Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 215793 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
cover
Suhardi
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1995
306 SUH c
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Darwis
"Studi ini mencoba mengungkap fenomena hubungan sosial antara etnik Cina dengan etnik Bugis-Makassar di kotamadya Ujungpandang, dengan fokus studi pada pola hubungan sosial, yang berlangsung di lingkungan pemukiman (tempat tinggal) dan di lingkungan tempat kerja; berupa pola perilaku etnik Cina dengan Bugis-Makassar di dalam bekerjasama, bersaing, berkompetisi, dan berasimilasi serta berakulturasi, hingga mencapai suatu hubungan sosial yang serasi. Konsep keserasian hubungan sosial yang dipergunakan dalam studi ini, secara teoritis diartikan sebagai suatu kualitas hubungan, antara dua kelompok yang berinteraksi, terlibat dalam suatu proses prilaku, bersifat dinamis dan keduanya berusaha mempertahankan kelangsungan hubungan yang dibina, serta menciptakan perubahan-perubahan dari hubungan mereka, serta interaksi yang terjadi mengandung makna relasi.
Penelitian dilakukan di Kotamadya Ujungpandang pada tahun 1992. Temuan penelitian berupa faktor potensial dan riel .yang mendorong dan menghambat keserasian hubungan sosial antara etnik Cina dengan Bugis-Makassar, dalam aktivitas komunal (berupa hubungan ketetanggaan, dan partisipasi. dalam berbagai kegiatan yang terselenggara, beserta konflik yang timbul), dan aktivitas di tempat kerja. Keserasian sosial melalui aktivitas komunal, menunjukkan bahwa kedua belah pihak memiliki tingkat keserasian hubungan sosial yang serasi. Dan pada hubungan yang berlangsung di tempat kerja, (tata cara merekrut tenaga kerja, serta penilaian kedua etnik dalam kapasitasnya sebagai majikan pekerja), menunjukkan tingkat keserasian hubungan sosial yang serasi namun bersyarat. Hal ini disebabkan oleh karena etnik Cina memandang etnik Bugis-Makassar, adalah sebagai suatu sosok manusia yang dapat diajak bekerjasama bahkan bersaing dalam kegiatan ekonomi. Akan tetapi sebaliknya, etnik Bugis-Makassar, memandang etnik Cina, tidak lebih, sebagai kelompok yang menguasai sumberdaya ekonomi, alat produksi (pemilik modal serta menguasai pasar perekonomian, khususnya di kota Ujungpandang).
Selain itu, kerap pula terjadi benturan-benturan (konflik), baik di lingkungan tempat tinggal maupun di tempat kerja yang merupakan warna lain dari hubungan sosial etnik Cina dengan Bugis-Makassar. Konflik-konflik yang muncul pada awalnya bersumber pada hal yang sifatnya sepele, hingga akhirnya menjadi konflik terbuka. Hal ini apabila dibiarkan begitu saja, tidak menutup kemungkinan akan mengancam stabilitas masyarakat. Konflik-konflik ini adalah merupakan suatu faktor potensial yang dapat menghambat keserasian hubungan sosial antara etnik Cina dengan Bugis-Makassar.
Tak kalah penting yang mendorong terciptanya hubungan sosial di lingkungan pemukiman, adalah tidak terlepas dari peran para pimpinan formal dan informal, dalam upaya mendorong interaksi etnik Cina dengan Bugis-Makassar di dalam kegiatan yang berlangsung di lingkungan pemukiman, agar tercapai suatu keserasian hubungan sosial di lingkungan pemukiman. Usaha tersebut adalah melibatkan etnik Cina dengan Bugis-Makassar secara bersamaan dalam kegiatan-kegiatan komunal. Usaha para pimpinan ini merupakan faktor yang bersifat nyata untuk mewujudkan suatu keadaan dimana etnik Cina dan Bugis-Makassar dapat hidup berdampingan, saling menghormati privacy masing-masing, sehingga nantinya teruwujud masyarakat yang tenteram, dan tidak lagi dibayangi oleh adanya perasaan "etnosentrisme" yang mendalam.
