"Pada umumya prestasi yang diperoleh siswa dalam satu kelas tertentu, akan sangat bervariasi dan tidak jarang terjadi perbedaan yang besar antara nilai yang tertinggi dan yang terendah. Keadaan tersebut dapat terjadi akibat kelas yang heterogen atau terdiri dari siswa yang pandai dan tidak pandai. Keadaan kelas yang demikian juga dapat menyulitkan guru dalam mengajar, karena harus mengulang instruksi apabila ada siswa yang belum paham pada materi yang diajarkan (Slavin, 1994).
Berdasarkan hal tersebut, maka ada beberapa sekolah yang menerapkan suatu kebiijasanaan untuk mengelompokan siswa berdasarkan kecerdasan/ ability grouping (Hobson, 1969 dalam Reschly & Kicklighter, 1988) ataupun prestasi belajar siswa/achievement grouping (Marshall, 1935 dalam Reschly & Kicklighter, 1988). Dengan pengelompokan ini akan ditemukan adanya kelas unggulan dan non unggulan. Pengelompokan siswa seperti ini umum dilakukan pada tingkat sekolah menengah (Slavin, 1994). Oleh karena itu penelitian ini mengambil sampel siswa SMP. Dari beberapa sekolah di Jakarta yang berhasil diketahui, sistem yang dipakai adalah achievement grouping.
Pengelompokan siswa ini bertujuan untuk mengurangi rentang nilai yang terlalu besar dalam suatu kelas serta meningkatkan efisiensi dan mutu pendidikan (Lindgren, 1962). Para gurupun dapat menyesuaikan metode pengajaran dengan keadaan siswanya, sehingga siswa diharapkan dapat mencapai prestasi yang optimal.
Meskipun demikian, pengelompokan tersebut dapat menimbulkan masalah, baik berupa efek sosial dari keadaan itu, atau akibat dari cara mengajar guru yang berbeda pada masing-masing kelas. Masalah tersebut antara lain, siswa kelas unggulan yang mempunyai keyakinan bahwa keberadaan bersama teman yang juga pandai akan menghalangi untuk menjadi yang terbaik di kelasnya. Meskipun demikian, menurut Beck dan Austin (1970 dalam Worell & Stiwell, 1981), orang yang prestasinya tinggi, biasanya mempunyai keyakinan bahwa usaha serta kemampuannyalah yang akan menentukan tinggi atau redahnya prestasi yang diperoleh. Pengatribusian tanggung jawab terhadap kesuksesan atau kegagalan pada faktor internal atan eksternal disebut locus of control. Sedangkan masalah lain yang dapat timbul adalah siswa non unggulan yang merasa rendah diri dan menilai dirinya negatif karena memperoleh prestasi yang rendah dan ditempatkan di kelas non unggulan tersebut. Penilaian serta perasaan yang timbul dari persepsi seseorang tentang harga dirinya disebut self esteem.
Jika didasarkan pada konsep di atas, maka pada siswa kelas unggulan dan non unggulan akan terdapat perbedaan locus of control dan self esteem, dimana locus of control siswa kelas unggulan lebih internal, dan self esteem siswa kelas unggulan akan lebih tinggi dari siswa kelas non unggulan.
Untuk mengetahui perbedaan antara dua variabel (locus of control dan self esteem) pada ke dua kelas tersebut, digunakan alat Intellectual Achievement Responsibility (JAR) untuk mengukur locus of control dan Culture Free Self Esteem lnventory for Children dari Battle untuk mengukur self esteem, dimana sebelumnya terlebih dahulu diberikan tes Standard Progressive Matrices (SPM) untuk mengontrol faktor kecerdasan. Data yang diperoleh diolah dengan teknik Analysis of Covariance (ANCOVA), dangan kecerdasan sebagai kovariabel.
Dari pengolahan data itu diperoleh hasil yang tidak signifikan untuk perbedaan locus of control dan self esteem pada siswa kelas unggulan dan non unggulan. Untuk keseluruhan subyek, locus of control cenderung ke arah internal dan self esteem cenderung tinggi. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa sistem achievement grouping ternyata cukup baik untuk diterapkan dan tidak menimbulkan masalah pada kedua variabel yang diteliti, meskipun mungkin tidak demikian adanya untuk variabel lain.
Berdasarkan hasil penelitian, saran terutama ditujukan pada alat yang digunakan, yaitu dalam teknik jawaban, yang sebaiknya menggunakan skala Likert, kemudian juga meminimalkan efek social desirability pada item serta dilakukannya uji coba sebelum penelitian, agar dapat mengganti item yang tidak baik."