Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2479 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dwi Jayanti Pertiwi
"Hormon kortikosteroid merupakan hormon steroid yang disintesis dari kolesterol dan diproduksi oleh kelenjar adrenalis bagian korteks, obat-obat hormon kortikosteroid mempunyai inti steroid yang sama dan hanya mengalami sedikit perubahan struktur pada posisi gugus fungsionalnya. Keaadan ini memberikan kesukaran dalam menganalisis obat hormon kortikosteroid ini.
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan metode identifikasi yang tepat dari obat hormon golongan kortikosteroid. Metode identifikasi yang dilakukan pada golongan obat ini yaitu dengan percobaan reaksi warna, percobaan mikrokristal, percobaan mikrosublimasi dan kromatografi lapis tipis.
Hasil penelitian menunjukkan pereaksi Salkowski dan asam sulfat pekat dapat digunakan untuk membedakan ketujuh zat yang diteliti. Percobaan mikrokristal aseton-air, etanol-air dan ammonium reineckat dapat membedakan ketujuh zat yang diteliti. Pada percobaan kromatografi lapis tipis, fase gerak kloroform- dietilamin (2:1) dan diklorometan-etermetanol- air (77:15:8:1) dapat digunakan untuk memisahkan hidrokortison asetat, betametason valerat, deksametason dan fluosinolon asetonida.
Corticosteroid hormones was the steroid hormones are formed cholesterol and secreted by the adrenal cortex. The corticosteroid pharmaceuticals contain the same of steroidal structures in functional group position. This situation gave difficulty to identification for a great number of corticosteroid pharmaceuticals.
The purpose of this research was to got the accurate identification method. The identification method were the colour reaction, microcrystal reaction, microsublimation and thin layer chromatography.
The result indicated that sulphuric acid and Salkowski reagen can be used to distinguish the seven observed substances. The examination of microcrystal test using acetone-water, ethanol-water and ammonium reineckat can be used to distinguish the seven observed substances. Thin layer chromatography with chloroform-diethyl amine (2:1) and dichloromethane-ether-methanol-water (77:15:8:1) can be used to separate hydrocortisone acetate, betamethasone valerat, dexamethasone and fluocinolone acetonide.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2007
S33015
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Nurasih
"2,6-Bis(4-sulfomidobenzylidene)cyclohexanone is a new substance from chlorosulfonasi 2,6-dibenzylidenecyclohexanone which is amidated to sulfonilchlorida with ammonia. One of the characteristics that must be known from new drug standard is the stability data. In this research has done the effect of pH to solvent 2,6-bis(4-sulfonamidobenzylidene)cyclohexanone with accelerated stabilty test and analysed by Thin Layer Chromatography Densitometry. Buffers that have been used were pH 7,0 and pH 10,0 with temperature of 500C, 600C, 700C. Analysis condition used silica gel F254 plate as static phase, solvent mixture as mobile phase was dichlormetan:metanol (9:1) and analysed in 334 nm wavelenght. The coefficent of variation was less than 2%. Calibration curve done in range of 60-200 ppm resulting liniearity 0,9975 with limit of detection 11.8086 ppm dan limit of quantitation 39.33619 ppm. The result of stabilty 2,6-bis(4- sulfonamidobenzylidene)cyclohexanone in pH 7,0 at 25°C had k1 = 0,13 hours-1, activation energy (Ea) = 17,67 kkal mol-1, shelf life (t90) = 0,80 hour and half time (t ½) = 5,30 hours, whereas in pH 10,0 at 25°C had k1 = 7,01 hours-1, activation energy (Ea) = 1,14 kkal mol-1 shelf life (t90) = 0,02 hour and half time (t ½) = 0,10 hour. So from the data above, it can be taken conclusion that pH 7,0 more stabil than pH 10,0.

2,6-Bis(4-sulfonamidobenzilidena)sikloheksanon adalah senyawa hasil dari klorosulfonasi 2,6-dibenzilidenasikloheksanon, yang kemudian dilakukan amidasi terhadap sulfonilklorida dengan ammonia. Salah satu sifat yang harus diketahui dari senyawa calon obat adalah data stabilitas. Pada penelitian kali ini dilakukan uji pengaruh pH terhadap stabilitas larutan 2,6- bis(4-sulfonamidobenzilidena)sikloheksanon dengan metode uji stabilitas dipercepat dan dianalisis secara Kromatografi Lapis Tipis Densitometri. Dapar yang digunakan adalah pH 7,0 dan pH 10,0 dengan suhu 500, 600, dan 700 C. Kondisi analisis menggunakan lempeng silica gel F254 sebagai fase diam, campuran pelarut diklormetan : metanol (9:1) sebagai fase gerak dan dianalisis pada panjang gelombang 334 nm. Hasil penelitian ini menunjukkan koefisien variasi kurang dari 2 %. Kurva kalibrasi dilakukan pada rentang 60-200 ppm menghasilkan linieritas 0.9975 dengan batas deteksi 11.8086 ppm dan batas kuantitasi 39.33619 ppm. Hasil dari stabilitas 2,6-bis(4-sulfonamidobenzilidena)sikloheksanon pada pH 7,0 memiliki k1 = 0,13 jam-1, energi aktivasi (Ea) = 17,67 kkal mol-1, shelf life (t90) = 0,80 jam dan waktu paro (t½) = 5,30 jam. Sedangkan pada pH 10,0 suhu 250C memiliki k1 = 7,01 jam-1, energi aktivasi (Ea) = 1,14 kkal mol-1, shelf life (t90) = 0,02 jam dan waktu paro (t ½) = 0,10 jam. Dari data diatas dapat diambil kesimpulan bahwa pH 7,0 lebih stabil dibandingkan dengan pH 10,0."
