Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 143933 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dwi Susatyo Adi Nugroho
"Problem kesenjangan merupakan salah satu problem yang menjadi problem dari rumusan teori keadilan yang hadir pada beberapa dekade belakangan ini. Konsepsi keadilan muncul sebagai rumusan solusi permasalahan kesenjangan dan sekaligus sebagai teori evaluasi atas problem kesenjangan tersebut. Para pemikir keadilan seperti Rawls, Dworkin dan Sen mengurai problem kesenjangan tersebut.Dalam pandangan Amartya Sen, konsepsi keadilan berubah, pengujian atas kondisi inequality yang ada tidak lagi dilihat dari apakah seseorang itu memiliki primary goods ataupun resource, atau bahkan yang kaum libertarian tekankan pada liberties dan rights. Menurutnya pandangan yang ada tentang bagaimana melihat kondisi tidak setara tidak bisa hanya mengunakan salah satu dari variabel basal rights yang harusnya diterima oleh seluruh masyarakat. Maka sebagai penganti dari hal itu Sen mengemukakan teorinya tentang capability to function, dimana kesetaraan harus dilihat dari sejauh mana masyarakat dapat menggapai apa yang ia rencanakan dan inginkan dalam hidupnya. Sen mengedepankan nilai kesejahteraan bukan hanya dilihat dalan kepemilikan atas suatu goods atau yang ia sebut dengan means to freedom, tetapi sejauh mana anggota masyarakat memiliki kesempatan untuk mengejawantahkan kebebasannya (the extent of freedom). Sejauh mana individu dapat mengkonversikan apa yang ia miliki untuk meraih sesuatu yang ia inginkan menjadi ukuran bahwa sistem penilaian keadilan berjalan. Sen dalam konsepsinya dalam teori keadilan memfokuskan evaluasi kesenjangan kepada persamaan atas akses sumber daya dan kepada kefungsian seseorang. Sen menawarkan cara pandang baru dalam mengatasi hal ini. Pendekatan yang digunakan dalam mengatasi problem ketidaksetaraan untuk mencapai kesetaraan adalah pendekatan partikular atas kesetaraan dalam penilaian keuntungan individu berdasarkan the freedom to achieve, yang berfokus terhadap kemampuan atas kefungsian (capability to function) individu. Pendekatan kapabilitas merupakan perhatian atas kebebasan individu untuk meraih sesuatu. Ketersediaan alternatif-alternatif yang dimiliki individu dalam usahanya meraih well-being memperlihatkan pendekatan kapabilitas yang secara umum peduli pada kebebasan individu untuk meraih sesuatu (freedom to achieve) dan kemampuan individu atas kefungsian (capability to function) secara partikular"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2008
S16133
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Asep Muhammad Romly
"Hubungan ateisme dan kebebasan manusia merupakan tema yang selalu menjadi perdebatan dalam sejarah filsafat. Penganut atiesme sendiri terus meningkat jumlahnya. Salah satu tokoh pemikir yang memperbincangkan masalah ini adalah Karl Marx. la adalah pemikir sekaligus aktivis militan. Upaya mewujudkan teorinya menjadi praxis bukan sekedar wacana, melainkan suatu upaya nyata yang diperjuangkan bersama para pengikutnya dari masa ke masa. Disertasi ini bermaksud mengungkap gagasan Karl Marx tentang ateisme sebagai jalan bagi manusia untuk mencapai kebebasan berdasarkan teorinya tentang alienasi. Tujuannya adalah untuk mencari cara yang rasional dalam membendung bahaya atiesme dan kebebasan tanpa batas. Dalam kaitan ini penulis merumuskan pernyataan tesis bahwa ateisme bukanlah satu-satunya jalan emansipasi manusia dalam memperoleh kebebasannya. Tesis ini menegaskan bahwa ateisme bukan merupakan syarat mutlak untuk mencapai kebebasan manusia, dan teisme bukan merupakan suatu halangan bagi manusia untuk menjadi bebas."
