anggota keluarga tiap rumah tangga petani.
X = nilai harga beras sebesar 240 kg
Apabila nilai :
- K < 1 disebut sebagai kelompok petani miskin sekali, dengan pendapatan
per kapita per tahun kurang dari 180 kg setara beras.
- K = 0,6- 1 disebut sebagai kelompok petani miskin, dengan pendapatan per
kapita per tahun antara 180 - 240 kg setara dengan beras.
- K = 1 - 1,6 disebut kelompok petani hampir miskin, dengan pendapatan
perkapita per tahun antara 240- 320 kg setara dengan beras.
- K > 1 ,6 disebut kelompok petani cukupan, dengan pendapatan perkapita
pertahun lebih besar dari 320 kg setara dengan beras.
Untuk menjelaskan faktor - faktor yang paling berpengaruh terhadap taraf
hidup petani dilakukan korelasi peta. Dari hasil analisa maka ringkasan penelitian ini
adalah:
1. Taraf hidup petani di Kabupaten Serang lebih banyak terdapat pada golongan
miskin sekali dengan persentase 43,3 % atau 13 kecamatan. Untuk golongan
taraf hidup petani yang cukup terdapat di 5 kecamatan atau 16,7% dari seluruh
kecamatan. Sedangkan 40% lainnya termasuk dalam golongan petani yang
taraf hidupnya miskin dan hampir miskin.
2. a: Taraf hidup petani cenderung semakin baik bila berada pada kondisi wilayah
dengan kepadatan pengairan yang padat, frekwensi kunjungan penyuluhan
yang tinggi, kemiringan lereng 0- 2% dan ketinggian antara 3-25m dpl.
b. Dari keempat faktor yaitu kepadatan pengairan, frekwensi kunjungan
penyuluhan, ketinggian dan lereng temyata yang paling berpengaruh
terhadap taraf hidup petani tanah sawah padi dan palawija di Kabupaten
Serang adalah faktor kepadatan pengairan. Hal ini .disebabkan tingkat
klasifikasi yang sesuai antara taraf hidup petani padi dan palawija dengan
kepadatan pengairan lebih besar jumlahnya ( 53,3% ) dibandingkan ke tiga
faktor lainnya."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1997
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arimuladi Setyo Purnomo
"Indonesia dari pengiinpor beras terbesar di dunia menjadi negara berswasembada beras. Dengan adanya swaswmbada beras apa kah taraf hidup petaninya juga meningkat ? Untuk mengukur pendapatan petani dari hasil tanah sawahnya digunakan ganis kemiskinan dari Sajogyo yaitu, pendapatan yang disetarakan dengan beras 240 kg per kapita per tahun. Di Propinsi Java Timur salah satu penghasil beras adalah kabupaten Nganjuk, penggunaan tanah p.ertanian terbesar (47 %), mata pencahanian terbesar (61 %) sebagai petani. Jika dibandingkan luas sawah dengan jumlah petani maka rata-rata petani di Kabupaten Nganjuk adalah petani gurern (0,4 ha). Tujuan penulisan ingin mengetahui taraf hidup petani yang rata-rata petani gurem, apakah mereka dapat mencapai taraf hidup diatas 240 kg setara beras per kapita per tahun ? Séhubungan dengan tujuan, maka masalahnya adalah : wilayáh mana taraf hidup petaninya cukup ?, wilayah inana taraf hidup petaninya miskin?, mengapa demikian ?, apakah wilayah benpengairan padat taraf hidup petaninya dapat mencapai Cukup? Atas dasar masalah, maka hipotesanya adalah : Taraf hidup petani akan dipengaruhi oleh tinggi rendahnya produktivitas, luas sempitnya tanah sawah, besar kecilnya jumlah keluarga petani dan ada tidaknya pengairan di wilayah tersebut. Untuk menjawab masalah dan hipotesa digun.akan perhitrngan K=I.A/X.r, K = taraf hidup petani, I produktivitas, A = luas X.r sàwah, r = jumlah keluarga, X = harga beras 240 kg. Apabila K <1 miskin, K = 1-1,50 hampir miskin, K = 1,50 cukup. Air yang cukup menentukan kehidupan tanaman di sawah, maka pengairan menentukan taraf hidup petani, korelasinya kuat (r=0,71). Pengairan menentukan tinggi rendahya produktivitas sawah yang mempengaruhi taraf hidup petani, korelasinya kuat (R = 0,72), intensita pengusahaan tanah sawah oleh petani dan banjir mempengaruhi produktivitas sawah pula. Luas dan sempitnya sawah petani disamping ada tidaknya pengairan mempengaruhi taraf hidup petani, korelasinya kuat (R = 0,76). Lereng dan ketinggian menentukan bisa tidaknya pengairan."
