Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 147452 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Eva Andriani
"Tujuan dari skripsi ini pada prinsipnya adalah untuk memberikan gambaran mengenai verba bentuk partisipium imperfektum (PI) yang dipakai sebagai keterangan adjektival, bagian nominal dari predikat nominal, keterangan keadaan, dan keterangan adverbial. Untuk mencapai tujuan tersebut, ada dua langkah yang diambil. Pertama, mencari makna PI dan makna verba asal (VA) sehingga dapat dilihat apakah makna VA masih ditemukan pada PI. Langkah kedua adalah mengubah bentuk PI menjadi bentuk verba--akar yang berfungsi sebagai verba unit (VF), sehingga diperoleh gambaran hubungan PI dengan bagian yang diterangkannya.
PI yang dapat dipakai sebagai keterangan adjektival, bagian nominal dari predikat nominal, keterangan keadaan, dan keterangan adverbial adalah PI yang mengandung makna sifat, keadaan, inkoatif, atau duratif. Namun, ada juga PI yang menggambarkan perbuatan, pergerakan, atau tingkat. Pada umumnya, makna VA masih dapat ditemukan pada PI.
PI yang mengandung makna sifat atau keadaan disebut juga adjektiva deverbal. Data yang memiliki bentuk yang sama dengan PI, namun memiliki makna yang berbeda dari makna VA disebut juga adjetiva atau adverbia 'murni.'
Hal menarik yang diperoleh dari analisis adalah untuk bentuk PI seperti - onderstaand(e), laatkomend(e), dan hardwerkend(e) - merupakan hasil gabungan adverbia dengan verba staan, komen, dan werken, tidak langsung diturunkan dari verba onderstaan, laatkomen, dan hardwerken. Di samping itu verba laatkomen dan hardwerken pun tidak ada.
Hubungan PI dengan bagian yang diterangkannya, pada umumnya adalah hubungan antara subjek (S) dan PV. Jika PV diisi oleh verba transitif, maka hubungan yang akan terjalin adalah antara S, PV, dan objek langsung (O)."
Depok: Universitas Indonesia, 1997
S15769
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Saputra Effendi Sumadinata
"ABSTRAK
Dalam bab ini berturut-turut akan dikemukakan beberapa masalah yang menjadi pusat perhatian telaah ini (1.1), tujuan yang hendak dicapai telaah serta ruang lingkup masalahnya (1.2), sumber serta korpus data yang digunakan dalam telaah dan alasan pemilihannya (1.3), garis besar analisis data yang digunakan dalam upaya mengungkapkan perilaku sintaktis dan semantis (1.4), dan organisasi penyajian hasil telaah (1.5).
Sebelum dipaparkan masalah yang menjadi pusat perhatian telaah ini, akari dikemukakan masalah penggunaan istilah yang dapat menimbulkan salah pengertian, yakni istilah adverbiaadverbial, dan kategori fungsi.
Dalam kepustakaan tata bahasa tradisional bahasa Indo
nesia lazim digunakan istilah seperti jenis kata dan jabatan kalimat. Istilah seperti kata sifat atau kata keadaan (adjektiva) dan kata keterangan atau kata tambahan (adverbia) termasuk ke dalam istilah jenis kata, sedangkan istilah seperti subjek, predikat, objek, pelengkap, dan keterangan termasuk ke dalam istilah jabatan kalimat, istilah yang mengacu kepada fungsi (kelompok) kata dalam kalimat. Akan tetapi, dalam analisis kalimat, pembedaan kedua istilah itu sering kabur dan bahkan terkacaukan. Misalnya, kata batu pada (1),
(1) Rumah itu batu.
dianggap sebagai kata keadaan karena kata itu berfungsi menerangkan kata benda rumah, dan kata cepat pada (2),
(2) Kami berjalan cepat.
dianggap sebagai kata keterangan karena kata itu berfungsi menerangkan kata kerja berjalan .Dalam kepustakaan tats bahasa Indonesia mutakhir digunakan istilah kategori kata untuk jenis kata atau kelas kata dan istilah fungsi untuk jabatan (kelompok) kata dalam kalimat. Dalam telaah ini kedua istilah itu jugs akan digunakan dengan catatan bahwa istilah kategori kata dan fungsi itu digunakan sebagaimana dimaksudkan Lyons."
1992
D342
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Wahyuningsih
"ABSTRAK
Verba smatrjet', melihat, memandang, mengawasi, menonton, nampak, awas. Vidjet, 'melihat mengalami ' , slusat', 'mendengarkan, mengikuti', ' slysat', mendengar' termasuk ke dalam verba yang memperlihatkan 'proses'. Makna proses dari semua verba biasanya tidak tergantung dari makna leksikal.
