Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 17710 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Irma Syaftari
"Dalam mempelajari bahasa Jepang, kita menemukan banyak sekali cara-cara ekpresi atau pemakaian bahasa yang menarik, dengan mengingat cara-cara ekspresi bandingannya, misalnya dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris, sebagai bahasa asing lain yang kita kenal. Diantara pemakaian bahasa yang menarik, misalnya dalam bahasa Jepang kita kenal penggunaan partikel wa, ga, mo, no, yang mengikuti subyek. Kemudian adalagi pemakaian bahasa sopan atau kei-go, seperti misalnya untuk menyatakan 'membaca', yaitu yomu, dapat diucapkan dengan berbagai cara, apakah menggunakan kata yomeru, oyomini-naru, yomimasu atau oyominishimasu. Dalam hal ini, penulis merasa tertarik oleh cara ekspresi 'pengandaian' dalam bahasa Jepang, yang sebagai referensi perbandingan, kita kenal dalam bahasa Inggris dengan apa yang disebut Conditional Clause atau Clause of Condition dan dalam hubungan ini, dikenal juga istilah If-caluse dan When-clause. Dengan dipakainya konjugasi If, maka arti 'pengandaian' (condition) atau 'perumpamaan' (supposition) tampil dengan jelas. Sebaliknya, dalam pembahasan tatabahasa Jepang, dikenal istilah joken hy?gen (Suzuki, 1977; 209), juga katei no hy?gen (Teramura, 1980: 65). Artinya 'pernyataan pengandaian' atau 'ekspresi pengandaian'. Disamping itu, perlu diketahui bahwa dalam kerangka struktur katsu-y? ('konjugasi'), yang tampil dalam pelajaran tatabahasa Jepang di sekolah (gakk? bunp?) dikenal istilah katei-kei ('bentuk pengandaian'). Jadi, yang disebut katei-kei ialah bentuk pengandaian yang tampil dalam kerangka struktur katsuy?. Seperti telah disinggung di atas, dalam bahasa Inggris dikenal pemakaian konjugasi If dan When, kalau ingin membuat kalimat yang menyatakan 'pengandaian' atau 'perumpamaan'. Dalam bahasa Indonesia, kita mungkin menggunakan kata-kata 'kalau', 'apabila', untuk if dalam bahasa Inggris, dan kata-kata 'kapan', 'jika', 'bilamana' untuk when, dan 'manakala' untuk whenever. Sedangkan dalam bahasa Jepang, cara menyatakan maksud 'pengandaian', kita menggunakan bentuk-bentuk: 1. -to 2. -ba 3. -tara 4. -nara (-naraba)"
1987
S13565
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
R.M. Arya Wirayodha
"Kosakata dalam Bahasa Jepang terbagi menjadi dua macam, yaitu kosakata yang dapat berdiri sendiri dan kosakata yang tidak dapat berdiri sendiri. Kemudian kosakata yang dapat berdiri sendiri itu terbagi lagi menjadi kata kerja, kata sifat-i, kata sifat-na, kata benda, kata keterangan, kata sambung, dan lain-lain. Pada kosakata yang tidak dapat herdiri sendiri terbagi menjadi partikel, kata bantu kata kerja dan lain sebagainya. Pada kata bantu kata kerja terdapat berbagai macam bentuk, diantaranya adalah bentuk [huruf Jepang] dan lain sebagainya. Di antara kata bantu kata kerja tersebut, bentuk-bentuk [huruf Jepang] merupakan bentuk-bentuk yang rumit pemakaiannya, di mana semua bentuk-bentuk tersebut dapat digunakan untuk mengungkapkan kalimat pengandaian atau syarat yang apabila diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia akan menjadi kata-kata seperti, `kalau', `seandainya', `apabila' yang tidak berbeda pemakaiannya di dalam Bahasa Indonesia. Sehingga pembelajar Bahasa Jepang khususnya yang berbahasa Indonesia akan mengalami kesulitan karena [huruf Jepang] tersebut memiliki makna yang sama dan sulit