Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 74337 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Magdalena Niken Oktovina
"Monosodium glutamat (MSG) yang dikenal sebagai bumbu penyedap masakan telah di gunakan sejak pertengahan abad yang lalu. Sekarang telah beredar dalam merek dagang bumbu penyedap masakan Timbul dugaan bahwa gejala-gejala yang disebut Chinese Restaurant Syndrome MRS) disebabkan oleh MSG. Hal ini membuat MSG diragukan keamanannya. Penelitian ini bertujuan untuk men getahui apakah MSG yang dimakan diserap oleh darah dapat dibedakan dengan asam glutamat (Glu) yang sudah terdapat dalam darah. Identifikasi glutamat dilakukan secara kromatografi krtas dengan teknik ci Usi menurun q menggunakan berbaqai campuran elun. Pemeriksaan di lakukan terhadap sampel Glu dn MSG standard dalam pelarut etanol 70%, serta sampel drah in vitro dan in vivo. Tidak ditemukan perbedaan bntuk bercak dan nilai if antara Glu dan MSG pad larutan standard, beqitu pula yang ada pada sapei darah in vitro maupun in vivo, in Menurut FR WIROSUJANTO (1984) gejala-gejala CR5 yang disebabkan oleh MSG, mirip dengan gejala-gejala hipertensi yang disebabkan oleh kadar natrium yang tinggi dalam darah. Namun dari hasil identifikasi natrium secara kroinatografi kertas, haik yang dilakukan terhadap sampel darah in vitro maupun in vivo tidak ditemukan perbedaan. Hasil penelitian yang diperoleh menyatakan, bahwa HSG yang masuk ke dalam tubuh dan diserap oleh darah, tidak dapat dibedakan dari Glu yang ada dalam darah. Hal ini menunjukkan, MSG diserap oleh darah dalam bentuk ion glutamat, sehingga tidak dapat dibedakan dengan ion giutamat eridogen. menurut FELKERS (1981), penyebab CRS bukan MSG melainkan defisiensi vitamin B 6 intraseluler."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1992
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rezania Razali
"Monosodium glutamat (MSG) merupakan penyedap rasa makanan yang sangat sering digunakan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa MSG dalam dosis tinggi dapat bersifat neurotoksik/eksitotoksik bagi sel saraf di sistem saraf pusat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh MSG terhadap pembentukan memori khususnya memori spasial dan pengaruh MSG terhadap selsel saraf di hipokampus mengingat area ini sangat berperan dalam proses pembentukan memori. Subjek penelitian adalah 25 ekor tikus putih jantan galur Sprague Dawley (berusia 8-10 minggu, berat 150-200 gr) yang dibagi menjadi 5 kelompok (dua kelompok kontrol dan tiga kelompok perlakuan masing-masing mendapat MSG sebanyak 2 mg/gr, 4 mg/gr dan 6 mg/gr yang diberikan secara oral selama 30 hari). Uji memori spasial dilakukan dengan menggunakan water-E maze, sebelum pemberian MSG dimulai dan setiap minggu hingga minggu ke-4 (dilakukan 5x pengujian). Setelah hari terakhir pemberian MSG, seluruh hewan coba dikorbankan. Jaringan otak diambil dengan hati-hati, segera difiksasi dalam cairan formalin untuk selanjutnya diwarnai dengan pewarnaan HE. Data hasil penelitian dianalisis dengan one way ANOVA dan dilanjutkan dengan uji Post Hoc. Hasil uji memori dengan perangkat water-E maze menunjukkan adanya peningkatan jumlah kesalahan yang dilakukan oleh kelompok perlakuan dosis 4 mg/gr dan 6 mg/gr serta peningkatan durasi waktu yang dibutuhkan oleh semua kelompok perlakuan untuk menyelesaikan uji memori yang signifikan dibandingkan dengan kelompok kontrol setelah pemakaian MSG selama 30 hari. Gambaran histologi hipokampus menunjukkan peningkatan persentase kerusakan sel saraf di hipokampus pada seluruh kelompok perlakuan yang signifikan dibandingkan dengan kelompok kontrol. Penggunaan MSG dalam dosis tinggi seperti yang digunakan pada penelitian ini menyebabkan terjadinya kerusakan sel saraf di hipokampus tikus dan menurunkan fungsi pembentukan memori spasial.

