Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 185516 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Anton Wibisono
"Prasasti merupakan salah satu peninggalan tertulis dari masa lampau. Sebagai sebuah dokumen tertulis, prasasti menyimpan berbagai macam informasi yang sedikit banyak dapat memberikan gambaran kepada kita mengenai kehidupan manusia pada masa prasasti itu dibuat. Sebuah prasasti biasanya diterbitkan atas perintah seorang raja atau pejabat istana mengenai keputusan mereka mengenai suatu perkara. Oleh karena sifatnya yang resmi, yaitu sebagai dokumen yang diberikan oleh istana, prasasti memiliki format tertentu yang lazim dijumpai, seperti memiliki seruan pembukaan, mencantumkan unsur penanggalan, mencantumkan nama raja atau pejabat yang menerbitkan prasasti itu, mencantumkan nama-nama pejabat yag menerima perintah, dan seterusnya."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2007
S11515
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Alexander Arifa
"Pada isi prasasti sima dari masa Jawa Kuna terdapat sapatha atau baris kutukan, yakni sebuah wacana yang berisikan seruan sumpah kepada dewa-dewa atau roh-roh agar memberikan perlindungan terhadap tanah sima yang ditetapkan oleh raja, beserta mantra kutukan bagi orang-orang yang berniat jahat terhadap tanah tersebut. Penelitian ini meneliti mengenai beberapa hewan yang disebutkan dalam sapatha prasasti sima sebagai ancaman bagi siapa yang melanggar, khususnya pada prasasti-prasasti sima yang berasal dari Kerajaan Mataram Kuno pada awal abad X Masehi. Penyebutan hewan dalam sapatha merupakan fenomena yang tidak biasa, jarang ditemui, namun ada di beberapa prasasti. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi ragam hewan yang disebutkan dalam bagian sapatha prasasti sima awal abad X Masehi, mengetahui alasan dipilihnya hewan-hewan tersebut, dan mengetahui kemungkinan adanya keterkaitan antara kuasa raja dengan penghukuman melalui fauna dalam sapatha prasasti sima. Metode yang digunakan dalam penelitian: tahap pengumpulan data yang merupakan tahap pengumpulan semua sumber data yang dibutuhkan, tahap pemrosesan data yang merupakan tahap pemrosesan dan penganalisisan semua data, dan tahap interpretasi data yang merupakan tahap pengaitan semua data yang sudah diproses dengan konsep pengetahuan yang diusulkan, yakni teori kekuasaan. Penelitian ini menunjukkan bahwa hewan dalam sapatha merupakan hewan buas serta dianggap suci. Tujuannya sebagai pemberat bahwa sapatha adalah alat kontrol sosial beserta cerminan kuasa raja yang dilakukan raja dengan menggunakan pendekatan ketakutan berbasiskan pengendalian pikiran atas lingkungan sekitar ditambah dengan pengetahuan beberapa binatang yang telah dikenal dalam konsep religi Hinduisme serta kebudayaan lokal yang dipakai agar tidak ada pihak yang berbuat diluar perintah raja.

On sima inscriptions from Ancient Javanese era, there is sapatha or cursing passage which is a small paragraph that consists of oaths to gods and deities to protect the land of sima that had been established by the king, along with spells or curse that was addressed to wrongdoers. This research discusses about some animals that were mentioned in sapatha of the sima inscriptions, especially incriptions that dated from Ancient Mataram Kingdom on early 10th Century AD. This was quite rare and uncommon phenomenon but were available in some inscriptions. Aims of this research are to identify the variety of animals that is mentioned on Sapatha of Sima Inscriptions from Ancient Mataram Kingdom on early 10th Century AD, to discover the reasons behind the chosen animals, and to know the possibility if there was a connection between the power of king and the chosen animals. Research method that is used: first, data-gathering step which collects all the data needed, data-processing step which analyzes all data that has been collected, data-interpreting step which all the data that has been analyzed be interpreted under the power-relation concept. The result of this research shows that animals are categorized as wild and sacred animals. The aim mentioning these animals is to emphasize that sapatha is a tool for controlling society and showing king’s power by using fear-based on mind-control over the environment approach added with the knowledge of the animals on Hinduisme and local belief concept so that no one will disobey the king"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2021
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nasution, Isman Pratama
"Studi ini menjelaskan ciri-ciri Masjid Kerajaan di Indonesia dari abad ke-16 hingga awal abad ke-20 Masehi melalui kajian arsitektural dan arkeologis terhadap komponen bangunannya. Masjid Kerajaan adalah sebuah konsep yang bermakna bangunan tempat ibadah sultan shalat berjamaah bersama rakyatnya yang berlokasi di ibukota kerajaan Islam yang merupakan representasi sultan dan sekaligus menjadi identitas kerajaan yang bercorak Islam di masa lalu.