untuk dibedakan antara yang satu dengan yang lainnya. Dalam skripsi ini penulis mencoba memperoleh gambaran mengenai kesulitan yang dialami pembelajar Bahasa Jepang dan juga penutur Bahasa Jepang asli dalam memahami dan menggunakan bentuk-bentuk kondisional khususnya [huruf Jepang]. Kemudian mengkaji Mang kebenaran teori-teori yang dijelaskan oleh Maeda dalam buku Jyouken Hyougen. Selain itu, penulis juga akan meneliti mengenai fungsi-fungsi [huruf Jepang] selain sebagai fungsi pengandaian. Sehingga dapat ditarik kesimpulan yang dapat digunakan untuk mencari cara yang lebih mudah untuk membedakan secara jelas bentuk manakah yang lebih tepat digunakan dalam kondisi tertentu."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2007
S13490
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kristiadi Nata
"Salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sastra ialah membuat skripsi. Untuk maksud itu, saya memilih salah satu tema Sebuah studi kanji bahasa Jepang yang kalau tidak salah merupakan tema yang belum atau sedikit sekali dijajagi oleh sejawat seangkatan atau yang lebih dahulu. Selain itu, karena sukarnya kanji telah menarik saya untuk mempelajarinya agak lebih mendalam terutama dengan maksud untuk le_bih mengetahui asal-usul kanji meskipun hanya serba sedikit. Masalah yang saya kemukakan dalam skripsi ini ialah masalah pemakaian kanji dalam bahasa Jepang dari jaman ke jaman. Tetapi sebelum itu, saya merasa perlu untuk menguraikan serba singkat mengenai huruf-huruf yang ada di dunia, pemakai_an dan penulisan kanji, masuknya kanji ke Jepang. Dengan tema Sebuah studi kanji bahasa Jepang, saya ingin mengajukan suatu penelaahan secara garis besar mengenai kanji. Saya berharap penelaahan yang serba singkat dan sedikit ini bisa membantu rekan-rekan yang ingin mempelajari dan menge_tahui huruf Cina ini secara lebih mendalam_"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1979
S13724
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Pusat Bahasa Depdiknas, 2000
499.25 KLA
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1990
415 TIP
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Didi Sukyadi
"Klausa ing atau selanjutnya disebut klausa partisipium lepas (KPL) memiliki ciri gramatikal yang menarik untuk diteliti. Pertama, KPL dianggap tidak memiliki kala dan hubungan temporal dengan klausa induknya. Haiman (1985b: 217) mengatakan bahwa kala KPL bersifat terbuka, sedangkan Givon (1993:302) melihat KPL sebagai sebuah klausa yang memiliki ciri kefinitan rendah karena kala, aspek dan modalitasnya bersifat reduktif. Sejalan dengan Givon, Jansen dan Lentz (2001:287) juga mempercayai bahwa KPL kurang memiliki struktur internal yang lengkap baik karena ketidaklengkapan struktur sintaktis (tidak memiliki subjek) maupun morfologis (tidak memiliki kala). Kedua, Thompson (1983:45) menyebutkan bahwa KPL tidak secara eksplisit mengungkapkan hubungan logis atau temporal dengan klausa induknya. Ketiga, dari sudut pandang ikonisitas, Haiman (1985b: 217) menduga bahwa KPL dapat termotivasi baik secara ekonomis maupun ikonis sehingga statusnya tidak pasti. Dalam penelitian ini saya mengklaim bahwa karakteristik KPL sebagaimana disebutkan di atas merupakan refleksi ikonisitas KPL yang setidaknya memenuhi prinsip ikonisitas jarak (proximity iconicity) dan ikonisitas jumlah (quantity iconicity), namun kurang memenuhi prinsip ikonisitas urutan linier (Givon, 1995:47).
