Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 15813 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Kaligis, Otto Cornelis, 1942-
Bandung: Alumni, 2008
345.023 KAL p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Kaligis, Otto Cornelis, 1942-
Bandung: Alumni, 2008
345.023 KAL p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Chidir Ali
[Place of publication not identified]: Binacipta, 1979
340.159 8 CHI y
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia, 2010
347.014 IND t
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Rudiansyah
"ABSTRAK
Penelitian ini dilatarbelakangi adanya dualisme status hakim sebagai pejabat negara dan pegawai negeri sipil dalam peraturan perundang-undangan, dan jaminan keamanan dan kesejahteraan hakim terfokus pada gaji pokok, tunjangan hakim, dan kemahalan saat sedang bertugas, sedangkan tunjangan tersebut dan jaminan lain belum diatur secara komprehensif ideal (dalam konteks jelas dan rinci bagi hakim dan keluarga dimulai dari hakim sebagai calon hakim sampai dengan pensiun) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Putusan Nomor 37/PUU-X/2012, dan Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim Yang Berada Di Bawah Mahkamah Agung. Sebagai pijakan teoritis, penelitian ini menggunakan teori negara hukum menurut Muchtar Kusumaatmaja, kekuasaan kehakiman menurut Paulus E Lotulung, dan keadilan menurut John Rawls. Hakim sebagai pejabat negara merupakan personifikasi dari kekuasaan kehakiman yang menjadi aktor sentral dalam penegakan hukum di Indonesia dengan putusan yang memiliki rasa keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif. Implikasi teoritis menunjukan bahwa upaya menjamin kemerdekaan dan independensi hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara berhubungan erat dengan jaminan tersebut. Jadi wajib dilakukan harmonisasi mengenai status hakim sebagai pejabat negara dan adanya kriteria jaminan keamanan dan kesejahetraan hakim yang komprehensif ideal.

ABSTRACT
This research is motivated dualism judge status as state officials and civil servants in the legislation, and the security and welfare of the judge focused on the basic salary, allowances of judges, and the expensiveness while on duty, while the allowances and other guarantees have not been comprehensively regulated ideal (in the context of clear and detailed for the judge and the family started from the judge as a potential judge until retirement) as referred to in Article 48 of Law No. 48 of 2009 on Judicial Power, Decision No. 37/PUU-X/2012, and Government Regulation number 94 of 2012 on the Rights of the Finance and Facilities Judges Being under the Supreme Court. As a theoretical foundation, this study uses the theory of law by Mochtar Kusumaatmaja, judicial authorities according to Paul E Lotulung, and justice according to John Rawls. Judges as state officials is the personification of the judiciary became a central actor in law enforcement in Indonesia with a decision that has a sense of justice, expediency and legal certainty. This study uses normative legal research. Theoretical implications indicate that the efforts to preserve the independence and the independence of judges to examine, hear and decide cases closely related to these guarantees. So mandatory harmonization of the status of judges as state officials and the security criteria of a comprehensive and well-being of an ideal judge."
Universitas Indonesia, 2013
T35460
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nilam Rahmahanjayani
"Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan kewenangan menguji Undang-undang terhadap UUD 1945 berperan sebagai negative legislator. Dalam perkembangannya seringkali Mahkamah Konstitusi tidak hanya memutus apakah suatu norma bertentangan dengan UUD 1945 atau tidak tetapi juga merumuskan norma baru. Sikap aktif Mahkamah Konstitusi tersebut dianggap sebagai bentuk penerapan prinsip judicial activism. Judicial Activism dipahami sebagai dinamisme para hakim ketika membuat putusan tanpa melalui batas-batas konstitusi. Namun banyaknya kritik terhadap prinsip judicial activism melahirkan doktrin judicial restraint sebagai sebuah antitesa. Dalam doktrin judicial restraint, pengadilan harus dapat melakukan pengekangan diri dari kecenderungan ataupun dorongan untuk bertindak layaknya sebuah miniparliament. Putusan Mahkamah Konstitusi yang menerapkan prinsip ini pun tidak sedikit jumlahnya. Namun hingga kini penerapan kedua prinsip tersebut oleh Mahkamah Konstitusi belum jelas. Oleh karena itu, skripsi ini ingin membahas mengenai penerapan kedua prinsip tersebut dalam putusan pengujian Undang-undang di Mahkamah Konstitusi. Metode penulisan yang digunakan adalah yuridis normatif dengan pendekatan kualitatif dan menggunakan bahan kepustakaan serta wawancara.