Melalui kajian arsitektural dan arkeologis, beberapa masjid kerajaan di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Maluku Utara, dikaji dengan memperhatikan konteks ruang (spatial) dengan pusat pemerintahan (istana), alun-alun, pasar, makam dan bangunan lainnya. Disamping itu, dikaji juga aspek relasi kuasa masjid dengan kraton sebagai pusat kuasa, untuk mengungkapkan representasi kuasa di dalam masjid, dengan memperhatikan gaya bangunan dan ritual.
Hasil yang diperoleh memperlihatkan masjid-masjid kerajaan di Indonesia memiliki ciri-ciri khusus yang ditampilkan (display) dalam bangunannya dan praktik ritual lokalnya yang berbeda dengan masjid non kerajaan dan masjid di luar Indonesia sebagai suatu strategi dan resistensi terhadap relasi kuasa Islam global di masa lalu."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2015
D2120
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kayato Hardani
"Penempatan prasasti merupakan suatu cara, proses dan perbuatan secara sadar maupun nirsadar dari sang penulis prasasti yang dapat berupa aktifitas meletakkan teks prasasti dalam suatu ruang (posisi dan lokasi) tertentu yang dilatarbelakangi oleh logika, ide, gagasan dan konsep tertentu. Peran penulis prasasti di dalam menulis/memahatkan prasasti di dalam batur candi perwara dan stupa perwara menjadikan informasi yang ia sampaikan menjadi suatu bekuan peristiwa di masa lampau. Ia mempunyai kewajiban menyampaikan ide gagasan kepada pembaca atau masyarakat pendukung budaya candi melalui media yang memuat tanda (aksara dan bahasa) yang bisa dipahami bersama-sama oleh suatu komunitas atau masyarakat pada abad ke-9 Masehi. Sang penulis prasasti yang diasumsikan adalah para bhiksu memiliki ciri personal sebagai cerminan kebahasaan masyarakat pada masanya, segala proses penulisan prasasti yang dibuat oleh bhiksu tersebut tidak mungkin menggambarkan realita masa itu secara keseluruhan, oleh karena itu pemahaman terhadap prasasti tidak hanya dibatas pada kata saja melainkan kata dalam konteks. Konteks tersebut adalah penempatan prasasti tersebut di dalam satu konteks keruangan yakni relasi-relasi yang terbentuk pada satu halaman kompleks percandian Buddha. Relasi-relasi tersebut dapat diungkapkan kembali maknanya menjadi narasi sejarah yang logis dengan menggunakan pendekatan strukturalisme yang terbingkai dalam perspektif agama Buddha Mahayana abad ke-9 Masehi. Pendekatan strukturalisme Levi-Strauss adalah untuk menemukan struktur dan memberi makna dengan tafsir di luar stuktur atas suatu fenomena budaya. Prasasti pendek yang ditempatkan di candi perwara dan stupa perwara dapat dipahami sebagai fenomena budaya yang mengandung logika, ide dan gagasan dari sang penulis prasasti ketika memulai memahatkan tulisan di batu andesit komponen candi sebagai media penyampaian informasi. Melalui pendekatan strukturalisme Levi-Strauss terlihat bahwa penempatan di dalam posisi yang sejajar dan seimbang memberi asumsi bahwa kesemua prasasti berada di dalam relasi sintagmatik untuk makna yang sama meskipun tidak dalam bentuk sinonim. Kedekatan jarak penempatan prasasti dapat dimaknai sebagai kedekatan di dalam struktur birokrasi maupun kekerabatan. Simpul penting formula dharmma di dalam satu baris candi perwara terlihat dengan pola yang berulang yakni kehadiran Çri Mahàràja yang senantiasa diapit oleh pejabat kerajaan dan pejabat daerah watak.