Depok: Universitas Indonesia,
RB 000 A 385 a
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwizatmiko
"Pierre Bourdieu, dalam bukunya, Language and Symbolic Power, menunjukkan bahwa bahasa merupakan instrumen simbolik yang berhubungan dengan kekuasaan. Praktik bahasa dihasilkan oleh habitus dan selalu terjadi dalam arena berkesenjangan sosial. Bahasa sebagai praktik sosial berkaitan erat dengan kepentingan, dan pertarungan kekuasaan. Bahasa bukanlah medium yang bebas nilai dalam mengkonstruksi realitas. Bahasa sebagai satu bagian dari instrumen simbolik berperan bagi sarana praktik kekuasaan yang memungkinkan dominasi dan kuasa simbolik. Kuasa simbolik ialah kuasa yang tak nampak dengan mensyaratkan salah pengenalan (ketidaksadaran) pihak yang menjadi sasaran. Namun, kondisi kesadaran dan ketidaksadaran dapat terjadi bagi sang aktor dalam menjalankan praktik kekuasaan tersebut.

Pierre Bourdieu, in Language and Symbolic Power, argues that language is a symbolic instrument relate to power. Practice of language (utterence) produced by habitus and occurs in fields. Language as social practices relates to interests, and battle or struggle for power. Language is not value-free medium for constructing realities. Language as a part of symbolic instrumen roles as power_s main instrument to gain domination and symbolic power. Symbolic power is invisible power which can be exercised only with the complicity of those who misrecognition (unconsciousness) that they are subject to it. However, unconsciousness and consciousness both possible condition for actors.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2010
S15987
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Xemandros, Wolfgang Sigogo
"Iklan sebagai salah satu bentuk masivitas informasi, bekerja di dalam prinsip semiotik, yakni mengenai relasi tanda. Relasi tanda ini tidak lagi bersifat referensial, melainkan berupa manifestasi dari pertukaran simbolik. Kondisi ini adalah apa yang disebut sebagai hiperrealitas oleh Jean Baudrillard; suatu situasi di mana kita tidak lagi bisa membeda-bedakan status realitas. Iklan pada akhirnya bekerja di dalam prinsip hiperreal.

Advertising, as a massively form, run in the semiotics principle. This semiotics is not longer referential, but a form of symbolic exchange. This situation is what Jean Baudrillard call hyperreality; a situation which we are not able to classify the reality. Advertising, as Baudrillard thought, run in hyperreal principle."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2010
S16024
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Bunga Noladika
"Penelitian ini berupaya memberikan perspektif bare mengenai tubuh perempuan, melalui pembedahan kasus belly dance . 11211 ini dimulai ketika belly dance hadir sebagai suatu sent tari yang mendapat stigmatitasi negatif, karena kental akan sisi sensualitas tubuh perempuan. Foucault memaparkan bagaimana selama ini kuasa sangat merepresi individu sampai pada hat yang paling privat. Pendekonstruksian atas detinisi dan tcori tubuh perempuan, agar tubuh perempuan tidak berada dalam relasi Kuasa-Pengetahuan. Judith Butler melanjutkan Foucault, melalui term variabel yang cair tubuh perempuan tidak dapat dikunci dalam suatu finalitas pengertian. Kuasa tidak pernah memberikan suara dan tempat bagi hasrat perempuan, oleh karma itu kuasa selalu membungkam setiap bentuk hasrat perempuan, termasuk hasrat berseni dalam sebuah tarian. Helene Cixous dan Luce Irigaray, menjelaskan bagaimana perempuan membutuhkan tempat untuk mengekspresikan segala bentuk hasratnya. Space yang dibutuhkan perempuan, bisa tcrcapai melalui adanya jaminan dari demokrasi. Perempuan, sebagal subyck yang menu liki hak kewarganegaraan menuntut radikalisasi demokrasi. Tujuannya adalah agar hasrat dan tubuh perempuan dapat dilihat, dan disuarakan juga mendapatkan hak-hak sosio politis dan jaminan hokum publik sebagai pelindung utamanya. Demokrasi sebagai fasilitas yang dapat digunakan untuk mcrealisasikan hak-hak akan hasrat dan tubuh perempuan yang terlepas dari represi kuasa. Karena politik feminisme tidak selesai hanya pada dekonstruksi pemikiran, rnelainkan penerapan dalam dunia praksis