Monosodium glutamate (MSG) is commonly used as a flavor enhancer in modern nutrition. Recent studies have shown that high dose of MSG was neurotoxic/excitotoxic to neuronal cells in Central Nervous System. The present study aimed to investigate the effect of MSG on spatial memory formation and neuronal cells in hippocampus which play the role in forming memory. Twenty five male albino Sprague Dawley rats (age: 8-10 weeks, weight: 150-200 gr) were divided into five groups (two control groups and three treated groups with varying doses of MSG: 2mg/gr, 4 mg/gr and 6 mg/gr respectively received MSG dissolved in normal saline by oral gavage for a period of 30 days). To measure the spatial memory, the animals were exposed to the water-E maze before treatment and every week until the 4th week (5 times measurement). The rats were sacrified after the last day of MSG treatment. The brain was carefully dissected out and quickly fixed in 10% buffered formaldehyde and then stained with HE staining. Result were analyzed by one way ANOVA followed by a Post Hoc test. Water-E maze performance showed a significant increase in the number of errors in the 4 mg/gr and 6 mg/gr MSG treated groups and increase duration time to finish the spatial memory task in all treated groups compared to control groups after 30 days of MSG treatment. Histological structure of hippocampal showed significant increase in the percentage of neuronal cells damage. The study conclude that high dose of MSG at the doses administered was damaged neuronal cells in the rat's hippocampus and impaired the spatial memory formation.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Jaya
"Monosodium glutamat (MSG) merupakan garam natrium dari glutamat yang merupakan asam amino nonesensial yang dapat bersifat eksitotoksik. Terdapat dugaan bahwa glutamat berpotensi menyebabkan kerusakan oksidatif di hati dengan mekanisme yang sama dengan eksitotoksisitas karena reseptor glutamat juga ditemukan di hati. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya pemulihan kerusakan oksidatif hati tikus setelah pemberian MSG dihentikan. Sebanyak 30 ekor tikus putih (Rattus norvegicus) jantan dewasa dibagi menjadi 3 kelompok: kontrol (akuades), kelompok MSG 4 g/kg dan 6 g/kg. Perlakuan diberikan melalui sonde selama 30 hari. Setiap kelompok kemudian dibagi lagi menjadi 2 berdasarkan waktu mematikannya (hari ke-45, dan hari ke-59). Organ hati diambil untuk pemeriksaan kadar MDA, GSH dan aktivitas spesifik enzim katalase. Kadar MDA meskipun tidak berbeda bermakna pada semua kelompok tetapi cenderung menurun, kadar GSH meningkat dan berbeda bermakna (p=0,017), aktifitas spesifik katalase menurun dan terdapat perbedaan bermakna (p=0,012). Tidak terdapat korelasi antara kadar MDA, GSH, dan aktivitas spesifik enzim katalase pada jaringan hati tikus setelah penghentian pemberian MSG. Penelitian ini menunjukkan bahwa pasca penghentian pemberian MSG dengan dosis 4 gr/kg BB dan 6 gr/kg BB selama 14 dan 28 hari dapat menyebabkan penurunan kadar MDA, peningkatan kadar GSH, dan penurunan aktivitas spesifik enzim katalase jaringan hati tikus. Hal ini mengindikasikan telah terjadi pemulihan kerusakan oksidatif akibat penghentian total pemberian MSG.