Depok: [Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia;, ], 2009
S33025
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Dianova
"Latar Belakang : Infeksi TB laten didefinisikan sebagai kondisi individu yang terinfeksi Mycobacterium Tuberculosis M.tb tetapi saat ini individu tersebut tidak sakit, tidak ada gejala dan gambaran foto toraks normal.
Tujuan : Mengetahui proporsi TB laten pada petugas kesehatan di RSUDZA Banda Aceh, Mengetahui karakteristik subjek dan hubungan antara usia, masa kerja, lokasi kerja dan status gizi dengan kejadian TB laten pada petugas kesehatan di RSUDZA Banda Aceh.
Metode : Penelitian ini adalah penelitian potong lintang dan mengidentifikasi TB laten menggunkan pemeriksaan uji tuberkulin TST pada petugas kesehatan di RSUDZA serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Pada penelitian ini pengambilan sampel dilakukan pada bulan November 2015. Sampel terdiri dari petugas kesehatan di unit infeksi RS Zainoel Abidin yaitu : Poli DOTS, Poli Paru, Ruang Rawat Infeksi Paru PTT , Respiratory High Care Unit RHCU , Unit Bronkoskopi, Laboratorium Mikrobiologi dan Radiologi. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan tehnik consecutive sampling.
Hasil : Enam puluh lima petugas kesehatan di RSUDZA Banda Aceh dilakukan uji TST. 35 53,8 TST positif dan 30 46,2 TST negatif. Proporsi TB laten pada petugas kesehatan di RSUDZA Banda Aceh adalah 53,8. Tidak terdapat hubungan bermakna antara usia dengan kejadian TB laten p=0.727. Terdapat hubungan bermakna antara masa kerja dengan kejadian TB laten p=0,0001. Tidak terdapat hubungan bermakna antara lokasi kerja dengan kejadian TB laten p=0,324 dan tidak didapatkan hubungan bermakna antara status gizi dengan kejadian TB laten p=0,522.
Kesimpulan : Kejadian TB laten pada petugas kesehatan yang bekerja di tempat risiko tinggi TB di RSUDZA tidak dipengaruhi oleh usia, lokasi kerja, status gizi namun dipengaruhi masa kerja. Proporsi TB laten pada petugas kesehatan di RSUDZA Banda Aceh adalah 53,8.

Background : Latent TB infection is defined as the condition of individuals who are infected with Mycobacterium tuberculosis M.tb but this time the individual is no sick, no symptoms and have normal chest X ray.
Objective : To determine the proportion of latent TB among healthcare workers in RSUDZA Banda Aceh, knowing the characteristics of the subjects and the relationship between age, length of employment, work location and the nutritional status and the incidence of latent TB among healthcare workers at RSUDZA.
Methods : This research is an analytic observational study using cross sectional design. Sampling was conducted at RSUDZA during November 2015. The sample consisted of healthcare workers at Directly Observed Short Course Therapy Clinic, Pulmonary Clinic, Integrated Tuberculosis Care PTT, Respiratory High Care Unit RHCU, Bronchoscopy Unit, Microbiology Laboratory and Radiology at RSUDZA.
Results : The proportion of latent TB among healthcare workers in RSUDZA Banda Aceh was 53.8. There was no significant relationship between age and incidence of latent TB infection p 0.727. There is a significant relationship between length of employment incidence of latent TB infection p 0.0001. There was no significant relationship between work location and incidence of latent TB infection p 0.324 and there is no significant relationship between nutritional status and incidence of latent TB infection p 0.522.