Dari hasil riset didapati bahwa belum adanya parameter bagi Mahkamah Konstitusi untuk memutuskan kapan dan dalam keadaan yang bagaimana bisa menerapkan prinsip judicial restraint dan judicial activism menimbulkan kerancuan. Prinsip judicial restraint dan judicial activism tidak bisa disamakan penerapannya dalam setiap kasus karena masing-masing kasus memiliki persoalan yang berbeda. Tidak ada satu prinsip yang lebih baik atau yang lebih tinggi dari prinsip lainnya, sehingga tidak bisa dikatakan jika Mahkamah Konstitusi lebih baik mengedepankan penerapan judicial restraint dibanding judicial activism maupun sebaliknya.

The Constitutional Court in executing its authority to review the constitutionality of the law act as negative legislator. In its development the Constitutional Court often to not only decide whether a norm contradict to the constitution or not but also formulate a new norm. The Constitutional Court 39s active stance is considered as a form of applying the judicial activism principle. Judicial Activism is understood as the dynamism of judges when making decisions without going through the boundaries of the constitution. However, many criticisms towards judicial activism causing judicial restraint doctrine to rise as an antithetical view In judicial restraint doctrin, the court must be able to exercise self restraint from the tendency to act like a miniparliament. There are many Constitutional Court's cases that applies the judicial restraint principle. However, until now the application of both principles by the Constitutional Court is not clear. Therefore, this thesis would like to examine about the application of both principles on judicial review cases in Constitutional Court. Research method used is normative juridical writing with qualitative approach from library materials and interview.
The research results found that there is no parameter yet for the Constitutional Court to decide when and under what circumstances to apply the judicial restraint and judicial activism principles. It cause confusion. Nevertheless, the judicial restraint and judicial activism principle can not be equated with the application in each case because each case has different problems. There is no one principle that is better or higher than other principles, so it can not be said if the Constitutional Court is better put forward the implementation of judicial restraint than judicial activism or vice versa.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Topo Santoso
Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia, 2008
352 TOP a
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Tika Widiastuti
"Penulisan tesis ini bertujuan untuk menganalisis dampak korupsi terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat di beberapa negara muslim. Negara Muslim yang diteliti berjumlah 31 negara, yaitu Bangladesh, Turkmenistan, Cote d'Ivoire, Pakistan, Tajikistan, Azerbaijan, Indonesia, Uzbekistan, Kyrgyz Republic, Albania, Sierra Leone, Togo, Uganda, Kazakhstan, Benin, Iran, Mali, Algeria, Lebanon, Morocco, Maldives, Burkina Faso, Egypt, Turkey, Kuwait, Tunisia, Malaysia, Jordan, Bahrain, Oman, dan Brunei Darussalam. Untuk mengetahui dampak korupsi terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat menggunakan dua cara. Pertama, dengan melihat pengaruh kebijakan fiskal (penerimaan dan pengeluaran pemerintah) terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat di dua kelompok negara, yaitu kelompok negara yang tingkat korupsinya tinggi (IPK < 3) dan kelompok negara yang tingkat korupsinya rendah (IPK ≥ 3). Kedua, dengan menganalisa tingkat kesejahteraan di dua kelompok negara tersebut.
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data tahun terakhir, yaitu tahun 2006. Tingkat korupsi suatu negara diukur dengan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang dikeluarkan oleh lembaga Transparansi Internasional setiap tahunnya, tingkat kesejahteraan masyarakat diukur dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Develompent Index (HDI) yang dikeluarkan oleh UNDP, dan anggaran penerimaan dan belanja pemerintah diukur dari persen PDB dari masing-masing negara. Data tersebut diperoleh dari beberapa hasil publikasi BPS, IDB dan Bank Dunia. Proses estimasi didasarkan pada analisis model persamaan struktural (Structural Equation Modelling).
Hasil penelitian ini manunjukkan bahwa, pertama, korupsi berdampak buruk terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat. Hal ini terlihat dari hasil analisis kebijakan fiskal melalui instrumen penerimaan dan pengeluaran pemerintah terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat yang dilakukan pada 2 (dua) kelompok negara muslim tersebut. Pengaruh pengeluaran pemerintah terhadap kesejahteraan masyarakat di negara yang tingkat korupsinya tinggi, memiliki nilai estimasi (koefisien) tidak signifikan. Jika dibandingkan pengaruh pengeluaran pemerintah terhadap kesejahteraan masyarakat di negara muslim yang tingkat korupsinya rendah yang positif dan signifikan..Kedua, di negara muslim yang tingkat korupsinya tinggi, memiliki tingkat kesejahteraan yang lebih rendah dibandingkan dengan di negara muslim yang tingkat korupsinya rendah walaupun nilainya tidak signifikan oleh karena umumnya negara-negara Muslim adalah negara korup.