Monosodium glutamate (MSG) is the sodium salt which is can be excitotoxic. Glutamate could potentially cause oxidative damage in the liver by excitotoxicity because glutamate receptors are also found in the liver. This study aims to investigate the oxidative damage recovery rat liver after administration of MSG is stopped. A total of 30 adult male rats (Rattus norvegicus) were divided into 3 groups: control (distilled water), MSG 4 g / kg and the last group MSG 6 g / kg. The treatment is given through a sonde for 30 days. Each group was further divided into two by sacrivised time as follow, day 45, and day 59. The liver was taken for measurement of MDA, GSH levels and the specific activity of catalase. MDA levels although not significantly different in all groups but tend to decline. Different levels of GSH increased significantly (p = 0.017) during recovery, the specific activity of catalase were decline (p=0.012). There was no correlation between MDA, GSH, and specific activity of catalase in the liver after cessation of MSG. This study shows that cessation administration of that certain doses of MSG can lead to decreased levels of MDA, GSH levels, and a decrease in the specific activity of catalase rat liver tissue. This indicates that there was a recovery process of oxidative damage as a result of the cessation of administration of MSG.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abu Soleh
"Monosodium glutamat (MSG) adalah garam natrium glutamat yang merupakan asam amino nonessensial yang dapat bersifat eksitotoksik. Terdapat dugaan bahwa glutamat berpotensi menyebabkan peningkatan stres oksidatif di hati dengan mekanisme yang sama dengan eksitotoksisitas karena reseptor glutamat juga ditemukan di hati.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh MSG terhadap peningkatan stres oksidatif pada hati tikus (Rattus norvegicus) jantan. Parameter yang diukur adalah kadar MDA, GSH, dan aktivitas spesifik katalase sebagai penanda adanya stres oksidatif. Sebanyak 27 ekor tikus putih (Rattus norvegicus) jantan dibagi dalam 3 kelompok: kelompok kontrol (diberi akuades), kelompok P1A (diberi MSG 4g/KgBB), dan kelompok P2A (diberi MSG 6g/KgBB). Perlakuan diberikan melalui sonde selama 30 hari. Pengambilan sampel hati dilakukan pada hari ke-31.
Hasil penelitian menunjukkan terdapat peningkatan kadar MDA pada kelompok perlakuan yang berbeda bermakna dengan kelompok kontrol, p≤0,05, tetapi pada kadar GSH terjadi penurunan yang tidak berbeda bermakna dibandingkan kelompok kontrol, (p≥0,05). Aktivitas spesifik katalase, juga terjadi penurunan yang tidak berbeda bermakna dibandingkan dengan kelompok kontrol, p≥0,05.
Penelitian ini menunjukan bahwa pemberian MSG dengan dosis 4g/KgBB dan 6g/KgBB selama 30 hari menyebabkan terjadinya peningkatan stres oksidatif pada hati tikus (Rattus norvegicus) jantan yang ditunjukkan dengan peningkatan kadar MDA.

Monosodium glutamate (MSG) is the sodium salt of glutamate which is a nonessential amino acid that may cause exicytotoxicity. There are allegations that glutamate could potentially increase an oxidative stress in the rat's liver by the same mechanism with exicytotoxicity because of glutamate receptors are also found in the liver.
This study aims to determine the effect of MSG on oxidative stress in the rat's liver. The level of MDA and GSH were measured as the marker of oxidative stress, and also specific activity of catalase. 27 albino rat's (Rattus norvegicus) were divided into 3 groups: control group (distilled water), and 2 treatment groups, P1A (treated with MSG 4g / KgBW), and P2A (treated with MSG 6g / KgBW). The treatment was carried out for 30 days. On day 31 the liver were collected after euthanasia of the rats.
The results showed there were increased levels of MDA in the treatment groups compare to control significantly, p≤0,05, but the decreased of GSH levels were not significantly different than the control group, (p≥0,05). The specific activity of catalase, also a decreasing but not significantly different compared to control group, p≥0,05.
This study showed that the administration of MSG with a dose of 4g / KgBW and 6g / KgBW for 30 days led to an increased in oxidative stress on the liver of rats (Rattus norvegicus) which is indicated by elevated levels of MDA.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Livi Edwina
"Bentonit Tapanuli merupakan salah satu mineral yang banyak dimanfaatkan dalam bidang penelitian sebagai adsorben, khususnya logam berat. Hal ini disebabkan sifatnya yang memiliki permukaan negatif sehingga dapat menyerap kation. Tujuan interkalasi bentonit adalah untuk menghasilkan sifat kimia dan fisika yang lebih baik dari sebelumnya. Proses interkalasi menggunakan monosodium glutamat terjadi pada interlayer bentonit dan berhasil meningkatkan basal spacing dari 14,96 A pada Na-MMT (Na-Bentonit) menjadi 15,42 A dan 15,34 A masing masing pada organobentonit 1 KTK dan 2 KTK dengan karakterisasi menggunakan XRD. Keberhasilan terjadinya interkalasi juga dikarakterisasi dengan FTIR. Kemampuan bentonit menyerap logam dipengaruhi oleh kapasitas tukar kationnya. KTK bentonit Tapanuli yang didapatkan dari penelitian ini adalah 46,74 mek/100 gram bentonit.