This research tries to make a new perspective about women's body, looking trough the belly dance case. It starts when belly dance is appear as a dancing art which is getting negative stigmatization, because of its side of sensuality. Foucault describes how relation of power can be repress the indivdual as far as privatest thing. The deconstruction to the definition and women's body theory so that the women's body is not in the relation of power-knowledge. Judith Butler continuing Foucault trough the `liquidity of variableterm so that women's body cannot be locked in the sense of finality. The Power has never been give the voice and place to the women's desire. So that the power is always silencing the every voice and place for women's desire that desire of art included. Helene Cixous and Luce Irigaray, describes how the women need a place to express every form of women's desire. Space that women needed, can be achieved only trough the guarantee of democracy. Women, as a subject who have a citizen rights strive for the radicalization of democracy. The purpose is that the desire and women's body can be looked, and voiced so that the rights of socio-political and public guarantee of law as the first barrier can he achieved. Democracy as the facility that can be used to realize the rights of the women's body and desire liberated from relation of power. Because of the feminism politic is unaccomplished just for the deconstruction of thinking, but rather to the application of the praxis world"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2008
S16050
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Renny Widjayajaati Seodjono Azwar
"Dalam disertasi ini dilaporkan hasil penelitian mengenai parodi mitos tradisional dalam drama modem Indonesia Konglomerat Burisrawa, karva N.Riantiarno yang bersumberkan pada cerita wayang, Sunibadra Laming. Berdasarkan teori semiotik, penelitian ini menjaw ab bahwa drama modern tersebut bersifat parodial yang merupakan satire atas jaman. Hasil analisis sintaksis, semantik dan pragmatik memperlihatkan bahwa terdapat penyimpangan konvensi wayang dalam drama ini. Dari analis sintaksis duumpai penyimpangan alur dan pengaluran. Sementara itu analisis semantik dan pragmatik memperlihatkan adanya penyimpangan tokoh, termasuk nilai-nilai wayang, dan latar (latar ruang dan latar tempat). Sedangkan dari hasil analisis pertunjukan dijumpai penyimpangan kostum, dekor, tata rias (balk tata rias rambut mau pun tata rias wajah) dan tata suara / ilustrasi musik. Penyimpangan-penyimpangan yang terdapat pada hampir seluruh unsur dalam drama ini merupakan parodi.terhadap kemapanan wayang. Dalam hal ini terjadi desakralisasi wayang. Unsur-unsur parodi ini digunakan pula sebagai satire masyarakat jamannya. Di balik kemapanan wayang terdapat kemapanan Orde Baru yang menjadi obyek satire. Satrie alas jaman dalam drama ini ditujukan untuk menyampaikan kritik sosial atas maraknya konglomerasi yang semakin menunjukkan kesenjangan sosial dalam masayrakat."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2002
D1642
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kuala Lumpur Dewan Bahasa dan Pustaka 1988
801.95 K 314
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Danang Budiawan
"Demokrasi liberal belakangan dianggap mampu untuk menyelesaikan pelbagai permasalahan yang timbul pada abad belakangan. Berbagai kemajuan tidak semata bersandar pada ekonomi melainkan juga dalam budaya dan kehidupan sosial manusia modern. Namun demokrasi liberal tidak selamanya tanpa cela. Ketika segalanya nyaris sempurna ternyata demokrasi meninggalkan noda dalam diri antagonisme yang ditelantarkan di ujung jalan. ANtagonisme sendiri secara ringkas dapat dikatakan merupakan dasar dari segala sesuatu. Perbedaan yang dimaknai sebagai pertentangan merupakan kondisi hakiki. Pertentangan tidak semua nyata benturan-benturan fisik melainkan juga kepentingan-kepentingan yang semakin kompleks dan melebar. Melemahnya antagonisme dalam demokrasi liberal, menyimpan kemungkinan akan bangkitnya yang totaliter dalam diri demokrasi liberal. Hal tersebut dapat terjadi karena totaliter bukan berarti pasti meniadakan kebebasan, tetapi bagaimana jika kebebasan malah dimaknai secara berlebih-lebihan serta dianggap yang paling mulia? Walaupun dapat dikatakan jauh panggang dari api terhadap kemungkinan tersebut dapat terjadi, tetapi demokrasi liberal tidak dapat menutup mata atas kemungkinan tersebut. Demokrasi menempatkan ruang kosong yang menyimpan kondisi untuk terus-menerus diisi. Tidak ada yang menetap pasti sehingga jawaban bagi kemungkinan tersebut adalah mengembalikan dan menjadikan antagonisme sebagai cawan demokrasi liberal"
Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2008
S16164
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Awang, Hashim
Kuala Lumpur Dewan Bahasa dan Pustaka 1988
801.95 A 461 k
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Atmazaki
Padang Angkasa Raya 1990
801 A 413 i
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>