Verba smatrjet' dalam hubunganmya dengan objek memakai kata depan HA na dan kata depan B v untuk kegiatannya yang tidak lama dan mempunyai makna kegiatan yang dilakukan 'sekilas'. Sedangkan untuk kegiatan yang memerlukan waktu lama tidak memerlukan kata depan, dan mempunyai makna kegiatan yang dilakukan ' sungguh-sungguh' . Dari hasil analisis didapat ada penyimpangan yang terjadi apabi1a verba smatrjet' digunakan dalam bahasa puisi. Sedangkan penyimpangan makna dalam pemakaian verba slysat' dan vidjet', disebabkan oleh pengaruh konteks kalimat.

"
1989
S15160
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bestari Diniarti
"Ver adalah prefiks yang banyak terdapatg dalam bahasa Belanda Pirefisaasi dengan ver- mengakibatkan perubahan bentuk dan makna tersebut suatu kategori yang menjadi bentuk dasarnya. Perubahan bentuk dan makna tersebut menjadi titik tolak dalam penulisan skripsi ini ini, Untuk meneliti perubahan yang ditimbulkaan khususnva oleh verba berprefiks ver- dengan sendirinya diperlukan pula berbagai teori yang berkaitan dengan vet- khususnva teori -teori yang berasal dari Arians Van Santen (1990) tentang spesivikasi proses pembentukan kata, Dik & Kooij. tentang derivasi dan fleksi sebagai kaidah pembentukan kata yang berlaku pada verba berprefiks ver- Jan teori lalu yang berasal dari Geeit dkk (1984) yang telah) memberikan pengkategorian makna untuk verba beiprefiks ver- berdasarkan makna yang terdapat di dalamnya. Penelitian lain ternyata menunujukkan bahwa kemampuan ver- untuk berkombinasi dengan kategori verba dan adjektiva jauh, lebih besar persentasenya jika dibandingkan dengan .jumlah nomina yang lebih sedikit dan dengan demikian telah menunjukkan bahwa verba dan adjektiva .lebih produktif dari yang lain lagii pula makna yang dihasilkan pun cukup bervariasi."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1995
S15743
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Didi Sukyadi
"Klausa ing atau selanjutnya disebut klausa partisipium lepas (KPL) memiliki ciri gramatikal yang menarik untuk diteliti. Pertama, KPL dianggap tidak memiliki kala dan hubungan temporal dengan klausa induknya. Haiman (1985b: 217) mengatakan bahwa kala KPL bersifat terbuka, sedangkan Givon (1993:302) melihat KPL sebagai sebuah klausa yang memiliki ciri kefinitan rendah karena kala, aspek dan modalitasnya bersifat reduktif. Sejalan dengan Givon, Jansen dan Lentz (2001:287) juga mempercayai bahwa KPL kurang memiliki struktur internal yang lengkap baik karena ketidaklengkapan struktur sintaktis (tidak memiliki subjek) maupun morfologis (tidak memiliki kala). Kedua, Thompson (1983:45) menyebutkan bahwa KPL tidak secara eksplisit mengungkapkan hubungan logis atau temporal dengan klausa induknya. Ketiga, dari sudut pandang ikonisitas, Haiman (1985b: 217) menduga bahwa KPL dapat termotivasi baik secara ekonomis maupun ikonis sehingga statusnya tidak pasti. Dalam penelitian ini saya mengklaim bahwa karakteristik KPL sebagaimana disebutkan di atas merupakan refleksi ikonisitas KPL yang setidaknya memenuhi prinsip ikonisitas jarak (proximity iconicity) dan ikonisitas jumlah (quantity iconicity), namun kurang memenuhi prinsip ikonisitas urutan linier (Givon, 1995:47).