Dari hasil penelitian juga didapatkan waktu optimum adsorpsi bentonit terhadap masing-masing ion logam adalah 2 jam. Daya adsorpsi paling besar dengan waktu optimum 2 jam adalah organobentonit 2 KTK sebesar 14,4025 mg/0,1 gram bentonit (93,3773 mek/100 gram bentonit) dan 12,1876 mg/0,1 gram bentonit (93,2348 mek/100 gram bentonit) masing-masing terhadap ion logam Cd2+ dan Zn2+.

Tapanuli bentonite is a mineral which is widely used in research as an adsorbent, especially for heavy metals. This is due to it has a negative charge on its surface so it can adsorp cations. The aim of intercalation bentonite is to produce a better chemical and physical properties. The intercalation process occurs in the interlayer of bentonite and success to increase the basal spacing from 14,96 A in Na-MMT (Na-Bentonite) to 15,42 A and 15,34 A respectively on organobentonite 1 CEC and 2 CEC. The success of intercalation was also characterized by FTIR. The ability of bentonite to absorb metal ions was also influenced by cation exchange capacity. The CEC of Tapanuli bentonite is 46,74 mek/100 grams bentonite.
The result of this research is the optimum time of adsorption bentonite is 2 hours. The most large energy adsorption with the optimum time 2 hours is organobentonit 2 CEC at 14,4025 mg/0,1 grams bentonite (93,3773 mek/100 grams bentonite) and 12,1876 mg/0,1 grams of bentonite (93,2348 mek/100 grams bentonite) for each metal ions Cd2+ and Zn2+.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2014
S54061
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Heru Fajar Trianto
"Latar Belakang : Monosodium glutamat (MSG) mengandung glutamat yang apabila terakumulasi akan mengakibatkan kerusakan berbagai sel dan organ, salah satunya adalah sel Leydig. Sel Leydig memiliki kemampuan regenerasi setelah
mengalami kerusakan. Penelitian ini bertujuan mengetahui kemampuan regenerasi sel Leydig tikus dewasa yang rusak akibat pajanan MSG.
Metode : Penelitian ini menggunakan 27 ekor tikus putih jantan strain Sprague Dawley usia 10-12 minggu yang dibagi menjadi 9 kelompok. Kelompok kontrol (K) diberikan aquadest 1,5 ml, kelompok PI diberikan MSG 4g/kgBB, dan kelompok PII diberikan MSG 6g/kgBB. Perlakuan diberikan secara oral selama 30 hari. Dari masing-masing perlakuan akan dibagi menjadi kelompok yang
dimatikan 1 hari, 14 hari, dan 28 hari pasca perlakuan terakhir dihentikan. Testis kanan dan hipofisis dibuat sajian histologi menggunakan pewarnaan HE dan PAS. Parameter yang diamati adalah jumlah sel Leydig, sel berinti lonjong intersisial tubulus seminiferus, dan sel basofil adenohipofisis.
Hasil : Peningkatan dosis MSG menyebabkan penurunan jumlah sel Leydig, serta peningkatan jumlah sel berinti lonjong intersisial tubulus seminiferus yang diduga merupakan sel progenitor Leydig. Pajanan MSG juga menyebabkan
penurunan jumlah sel basofil adenohipofisis. Setelah pajanan MSG dihentikan selama 14 hari dan 28 hari, tejadi peningkatan jumlah sel Leydig, penurunan jumlah sel berinti lonjong, dan peningkatan jumlah sel basofil.
Kesimpulan : Sel leydig memiliki kemampuan regenerasi yang berlangsung antara 14 hingga 28 hari setelah penghentian pajanan MSG.

Background : Monosodium glutamate (MSG) contains glutamate which if accumulated will result in damage to various cells and organs, one of which in the Leydig cells. Leydig cells had the ability to regenerate after damage. This study aims to investigate the Leydig cells regeneration of adult male rats after cessation
of MSG exposure. Methods: This study was performed on twenty-seven Sprague Dawley male rats (10-12 weeks old). They were divided into 9 groups. Control group (K) was given aquadest 1,5ml/day and two treated groups (PI and PII ) were given MSG 4g/kgBB and 6 g/kgBB. Treatment was given orally during 30 days. Each group
was then divided into three groups that were sacrificed 1 day, 14 days and 28 days after the last treatment. Histological preparations of the right testes and pituitary was studied using HE and PAS staining, respectively. The number of Leydig and oval nucleated cells of the seminiferous tubules interstitial as well as basophil cells of adenohypophysis were observed.