Inscription placement is a way, process and action consciously and unconsciously from the author of the inscription which can be in the form of activities putting the inscription text in a certain space (position and location) against the background of a certain logic, ideas, ideas, and concepts. The role of the writer of the inscription in writing / carving inscriptions in the batur (base) of perwara temples and ancillary stupas makes the information he presents becomes a record of events in the past. He should convey ideas to readers or the people who support the culture of the temple through media that contain signs (characters and languages) that can be understood together by a community or society in the 9th century AD. The writer of the inscription which is assumed is that monks have personal characteristics as a reflection of the language of society at the time, all the process of writing inscriptions made by the monk is not possible to describe the reality of the period as a whole, therefore understanding inscriptions is not limited to words but words in context. The context is the placement of these inscriptions in a spatial context, namely the relationships formed on a complex page of Buddhist temples. These relations can be re-revealed to be a logical historical narrative by using a structuralism approach framed in the perspective of 9th century Mahayana Buddhism. Levi-Strauss's structuralism approach is to find structure and give meaning to interpretations outside the structure of a cultural phenomenon. Short inscriptions placed in perwara temples and ancillary stupas can be understood as cultural phenomena that contain logic, ideas and ideas from the writers of inscriptions when they began sculpting writing on andesite stone components of the temple as a medium for delivering information. Through Levi- Strauss's structuralism approach, it is seen that placement in equal and balanced positions assumes that all inscriptions are in syntagmatic relations for the same meaning even though they are not synonymous. The proximity of the placement of the inscription can be interpreted as closeness in the bureaucratic structure and kinship. The important knot of the dharmma formula in a row of perwara temples is seen with a repetitive pattern, namely the presence of Çri Maharaja, which is always flanked by royal officials and regional officials."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2019
T53613
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Dwi Cahyono
"Seni pertunjukan mencakup tiga cabang utama, yaitu musik, tari dan teater, yang dalam pelaksanaannya ketiganya tidak senantiasa terpisah dan sebaliknya terdapat hubungan fungsional di antaranya dalam suatu komposisi yang integral. Acapkali seni pertunjukan terkait dan terintagrsikan dengan permainan, baik permainan untuk bermain atau untuk bertanding. Seni musik Jawa Kuna abad ke-10 hingga 18 Masehi memperlihatkan keragaman baik jenis maupun bentuknya, yang secara garis besar bisa dikelompokkan menjadi waditra kelompok crodophone, uerophone, nlemhrapgone dan idiophone. ('rodophone (waditra berdawai) dapat dirinci menjadi; (1) crodophune sederhana, yang terdiri dari berbagai bentuk har-either, dan (2) c/mrdophon terpadu, yang terdiri dari lute dan harps. Ada tiga bentuk chordophone terpadu yang dapat diketahui dari relief candi, yaitu menyerupai tuila di India atau menyerupai mufti /deli atau lebih mendekati muhuwati-wino di Calcuta. Ketiganya bisa dihuhungkan dengan /ma/lawu wr'na yang ditandai oleh resonator tambahannya berbentuk buah lab(' (luhu, lawu). ('hordophone terpadu yang berupa lute memiliki pula beragam bentuk seperti ruwanahasta-wnu, winipanci, kacapi dan mungkin anawat yang menyerupai site r. Pada masa Jawa Kuna rawahanasta-wina telah dibuat olch orang Jawa sendiri. Hal ini terbukti oleh adanya pembuat waditra ini (pandui aruwanaxta). Terdapat dua tope dari waditra ini, salah satu mungkin merupakan pengaruh dari Cina..."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1995
T37494
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Galang Setiawan Fauzie
"Pada beberapa prasasti batu di Museum Nasional Jakarta dijumpai ornamen. Ornamen tersebut memiliki bentuk dan jenis yang bervariasi. Ornamen banyak ditemukan pada prasasti yang dikeluarkan oleh raja. Raja-raja tersebut antara lain raja yang memerintah pada masa Mataram Kuna. Setiap raja memiliki ciri khas ornamen yang berbeda-beda. Hal itu membawa persepsi bahwa setiap ornamen pada prasasti memiliki arti yang berbeda sesuai dengan tujuan raja pada waktu itu. Penelitian ini mencoba untuk merekonstruksi arti ornamen pada prasasti yang dikeluarkan oleh raja, selain memiliki arti yang tampak juga memiliki arti lain berdasarkan fungsi dan keletakkannya.