Ikonisitas kedekatan akan terjadi bila ada korespondensi antara kedekatan konseptual dengan kedekatan formal. Jarak antara KPL dengan klausa induknya secara formal lebih dekat daripada jarak ketika KPL diubah ke dalam struktur lengkap. Secara konseptual, KPL dengan klausa induknya dikatakan berdekatan bila antara keduanya terjadi proses subordinasi temporal (Declerck, 1991). Prinsip urutan Tinier akan terpenuhi jika posisi urutan KPL menggambarkan urutan peristiwa yang direpresentasikannya (Jakobson, 1971, Haiman, 1985b, Givon, 1985, Jansen & Lentz, 2001). Prinsip ikonisitas jumlah akan terpenuhi bila terjadi korespondensi antara jumlah satuan bahasa dan nilai informasi yang disampaikan. Jika KPL berisi informasi kurang penting (latar), sedangkan klausa induknya berisi informasi yang lebih penting (fokus), prinsip ikonisitas jumlah dapat diberlakukan. Proses pelataran dapat diungkap berdasarkan transitivitas verba klausa yang dipertanyakan. Makin transitif sebuah verba makin besar peluangnya untuk berfungsi sebagai fokus (Hopper dan Thompson, 1980 dan Thompson (1983) dan juga sebaliknya.
Korpus yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari teks naratif dan teks nonnaratif. Teks naratif berasal dari novel Moby Dick (Melville, 1851/1990), Wuthering Heights (Bronte, 1847/1998), Tom Sawyer (Twain, 1876/1993) dan Lord of the Rings (Tolkien, 1967), sedangkan teks nonnaratif berasal dari Brown Corpus dan teks resep masak. Dan kedua jenis teks itu terkumpul sekitar 1200 KPL yang kemudian diseleksi ulang menjadi sekitar 800 klausa.
Temuan penelitian ini dapat dipaparkan sebagai berikut. Pertama, hubungan temporal yang terjadi antara KPL dengan klausa induknya adalah hubungan subordinasi temporal bukan pergeseran temporal. Hubungan itu, apakah anterioritas, simultanitas, atau posterioritas, ditandai oleh sistem kala tertentu yang merujuk kepada kala klausa induknya. Karena kala dan temporalitas KPL ditentukan oleh kala dan temporalitas klausa induknya, secara konseptual kedua klausa itu berdekatan. Kedekatan konseptual antara kedua klausa itu juga tercermin dalam kedekatan temporal antara keduanya. Dengan demikian, hubungan antara KPL dengan klausa induknya merupakan hubungan ikonis. Kedekatan konseptual itu baik pada teks naratif maupun nonnaratif tidak berbeda. Kedua, berbeda dengan kasus yang ditemukan dalam bahasa Belanda, dalam bahasa Inggris posisi urutan KPL dalam kalimat tidak selalu menggambarkan urutan peristiwa yang diwakilinya. Dari 753 KPL yang dianalisis, hanya 24.5% yang isokronis. Di antara yang isokronis ini dapat dilihat bahwa teks naratif lebih isokronis daripada teks nonnaratif. Ketiga, secara umum dapat dilihat bahwa KPL kurang transitif daripada klausa induknya sehingga antara kedua klausa itu terjadi proses pelataran. Dalam proses itu, KPL yang reduktif berfungsi sebagai latar dan klausa induk yang berstruktur lengkap berfungsi sebagai fokus sehingga secara pragmatic hubungan antara kedua klausa itu ikonis. Bila dibandingkan, teks naratif kurang transitif (lebih ikonis) daripada teks nonnaratif.
Penelitian ini mengandungi implikasi bahwa KPL memiliki kala dan hubungan temporal dengan klausa induknya. Kala dan temporalitas KPL itu ditentukan oleh kala dan temporalitas klausa induknya. Setiap kala dan temporalitas klausa induk yang berfungsi sebagai pusat rujukan KPL mempunyai sistem tertentu untuk menyatakan hubungan temporal klausa itu dengan KPL-nya. Selain itu, penelitian ini juga menyanggah pendapat Haiman (1985b: 217) yang menyatakan bahwa kala KPL bersifat terbuka. Penjelasan yang paling rasional untuk dikemukakan adalah bahwa kala KPL sama dengan kala klausa induknya. Tanpa pemarkah leksikal seperti when, while, after, atau now, KPL lebih logis ditafsirkan dalam kerangka subordinasi temporal daripada pergeseran temporal. Dari ketiga hubungan temporal yang mungkin terjadi antara KPL dengan klausa induknya, prototipe hubungan temporal yang mungkin terjadi adalah simultanitas. Ini berarti bahwa situasi KPL terjada dalam rangkaian waktu yang sama dengan situasi klausa induknya.