Result : Monosodium glutamate exposure caused a dose-dependent decrease in the number of Leydig cells and an increase in the number of oval nucleated cells. It was suggested that the oval nucleated cells were leydig progenitor cells.
Monosodium glutamate exposure also caused a decrease in the number of basophil cells of adenohypophysis. After cessation of MSG for 14 and 28 day, there was an increase in the number of Leydig cells, a decrease in the number of
oval nucleated cells and an increase the number of basophil cells.
Conclusion : Leydig cells had the ability to regenerate and the regeneration took place between 14 and 28 days after cessation of MSG exposure.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ratna Ayu Pratiwi
"Limbah logam berat telah menjadi masalah serius bagi lingkungan dan kesehatan. Keberadaaan bentonit yang cukup melimpah di Indonesia serta kemampuannya sebagai adsorben dapat dimanfaatkan untuk mengatasi masalah tersebut. Pada penelitian ini dilakukan modifikasi bentonit alam Jambi dengan monosodium glutamat menjadi organobentonit menggunakan metode interkalasi. Nilai kapasitas tukar kation (KTK) Na-bentonit ditentukan dengan metode kompleks [Cu(en)2]2+, diperoleh sebesar 35,53 mek/ 100 g bentonit. Sintesis organobentonit dilakukan dengan menambahkan larutan monosodium glutamat dalam buffer asetat pH 3,22 agar monosodium glutamat terbentuk muatan positif (NH3+) yang dapat berinteraksi dengan permukaan antarlapis bentonit yang bermuatan negatif, serta terbentuk muatan negatif (COO-) yang dimanfaatkan untuk mengikat ion logam.
Hasil karakterisasi dengan XRD menunjukkan kenaikkan basal spacing dalam bentonit dari 14,198 Å menjadi 14,669 Å. Organobentonit ini diaplikasikan sebagai adsorben ion logam berat kadmium dan kobalt dengan kapasitas yang dicapai pada waktu optimum selama 2 jam sebesar 44,70 mek/ 100 g organobentonit untuk ion logam Cd2+, sedangkan untuk ion Co2+ di atas 56,40 mek/ 100 gr organobentonit. Kapasitas adsorpsi organobentonit terhadap ion logam lebih besar daripada bentonit alam.

Heavy metal waste has become a serious problem for the environment and health . The existence of bentonite which is relatively abundant in Indonesia and its ability as an adsorbent can be used to resolve the issue. In this research, will modify of Jambi bentonite with monosodium glutamate be organoclay by intercalation method . Cation exchange capacity (CEC) of Na-bentonite was determined by complex [Cu(en)2]2+method and was found to be 35.53 meq/ 100 grams of bentonite. Organoclay was prepared by adding monosodium glutamate in acetate buffer pH 3.22 in order to form a positive charge monosodium glutamate (NH3+) that can interact with negative charge of the bentonite interlayer surface, and formed a negative charge (COO-) were used to bind metal ions.
Result of characterization by XRD showed an increase the basal spacing in bentonite from 14. 198 Å into 14.669 Å . This Organoclay is applied as adsorbent of heavy metal ions of cadmium and cobalt with the capacity achieved at the optimum time for 2 hours at 44.7 mek /100 g bentonit for metal ions Cd2+, while more than 56.4 mek /100 g bentonit for metal ions Co2+. Organoclay has higer adsorption capacity of metal ions than the natural bentonite.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2014
S54097
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadiyya Faza Zhafirah
"Monosodium glutamat MSG digunakan secara luas dan tanpa takaran yang terkontrol sebagai penyedap makanan Konsumsi MSG selama kehamilan pada hewan coba menyebabkan berbagai gangguan pada janin salah satunya adalah sel otak Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pengaruh MSG terhadap gambaran histologis otak bagian korteks serebri pusat motorik tikus yang induknya mengonsumsi MSG selama kehamilan Penelitian ini menggunakan desain eksperimental dengan cara mengamati dan menghitung sel saraf normal pada area M1 korteks serebri neonatus tikus yang induknya diberikan MSG per oral selama gestasi Sampel yang digunakan sebanyak 36 otak tikus yang dibagi menjadi empat kelompok kontrol MSG 1200 mg kg BB MSG 2400 mg kg BB dan MSG 4800 mg kg BB Hasil penelitian menunjukkan adanya pertambahan persentase sel sel saraf normal pada kelompok perlakuan dibandingkan kelompok kontrol Walaupun pertambahan ini tidak signifikan secara statistik pada kelompok MSG 1200 mg kg BB dan MSG 4800 mg kg BB uji one way Anova namun kelompok MSG 2400 mg kg BB mengalami pertambahan signifikan p.