AbstractIn some stone inscriptions in Jakarta National Museum found ornaments. The ornament has a variety of shapes and types. Ornaments are mostly found on inscriptions issued by kings. These kings include the kings who reigned during the time of Mataram Kuna. Each king has the distinctive characteristics of different ornaments. It brings the perception that every ornament on an inscription has a different meaning according to the purpose of the king at that time. This research tries to reconstruct the meaning of ornaments on the inscriptions issued by the king, in addition to having visible meanings also have other meanings based on their function and laying."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Khairiyah
"Skripsi ini mencoba mengetahui sejauh mana penggunaan kosakata Melayu yang digunakan dalam prasasti-prasasti berbahasa Melayu Kunaodi Jawa Tengah abad VII-IX Masehi telah bercampur dengan perbendaharaan kata Sanskerta dan Jawa Kuno. Data yang digunakan adalah 6 buah prasasti berbahasa Melayu Kuno sebagai data primer dan 6 buah prasasti berbahasa Jawa Kun yang sejaman dengan prasasti - prasasti Melayu Kuno sebagai data sekunder. Setelah dilakukan penelitian atas kosakata yang terdapat, diketahui bahwa meskipun prasasti-prasasti itu disebut prasasti berbahasa Melayu Kuno, tetapi dalam kenyataannya tidak sepenuhnya dari bahasa Melayu Kuno, melainkan merupakan kumpulan dari kosakata Sanskerta dan Jawa Kuno. Tetapi ada ciri menonjol yang memperlihatkan pengaruh kuat dari bahasa Melayu Kuna. Hasil yang diperoleh dari skripsi ini diketahui bahwa pemakaian kosakata Melayu Kuno pada prasasti berbahasa Melayu Kuno di Jawa Tengah prosentasenya berkisar antara 28,35 % -75 %. Kosakata Sanskerta antara 6,67 % - 59.84 %, dan kosakata Jawa Kuno antara 1,57 % - 26,66 %. Sedang_kan kosakata campurannya antara 0 %- 25 %. Sementara dari 6 prasasti berbahasa Jawa Kuno yang dipakai sebagai data pembanding, pengaruh kosakata Melayu Kuna prosentasenya antara 5,62 % - 13,43 %. Berdasarkan penelitian terhadap mama-nama tokoh pada semua prasasti tersebut, dilihat dari gelar dan kata sandang di depan namanya dapat pula menunjukkan status sosial dalam masyarakat maupun pemerintahan. Sedangkan terhadap nama-nama wilayah/tempat yang disebut dalam masing-masing prasasti, nama-nama tempat yang ada pengaruh Melayu Kunonya dapat menunjukkan bahwa nama tersebut diberikan oleh orang Melayu. Di antara nama tempat itu ada yang sekarang masih menjadi nama sebuah desa. Di duga bahwa pada abad VII-IX Masehi itu telah ada sekelompok orang dari tanah Melayu yang bermukim di daerah Jawa Tengah."