Selain yang disebutkan di atas, ada hal yang menarik dari hubungan sosial etnik Cina dengan Bugis-Makassar, yaitu rentang waktu hubungan, tingkat pendidikan, tingkat penghasilan, yang berperan serta bahkan mewarnai pola tindakan/prilaku kedua etnik, manakala terlibat dalam kegiatan-kegiatan komunal. Etnik Cina yang sudah lama hidup bertetangga, berkecenderungan untuk tidak sering mengunjungi tetangga. Sebaliknya etnik Bugis-Makassar, yang berpendidikan dan berpenghasilan rendah, berkecenderungan untuk selalu membuka diri untuk bergaul dengan etnik Cina. Namun, etnik Bugis-Makassar yang berpendidikan tinggi, berkecenderungan menutup diri terhadap etnik Cina. Hal lain dari etnik Cina, adalah bentuk partisipasi mereka pada kegiatan sekuler (kegiatan meronda/bekerja bakti/peringatan hari Nasional), cenderung berpartisipasi dalam bentuk materi atau barang.
Meskipun tampak bahwa hubungan sosial etnik Cina dengan Bugis-Makassar di lingkungan tempat tinggal menunjukkan intensitas pertemuan fisik lebih rendah dibanding di lingkungan tempat kerja, namun potensi (latent) konflik menunjukkan kecenderungan yang tinggi. Hal ini disebabkan oleh masih terdapat perasaan "ketidakpuasan" akan keterlibatan etnik Cina dalam kegiatan komunal yang berupa materi. Harapan etnik Bugis-Makassar adalah selain keterlibatan materi, juga hendaknya sesekali berpartisipasi terlibat langsung, sehingga dapat tercipta dialog (komunikasi) antara etnik Cina dengan Bugis-Makassar.
Dengan demikian studi tentang telaah terhadap hubungan antar kelompok etnik (Cina-Pribumi), merupakan suatu studi yang menantang pada saat ini, khususnya dalam suasana kekhawatiran orang untuk meneliti soal SARA. "
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1993
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1984/1985
301.45 POL
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1989
301.45 POL
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Mohamad Nasir
"ABSTRAK
Perubahan ukuran fisik penduduk terutama kelompok usia muda merupakan indikator upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia. Tinggi badan yang dicapai pada anak usia masuk sekolah memberikan gambaran keadaan gizi pada usia sebelumnya. Tinggi badan anak usia masuk sekolah yang berada dibawah standar pada tingkat tertentu dapat menggambarkan keadaan gizi klhususnya tingkat pertumbuhan dan kesehatan pada masa lalu.
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari hubungan antara tingkat endemisitas gondok, tingkat sosial ekonomi dan pola konsumsi makanan pokok dengan tinggi badan anak usia sekolah di Propinsi Jawa Timur. Desain penelitian ini adalah kros-seksional dengan memanfaaatkan data sekunder yang telah dikumpulkan oleh berbagai instansi pemerintah.
Analisa bivariat yang digunakan adalah uji beda rata-rata dengan batas nilai alfa 5 %, dan analisa multivariat dengan menggunakan analisa regresi linier berganda untuk melihat faktor-faktor yang berhubungan dengan tinggi badan rata-rata anak usia masuk sekolah.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa tinggi badan rata-rata anak usia sekolah yang tinggal di daerah tidak endemik lebih tinggi dibandingkan dengan anak-anak yang tinggal di daerah endemik ringan, endemik sedang rnaupun endemik berat. Perbedaan juga terjdi antara tinggi badan rata-rata anak usia masuk sekolah yang tinggal di daerah endemik ringan dengan yang tinggal di daerah endemik sedang dan berat; demikian jugs terdapat perbedaan antara tnggi badan rata rata anak usia masuk sekolah yang tinggal di daerah endemik sedang dengan yang tinggal di daerah endemik berat.
Anak usia masuk sekolah yang tinggal di desa miskin mempunyai tinggi badan lebih rendah dibandingkan dengan mereka yang tinggal di desa tidak miskin. Rata-rata tinggi badan anak usia masuk sekolah yang mempunyai pola konsumsi makanan pokok yang terdiri dari beras atau beras jagung mempunyai rata rata tinggi badan lebih tinggi dari anak usia masuk sekolah yang mempunyai vita konsumsi makanan pokok terdiri dari beras jagung umbi-umbian.
