Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7952 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dini Anggraini Sadjito
"Dalam bagian dari sejarah Cina, terdapat sekelompok manusia yang mendapat sebutan sebagai warlord. Apa dan siapakah warlord itu ? Warlord adalah militer Cina yang mempunyai karakteristik khusus karena kekhususan mereka inilah, Warlord merupakan sesuatu kelompok yang menarik untuk dipelajari. Warlord adalah istilah yang diberikan oleh bangsa barat kepada militer Cina yang berkuasa di suatu daerah, mempunyai tentara pribadi, dan sering saling berperang. Istilah ini mulai diberikan kepada mereka pada tahun 1916, ketika pemimpin mereka yaito Yuan Shikai meninggal dunia. Dalam makalah ini penulis menggunakan istilah warlord dengan pertimbangan bahwa tidak ada istilah yang dapat menggantikan istilah ini baik dalam bahasa Indonesia maupun dalam bahasa Cina. Menurut Lucian Pye dalam bukunya yang ber judul Warlord Politic Conflict And coalition in the modernization of Republican China. Yang disebut Warlord yang disebut sebagai warlord dalam bahasa Cina adalah para Tujun atau gubenur militer propinsi. Tetapi James E. Sheridan dalam bukunya yang berjudul Chinese Warlord the Carrier of Feng Yuh-siang berpendapat bahwa Tujun memang merupakan pelaku utam adari warlord itu sendiri. Namun tidak semua warlord itu merupakan gubernur militer. Ada diantara mereka yang menjabat sebagai perdana menteri, presiden. Sedangkan istilah bahasa Indonesia yang tepat untuk warlord tidak ada. Dalam kamus Bahasa Inggris-Indonesia karya Hassan Shadily, istilah Warlord diterjemahkan sebagai panglima perang. Apabila penulis menggunakan istilah ini pun rasanya tidak tepat, karena seperti telah disebutkan diatas, tidak semua warlord adalah panglima. Karena alasan-alasan itulah maka penulis tetap menggunakan istilah warlord. Warlord mempunyai ciri khas, yaitu seorang warlord dapat berkuasa karena mempunyai tentara pribadi. Seorang warlord sebagai komandan, mempunyai kekuasaan yang besar, dan karena umumnya para tentara yang dimiliki oleh para warlord setia kepada atasannya, maka tentara yang dimiliki oleh para warlord sering disebut tentara pribadi. Seorang warlord harus mempunyai kepribadian yang kuat, keberanian, dan juga bakat untuk memimpin. Memang harus di akui timbulnya warlord saat itu banyak dipengaruhi situasi Negara Cina yang kacau sesudah revolusi 1911. Hal yang sangat dianggap penting oleh para warlordadalah bagaimana mempertahankan dan memperluas kekuasaan. Karena itu, seoranq warlord harus mempunyai tentara yang jumlahnya cukup besar, untuk mencapai hal ini, seorang warlord biasanya merekrut calon-calon dari daerah mereka tinggal karena situasi yang buruk pada saat itu, maka tidak sedikit penduduk yang memilih hidup sebagai tentara. Selain itu, seorang warlord juga sering memasukkan musuh-musuhnya yang kalah perang ke dalam bala tentaranya sendiri. Hal lainnya yang dianggap penting ialah hak berkuasa atas suatu daerah. Hal ini disebabkan karena untuk dapat mendirikan suatu basis mi l i ter, maka warlord tersebut harus berkuasa di daerah tersebut. Seorang warlord yang berkuasa dapat menarik pajak di daerah yang di kuasainya. Hal ini di lakukannya selain untuk kekayaan pribadi, untuk dana membiayai tentara-tentaranya, dan juga untuk biaya amunisi. Jadi dapat disebut kekuasaan seoranq warlord bergantung dari dua hal yaitu tentara dan daerah. Atau dengan kata lain seorang warlord membutuhkan tentara untuk mempertahankan kekuasaannya sehingga ia dapat membiayai tentaranya. Seorang warlord umumnya berambisi, namun tidak semua warlord mementingkan ambisi pribadi, ada juga warlord yang memperhatikan kepentingan nasional. Tetapi ada juga warlord yang bertingkah seperti bandit, mereka merampok penduduk. Pernah pula disebutkan, seorang warlord adalah seorang kepala bandit yang telah memahami pengetahuan kemiliteran dan dapat berkuasa di suatu daerah. Penulis tertarik untuk membahas para warlord karena mereka merupakan kelompok yang mempunyai ciri-ciri khas yang menunjang kekuasaan mereka. Misalnya, dari kelompok militer Beiyang telah lahir beberapa pemimpin negara Republik Cina. Kelompok ini sering dianggap sebagai kelompok perusak persatuan negara dan sewenang-wenang terhadap rakyat. Namun apapun alasannya, kelompok ini mempunyai peran yang tidak sedikit pada awal berdirinya Republik Cina. Chi Hsi-seng dalam bukunya yang berjudul Warlord Politics in China 1916-1928 berpendapat: seorang militer terhormat, biasanya tidak juga di sebut warlord, karena istilah ini umumnya mengacu pada militeris yang bersifat buruk. Namun, dalam makalah ini penulis akan tetap memperlihatkan istilah warlord sesuai dengan periode yang di bahas, tanpa menunjuk apakah ia militer yang bersifat baik atau buruk. Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah untuk memberikan gambaran proses kebangkitan dan pembentukkan kelompok warlord Cina, bagaimana mereka membangun militerisme di Cina, sampai mereka dapat berkuasa. Hal ini merupakan hal penting karena periode warlord merupakan periode transisi dari jatuhnya monarkhi dinasti Qing sampai timbulnya golongan komunis."
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1987
S12868
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bosse,Malcolm J
New York : Simon and Schuster , 1983
813.54 BOS w
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Dick van der Meij
"Most Javanese manuscript illustrations of narrative poems and (pseudo)-historical chronicles (babad) depict only one part of the natural world: animals. Animals are portrayed in relation to the characters in the text they illustrate. Some illustrated Javanese manuscripts are discussed below in relation to the way in which they illustrate the natural world: these are the fictive narrative poems Serat Selarasa, Serat Panji Jayakusuma, Serat Asmarasupi, Serat Jayalengkara Wulang, and Serat Damar Wulan, and the poetic (pseudo)-historical chronicle Babad Perang Demak. It appears from the illustrations in the manuscripts discussed that in the narrative poems the wayang style is preferred and they depict animals differently from the babad for which the wayang-style is not used and whose illustrations tend to be more “realistic”. The focus in the narrative poems discussed here is on serpents, crocodiles, and elephants, and in the babad on all the animals featured."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2022
909 UI-WACANA 23:1 (2022)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Artikel ini membahas tentang kehidupan sosial dan politik nasional di Inggris pada abad pertengahan yang digambarkan dalam karya terbesar Geoffrey Chaucer, "Prologue to Cantgerbury Tales". Chaucer yang juga dikenal sebagai hapak puisi Inggris menggambarkan secara detail berbagai aspek sosial, budaya dan politik nasional pada masanya. Gambaran kehidupan masyarakat pada masa itu diramu dengan balk oleh Chaucer melalui presentasi tokoh-tokoh yang ditampilkan dalam karyanya tersebut sehingga dengan membaca artikel ini pembaca akan mendapat gambaran yang balk dan jelas tentang kehidupan dan situasi sebenarnya pads masa itu."
410 JLS 4:2 (2004)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Rezkita Rasyid
"Utopia hadir sebagai bagian dari ruang imajinasi yang mensimulasikan ruang ideal dengan latar belakang ketidaksempurnaan dalam realita.  Kehadiran utopia dilengkapi dengan heterotopia, sebuah bentuk aktualisasi tempat dengan karakter ideal.  Heterotopia digambarkan sebagai sebuah konsep ruang merujuk pada simulasi utopia dapat termanifestasi sebagai representasi sehingga kehadirannya terlihat nyata. Media film mampu menangkap konsep utopia dan heterotopia, lalu mentranslasikannya dalam bentuk gambar bergerak yang menggambarkan realitas yang beriringan dengan ruang dan waktu.  Kemampuan pada film tersebut kemudian memunculkan simulacra, sebuah situasi saat realitas yang dilihat di media adalah realitas semu.  Akibatnya, perbedaan antara bagian original (asli) dan copy (imitasi) menjadi samar dan batasnya memudar.  Implementasi yang hadir pada film adalah penonton dapat melihat ruang sebagai sebuah realita.  Tujuan studi ini adalah melihat konsep utopia dan heterotopia melalui melalui simulasi dan hubungan original dan copy dalam film The Chronicles of Narnia: The Lion, the Witch, and the Wardrobe.  Film tersebut menghadirkan pada penonton sebuah ruang untuk masuk dan melarikan diri ke dalamnya sebagai sebuah ruang bersifat utopia.  Sehingga dari potensi tersebut, dapat terlihat bahwa peran media sangat besar dalam mencerminkan ide ruang utopia dalam simulacara.