The grammatical features of ing-clauses or detached participle clauses (DPCs) are interesting to study. First, they are believed to have no tenses and temporal relations with their matrix clauses. Haiman (1985b: 217) claims that the tense of DPCs is open, whereas Givon (1993:302) sees that DPCs display clear features of low finiteness in which their tense-aspect-and modalities are reduced. Jansen and Lentz (2001:287) also believe that DPCs are lack of internal structure, either less syntax (no subject) or morphology (no tense forms). Second, Thompson (1983:45) puts forward that DPCs do not explicitly express any logical or temporal relationship with the materials for which they are the background. Third, when seen from iconicity point of view, Haiman (1985b: 217) believes that detached participle clauses are motivated by economic and iconic motivation so that their status are indeterminate. While disagreeing on Haiman's distinction of economic and iconic motivation, I argue that the characteristics of DPCs as mentioned above reflect their iconic nature that fits into both proximity iconicity and quantity iconicity, but not completely meets linear order iconicity as has been proposed by Givon (1995:47).
Proximity iconicity will happen if there is a correspondence between conceptual closeness and linguistic closeness. The reductive structure of detached participle clauses indicates their linguistic closeness to the matrix clauses, while conceptual closeness can be seen from the process of tense and temporal relation between the two clauses (Declerck, 1991). Linear order iconicity will happen if there is a correspondence between linguistic order and order of event (Jakobson, 1971, Haiman, 1985b, Givon, 1985, Jansen & Lentz, 2001). Quantity iconicity will take place if there is a one to one relation between linguistic quantity and the value of information containing in it. The case when valuable information is conveyed with more linguistic code, whereas less valuable information is conveyed with less linguistic code can be seen in the process of grounding (Hopper & Thompson, 1980) and Thompson (1983).
The corpus used in this study is of two kinds, narrative texts and non-narrative texts. Narrative texts are derived from four novels, namely Moby Dick (Melville, 1851/1990), Wuthering Heights (Bronte, 1847/1998), Tom Scnvyer (Twain, 1876/1993) and Lord of the Rings (Tolkien, 1967). Non-narrative texts are derived from Brown Corpus and cookery texts. From these two types of texts, about 753 detached participle clauses with balanced proportion are analyzed.
The results of this study are as follows. Firstly, the tense and temporal relation between the detached participle clause and its matrix clause is a temporal subordination type, not a shift of temporal domain. This finding reveals the existence of conceptual closeness between the two clauses and that detached participle clauses are iconic seen from this perspective. It is also revealed that there is no difference in conceptual closeness of detached participle clauses between narrative and non-narrative texts. Secondly, different from the case in Dutch, we cannot absolutely claim the existence of linear order iconicity (isochrony) in English detached participle clauses because only some of the detached participles are isochronic. Most of them are non-isochronic. When the isochronic ones are closely examined, we can see that narrative texts are more isochronie that non-narrative texts. Thirdly, in general, we can see that detached participle clauses are less transitive than their matrix clauses so that we can claim the existence of the grounding process. The reductive structure of the detached participle clauses serves its function in the sentence as ground, while the complete one of its main clauses serves its function as focus. When the two types of texts are compared, we can see that narrative texts are more transitive than non-narrative texts.