Depok: Universitas Indonesia, 1993
S11987
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tommy Soerjo Poetranto
"Kajian Seni Pertunjukan pada Masyarakat Jawa Kuna Berdasarkan Sumber Prasasti dan. Data Arkeologis Abad ke-9 Hingga 10 Masehi. Membahas mengenai seni pertunjukan pada abad ke-9 hingga ke-10 sebagai suatu sistem, yang memiliki komponen-komponen yang saling mendukung. Seni pertunjukan sebagai suatu sistem terdiri atas bagian-bagian atau unsur-unsur yang secara bersamaan menyusun dan mewujudkan sebuah karya seni). Kesenian terdiri atas berbagai komponen atau bagian yang diolah, ditata, diorganisasikan, dikomposisikan, digabung atau disatupadukan sehingga memiliki kebulatan yang menarik, memiliki kedirian atau kepribadian, bermakna dan berfungsi dengan baik. Komponen sistem seni pertunjukan dibagi dalam lima bagian yaitu, seniman, penonton, hasil seni, alat bantu berkesenian, serta konsep. Penggambaran mengenai komponen seni pertunjukan cukup jelas sehingga dapat terlihat bagaimana hubungan antar komponen pembentuknya. Hubungan antar komponen seni pertunjukan digambarkan dengan penggambaran diagram hubungan emosi keagamaan yang dibuat oleh Koentjaraningrat, karena antara komponen satu dengan komponen lain saling mengikat sehingga kehilangan satu komponen menyebabkan ketidaksempurnaan dari sistem seni pertunjukan abad ke-9 hingga ke-10."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2006
S12036
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Riri Muthiara
"Artikel ini membahas penelitian tentang ornamen yang terdapat pada masjid kuno di Kerinci pada abad ke 18 sampai awal abad ke 20 berdasarkan kajian identitas budaya. Di Kota Sungai Penuh dan Kabupaten Kerinci terdapat bangunan-bangunan masjid kuno. Masjid kuno tersebut yaitu Masjid Kuno Lempur Mudik, Masjid Kuno Lempur Tengah, Masjid Keramat Pulau Tengah dan Masjid Agung Pondok Tinggi yang menjadi bukti identitas budaya masyarakat pada masa sekarang. Metode penelitian yang dilakukan adalah dengan melakukan observasi lapangan dan studi literatur, kemudian dilakukan pengolahan data dilakukan dengan membandingkan komponen ornamen yang terdapat pada masjid-masjid kuno Kerinci serta ornamen masjid Kerinci dengan ornamen masjid di Minangkabau sezaman. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana ornamen sebagai sebuah material culture digunakan oleh masyarakat sebagai salah satu indikator pembeda identitas pada masa lalu, ditemukan kembali pada bangunan keagamaan masyarakat Kerinci. Kemudian, dijadikan sebagai reaksi resistensi terhadap masuknya kebudayaan asing ke wilayah tersebut. Penelitian ini menggunakan metode analisis komparatif dan studi representasi identitas budaya Stuart Hall dalam interpretasi. Hasil penelitian pada ornamen masjid kuno di Kerinci menunjukkan, 1) ornamen masjid kuno Kerinci menjelaskan status sebuah masjid di tengah-tengah masyarakat; 2) ornamen masjid kuno Kerinci merepsesentasikan sistem hirarki; 3) ornamen masjid kuno Kerinci menunjukkan terjadinya resistensi terhadap kebudayaan asing yang kemudian hasil dari resistensi tersebut direpresentasikan menjadi sebuah identitas yang berlaku ditengah-tengah masyarakat.