Dengan membedakan kelompok usia 6 tahun dan 7 tahun, terdapat perbedaan yang bermakna tinggi badan rata-rata anak usia masuk sekolah yang tinggal di berbagai tingkatan endemisitas gondok kecuali pada usia 7 tahun. Pada anak usia 7 tahun tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara tinggi badan rata-rata anak usia masuk sekolah yang tinggal di daerah endemik berat dengan yang tinggal di daerah endemik sedang. Tidalk terdapat perbedaan yang bermakna antara tinggi badan rata-rata anak usia masuk sekolah yang tinggal di daerah endemik ringan dengan yang tinggal di daerah tidak endemic.
Analisis regresi menunjukan bahwa pada kelompok anak usia 6 tahun, anak-anak yang tinggal di daerah tidak endemik dengan pola konsumsi makanan pokok beras atau beras jagung dan berasal dari keluarga mampu mempunyai perbedaan tinggi badan sebesar 2,8 cm dibandingkan dengan mereka yang tinggal di daerah endemik berat, dengan pola konsumsi makanan pokok beras jagung umbi-umbian.
ABSTRACT
The Relationship Of Endemicity Of The Endemic Goitre Regions, Social Economic Strata And Consumption Pattern Of Staple Food With Height Of School Age Children In The Province Of East JavaThe change of the population physical size, especialy the youth in an indicator of the efforts to increase the human resources quality. The height achieved by the school age children provide the nutrition condition of the previous age. The height of the school age children which is under certain standard provide the nutrition condition, especially the growth level and the health in the past.
This research is intended to study the relationship between the goitre endemicity, social economic strata and the consumption pattern of the staple food with height of the school age children in the Province of East Java. The research design is a crossectional by utilizing a secondary data which have been collected by various government agencies. The bivariate analysis use the average difference test with the a limit 5 %; and the multivariate analysis using the multiple tinier regretion analysis to find out the factors which are related with the average height of the school age children.
The results of the research indicate that the average height of the school age children in the non endemic goitre region, low endemic goitre region, medium endemic goitre region and high endemic goitre region, there is also difference between the heihgt of the school age children who live in the medium endemic goitre region with those who live in the high endemic goitre region
The school age children who live in the poor village have a lower height compared with those who live in relatively rich village. The average height of the school age children who have a consumption pattern of the staple food which consist of rice or rice-corn have a taller height than those who have the consumption pattern of the staple form corn rice and rhizobium.
There is significant difference of the average height of the school age children who live in various level of goitre endemicies except the age of seven years, by classifying the age group 6 and 7 years. There is no significant difference between average the school age children height who live in the high endemic goitre region with those who live in the medium endemic region for the 7 years children. There is no significant difference between the school age children who live in the low endemic goitre region with those who live in the non endemic region.
The regression analysis indicates that in the 6 years age group, the children who live in the non endemic goitre region with the staple food of rice or corn and comes from relatively wealthy family have a height difference of 2,8 cm compared with those who live the high endemic goitre region, with consumption pattern of corn rice and rhizobiunt.
"
1996
T 5214
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta : Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Dirjen Kebudayaan , 1995
307.72 COR
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Rubiana Soeboer
"ABSTRAK
Penelitian mengenai persepsi ketidak adilan berdasarkan stratifikasi mayoritas-minoritas ini disusun berdasarkan konstruksi teoritik mengenai stratifikasi sosial yang ada di masyarakat (Jeffries dan Ransford, 1980). Menurut Jeffries dan Ransford, stratifikasi sosial di masyarakat secara hirarkis terdiri dari stratifikasi kelas (aset ekonomi, posisi pekerjaan, tingkat pendidikan, dan gaya hidup), etnik, jenis kelamin, dan usia. Stratifikasi sosial yang ada di masyarakat akan membedakan mereka yang berada pada posisi manoritas (kelompok yang menguasai surplus kekuasaan, kekayaan, previlegi, dan prestise) dan mereka yang berada pada posisi minoritas (kelompok yang kurang memiliki aset kekuasaan, kekayaan, previlegi, dan prestise). Secara obyektif diasumsikan bahwa mereka yang berada pada posisi minoritas akan merasakan adanya ketidak adilan yang berkaitan dengan distribusi sumber daya ini. Namun demikian, kondisi obyektif ini tidak selalu ada pada semua kelompok masyarakat. Pada masyarakat dengan budaya tertentu seperti budaya Jawa, persepsi ketidak adilan yang dirasakan oleh kelompok minoritas (kelas bawah) tergantung pada hubungan baik (kekerabatan) antara kelompok kelas ini dengan si pelaku.