Ikonisitas kedekatan akan terjadi bila ada korespondensi antara kedekatan konseptual dengan kedekatan formal. Jarak antara KPL dengan klausa induknya secara formal lebih dekat daripada jarak ketika KPL diubah ke dalam struktur lengkap. Secara konseptual, KPL dengan klausa induknya dikatakan berdekatan bila antara keduanya terjadi proses subordinasi temporal (Declerck, 1991). Prinsip urutan Tinier akan terpenuhi jika posisi urutan KPL menggambarkan urutan peristiwa yang direpresentasikannya (Jakobson, 1971, Haiman, 1985b, Givon, 1985, Jansen & Lentz, 2001). Prinsip ikonisitas jumlah akan terpenuhi bila terjadi korespondensi antara jumlah satuan bahasa dan nilai informasi yang disampaikan. Jika KPL berisi informasi kurang penting (latar), sedangkan klausa induknya berisi informasi yang lebih penting (fokus), prinsip ikonisitas jumlah dapat diberlakukan. Proses pelataran dapat diungkap berdasarkan transitivitas verba klausa yang dipertanyakan. Makin transitif sebuah verba makin besar peluangnya untuk berfungsi sebagai fokus (Hopper dan Thompson, 1980 dan Thompson (1983) dan juga sebaliknya.
Korpus yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari teks naratif dan teks nonnaratif. Teks naratif berasal dari novel Moby Dick (Melville, 1851/1990), Wuthering Heights (Bronte, 1847/1998), Tom Sawyer (Twain, 1876/1993) dan Lord of the Rings (Tolkien, 1967), sedangkan teks nonnaratif berasal dari Brown Corpus dan teks resep masak. Dan kedua jenis teks itu terkumpul sekitar 1200 KPL yang kemudian diseleksi ulang menjadi sekitar 800 klausa.
Temuan penelitian ini dapat dipaparkan sebagai berikut. Pertama, hubungan temporal yang terjadi antara KPL dengan klausa induknya adalah hubungan subordinasi temporal bukan pergeseran temporal. Hubungan itu, apakah anterioritas, simultanitas, atau posterioritas, ditandai oleh sistem kala tertentu yang merujuk kepada kala klausa induknya. Karena kala dan temporalitas KPL ditentukan oleh kala dan temporalitas klausa induknya, secara konseptual kedua klausa itu berdekatan. Kedekatan konseptual antara kedua klausa itu juga tercermin dalam kedekatan temporal antara keduanya. Dengan demikian, hubungan antara KPL dengan klausa induknya merupakan hubungan ikonis. Kedekatan konseptual itu baik pada teks naratif maupun nonnaratif tidak berbeda. Kedua, berbeda dengan kasus yang ditemukan dalam bahasa Belanda, dalam bahasa Inggris posisi urutan KPL dalam kalimat tidak selalu menggambarkan urutan peristiwa yang diwakilinya. Dari 753 KPL yang dianalisis, hanya 24.5% yang isokronis. Di antara yang isokronis ini dapat dilihat bahwa teks naratif lebih isokronis daripada teks nonnaratif. Ketiga, secara umum dapat dilihat bahwa KPL kurang transitif daripada klausa induknya sehingga antara kedua klausa itu terjadi proses pelataran. Dalam proses itu, KPL yang reduktif berfungsi sebagai latar dan klausa induk yang berstruktur lengkap berfungsi sebagai fokus sehingga secara pragmatic hubungan antara kedua klausa itu ikonis. Bila dibandingkan, teks naratif kurang transitif (lebih ikonis) daripada teks nonnaratif.
Penelitian ini mengandungi implikasi bahwa KPL memiliki kala dan hubungan temporal dengan klausa induknya. Kala dan temporalitas KPL itu ditentukan oleh kala dan temporalitas klausa induknya. Setiap kala dan temporalitas klausa induk yang berfungsi sebagai pusat rujukan KPL mempunyai sistem tertentu untuk menyatakan hubungan temporal klausa itu dengan KPL-nya. Selain itu, penelitian ini juga menyanggah pendapat Haiman (1985b: 217) yang menyatakan bahwa kala KPL bersifat terbuka. Penjelasan yang paling rasional untuk dikemukakan adalah bahwa kala KPL sama dengan kala klausa induknya. Tanpa pemarkah leksikal seperti when, while, after, atau now, KPL lebih logis ditafsirkan dalam kerangka subordinasi temporal daripada pergeseran temporal. Dari ketiga hubungan temporal yang mungkin terjadi antara KPL dengan klausa induknya, prototipe hubungan temporal yang mungkin terjadi adalah simultanitas. Ini berarti bahwa situasi KPL terjada dalam rangkaian waktu yang sama dengan situasi klausa induknya.

