Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 171191 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Asmarinah
"Telah. lama diketahui bahwa bpermatogenesis mudah dipengaruiii oleh.kenaikan suhu di sekitar testis, Dalam penelitian ini akan diteliti pengaruh pemanasan testis in vivo secara berulang dengan menggunakan air terhadap jumlah spermatogonia A dan spermatosit primer pakhiten, yang dilakukan pada mencit n (Mus musculus L.) strain CER« Mencit dibagi dalam 5 kelompok, yaitu kelompok kontrol tanpa perlakuan apapun, kelompok kontrol dengan perlakuan pembiusan selama 10 menit, kelompok pemanasan. testis 39 °C selama 10 menit, kelompok pemanasan testis 40 °C selama 10 menit dan kelompok pemanasan testis 4I °0 selama 10 menit. Perlakuan-perlakuan tersebut masing-masing diberikan empat kair ulangan dengan selang waktu' sembilan hari di antara tiap ulangan, Setelah empat kali ulangan, mencit ditimbang lalu testisnya diambil dan kemudian ditimbang, Setelah itu testis dibuat preparat histologi, Jumlah; spermatogonia A dan spermatosit primer pakhiten dihitung serta diameter tubulus seminiferus diukur,- Dari penelitian ini disimpulkan bahwa pemanasan testis in vivo tidak berpengaruh terhadap jumlah spermatogonia A, tetapi berpengaruh terhadap jumlah spermatosit primer pakhiten, Khusus peman-asan testis bersuhu 41° C mempengaruhi berat testis dan ukuran diameter tubulus.seminiferus"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Indonesia, 1989
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marina Lubniar Sartono
"ABSTRAK
Ruang lingkup dan cara penelitian:
Berbagai amcam cara dilakukan orang untuk menghilangkan kelelahan setelah bekerja keras, antara lain dengan berendam diri dalam air hangat dalam waktu tertentu, atau mandi sauna. Jika peerjaan ini dilakukan berulang kali, suhu sekitar testis akan seringkali mengalami peninhkatan. Proses spermatogenesis berlangsung normal bila suhu testis lebih rendah dari suhu badan. Kerusakan akibat peningkatan suhu testis in vivo bersifat selektif terhadap tingkat perkembangan sel-sel germinal, sehingga proses spermatogenesis terganggu. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui apakah pemanasan testis mencit in vivo, masing-masing pada suhu air 40, 41, dan 42 deraat C selama 10 menit yang diulang tiga kali dengan selang waktu satu siklus epitel seminiferous, akan berpengaruh terhadap fertilitas mencit. Penelitian dilakukan dalam 5 kelompok, masing-masng 10 ekor mencit jantan. Kelompok I, kontrol tanpa perlakuan; kelompok II, kontrol hanya dibius; kelompok III, dibius + 40 derajat; kelompok IV, dibuis + 41 C; kelompok V, dibius + 42 C. perlakuan ini dilakukan selama 10 menit yang diulang tiga kali dengan selang waktu satu siklus epitel seminiferous.
Hasil dan kesimpulan:
Kelompok III tidak menunjukkan pengaruh bermakna terhadap berat testis, jumlah sperma motil, persentase sperma abnormal, maupun jumlah anak yang dilahirkan dibandingkan dengan kontrol. Kelompok IV menunjukkan penyusutan berat testis, umlah sperma motil, peningkatan persentase sperma abnormal, dan penurunan jjumlah anak yang bermakna dibandingkan dengan kontrol. Pada kelompok V, selain penyusutan berat testis ang bermakna, tidak didapatkan spema dalam tubulus seminiferous. Jadi kesimpulannya, pemanasan 40 derajat C tidak berpengaruh terhadap fertilitas mencit, sedahkan pemanasat 41 dan 42 berpengaruh terhadap fertilitas mencit.

ABSTRACT
Scope and Method of study:
Several traditional habits are applied to refresh the body, releasing fatigue or stiffness after working hard all day, e.g. by soaking the body in warm water or by taking sauna. If performed frequently, the temperature around the testis should increase and it might cause a selective demage to germinal cells, disturbing the process of spermatogenesis. The purpose of this study was to evaluate the fertility of mice after application of heat on the testis. Mice were divided randomly into 5 groups of 10 mice each. The first group served as untreated control, with no treatment at all. The second group was a treated control, treated with anesthetic, but not exposed to hear the treated groups were anesthetized, and the testis exposed to temperature of 40 C (3rd group), 41 C (4th Group), and 42 C (5th group), respectively, for 10 minutes each in a special devides water bath. The treatment was repeated 3 times at an interval of 9 days or one cycle of the seminiferous epithelium.