This paper discusses research on ornaments of ancient mosques in Kerinci in the 18th to early 20th century based on the study of cultural identity. There are ancient mosque buildings in Sungai Penuh City and Kerinci Regency. The ancient mosques are the Lempur Mudik Mosque, the Lempur Tengah Mosque, the Keramat Pulau Tengah Mosque and the Agung Pondok Tinggi Mosque, which are evidence of the cultural identity of the community today. The research method is data collection by conducting field observations and literature studies. Then data processing is carried out by comparing the ornament components found in the ancient Kerinci and Kerinci mosque ornaments with mosque ornaments in Minangkabau contemporaries. This research aims to discover how ornament as a material culture used by the community as one of the indicators of distinguishing identity in the past was rediscovered in the religious buildings of the Kerinci community. Then, it is used as a resistance reaction to the entry of foreign cultures into the region. This research uses the comparative analysis method and Stuart Hall's cultural identity representation study in interpretation. The results of the research on ancient mosque ornaments in Kerinci show, 1) Kerinci ancient mosque ornaments explain the status of a mosque amid society; 2) Kerinci ancient mosque ornaments represent a hierarchical system; 3) Kerinci ancient mosque ornaments show resistance to foreign cultures which then the results of the resistance are represented as an identity that applies amid society."
2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Mokhammad Lutfi Fauzi
"Kebudayaan dapat diterjemahkan sebagai keseluruhan sistem ide, tindakan serta hasil dari tindakan manusia, yang saling berkait satu dengan lainnya. Salah satu unsur kebudayaan tersebut adalah sistem agama, baik yang kini masih hidup maupun telah punah, yang dapat diamati melalui peninggalannya. Dengan demikian, agama sebagai salah satu unsur kebudayaan, khususnya yang pernah ada pada masa lampau merupakan salah satu jelajah studi arkeologi di pandang dari sudut kebudayaan (Nurhadi Magetsari, 1995:1).
Sutjipto Wirjosuparto (1964: 6-7) menyatakan bahwa kebudayaan Indonesia Kuna banyak dijiwai atau diliputi oleh suasana keagamaan. Oleh Karena itu, kiranya tepat pendapat P.J. Zoetmulder (1965:327) yang menekankan pentingnya memahami agama pada rnasa tersebut sebagai kunci untuk memahami kebudayaannya. Pendapat di atas, sesuai dengan fakta banyaknya peninggalan arkeologi dari masa Indonesia Kuna yang terbentang dari abad V hingga XVI Masehi, baik berwujud bangunan peribadatan, maupun area-area yang bernafaskan agama Hindu maupun Buddha. Wujud peninggalan tersebut seringkali dipandang sebagai `buah' dari hubungan budaya antara Indonesia dan India yang diperkirakan terjadi secara intensif sejak abad II Masehi Bosch, 1983:11. Dengan demikian, aktivitas pemujaan terhadap dewa-dewa Hindu maupun Buddha yang tersimpul di dalam berbagai bentuk peninggalan pada masa Indonesia Kuno merupakan wujud dari hubungan kebudayaan antara Indonesia dan India pada masa itu.
Dalam kebudayaan India, Dewa Wisnu telah muncul sejak jaman Veda, seperti yang dinyalakan di dalam syair-syair (saiithita) Veda meskipun kedudukannya masih rendah, setara dengan kelompok Dewa Aditya. Kepercayaan terhadap sifat-sifat Dewa Wisnu pada masa tersebut tumpang tindih dengan dewa-dewa lainnya. Misalnya, Dewa Wisnu dipercayai memiliki sifat-sifat Dewa Surya dan Indra. Sifat Dewa Surya pada Dewa Wisnu dipersonifikasikan dengan energi matahari yang menyinari dunia dan telah mengunjungi tujuh bagian dunia, serta mengedari dunia dengan tiga langkahnya (irivikrama). Dengan tiga langkahnya itu, Wisnu dianggap sebagai penakluk seluruh alam semesta dan dianggap sebagai dewa perang yang gagah berani berasal dari `pemberian' sifat Dewa Indra. Justru melalui kepercayaan terhadap Wisnu yang menjalankan triwikrasna menjadikannya terkenal hingga masa Hinduisme, karena dianggap melindungi manusia dari bahaya dan menaklukkan seluruh alam semesta baik di darat, air maupun angkasa.