Dalam studi ini, di samping kondisi obyektif dan subyektif, tipe "distribusi reward" serta sumber pertukaran dalam interaksi mayoritas-minoritas juga perlu dilihat. Alasannya adalah tipe "distribusi reward" yang ada di masyarakat terkait dengan setting kultural di mans individu tersebut berada. Dalam studi ini
diasumsikan bahwa subyek penelitian balk Jawa maupun Cina melakukan "ditribusi reward" yang equity. Bila "equity" dalam kelompok Jawa berarti adanya pola pertukaran yang tidak sejajar antara atasan bawahan sesuai dengan input yang diberikan oleh masing-masing pihak, maka dasar "equity" kelompok Cina adalah input yang berupa kapasitas pribadi (uang yang diiniliki, informasi, atau barang).
Berdasarkan asumsi teoritik di atas, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah teori tersebut sesuai bila diterapkan pada kondisi masyarakat Indonesia khususnya Jakarta yang terpilah berdasarkan (1) variabel stratifikasi kelas, yaitu kelas menengah sebagai kelompok mayoritas dan kelas bawah kelompok minoritas, (2) variabel stratifikasi etnik, yaitu kelompok etnik Jawa sebagai kelompok mayoritas dan kelompok Cina sebagai kelompok etnik minoritas, dan (3) interaksi antara variabel stratifikasi kelas dan variabel stratifikasi etnik. Diasumsikan bahwa ketiga variabel penentu di atas akan berpengaruh terhadap persepsi subyek penelitian mengenai pengalaman yang dianggapnya tidak adil. Di samping pengaruh kondisi obyektif struktur mayoritas-minoritas, kondisi subyektif yaitu nilai-nilai budaya tradisional juga ikut berpengaruh terhadap persepsi subyek penelitian.
Sampel penelitian yang diambil adalah 200 sampel penelitian masyarakat Jakarta dewasa (berusia 21 tahun ke atas) dan telah bekerja. Jumlah sampel tersebut terbagi menjadi 100 subyek Jawa golongan menengah dan golongan bawah, dan 100 subyek Cina golongan menengah bawah.
Alat ukur disususun berdasarkan teori dan klasterisasi yang telah dibuat oleh Mikula dkk. (1990).
Secara keseluruhan hasil-studi ini menunjukkan bahwa:
Pada kelompok kelas menengah dan bawah persepsi subyek tidak semata-mata dipengaruhi oleh kondisi obyektif mereka dalam stratifikasi sosialnya, melainkan ia juga dipengaruhi oleh kondisi subyektif mereka yaitu nilai-nilai budaya tradisional yang
mengutamakan hubungan baik antara subyek dengan pelaku ketidak adilan. Pada kelompok Jawa, persepsi tersebut dipengaruhi oleh nilai-nilai subyektif budaya tradisional subyek yaitu nilai-nilai kekerabatan. Pada kelompok Cina, persepsi subyek dipengaruhi kondisi obyektif mereka dalam stratifikasi sosialnya. Pada masyarakat Jakarta baik kelompok Jawa maupun Cina, terdapat kecenderung untuk mempraktekkan "distribusi reward" negatif bilamana kelompok tersebut dalam interaksinya berada pada posisi super-ordinat.
Tujuan studi ini, selain untuk mengetahui masalah ketidak adilan pada masyarakat yang terstruktur berdasarkan stratifikasi mayoritas minoritas, studi ini juga dilakukan untuk membentuk klaster ketidak adilan yang khas Indonesia khususnya Jakarta.
Berdasarkan hasil studi ini, ternyata pertama, tipe ketidak adilan yang dominan muncul adalah adanya perlakuan sewenang-wenang atasan di tempat kerja, perlakuan sewenang-wenang figur otoritas pegawai pemerintah, dan perlakuan tidak adil oleh atasan di tempat kerja dalam hal distribusi barang dan keuntungan. Kedua,masalah diskriminasi seks bagi wanita dan diskriminasi etnik baik bagi kelompok etnik Jawa maupun.kelompok etnik Cina muncul sebagai salah satu tipe ketidak adilan yang ada di Jakarta.
Berdasarkan hasil studi ini, saran yang dapat diberikan mencakup dua hal, yang pertama saran yang dapat diberikan seandainya dilakukan penelitian berikutnya yang menyangkut topik penelitian ini, dan yang kedua saran aplikatif yang dapat diterapkan oleh pihak-pihak yang membutuhkannya.
"
1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>