Jakarta: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1987
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Firman Rachmatullah
"Penyaldt Demam Berdarah merupakan salah satu rnasalah kesehatan masyarakat yang berdampak luas bagi kehidupan,karena merupakan pcnyakit menular yang berbahaya oleh karena dapat rnenimbulkan kematian dalam waktu singkat dan sering menimbulkan wabaln Kabupaten Lebak mcrupakan kabupaten yang dapat berpolensi temjadinya kasus luar biasa (KLB) demem Berdamh Dengue,untuk tu maka perlu perhatian dari pemcrimah daerah untuk penyiapan baik dana maupun sarana dalam mengantisipasi kejadian tersebut.Kebijakan otonomi daiam era desentralisasi menyebabkan bidang kesehatan menjadi tanggung jawab dan wewenang pemerintah daerah Kabupatcn/Kota didalam penyelenggaraan pembangunannya untuk mencapai peningkatan derajat kesehatan masyarakagdan sebagai konsckwcnsinya pemerintah kabupaten/kota harus menyusun kebijakan,termasukkebijakan pembiayaan dalam upaya pembanguuan kesehatan tersebut. Sampai saat ini belum pemah dilakukan analisis mengenai pendanaan program yang bersumber pemerintah baik lmtuk pemeberantasan maupun pengobatannya di Kabupaten Lebak. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bcrapa besar pcndanaan program pemberantasan Dcmam Berdarah Dengue di Kabupaten Lcbak baik untuk Upaya peningkatan Kesehatau Masyarakat (UKM) maupun untuk Upaya Peningkatan Kesehatan Perorangan (UKP), berapa persentasenya dari anggaran kesehatan maupun dari APBD,dan bagaimana pengglmaannya untuk kegiatan apa saja yang menjadi prioritas. Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Lebak pada Instansi Dinas Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial dan Di RSUD Adjidharmo yang merupakan Rumah sakit Pemerintah Daerah Kabupaten Lebak, sebagai pengclola anggaran program Demam Berdarah Dengue bcrsumber pernerintah di Kabupaten Lebak. Analisis pendanaan program pemberantasan DBD menggunakan data anggaran tahun 2005, tahun 2006 dan data anggaran tahun 2007. Dari hasil analisis tersebut didapatkan besaran anggaran bcrsumber pemerintah untuk program UKM DBD tahun 2005 adalah sebesar Rp.l02.035.000 sedangkan untuk tahun 2005 adalah sebcsar Rp. 80.821000 dan untuk tahun anggaran 2007 adalah 242.384.000. Besaran anggaran yang digunakan untuk Program UKP yang bersumber pemerintah (kcls III) adalah untuk tahlm 2005 sebesar Rp. 1.518.750, untuk tahun 2006 sebesar l6.258.800. sedangkan untuk tahun 2007 besamya adalah sebesar Rp. 44.305.308. Dengan menggnmakan angka estimasi bank dunia lmtuk kebutuhan program csscnsial dimana Demam Berdarah Dengue termasuk didalamnya maka realisasi pendanaan untuk program DBD di Kabupatcn Lebak baru mencapai 201,50 perkapita/tahun dari estimasi kebutuhan standar bank dunia untuk program DBD adalah sebesar 4.923 pcrkapita/tahun. Pada analisis kasus diketahui terdapat kecamatan endcrnis untuk kasus Demam Berdarah yaitu kecamatan Rangkasbitung, kecamatan Cibadak, Kecamatan Kalang Anyar, Kecamatan Bojong manik dan Kecamatan Cileles. Berdasarkan hasil penelitian disarankan kepada Dinas Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial Kabupaten Lebak untuk dapat memanfaatkau lebih optimal kebijakan pemda dalam alokasi pendanaan untuk lebih efektif dan efisien dalam penentuan dan penggunaan berdasarkan skala prioritas.