The grammatical features of ing-clauses or detached participle clauses (DPCs) are interesting to study. First, they are believed to have no tenses and temporal relations with their matrix clauses. Haiman (1985b: 217) claims that the tense of DPCs is open, whereas Givon (1993:302) sees that DPCs display clear features of low finiteness in which their tense-aspect-and modalities are reduced. Jansen and Lentz (2001:287) also believe that DPCs are lack of internal structure, either less syntax (no subject) or morphology (no tense forms). Second, Thompson (1983:45) puts forward that DPCs do not explicitly express any logical or temporal relationship with the materials for which they are the background. Third, when seen from iconicity point of view, Haiman (1985b: 217) believes that detached participle clauses are motivated by economic and iconic motivation so that their status are indeterminate. While disagreeing on Haiman's distinction of economic and iconic motivation, I argue that the characteristics of DPCs as mentioned above reflect their iconic nature that fits into both proximity iconicity and quantity iconicity, but not completely meets linear order iconicity as has been proposed by Givon (1995:47).
Proximity iconicity will happen if there is a correspondence between conceptual closeness and linguistic closeness. The reductive structure of detached participle clauses indicates their linguistic closeness to the matrix clauses, while conceptual closeness can be seen from the process of tense and temporal relation between the two clauses (Declerck, 1991). Linear order iconicity will happen if there is a correspondence between linguistic order and order of event (Jakobson, 1971, Haiman, 1985b, Givon, 1985, Jansen & Lentz, 2001). Quantity iconicity will take place if there is a one to one relation between linguistic quantity and the value of information containing in it. The case when valuable information is conveyed with more linguistic code, whereas less valuable information is conveyed with less linguistic code can be seen in the process of grounding (Hopper & Thompson, 1980) and Thompson (1983).
The corpus used in this study is of two kinds, narrative texts and non-narrative texts. Narrative texts are derived from four novels, namely Moby Dick (Melville, 1851/1990), Wuthering Heights (Bronte, 1847/1998), Tom Scnvyer (Twain, 1876/1993) and Lord of the Rings (Tolkien, 1967). Non-narrative texts are derived from Brown Corpus and cookery texts. From these two types of texts, about 753 detached participle clauses with balanced proportion are analyzed.
The results of this study are as follows. Firstly, the tense and temporal relation between the detached participle clause and its matrix clause is a temporal subordination type, not a shift of temporal domain. This finding reveals the existence of conceptual closeness between the two clauses and that detached participle clauses are iconic seen from this perspective. It is also revealed that there is no difference in conceptual closeness of detached participle clauses between narrative and non-narrative texts. Secondly, different from the case in Dutch, we cannot absolutely claim the existence of linear order iconicity (isochrony) in English detached participle clauses because only some of the detached participles are isochronic. Most of them are non-isochronic. When the isochronic ones are closely examined, we can see that narrative texts are more isochronie that non-narrative texts. Thirdly, in general, we can see that detached participle clauses are less transitive than their matrix clauses so that we can claim the existence of the grounding process. The reductive structure of the detached participle clauses serves its function in the sentence as ground, while the complete one of its main clauses serves its function as focus. When the two types of texts are compared, we can see that narrative texts are more transitive than non-narrative texts.
This study also reveals that detached participle clauses indeed have tenses and temporal relations with their matrix clauses. The tenses and temporal relations of the matrix clauses determine both of the tenses and temporal relations of the detached participle clauses. If the tense of the matrix clause is in past, the detached participle tense will be in past too. Although the three possible temporal relations (anteriority, simultaneity and posteriority) which may exist between the detached participle clause and their matrix clauses are expressed in tenses, the main prototype of the temporal relation is simultaneity, meaning that the situation of the detached participle clause takes place at the same time sequence with that of its matrix clause. To this end, we can see that detached participle clauses depend on their matrix clauses not only in terms of meaning, but also in terms of tenses and their temporal relations to the matrix clauses."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
D536
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suhartati
"Analisis mengenai pemakaian bentuk fatis dalam dialek jakarta, bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk-bentuk fatis apa saja yang diapkai dalam dialek Jakarta, yang menyangkut bentuk ujarannya, serta melihat pemakaian dan pemakainya. Dalam penelitian ini, digunakan teori sosiolinguistik yang berhubungan dengan pemilihan bahasa atau ragam bahasa, untuk menganalisis pemakaian bentuk-bentuk fatis dalam dialek Jakarta, dilihat dari faktor-faktor luar bahasa, yang menyangkut usia, jenis kelamin, status sosial, serta latar situasi.