Findings and conclusions:
The result showed that in the 3rd group no significant effect of heat was found on the weight of the testis, the number of motile sperm, percentage of abnormal sperm, and noumber of offspring comparet to the control group. In the 4th gorup, however the weight of testis, number of motile sperm, and mean number of offspring were significantly reduced. The percentage of abnormal sperm was significantly increased as compared to control groups. It is interesting to note that in the 5th group of mice, no sperm was found in the seminiferous tubules. In conclusion, there was no effect on the fertility of mice by heating the testis to a temperature of 40 C. however, the fertility was decreased significantly after exposure to 41 and 42 C."
1988
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hana Sumiati Widjaja
"ABSTRAK
Penyuntikan kombinasi northisteron enanthat (NE) dan
testosteron enanthat (TE) dosis tunggal, bertujuan untuk
menghambat spermatogenesis mencit (Mus nusculus) jantan
galur CBR, tanpa mempengaruhi libido dan potensi seks.
Mencit dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu kelompok E1
yang disuntik dengan NE 0,004 mg/ gram berat badan (BB)
dan TE 0,005 mg/ gram BB (dosis I), kelompok yang
disuntik dengan NE 0,008 mg/ gram BB dan TE 0,005 mg/ gram
BB (dosis II), kelompok yang disuntik dengan kombinasi
Pelarut NE dan TE, sedangkan kelompok K2 tidak diberi
perlakuan apapun.
Dari sayatan histologi testis yang dibuat pada hari
ke-45 setelah penyuntikan, ditenukan adanya penurunan
jumlah beberapa sel-sel spematogenlk. yaltu npernatogonia
A, spermatogonia B, leptoten, pakhlten, dan spermatld.
serta pengecilan diameter tubulus semlniferns. Pengujian
statistik terhadap berat teatls, berat vesikula seminalia
dan perubahan berat badan tidak menunjukkan adanya
perbedaan antara ke-4 kelompok.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penyuntikan
kombinaai HE dan TE doaia I dan II menghambat
spermatogenesis mencit iMus Busoulus) jantan galur CBR
tanpa mempengaruhi potensi seks.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Indonesia, 1992
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rochman Isdiyanto
"ABSTRAK
Telah diketahui bahwa panas pada suhu yang lebih tinggi daipada suhu tubuh, apa pun bentuk dan sumber panas itu berasal, dapat bersifat antifertilitas terhadap mamalia jantan, khusunya pada individu yang mempunyai testis tersimpan di dalam skrotum. Dalam penelitian ini dilakukan efek pemanasan terhadap testis tikus (Rattus norvegicus L.) strain LMR. Tikus jantan dewasa sebanyak 48 ekor, umur 4-5 bulan dan berat badan 210-265 gram, dibagi menjadi 4 kelompok. Kelompok I, kontrol tanpa dibius (K); Kelompok II, kontrol yang dibius selama 15 menit (Kb); Kelompok III, skrotum berisi testis direndam dalam air bersuhu 45 0C selama 15 menit (E2). Setelah berlangsung 2 siklus spermatogenesis (104 hari) sejak perlakuan diberikan, tikus dibedah untuk diamati spermatozoanya. Efek antifertilitas dapat diketahui dengan menghitung jumlah persentase viabilitas dan morfologi spermatozoa abnormal yang berasal dari vas deferens. Hasil uji dari statistik yang diperoleh, efek perlakuan tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna antara K, Kb,E1 dan E2 masing-masing terhadap viabilitas dan morfologi spermatozoa abnormal."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1987
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ellyanufara
"ABSTRAK
Panas testis yang melebihi suhu skrotum akan menyebabkan perubahan pada testis. Sebagaimana diketahui banwa apapun bentuk panas, apabila dikenai pada testis akan bersifat merusak jaringan testis dan perkembangan sel-sel spermatogenik yang ada di dalam tubulus testis.
Pada penelitian ini akan diteliti pengaruh pemanasan testis secara berulang terhadap viabilitas dan morfologi spermatozoa mencit (Mus musculus L.) strain CBR.