Dengue Haemorragic Fever disease is a public health problem that affects widely in life because it is a dangerous and contagious disease which can cause death in a short period and become epidemic otienly. Regency of Lebak is an area that has a potentiality for extraordinary case (KLB) of dengue fever. Therefore, need more attention from local govcmmcnt in preparing fund and also means for anticipating this problem. Autonomous policy in the era of decentralization has placed health sector as its local govemment's responsibility and obligation; and thus, makes local govemment has to arrange local policy including funding policy in order to develop enough progress in health sector. Until now, there is no study from the government, which analy/.e the timding program either for eradicating or medication of dengue haemorrhagic fever in Regency of Lebak. Therefore this research is conducted in order to know how much tl1e funding program for dengue haemorragic fever?s eradication in Lebak for both Public Health Improvement Effort (UKM) and Personal Health Improvement Effortl And also to know how much the percentage from either health budget or APBD; how is its usage, what activities that become the first priority. This research is executed on the Institution of Public Health Service and Social Prosperity and on RSUD Adjidharmo in Regency of Lebak, as the organizer of dengue haemorrhagic fever's funding program that comes fiom its local government. Dengue Haemorragic fever?s eradication funding program analysis uses all budget data in 2005, 2006 and 2007. From the analysis we found that the amount of budget from local govemment for UKM DBD program in the year of 2005 is l02.035.000 IDR; while 2006 is 80.821000 IDR and for 2007 is 242.384.000 IDR. The amount of budget used for UKP Program which is based on govemmcnt (class III) in the year of 2005 is 1.518.750 IDR, and 2006 is l6,258.800 IDR, and 2007 is 44.305.308 IDR. By using world bank?s estimation number for essential program requirement where dengue haemorrhagic fever is included, hence the realization ol? dengue haemotragic fever?s funding program in Lebak is about 201,50 per capita/year while the world bank?s standard requirement estimation is about 4.923 per capita/year. On case analysis, known that there is endemic sub-district for dengue haemorragic fever case, which are Rangkasbitung, Cibadak, Kalang Anyar, Bojong Manilc and Cileles. Pursuant to the result ofthe research, the writer suggests the Public Health Service and Social Prosperity Institution in Regency of Lebak to make use the local government?s policy more optimal especially in funding allocation to be more effective and efficient base on priority scale."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2007
T34588
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Universitas Indonesia, 1996
S33702
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Hidyawati
"Dalam tesis ini, penulis memfokuskan penelitian pada usaha pertambangan di Kabupaten Lebak melalui kajian terhadap implementasi kebijakannya. Dalam penelitian ini juga dibahas berbagai aspek terkait yakni peran serta masyarakat / lembaga swadaya masyarakat dan tingkat peran serta lembaga keuangan dan investasi dalam usaha pertambangan di Kabupaten Lebak.