Conclusion : The incidence of latent TB infection in health care workers who work in a high risk of TB at RSUDZA is not affected by age, location of work, nutritional status but affected with length of employment. The Proportion of latent TB among healthcare workers in RSUDZA Banda Aceh was 53.8.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Auterhoff, Harry
Bandung: ITB Press, 2002
615.58 AUT i
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Auterhoff, Harry
Bandung: ITB Press, 1987
615.58 AUT i
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
JPK 16:3(2010 )edkkusus
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Dina Widiastuti
"Telah dilakukan penelitian untuk mencari suatu metode analisis kualitatif untuk membedakan sebelas obat anti inflamasi non steroid. Metode yang dilakukan adalah reaksi warna, reaksi mikrokristal dan kromatografi lapis tipis-densitometri. Pada reaksi warna, ada beberapa pereaksi yang memberikan warna khusus untuk zat tertentu, sehingga dapat dipakai untuk membedakannya dari zat lainnya. Pereaksi warna marquis, liebermann's dan mandelin memberikan hasil warna yang dapat digunakan untuk membedakan ke sebelas zat yang diteliti. Pereaksi aseton-air pada percobaan mikrokristal memberikan bentuk kristal berbeda sehingga dapat dipakai untuk membedakan zat uji. Percobaan kromatografi lapis tipis dengan fase gerak kloroform-metanol (9:1) dan kloroform-aseton (4:1) mendapatkan hasil yang baik karena memberikan perbedaan hRf yang cukup jauh. Walaupun ada dua zat yang memiliki hRf yang berdekatan tetapi hal ini dapat diatasi dengan membandingkan spektrum serapan dari masing-masing zat yang akan memberikan bentuk yang berbeda jika diukur dengan alat densitometer.
A research work has been done to look for qualitative analysis method in order to distinguish eleven non steroidal antiinflammatory drug (NSAID). Methods used were the colour test, microcrystal test, and the thin layer chromatography - densitometry. The result from the colour test, some reagents give a specific colour for certain substances, this is can be used to distinguish from the other substances. Marquis, liebermann's and mandelin reagen can be used to distinguish the eleven observed substances. The examination for microcrystal test using aceton-water can be used to distinguish the test substances. Thin layer chromatography with chloroformmethanol (9:1) and chloroform-aceton (4:1) mobile phase giving good separation spot because have different hRf value. Although two substances have the near hRf value but that could be solve with compare spectrum absorption from every substances will be give different curve measure by densitometer."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2007
S32971
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Trisnawulan
"ABSTRAK
Mola hidatidosa merupakan penyakit trofoblas yang disertai peningkatan kadar Human Chorionic Gonadotropin (= HCG). Telah dilaporkan terjadinya gejala hipertiroidisme pada panderita mola yang ada kemungkinan berlanjut dengan timbulnya penyulit krisis tiroid yang dapat berakibat fatal. Hiperfungsi tiroid tersebut disebabkan pengaruh keaktifan tirotropik dari HCG. Penelitian ini bertujuan untuk memantau kadar hormon tiroid pada penderita mola hidatidosa.
Dari bulan Maret sampai dengan Agustus 1986 telah diperiksa serum dari 12 penderita MR. Pemeriksaan dilakukan secara serial: sebelum pengeluaran jaringan mola, lalu dilanjutkan pada hari ke 3 - 5, 1 bulan dan 2 bulan sesudahnya.
Dilakukan penetapan kadar hormon tiroksin (= T4) dan ambilan tiroksin (= Ambilan T4) dengan cara "Enzyme Immuno Assay" (=EIA) menggunakan kit ENDAB Irmruno Assay, kemudian nilai Indeks tiroksin babas (= ITB) dihitung. Diperiksa pula kadar "Thyroid Stimulating Hormone" (=TSH) dengan cara Radio Immuna Assay (=RIA) dan kadar hCG urin dengan test aglutinasi.
Sebelum dilakukan pengeluaran jaringan mola ke 12 kasus semuanya menunjukkan tanda tanda hipertiroidisme secara laboratoris (Ti, ambilan T4, ITB) dengan atau tanpa disertai gejala klinia. Setelah pengeluaran jaringan mola kelainan ini akan menurun dan mencapai kadar normal pada kurang lebih 1 bulan sesudahnya. Kadar TSH makin meningkat tetapi masih dalam batas batas normal. Keadaan ini seiring dengan penurunan kadar hCG urin. Hasil-hasil tersebut sesuai dengan yang didapatkan oleh peneliti peneliti terdahulu.
Disarankan untuk memasukkan pemeriksaan kadar hormon tiroid pada protokol panatalaksanaan penderita mola hidatidosa untuk mempertimbangkan pengobatan terhadap kelainan barman ini dan menghindari penyulit yang mungkin terjadi. "
1987
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Universitas Indonesia, 2004
S27375
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andrian Nova Fitri
"Mucous membrane pemphigoid (MMP) also known as cicatricial pemphigoid is a chronic autoimmune subepithelial blistering disease primarily affecting people over 50 years old. MMP may affect any mucosal surface which is particularly oral mucosal, conjungtiva, esophagus, or larinx is involved. MMP rarely occurs in children and adolescents, but several cases of MMP affecting 2 to 18 years old patients have been reported in previous studies. In this paper we reported a case of MMP in an eighteen year old male patient who had been diagnosed with oral mucous membrane pemphigoid by anamnesis, clinical feature, histopathology. The patient was treated with systemic corticosteroid, topical corticosteroid, oral rinse and multivitamins. Until recently corticosteroid remains as the most effective and the drug of choice to treat pemphigoid lesions. Clinicians need to pay attention in using this drug because of its potential side effect."
Jurnal Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2003
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>