This writing is to analyze the effect of corruption toward the the society welfare in some muslim contries. The muslim countries which the writer analysis are 31 countries. They are Bangladesh, Turkmenistan, Cote d?Ivoire, Pakistan, Tajikistan, Azerbaijan, Indonesia, Uzbekistan, Kyrgyz Republic, Albania, Sierra Leone, Togo, Uganda, Kazakhstan, Benin, Iran, Mali, Algeria, Lebanon, Morocco, Maldives, Burkina Faso, Egypt, Turkey, Kuwait, Tunisia, Malaysia, Jordan, Bahrain, Oman, and Brunei Darussalam. The writer uses two methodes to know the effect of Corruption toward the society welfare. First, is by seing the fiscal policy (income and outcome country) toward the society welfare in 2 Countries group; country with high Corruption Perception Index (CPI < 3) and with low Corruption Perception Index (CPI > 3). Second, by analizing the index of society welfare in that 2 countries.
In this writing the writer used the last data; year 2006. The corruption index in a country is measured by Corruption Perception Index (CPI) that issued by International Transparancy Institution every year. The society welfare is measured by Human Development Index (HDI) that issued by UNDP, and income and outcome budget country are measured from PDB percent in every country. The data is from the publication of BPS, IDB and world bank. The estimation process is based on structural equation modelling analysis.
The findings of this writing are; First, the bad effect of corruption leads to low society welfare. This could be seen from the result analysis of fiscal policy through income and outcome instrument country toward the soceity welfare in 2 muslim countries group. The effect of outcome country toward the society welfare in country with high corruption index has no significant estimation (coefisien) . compared to he effect of outcome country toward the society welfare in country with low corruption index, positive and siginificant. Second, in muslim countries with high corruption index has low welfare compared to country with low corruption index, eventough the number is not siginifican .Its obvious that muslim countries are corrupt."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2008
T25028
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Mona Ervita
"ABSTRAK Salah satu wewenang yang dimiliki oleh penyidik adalah melakukan penghentian penyidikan. Penghentian penyidikan dapat dilakukan oleh penyidik apabila perkara pidana tersebut tidak mempunyai cukup bukti, bukan merupakan tindak pidana, dan dihentikan demi hukum. Alasan dari penghentian penyidikan tersebut dituangkan kedalam Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Penghentian penyidikan ini dapat diuji di praperadilan oleh penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan. Dalam perkara tindak pidana korupsi yang ditangani oleh penyidik KPK, tidak dapat menghentikan penyidikan dan menerbitkan SP3, sehingga kasus korupsi yang ditangani oleh KPK harus berlanjut hingga ke tahap sidang pengadilan. Beberapa kasus korupsi yang belum selesai dan diduga dihentikan oleh KPK salah satunya adalah kasus korupsi Bank Century. Nampaknya upaya penghentian penyidikan yang dilakukan oleh penyidik KPK tidak dapat diuji, karena penyidik KPK tidak berwenang menerbitkan SP3. Ada putusan praperadilan yang telah berkekuatan hukum tetap melalui putusan nomor 24/Pid.Pra/2018/Pn.Jkt.Sel dimana pada amar putusannya hakim menyatakan penyidik KPK seolah-olah melakukan penghentian penyidikan. Penelitian ini menggunakan metode hukum normatif dengan meneliti bahan kepustakaan, perundang-undangan, wawancara dengan para akademisi dan praktisi dan analisis putusan praperadilan. Alhasil, tanpa adanya SP3, pemohon dapat menguji keabsahan penghentian penyidikan di praperadilan, dan kasus korupsi Bank Century yang diduga dihentikan oleh penyidik KPK tersebut, dilanjutkan atas perintah hakim praperadilan.
ABSTRACT One of the authorities possessed by investigators is to stop the investigation. Termination of investigation can be carried out by the investigator if the criminal case does not have enough evidence, is not a criminal offense, and is terminated for the sake of law. The reason for the termination of the investigation was poured into the Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Termination of this investigation can be tested in pretrial by a public prosecutor or third party concerned. In cases of corruption that are handled by KPK investigators, they cannot stop investigations and issue SP3, so the corruption cases handled by the KPK must continue to the court stage. Some corruption cases that have not yet been completed and are suspected of being stopped by the KPK, one of which is the corruption case of Bank Century. It seems that the efforts to stop the investigation conducted by KPK investigators cannot be tested, because KPK investigators are not authorized to issue SP3. There is a pretrial ruling that has permanent legal force through decision number 24 / Pid.Pra / 2018 / Pn. JKt. Sel wherein the judge's decision states that the KPK investigator seems to have stopped the investigation. This study uses normative legal methods by examining library materials, legislation, interviews with academics and practitioners and analysis of pretrial decisions. As a result, without the SP3, the applicant can test the validity of the termination of the investigation in pretrial, and the Century Bank corruption case which was allegedly stopped by the KPK investigator, followed by a pretrial judge's order.