Penelitian dilakukan dengan pendekatan normatif dan empirik terhadap usaha pertambangan di Kabupaten Lebak yang hingga sekarang masih mengacu pada UU No. 11 Tahun 1967 tentang Pertambangan yang juga dterapkan pada masa sebelum era otonomi daerah. Kajian terhadap kebijakan tersebut dilakukan dengan metode analisis kualitatif dengan studi kasus di Kabupaten Lebak. Sedangkan pengumpulan data dilakukan melalui penelitian kepustakaan dan pengantar usaha pertambangan di Kabupaten Lebak Serta wawancara kepada Wakil Ketua DPRD Kabupaten Lebak dan pejabat dan Dinas Pertambangan Kabupaten Lebak.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa usaha pertambangan di Kabupaten Lebak belum dilakukan secara maksimal sehingga belum mampu memberikan kontribusi yang optimal terhadap laju pertumbuhan ekonomi di daerah tersebut. Sementara potensi sektor ini di Kabupaten tersebut cukup besar dan dapat dikelola melalui peran serta lembaga keuangan dan kegiatan investasi sehingga usaha pertambangan dapat dilakukan secara professional.
Berdasarkan potensi pertambangan di daerah Kabupaten Lebak, sektor ini seharusnya dapat menjadi potensi unggulan wilayah yang dapat memberi kontribusi besar terhadap penerimaan PAD. Namun karena beberapa faktor kelemahan, sektor ini belum dapat diberdayakan secara maksimal.
Adanya kebijakan UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah membuka mata perangkat daerah dan stakeholder lainnya di Kabupaten Lebak untuk memberdayakan potensi pertambangannya secara maksimal. Upaya tersebut tergambar dari rencana kebijakan pemerintah daerah Kabupaten Lebak untuk memacu peran lembaga keuangan dan investasi bagi usaha pertambangan di samping peran Serta masyarakatnya.
Agar dapat mempercepat pemberdayaan sektor pertambangan di Kabupaten Lebak maka perlu dilakukan berbagai kegiatan promosi potensi sektor pertambangan untuk dikembangkan investasinya. Upaya tersebut harus didukung dengan produk kebijakan daerah di sektor pertambangan yang mampu menciptakan iklim usaha dan investasi yang kondusif. Pembentukan kebijakan tersebut harus dilakukan dengan melibatkan stake holder di Kabupaten Lebak (good governance) serta memperhatikan prinsip organisasi pembelajaran sehingga dapat berdampak pada peningkatan kualitas SDM setempat.
Berbagai upaya dan kebijakan tersebut dilakukan atas dasar ketetapan pasal 10 (1), Bab IV, UU No. 22 / 1999 yang memberi kewenangan kepada daerah untuk mengelola sumber daya nasional (sumber daya alam, sumber daya buatan dan sumber daya manusia) yang tersedia diwilayahnya dan bertanggung jawab memelihara kelestarìannya. Sejalan dengan amanat ini, diperlukan political will pemerintah pusat untuk merubah dan menyesuaikan kebijakan pertambangan yang termaktub dalam UU No. 11/1967."
Depok: Universitas Indonesia, 2001
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Heppi Yana Syateri
"Pada uinumnya di negara agraris, tanah adalah suatu pusat aktifitas yang utaina bagi penduduk dalani memenuhi kebutuhan hidupnya. Sejalan dengan perubahan waktu dan pertambahan jumlah penduduk akan meningkatkan aktifitas penduduk. terhadap tanah. Dan apabila suatu daerah penduduknya sudah mengusahakan tanah-tanah marginal, oleh karena pertambahan penduduk yang terus meningkat, sedangkan persediaan tanah Yang bisa dimanfaatkan semakin berkurang, maka akan terjadi pengrusakan terhadap tanah itu sendiri (Sandy,1973). serta penyebarannya, sangat menentukan perkemban gan corak Bertambahnya jumlah penduduk, tingkat kehidupan penggunaan tanah (Sandy, 1977). Dengan berubahnya faktor-faktor tersebut maka perkembangan penggunaan tanah di setiap wilayah akan mencapai suatu tahapan perkembangan tertentu yang sesuai dengan skeina evolusi penggunaan tanah.