Dari 50 ekor mencit yang berumur 3-4 bulan dan mempunyai berat badan sekitar 20-25 gram, dibagi menjadi lima kelompok. Kelima kelompok mencit tersebut adalah, kelompok kontrol tanpa periakuan (K1), kelompok kontrol yang dibius selama 10 menit (K2), kelompok pemanasan testis 390C (P1), kelompok pemanasan testis 40°C (P2) dan kelompok pemanasan testis 410C (P3). Lamanya pemanasan untuk setiap kelompok diberikan selama 10 menit. Perlakuan diulang sebanyak empat kali dengan selang waktu sembilan hari atau satu siklus epitel seminiferus. Kemudian mencit dimatikan dengan eter dan dibedah untuk diambil sperma yang tersimpan di dalam vas deferens. Selanjutnya spermatozoa yang dikeluarkan dari vas deferens dihitung jumlah prosentase viabilitas dan morfologi spermatozoa yang abnormal.
Dari uji statistik diperoleh hasil bahwa pemanasan testis pada suhu 39 C, 40 C, dan 41°C berpengaruh terhadap viabilitas dan morfologi spermatozoa. Sedangkan berat testis terpengaruh pada pemanasan 41°C."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Indonesia, 1990
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Damai Ria Setyawati
"ABSTRAK
Luteolin merupakan kandidat yang poten sebagai alternatif pengobatan penyakit asam urat karena aktivitas antiinflamasi dan penghambatan xantin oksidase. Akan tetapi, kelarutan dan permeabilitas luteolin yang kurang baikmerupakan masalahdalam pengembangan formula. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan penetrasi luteolin ke dalam kulitmelalui formulasi transfersom luteolin.Luteolin diformulasikan dalam transfersomdan beberapa variasi formula meliputi konsentrasi total lipid (fosfolipid-Tween 80) dan luteolin dioptimalisasi menggunakan response surface methodology. Respon optimalisasiyang diukur adalah ukuran partikel, indeks polidispersitas, potensial zeta dan efisiensi penjerapan. Uji penetrasi in vitro dan in vivo dilakukan menggunakan tikus putih jantan galur Sprague Dawley.Hasil optimalisasi transfersom luteolin mengindikasikan bahwa konsentrasi total lipid 4,88% dan luteolin 0,5% merupakan formula optimal. Gambaran vesikel menggunakan transmission electron microscope (TEM) memperlihatkan partikel sferis dengan beberapa partikel yang beragregasi. Transfersom luteolin formula optimal mempunyai ukuran partikel 257,18±15,20 nm, indeks polidispersitas0,480±0,013, potential zeta -18,67±0,379 mV danefisiensi penjerapan 94,97±0,28%. Penetrasi luteolin secarain vitropada gel transfersom luteolin sebesar 16,49% dengan nilai fluks 126,80±5,09 μg/cm2/jam. Hasil tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan gel luteolin yaitu 6,27% dan fluks 24,03±2,32 μg/cm2/jam. Penetrasi in vivomemberikan nilai Cmaksdan AUC0-∞ sebesar 9982,29 ng/mL dan 25329,94 ng.jam/mL pada gel transfersom luteolin dan 2908,34 ng/mL dan 7965,88 ng.jam/mL pada gel luteolin.Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa transfersom luteolin mampu meningkatkan penetrasi melalui kulit, baik secara in vitromaupunin vivo.

ABSTRACT
Luteolin is a potent candidate as an alternative treatment for gout due to its xanthine oxidase inhibition and anti-inflammatory activities. However, its poor solubility and permeability are hampering its formulationand development process. This study aimed to improve skin penetration of luteolin by luteolin transfersome formulation. Luteolin transfersome fistly was prepared, and various formulation variables including total lipid (phospholipid-Tween 80) and luteolin concentration were optimized using response surface methodology. Measured responses of optimization were particle size, polydispersity index, zeta potential and entrapment efficiency. In vitro and in vivo penetration studies were carried out using Sprague Dawley male rats. The results of optimization indicate that 4.88% total lipid and 0.5% luteolin concentration is the optimum formulation. Vesicle image using transmission electron microscope (TEM) revealed spherical particles and occurrence of particle aggregation. The optimumluteolin transfersome had particle size of 257.18±15.20 nm, polidispersity index of 0.480±0.013, zeta potential of -18.67±0.379 mV and entrapment efficiency of 94.97±0.28%. In vitro penetration experiment of luteolin transfersome gel showed that16.49% of luteolin was penetrated with flux parameter was of 126.80±5.09 μg/cm2/h. It was significantly higher compared to luteolin gel which only6.27%of luteolin was penetrated and flux of 24.03±2.32 μg/cm2/h. Moreover, in vivo penetration study showed that Cmax and AUC0-∞of luteolin transfersome gel were 9982.29ng/Ml and 25329.94 ng.h/mL,respectively, which was higher than those of luteolin gel (2908.34 ng/mL and7965.88 ng.h/mL). It was concluded that luteolin transfersome enhaced in vitro and in vivo penetration of luteolin"
2016
T46091
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tiurma Rondang Sari
"ABSTRAK
Kombinasi progestagen-androgen telah diketahui dapat menghambat spermatogenesis tanpa mempengaruhi libido. Dalam penelitian ini kombinasi progestagen-androgen, yaitu northisteron enanthat (NE)-testosteron enanthat (TE) diberikan pada mencit (Mus musculus L.) strain AJ dan diteliti pengaruhnya terhadap jumlah spermatogonia A dan spermatosit pakhiten.