Hasil analisis memperlihatkan bahwa banyak bentuk fatis yang dipakai dalam dialek Jakarta. Variasi bentuk fatis yang paling banyak ditemukan di sini adalah variasi bentuk fatis dalam bentuk ujaran pertanyaan dan pernyataan. Dilihat dari pemakain dan fungsi pemakaiannya, bentuk fatis paling banyak dipakai untuk menegur (menyapa) lawan bicara dan berfungsi untuk membuka saluran komunikasi (mengadakan kontak) dengan lawan bicara. Dilihat dari faktor-faktor luar bahasa, pemakaian bentuk fatis dapat dipengaruhi oleh faktor partisipan, yang menyangkut usia, status sosial, jenis kelamin, dan juga dipengaruhi oleh faktor situasi, dalam arti ada kemunculan bersama antara bentuk fatis yang dipakai dan situasinya. Berdasarkan faktor partisipan, ditemukan pemakaian bentuk fatis dalam bentuk hormat (dipakai untuk menghormati lawan bicaranya) dan bentuk fatis bukan bentuk hormat (dipakai untuk memperlihatkan keakraban atau solidaritas sosial). Bentuk fatis yang dipakai untuk menghormati lawan bicaranya (bentuk hormat), cenderung lebh lengkap, terdapat pemakaian kata sapaan istilah kekerabatan atau gabungan istilah kekerabatan + nama diri, pemakaian kata ganti bentuk asli seperti saye atau kata ganti bentuk turunan seperti Abang dan Bapak. Bentuk fatis yang dipakai untuk memperlihatkan keakraban atau solidaritas sosial, cenderung tidak lengkap, terdapat pemakaian kata sapaan nama diri, nominal, atau gabungan nominal + nama diri, serta pemakaian kata ganti bentuk asli sperti gue, elu, atau lu, kite, dan ente. Dari keempat faktor tersebut faktor usia dan hubungan keakraban antarpartisipanlah yang paling besar pengaruhnya."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1991
S11143
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Saputra Effendi Sumadinata
"ABSTRAK
Dalam dab ini berturut_turut akan dikemukakan becerada masalah yang menJaai pusat perhatian telaah ini tt1juan yang hendak dicapai telaah serta ruang lingkup masa_iahnya (1.2), sumber serta korpus data yang digunakan dalam telaah, cara pengutipannya, dan alasan pemilihannva (i.3), garis besar anaii.sis data yang aigunakan daiam upaya meng_ungkaokan perilaku sintaktis dan semantis (1. 4), organisasi penyajian basil telaah (1.5), dan beberapa tanda dan sing_katan yang digunakan dalam telaah (1.6).Dalam seksi ini akan dipaparkan masalah yang menjadi pusat perhatian telaah ini. Akan tetadi, sebelumnya, akan dikemukakan masalah penggunaan istilah yang dapat menimbul_kan salah pengertian, yakni istilah adverbia dan adverbial, kateqori dan funqsi (lihat juga Bab II)."
1990
D1624
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurhayu Woro Santoso
"ABSTRAK
Klausa atributif dapat berfungsi membatasi atau memperluas informasi tentang suatu nomina. Klausa atributif yang membatasi makna disebut kalausa pembatas, sedangkan yang memperluas makna diebut klausa peluas. Kata penghubung dan merupakan klausa berstruktur terikat. Kata penghubung yang memulai sautu konstruksi kalusa atributif dapat berupa relativa, konjungsi, atau interegativa. Relatif dapat menduduki fungsi sintaktis dalam klausa atributif, sedangkan konjungsi dan interogativa tidak menduduki fungsi sintaktis dalam klausa atributif...

"
1985
S15888
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anti Krishardianti
"Adanya keinginan untuk mengetahui proses pembentukan verba berprefik be- dalam bahasa Belanda dan bagaimana pengaruh penambahan prefiks her- pada verba berprefiks be- merupakan titik tolak penulisan skripsi ini. Langkah awal tersebut, dilanjutkan dengan mengadakan pembahasan morfologis, sintaksis dan semantis dari verba berprefiks tersebut. Dan sebagai tujuannya, selain membuat deskripsi mengenai verba berprefiks be- dan herbe- juga ingin menjelaskan keproduktivitasan masing-masing prefiks tersebut. Untuk menunjang pembahasan korpus, dipakai beberapa teori seperti teori S.C. Dik dan J.G. Kooij (1981), Geerts (1985), A. Santen (1984), H. Schultink (1964), J.W. de Vries (1975) dan lain-lain. Kesimpulan yang didapat, pembentukan verba berprefiks be- dan herbe- mengarah pada perubahan morfologis, sitaksis dan semantis. Mengenai keproduktivitasan kedua prefiks ini tergantung dari kemampuannya bergabung dengan bentuk dasar tertentu."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1990
S15774
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aritonang, Buha
Jakarta: Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional, 2000
499.25 ARI v
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>