"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T51729
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fera Belinda
"Tesis ini membahas proses penegakan hukum oleh Subdit III Tipikor Direktorat Reserses Kriminal Khusus Polda Bali terkait penyidikan tindak pidana korupsi yang melibatkan kepala daerah (studi kasus : kasus dugaan korupsi pipanisasi yang melibatkan Bupati Karangasem Bali I Wayan Geredeg). Permasalahan penelitian difokuskan pada proses penyidikan kasus korupsi pipanisasi yang dilakukan oleh penyidik Subdit Tipikor berjalan lambat. Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode pencarian data-data di lapangan melalui wawancara terhadap informan serta studi dokumentasi. Temuan fakta di lapangan guna menjawab masalah penelitian mengapa penyidikan tindak pidana korupsi pipanisasi berjalan lambat dan faktor-faktor yang mempengaruhi proses penyidikan kasus tersebut.
Hasil penelitian menemukan fakta bahwa proses penyidikan yang dilakukan oleh penyidik Subdit Tipikor Direktorat Reserses Kriminal Khusus Polda Bali terhadap kasus korupsi pipanisasi yang melibatkan Bupati Wayan Geredeg berjalan lambat. Penyidikan yang tidak kunjung tuntas sejak Oktober 2011 hingga saat ini dinilai tidak lazim dalam proses penyelidikan dan penyidikan jika berpedoman pada Perkap Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana. Penyidik mengalami beberapa hambatan dalam menuntaskan kasus ini, yaitu: membutuhkan lintas koordinasi, perbedaan persepsi antara penyidik dan penuntut umum terkait kerugian negara, serta perbedaan sistem kerja yang dijalankan masing-masing unsur penegak hukum.
Selain beberapa hambatan tersebut, beberapa faktor lain juga mempengaruhi lambatnya proses penyidikan yang dijalankan oleh Subdit Tipikor diantaranya : sumber daya manusia yang belum memenuhi kebutuhan dari segi kuantitatif (jumlah personil yang masih kurang) maupun kualitatif (pendidikan dan keterampilan terbatas), penerapan metode manajemen penyidikan yang tidak sesuai, kesejahteraan personil, serta komitmen pimpinan Polri dan jajarannya.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah proses penegakan hukum yang dijalankan Subdit Tipikor Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Bali terhadap penyidikan tindak pidana korupsi pipanisasi berjalan lambat karenanya Polri perlu menjalin komunikasi dan koordinasi yang lebih intensif antar instansi yang terlibat (Kejaksaan, BPKP, KPK, Tim Ahli) untuk memperlancar dan mempercepat proses penyidikan. Selain itu perlu ada kesepakatan antara penyidik dan penuntut umum dalam pemenuhan syarat materiil dan formil dalam proses penegakan hukum tindak pidana korupsi, salah satunya terkait kerugian negara.

This thesis discussed the legal processes carried out by Bali's Police Special Crimes Investigation Directorate in particular Sub-Directorate III, which oversees corruption crimes, in the corruption case of a regional head (a case study of the pipelines corruption case involving Bali's Karangasem Regent, I Wayan Geredeg). The research lays its focus on the slow-handling of the investigative processes carried out by the directorate's investigators. The research uses qualitative approach, by employing several methods of data collection techniques in the field, such as interviews with related individuals and documentation study. The process of data collection is geared towards finding out why the investigation ran at a slow-paced speed and what are the causes or factors that contributed to such condition.
The research's findings confirmed the slow-paced nature of the investigation. The never-ending investigation that started in October 2011 until the present time communicated a sense of abnormality in particular against the backdrop of the national police's head regulation number 14 issued in 2012 on the management of a criminal act. Investigators seemed to encounter several obstacles in solving the case such as the need for a cross-coordination, difference in perceptions between the investigators and the prosecutors in determining the amount of state liabilities or state loss and the difference found in the work ethics of each member of the law enforcers.
In addition to the obstacles mentioned above, other factors also seemed to contribute to the slow-paced nature of the investigation by the directorate, including factors such as the need for more human resources both in quantitative terms and qualitative terms (several investigators are known to have limited educational backgrounds and skills), the application of an inappropriate or unsuitable investigative management method, investigator's welfare issues and the police's own commitment in solving the case.
The research concludes that the legal processes undergone by investigators from the directorate in the pipelines corruption case were lagging behind because the police needed to establish a more intensive communication and coordination strategy between the related law enforcement agencies such as the prosecutors office, term of experts, the corruption eradication commision and the development finance comptroller (BPKP) to hasten the investigative process. More over there need to be an agreement in place between the investigators and the general prosecutors in meeting the material and formal prerequisites in the legal process of a corruption case, for example in determining the amount of state liabilites or loss.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>