Mencit dibagi 3 kelompok, yaitu kelompok eksperimen yang disuntik dengan NE (0,1 mg) dan TE (0,125 mg), kelompok kelola I yang disuntik dengan pelarut NE dan pelarut TE, dan kelompok kelola II yang tidak diberi perlakuan apapun. Sebelum diberi perlakuan mencit ditimbang. Pada hari ke-45 setelah penyuntikan, mencit ditimbang kembali lalu testisnya diambil. Berat testis ditimbang, kemudian testis dibuat preparat histologi. Dumlah spermatogonia A dan spermatosit pakhiten dihitung dan diameter tubulus seminiferous diukur.
Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa tidak ada pengaruh kombinasi NE (0,1 mg) dan TE(0,125 mg) terhadap berat badan, berat testis, jumlah spermatogonia A dan spermatosit pakhiten serta diameter tubulus seminiferous Mus musculus L. strain AJ."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1989
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Camelia Dwi Putri Masrijal
"ABSTRAK
Medroksiprogesteron asetat merupakan progestin sintetik yang digunakan sebagai kontrasepsi hormonal jangka panjang. Tujuan dari penelitian ini adalah meningkatkan penetrasi subkutan dari medroksiprogesteron asetat. Pada penelitian ini telah dilakukan optimasi formula transfersom yaitu F1, F2 dan F3 dengan perbandingan fosfatidilkolin : Tween 80  berturut-turut adalah 90:10; 85:15; dan 75:25. Hasil karakterisasi menunjukkan F2 adalah formula terbaik dengan efisiensi penjerapan 81,20 ± 0,42 %, Zaverage 81,35 ±0,78 nm, indeks polidispersitas 0,198 ± 0,012 dan potensial zeta -34,83±0,64 mVsehingga digunakan pada formulasi sediaan gel. Sediaan gel yang dibuat terdiri dari dua formula, yaitu gel transfersom (FGT) dan gel non transfersom (FG). Terhadap kedua gel tersebut dilakukan uji penetrasi in vitro menggunakan sel difusi Franz dan uji in vivo pada tikus betina Sprague Dawley. Hasil uji penetrasi in vitro menunjukkan jumlah kumulatif medroksiprogesteron asetat terpenetrasi dari FGT lebih tinggi daripada FG selama 24  jam, dengan nilai fluks untuk FGT dan FG masing-masing adalah 112,77 ± 6,47 ng.cm-2.jam-1 dan 17,99 ± 4,81 ng.cm-2.jam-1. Pada uji in vivo, medroksiprogesteron asetat dalam sediaan FGT memberikan hasil area under the curve (AUC) yang lebih tinggi dari pada dalam sediaan FG. 

ABSTRACT
Medroxyprogesterone acetate is a synthetic progestin which is used as long-acting hormonal contraceptive. The aim of this research was to increase subcutaneous penetration of medroxyprogesterone acetate. In this research three transferosomes formulas were prepared and optimized,e.g.F1,F2 and F3 with posphatidylcoline : tween 80 concentration were 90:10; 85:15; and 75:25, respectively. F2 was the best formula with highest entrapment eficiency 81.20 ± 0.42 %, Zaverage 81.35 ±0.78 nm, indeks polidispersity 0.198±0.012 and zeta potensial was -34.83±0.64 mV, so it was incorporated into gel dosage form. There were two gels prepared, transferosomal (FGT) and non transferosomal gel (FG). Both of them were evaluated, in vitro penetration test using Franz Diffusion cells and in vivo study in Sprague Dawley female rats were also conducted to each dosage forms. According to in vitro penetration study, cummulative penetration of medroxyprogesterone acetate from FGT was higher than FG, which flux value for FGT and FG were 112.77 ± 6,47 ng.cm-2.hr-1 and 17.99 ± 4.81 ng.cm-2.hr-1, respectively. The result of in vivo study showed that medroxyprogesterone acetate in FGT dosage form had higher area under the curve of medroxyprogesterone acetate than in FGdosage form."