Kabupaten Bengkulu IJtara yang terdiri dari 10 kecainatan dengan luas 969.010 Ha dan berpénduduk 193.246 jiwa pada tahun 1980. Pada tahun 1990 jumlah penduduk ineningkat menjadi 352.588 jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk 5,15% per tahun. Kabupaten Bengkulu Utara mempunyai fisiografi dari wilayah dataran rendah sampai wilayah pegunungan dengan ketinggian antara 0 in sampai lebih dari 1000 m di atas permukaan laut. Diantara ketinggian tersebut terdapat lereng 0% sampai dengan lereng lebih dan 40%.
Masalah yang dikemukakan disini adalah
1. Bagaiinana pola penggunaan tanah di Kabupaten Bengkulu Utara tahun 1980 dan tahun 1990 ?,
2. Sampai dimanakah tahap perkembangan penggunaan tanah di Kabupaten Bengkulu Utara berdasarkan skema yang dikemukakan oleh -Sandy. (1977) ?,
3. Bagaiinanakah perubahan kaitannya dengan faktor yang meinpengaruhi penggunaan tanah ?
Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif yang ditunjang dengan penarikan penainpang dan teknik penampalan peta."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1995
S33541
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Armey Yudha Purwitasari
"Latar Belakang. Menurut SDKI tahun 2007, AKI 228 per 100.000KH dan AKB 34 per 1000KH sementara target MDG‟s AKI 102 per 100.000 KH dan AKB 23 per 1000KH. Untuk mempercepat pencapaian target MDG‟s maka diluncurkan program Jampersal sesuai dengan surat edaran yang dikeluarkan Menteri Kesehatan nomor TU/Menkes/E/391/11/2011 tentang Jaminan Persalinan, tanggal 22 Februari 2011. Kabupaten Lebak mendapatkan alokasi dana sebesar Rp. 5.470.545.000,- untuk 16.870 ibu bersalin. Namun dana program tersebut hanya terserap Rp. 3,9 milyar atau sekitar 71,2 % dengan cakupan sebesar 11.137 ibu bersalin atau 68,3%.
Metode. Jenis Penelitian ini adalah desain kualitatif. Arah penelitian ini mengenai Implementasi Kebijakan Program Jampersal di Kabupaten Lebak Propinsi Banten Tahun 2011. Metode analisa yang digunakan adalah content analysis berdasarkan triangulasi metode, triangulasi sumber dan triangulasi data.
Hasil. Hasil analisa yang didapat menunjukkan bahwa implementasi kebijakan dilakukan sudah berjalan dengan baik, hanya saja masih ada hambatan terkait Kendala seperti terhambatnya laporan ke Dinas Kesehatan Propinsi, rendahnya tarif, ketersediaan fasilitas, sebagian bidan desa yang tidak berada di tempat dan geografis.

Background. According IHDS in 2007, Maternal Mortality Rate is 228/ 100.000 life birth and Infant Mortality Rate is 34/1000 life birth, while MDG's target is Maternal Mortality Rate is 102/100.000 life birth and Infant Mortality Rate is 23/1000 life birth. To achieve MDG's target therefore Jampersal had been launched. According to circular issued by Ministry of Health No. TU/Menkes/E/391/II/2011 about Jampersal, on February 22nd 2011. In Lebak Regency had fund allocation 5.470.545.000,- for 16.870 maternal but that fund only absorb for 3,9 billion or about 71,2 % of 11.137 maternal or 68,3%.
Methods. This research is qualitative design research. It about the Implementation of Jampersal Policy in Lebak regency, Banten Province in 2011. Analysis method that being used is content analysis with triangulation method, source and data.
Result. Analysis results obtained showed that the implementation of the policy has been running very well, but there are any constraints such as delays in reporting to the Provincial Health Office, the low rates, availability of facilities, many midwives who are not stay in her and geography."
2012
T31224
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>