Kedudukan Dewa Wisnu dalam konsepsi Trimurti (§iwa, Brahma serta Wisnu) dipandang sebagai perwujudan dari Brahman yang menyandang aspek pemelihara (sthiti), Dewa Siwa menyandang aspek perusak dan Dewa Brahma menyandang aspek pencipta. Di antara ketiga dewa tersebut yang seringkali dipuja sebagai dewa tertinggi oleh penganutnya adalah Dewa Siwa dan Dewa Wisnu, sedangkan Dewa Brahma tidak banyak dijumpai. Fenomena pemujaan terhadap Dewa Wisnu di India telah muncul sejak abad II SM dan berpengaruh besar di India selatan pada abad XI Masehi (Gonda, 1954:228-229). Bagi penganut agama Waisnawa Dewa Wisnu ditempatkan sebagai dewa tertinggi, sedangkan keberadaan dewa-dewa lainnya dipandang sebagai aspek Nya, seperti disebutkan dalam Bhugavurlgita (X-20-41) (Basham, 1956:300-301; Gonda, 1954:238; 1970:88). Dengan demikian, penganut Wisnu tidak menolak keberadaan Dewa Sawa dan Brahma, akan tetapi kepercayaan terhadap kedua dewa tersebut dipandang sebagai aspek dari Wisnu.
Dalam agama Hindu, lazimnya Dewa Wisnu dipandang memiliki tugas khusus sebagai dewa pelindung keselamatan manusia dan alam semesta (Gonda, 1954:120). Sebagai dewa pelindung (bhatr-) seperti disebutkan di dalam beberapa kitab Purana, Wisnu terjun langsung ke dunia dalam wujud aubtara. untuk menyelamatkan kebaikan, memelibara dunia dari kebudayaannya, menghancurkan pelaku kejahatan, serta menegakkan dharma di dunia (Gonda, 1954:125). Di India yang paling menonjol adalah dasaufrtara yang berkaitan dengan tugas Wisnu menghancurkan berbagai rintangan perputaran dunia di dalam 10 macam peristiwa.
Pengarcaan Wisnu berdasarkan naskah-naskah agama Waisnauh, seperti terdapat di dalam kitab-kitab Sarihita dan Agarna, secara umum diwujudkan di dalam tiga sikap, yaitu berdiri (sthanaka-murti), duduk (asana-mirti), serta berbaring (sayana-miirti). Secara arkeologis ketiga sikap area tersebut dapat dijumpai pada beberapa kuil Wisnu di India Selatan yang memiliki tiga relung utama pada bangunan induknya, seperti kuil Vaikunthapperumal di Conjeevaram, Kudal-alagar di Madura, Tirukkottiyur dan Mannakoyil di Tinnevelly. Dari ketiga sikap area tersebut masing-masing ditempatkan pada relung bawah, tengah, serta relung atas (Rao, 1, 1968:77-79). Selain itu, dalam pengarcaan Dewa Wisnu yang di tempatkan pada kuil khusus agama Waisnawa, Wisnu didampingi oleh satu atau dua sbkti-nya, yaitu Laksmi dan atau Sri.
Kaitannya dengan salah satu kewajiban raja sebagai pelindung rakyatnya, terdapat keterkaitan erat dengan sifat-sifat Wisnu yang senantiasa melindungi manusia dari segala perilaku kejahatan. Taittiriya Brahma (1,7,4) meyebutkan bahwa Wisnu menyertai semua raja, dan penyamaan diri seorang raja dengan Wisnu dipercayai dapat menaklukkan dunia (wisnor eva bhuivenzwnl lokan abhijayati) (Gonda, 1954:164). Jalan penyamaan raja dengan sifat kedewaan Wisnu antara lain dapat dilakukan melalui upacara abhiseka- dari Dewa Wisnu."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2000
T1762
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>