2019
T54762
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Paisal
"Latar Belakang: Infertilitas dialami oleh sekitar 15% pasangan di seluruh dunia, dengan kontribusi dari pihak laki-laki sekitar 50%. Salah satu penyebab infertilitas pada pria adalah azoospermia non obstruktif idiopatik, yang diduga melibatkan faktor epigenetik. Penelitian ini bertujuan menilai peran epigenetik, khususnya remodeling kromatin dan modifikasi histon, pada proses spermatogenesis pada testis dengan azoospermia non obstruktif.
Metode: Sampel BFPE dan TESE diperiksa menggunakan teknik HE lalu dikelompokkan berdasarkan tipe henti maturasi, yaitu SCO, STA, dan SDA. Sampel BFPE dilakukan pemeriksaan immunohistokimia menggunakan antibodi anti-CHD5, anti-H3K9me3, dan anti-H4K12ac. Proses pengolahan gambar immunohistokimia menggunakan ImageJ, IHC Profiler, dan StarDist. Sampel TESE dilakukan pemeriksaan qPCR untuk mengukur tingkat ekspresi gen CHD5 dan PHF7. Selain itu, pada sampel TESE dilakukan pemeriksaan ChIP untuk menilai kadar relatif gen WEE1 dan PRM1 yang berikatan dengan CHD5.
Hasil: Ekspresi CHD5 ditemukan pada spermatogonia dan spermatid bulat. Tidak ada perbedaan signifikan intensitas CHD5 pada spermatogonia antara kelompok STA dan SDA. Intensitas H3K9me3 dan H4K12ac pada spermatogonia, spermatosit, dan sel sertoli berdasarkan kelompok henti maturasi berbeda signifikan. Tingkat ekspresi gen CHD5 pada kelompok STA meningkat signifikan 67 kali lipat dibandingkan ekspresinya pada SCO, dan pada kelompok SDA meningkat signifikan 164 kali lipat dibandingkan ekspresi pada SCO. Tingkat ekspresi gen PHF7 pada kelompok STA meningkat signifikan 53 kali lipat dibandingkan ekspresinya pada SCO, dan pada kelompok SDA meningkat signifikan 192 kali lipat dibandingkan ekspresi pada SCO. Kadar DNA segmen promoter gen WEE1 pada ChiP-qPCR menggunakan antibodi anti-CHD5 ditemukan sebesar 1,19% untuk STA dan 1,87% untuk SDA, lebih tinggi dibandingkan kadar pada SCO yaitu 0,36%. Sedangkan kadar DNA segmen promoter gen PRM1 ditemukan sebesar 1,01% untuk STA dan 2,47% untuk SDA, lebih tinggi dibandingkan kadar pada SCO yaitu 0,29%.
Kesimpulan: CHD5 berperan pada spermatogenesis manusia, khususnya pada sel spermatogonia dan spermatid bulat. CHD5 terbukti meregulasi gen WEE1 dan PRM1 pada sel spermatogenik. H3K9me3 dan H4K12ac berperan pada kasus henti maturasi, dan berpotensi untuk menjadi marker kasus azoospermia non obstruktif.

Background: Infertility affect about 15% of couples worldwide, with male factors contributing to around 50% of cases. One of the causes of male infertility is idiopathic non-obstructive azoospermia, which is suspected to involve epigenetic factors. This study aims to assess the role of epigenetics, specifically chromatin remodeling and histone modification, in the process of spermatogenesis in testes with non-obstructive azoospermia.
Method: The BFPE and TESE samples were examined using HE techniques and subsequently classified based on maturation arrest types, including SCO, STA, and SDA. Immunohistochemical analysis of the BFPE samples was conducted using anti-CHD5, anti-H3K9me3, and anti-H4K12ac antibodies. Image processing for immunohistochemistry was performed using ImageJ, IHC Profiler, and StarDist. The TESE samples underwent qPCR analysis to measure the expression levels of the CHD5 and PHF7 genes. Additionally, ChIP analysis was performed on the TESE samples to assess the relative levels of WEE1 and PRM1 genes bound to CHD5.