 


Utopia exist as a part of imagination realm that simulated an ideal space with imperfect reality background.  The idea of utopia as an ideal space is also related to heterotopia, a space used to describe the idea of utopia.  Heterotopia can be seen as the physical form of utopia condition.  Utopia can be visualized through film as a media and can manifest the idea of utopia and heterotopia then translate it into a sequence of images that picture reality in different time and space.  The ability of film as a media to present utopia in a space is connected simulacra.  In media, simulacra often showed as a duplication of the reality and people believe what they see instead of the existing facts, or what it’s called as a fake reality.  As a result, the distinction between the original and the copy starts to blur.  The implementation that came with the result is, the viewer could see the space in film as a reality.  Because of the implementation, the purpose of this study is to capture the concept of utopia and heterotopia through the simulation and its relation to the original and the copy.  This study also shows how the media could reflect the idea of utopia in space and heterotopia inside simulacra.  This research leads to how The Chronicles of Narnia: The Lion, the Witch, and the Wardrobe could reflect the idea of utopia within it spaces and how it copies the reality in real world and turns it into a simulation.

 

"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bosse, Malcolm
New York: Bantam Books, 1983
813.54 B 319 w
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Boyd, Martin
New York: E.P. Dutton, 1980
828.99 BOY l
Koleksi Publik  Universitas Indonesia Library
cover
Eddline Kusuma Andani
"

Pemberdayaan perempuan sering digunakan dalam film untuk mengedepankan tokoh perempuan yang suara dan tindakannya sering tidak terlihat. Agensi, suara, dan kekuasaan adalah elemen yang saling terkait dalam membantu membentuk sosok perempuan yang berdaya. Film adaptasi The Chronicles of Narnia: Prince Caspian (2008) memakai pendekatan yang berbeda dalam menyampaikan cerita sehingga terdapat perbedaan yang siginifikan pada alur dan tokoh Susan Pevensie yang digambarkan lebih berdaya dalam film daripada di buku. Penelitian ini bertujuan untuk menunjukkan, bahwa meskipun di dalam film Susan ditampilkan lebih berdaya, film ini tidak sepenuhnya memberdayakan Susan. Masih ada penggambaran yang memosisikan Susan sebagai tokoh yang inferior. Dengan menggunakan teori agensi oleh Trites (1997), teori representasi oleh Hall (1997), dan unsur-unsur analisis film oleh Bordwell dan Thompson (2013), penelitian ini akan mengidentifikasi perbedaan penggambaran Susan dibandingkan tokoh laki-laki dan memeriksa agensi, suara, dan kekuatannya dalam buku dan film. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemosisian Susan di dalam film tidak terlalu jauh berbeda dari pemosisian Susan di dalam buku. Ia tetap diposisikan sebagai tokoh yang lebih rendah daripada tokoh laki-laki. Dengan demikian, meskipun film menggambarkan Susan sebagai tokoh perempuan yang berdaya melalui perubahan alur dan representasi visualnya, film masih jatuh ke dalam perangkap stereotip gender. Beberapa mise-en-scène dalam film masih mewakili sistem patriarki dalam penggambaran stereotip gendernya yang kontraproduktif dengan upaya film tersebut untuk memberdayakan Susan.

 

 


Women empowerment is often used in films to bring forward female characters whose voices and actions are often put in the background. Agency, voice, and power are inter-connected elements in helping to shape an empowered female figure. The film adaptation of The Chronicles of Narnia: Prince Caspian (2008) takes a different approach in delivering the story which results in significant differences in the plot and Susan Pevensie’s character who is portrayed to be more empowering in the film than in the novel. This research aims to show that although in the film Susan is portrayed to be more empowering, it still does not fully empower Susan. There are several depictions that position Susan as an inferior character. By using agency theory by Trites (1997), representation theory by Hall (1997), and elements of film analysis by Bordwell and Thompson (2013), this research aims to identify the differences in Susan’s depictions compared to the male characters and analyze her agency, voice, and power in the novel and film of The Chronicles of Narnia: Prince Caspian. The result shows that Susan’s positioning in the film is not so much different from her positioning in the novel. She is still positioned as a character who is inferior to the male characters. Although Susan is portrayed as an empowered female character through the changes of the plot and her visual representation, the film still falls into the trap of gender stereotyping. Some mise-en-scène in the film still represent the patriarchal system in its gender stereotyped portrayal which is counterproductive to the effort of the film to empower Susan.

 

"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2019
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Tolstoy, Leo, 1828-1910
"Buku berjudul Kebangkitan ini merupakan novel yang ditulis oleh Leo Tolstoi dan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Koesalah Soebagyo Toer"
Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2005
891.7 TOL k
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Dana K. Anwari SB
[Place of publication not identified]: Orayta, [date of publication not identified]
951.095 98 DAN b
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>