Monosodium glutamate MSG is widely used without any regulation or controlled doses in Indonesia MSG consumption during pregnancy on rat causes many defects on fetus especially brain neurons The purpose of this study was to determine the effect of MSG on the histology of motoric center on cerebral cortex of the rats This study design was experimental by observing and counting the normal neurons on M1 area of rat neonates rsquo cerebral cortex whose mother received MSG per oral during the gestation period This study used 36 rat brains which were divided into four groups control MSG 1200 mg kg BW MSG 2400 mg kg BW and MSG 4800 mg kg BW The result showed an increased percentage of normal neurons on MSG group compared to control group This increment is not significant statiscally on group MSG 1200 mg kg BW and 4800 mg kg BW Nevertheless on group who was given MSG 2400 mg kg BW there was a significant increased of normal neuron percentage p
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Allifia Fitriani Citra
"Penelitian ini dilakukan untuk proses modifikasi bentonit alam Tapanuli menjadi organobentonit dengan cara menginterkalasi bentonit menggunakan monosodium glutamat yang berasal dari penyedap masakan. Peningkatan kandungan montmorillonit dilakukan dengan proses fraksinasi-sedimentasi pada suspensi bentonit. Monmorillonit yang diperoleh, diseragamkan kation penyeimbangnya dengan ion Na+ menjadi Na-Bentonit. Selanjutnya penentuan nilai Kapasitas Tukar Kation (KTK) dilakukan dengan menggunakan metode memakai senyawa kompleks [Cu(en)22+], dan diperoleh nilai KTK sebesar 46,74 mek/100g bentonit.
Sintesis organobentonit dilakukan dengan menambahkan larutan monosodium glutamat pada pH 3,22 yaitu pH pada titik isoelektrik asam glutamat agar terbentuk muatan positif pada gugus amina monosodium glutamat (-NH3+), yang dapat berinteraksi dengan muatan negatif pada permukaan antarlapis bentonit.
Hasil proses interkalasi diuji dengan menggunakan XRD dan FTIR. Organobentonit yang diperoleh diaplikasikan untuk adsorpsi logam berat ion kadmium dan timbal. Hasilnya menunjukkan bahwa walaupun tidak terjadi perbedaan yang signifikan, organobentonit 2 KTK memiliki daya adsorpsi lebih baik dibandingkan dengan 1 KTK dan bentonit alam. Adsorpsi terhadap ion Pb relatif lebih baik daripada ion Cd.

This study is to intercalate a Natural clay of Tapanuli using monosodium glutamate sourced from food flavoring. Prior to intercalation of bentonit, the clay was purified through a sedimentation process in order to obtain clay with high content of montmorilonite. The cation on the monmorillonite fraction then was converted into Na-Monmorillonite by adding NaCl solution. Furthermore, the Cation Exchange Capacity (CEC) of Na-Monmorillonite was determined using [Cu(en)22+] complex, and was obtained to be 46.74 meq/100g.
Organoclay synthesis was prepared by adding equivalent amount of monosodium glutamate solution at the isoelectric point of glutamate acid at pH 3.22. The isoeletric point was choosen in order to form a positive charge on monosodium glutamate (-NH3+) that can interact with negative charge on the surface of the clay interlayer. The presence of intercalated glutamate in the bentonite interlayer was performed using XRD and FTIR spectrometry. The intercalated bentonite (organoclay) was applied to absorb cadmium and lead ions.
The result showed that the organoclay 2 CEC has the better adsorption capacity compared to the 1 CEC and natural clay eventhough not different significantly. Clay absorption capacity of cadmium and lead ions are not much different, but the organobentonite the absorption capacity of lead is higher than the absorption capacity of cadmium.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2014
S54046
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>