Result: The expression of CHD5 was found in spermatogonia and round spermatids. There was no significant difference in CHD5 intensity in spermatogonia between the STA and SDA groups. However, the intensities of H3K9me3 and H4K12ac in spermatogonia, spermatocytes, and Sertoli cells varied significantly among the maturation arrest groups. The expression level of the CHD5 gene in the STA group increased significantly by 67-fold compared to its expression in SCO, and in the SDA group, it increased significantly by 164-fold compared to its expression in SCO. The expression level of the PHF7 gene in the STA group increased significantly by 53-fold compared to its expression in SCO, and in the SDA group, it increased significantly by 192-fold compared to its expression in SCO. The DNA segment promoter level of the WEE1 gene in ChiP-qPCR using anti-CHD5 antibody was found to be 1.19% for STA and 1.87% for SDA, higher than the level in SCO, which was 0.36%. Meanwhile, the DNA segment promoter level of the PRM1 gene was found to be 1.01% for STA and 2.47% for SDA, higher than the level in SCO, which was 0.29%.
Conclusion: CHD5 plays a role in human spermatogenesis, particularly in spermatogonia and round spermatids. It has been shown to regulate the genes WEE1 and PRM1 in spermatogenic cells. H3K9me3 and H4K12ac are implicated in cases of maturation arrest and have potential as markers for azoospermia non obstructive cases.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Awliya
"

Demam berdarah dengue (DBD) merupakan masalah global yang disebabkan oleh infeksi virus dengue (DENV) dengan vektor nyamuk Aedes spp. Dengan nilai selectivity index (SI) sebesar 128,400, senyawa murni katekin memiliki potensi dalam menghambat replikasi DENV dan dalam pencarian penobat antivirus yang spesifik dan efektif untuk mengobati infeksi DENV. Penelitian ini dilakukan secara eksperimental untuk mengetahui perbandingan aktivitas senyawa murni katekin ketika menempel pada reseptor sel Vero dan menempel pada DENV. Senyawa katekin digunakan dengan konsentrasi sebesar dua kali IC50, yaitu 42,914 μg/ml. Efektivitas inhibisi dan viabilitas sel dievaluasi dengan metode focus assay dan MTT assay. Pada penghambatan reseptor sel Vero, didapatkan persentase efektivitas inhibisi sebesar 46,31±11,39% dengan viabilitas sel sebesar 103,5±2,51%. Pada penempelan DENV, persentase efektivitas inhibisi sebesar 54,67±18,01% dengan viabilitas sel sebesar 84,73±13,05%. Pemberian senyawa murni katekin pada reseptor sel Vero tidak berbeda bermakna secara statistik dengan penempelan DENV dalam menginhibisi virus.  Akan tetapi, penempelan DENV memilki toksisitas yang berbeda bermakna dengan penghambatan reseptor sel Vero. Dengan efektivitas dan toksisitas yang baik, senyawa murni katekin berpotensi sebagai antivirus DENV di masa depan. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menjaga bioavailabilitas katekin dan juga mentukan target spesifik dari senyawa katekin agar efektif dan tetap aman saat dikonsumsi dalam tubuh.

 


Dengue hemorrhagic fever (DHF) is a global problem caused by dengue virus infection with Aedes spp. as its vector. With selectivity index (SI) value of 128,400, pure compounds of catechins have the potential to inhibit DENV replication in the search for specific antiviral treatments that are effective for treating DENV infection.  This research was carried out experimentally to determine the comparison of the activity of pure catechin compounds when attached to Vero cell receptors and attached to DENV. The catechin compound has a concentration of twice the IC50, which is 42,914 μg/ml with Vero cell as the experiment medium. Inhibition efectivity and cell viability are evaluated by focus assay and MTT assay methods. In inhibition of Vero cell receptors, the percentage of inhibition effectiveness was 46,31±11,39% with cell viability of 103.5±11,39%. In the DENV envelope attachment, the percentage of inhibition effectiveness was 54,67±18,01% with cell viability of 84,73±13,05%. Statistically, administration of pure catechin compounds to Vero cell receptors did not differ significantly from the attachment of DENV in inhibiting the virus. However, the attachment of DENV has a significantly different toxicity from the inhibition of Vero cell receptors. With good effectiveness and toxicity, pure catechin compounds have the potential to be a prophylactic antiviral DENV in the future. Further research is needed to maintain the bioavailability of catechins and also determine specific targets of catechin compounds to be effective and safe when consumed in the body.

"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>