This study also reveals that detached participle clauses indeed have tenses and temporal relations with their matrix clauses. The tenses and temporal relations of the matrix clauses determine both of the tenses and temporal relations of the detached participle clauses. If the tense of the matrix clause is in past, the detached participle tense will be in past too. Although the three possible temporal relations (anteriority, simultaneity and posteriority) which may exist between the detached participle clause and their matrix clauses are expressed in tenses, the main prototype of the temporal relation is simultaneity, meaning that the situation of the detached participle clause takes place at the same time sequence with that of its matrix clause. To this end, we can see that detached participle clauses depend on their matrix clauses not only in terms of meaning, but also in terms of tenses and their temporal relations to the matrix clauses."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
D536
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sheddy Nagara Tjandra
1995
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Nenny Alfiah
"ABSTRAK
Nenny Alfiah. Ikhtisar Skripsi sbb. Kata seru dipergunakan oleh orang Jepang dalam percakapan sehari-hari. Dalam bahasa Jepang, kata seru berkaitan dengan jenis kelamin pemakainya. Berdasarkan hal tersebut, penulis berminat untuk mengetahui, kata seru bahasa Jepang lebih lanjut dengan tujuan untuk mengetahui fungsinya, dan untuk mengetahui kata seru mana yang hanya digunakan oleh laki-laki, mana yang hanya digunakan oleh perempuan, dan mana yang bisa digunakan oleh keduanya."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1996
S13766
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bagus Sapto Raharjo
"ABSTRAK
Setelah Restorasi Meiji, perindustrian dan militer Jepang berkembang pesat, tetapi konsekuensinya adalah meningkatnya kebutuhan mereka atas bahan-bahan mentah. Salah satu kebutuhan yang paling krusial adalah minyak bumi. Jepang tidak dikaruniai sumber daya alam yang melimpah di dalam negeri, sehingga ekspansi menjadi salah satu cara yang mereka tempuh untuk mencukupi kebutuhan tersebut. Daerah Selatan diprediksi dapat memenuhi kebutuhan minyak bumi mereka serta mampu menggantikan dominasi impor dari Amerika Serikat. Tujuan penulisan ini adalah menganalisis ekspansi ke Selatan yang dilakukan oleh Jepang dengan permasalahan minyak bumi yang mereka hadapi. Setelah melakukan tahap penelitian sejarah, penelitian ini menghasilkan fakta bahwa minyak bumi adalah salah satu agenda penting yang dibawa oleh Jepang dalam rangkaian ekspansinya ke Selatan sebelum pecahnya perang Pasifik.

ABSTRACT
Since Meiji Restoration, Japan’s need of raw resources, especially petroleum, has increased due to the rapid growth of industry and military. Japan is not blessed with abundant natural resources in the country so that the expansion is one of the ways that they have taken to fulfill the need. Southern Area is predicted to fulfill their needs of petroleum and can also replace the dominance of petroleum imports from United States. The purpose of this research is to analyze the relation between Japan expansion to the South policy and petroleum problems. After doing historical research, this study shows the fact that petroleum is one of the important agendas brought by Japan in their expansion to the South policy.
"
2015
S61492
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Widya Laksita
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas pemakaian ungkapan maaf sumimasen bahasa Jepang dalam beberapa situasi tutur. Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dan kualitatif dengan desain deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan adanya pemakaian ungkapan maaf sumimasen oleh orang Jepang yang berdomisili di Tokyo selain sebagai ungkapan maaf, yaitu sebagai ungkapan terima kasih, ungkapan pengantar saat meminta tolong, dan ungkapan saat memanggil atau menarik perhatian. Hasil penelitian menyarankan pentingnya pemahaman akan pemakaian sumimasen bagi orang asing pemelajar bahasa Jepang, khususnya bagi mahasiswa Program Studi Jepang Universitas Indonesia karena sumimasen memiliki beberapa makna berbeda dan tidak hanya dipakai sebagai ungkapan maaf, untuk menghindari terjadinya kesalahan komunikasi.

Abstract
The Focus of this study is the usage of apology expression of Japanese sumimasen in several speech situations. The research result shows the usage of sumimasen by the Japanese living in Tokyo in the situation other than as apology expression, such as gratitude expression, request, and to call or get other_s attention. This research is quantitative qualitative descriptive. The data were collected by means of questionnaire and interview. The researcher suggests that the Japanese-learning foreigner, as well as the students of Japanese Study Program of University of Indonesia should understand the usage of sumimasen very well to avoid miscommunication."
2010
S13708
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>